Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian Ilmu Hadits


Ulumul Hadits terdiri dari dua kata yaitu ulum dan hadits. Kata ulum dalam bahasa arab
adalah bentuk jamak dari ilm. Jadi artinya “ilmu”, sedangkan Al-Hadits menurut kalangan
para ulama adalah “segala sesuatu yang disadarkan kepada Nabi SAW dari perkataan,
perbuatan, taqrir atau sifat”. Jadi apabila di gabung kata ulum Al-Hadits dapat diartikan
sebagai ilmu-ilmu yang mempelajari atau membahas yang berkaitan dengan Hadits Nabi
SAW.
Sedangkan menurut As-Suyuthi beliau mengemukakan pendapatnya tentang ilmu Hadits
yaitu ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan Hadits sampai kepada
Rasul SAW, dari segi hal ikhwan para perawnya yang menyangkut ke dhabitan dan
keadilannya dan bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.
Penulisan ilmu-ilmu Hadits secara parsial dilakukan oleh para ulama pada abad ke-3 H. Jadi
secara garis besar para ulama Hadits mengelompokkan ilmu Hadits ini menjadi dua bagian
yaitu : Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
1.Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau, jadi secara bahasa Hadits Riwayah adalah ilmu
Hadits yang berupa periwayatan, sedangkan para ulama berbeda pendapat mendefenisikan
tentang ilmu Hadits Riwayah, namun yang paling terkenal di antara para ulama yaitu defenisi
ibnu Al-Akhfani beliau berpoendapatan bahwa ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang
membahas ucapan-ucapan danperbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya,
pencatatannya dan penelitian lafadz-lafadznya.
Sedangkan menurut istilah Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukukan segala yang
disadarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taarir maupun sifatnya
begitu juga yang menukukan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menjelaskan ilmu Hadits adlaah ilmu
yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) sifat jasmaniah atau tingkah laku
(akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Objek kejadian ilmu Hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
SAW, sahabat dan tabiin yang meliputi :
a.Cara periwayatannya yakni cara penerimaan dan penyampaian Hadits dari sesorang
periwayat (rawi) kepada periwayat lain.
b.Cara pemeliharaan yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan Hadits.
Sedangkan tujuan atau urgensi ilmu Hadits Riwayah ini adalah pemeliharaan terhadappp
Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan
dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan maupun pembukuannya.
Ulama yang terkenal dan yang terpandang sebagai pelapor ilmu Hadits Riwayah ini adalah
abu bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H). Jadi apabila kita lihat perkembangan
sejarah Hadits, Az-Zuhri ini sebagai ulama pertama yang dapat menghimpun Hadits Nabi
SAW atas perintah khalifah Umar bin Abdul Azis atau Khalifah Umar II.
2.Ilmu Hadits Dirayah
Menurut As-Suyuti ilmu Hadits Riwayah inimuncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi
yaitu pada masa Al-Akfani, ilmu Hadits Dirayah ini banyak juga nama sebutannya antara lain
ilmu ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits dan Qawaid Al-Hadits.
Secara istilah yang dimaksud dengan ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau
kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Sedangkan para ulamapun
memberikan defenisi yang bervariasi tentang pengertian ilmu Hadits Dirayah diantaranya
adalah ibn Al-Akfani memberikan defenisi ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang bertujuan
untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat,macam-macam dan hukum-hukumnya
keadaan para perawi, syarat-syarat mereka jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya.
Sedangkan menurut M. Ajjaj Al-Kitab beliau mengatakan bahwa hadits Dirayah adalah
kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi
dari segi diterima atau ditolaknya.
Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui
keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain.
Sedangkan yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits,
beliau mengatakan bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara
Hadits yang shahih yang didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan
penyampaiannya kepada beliau.
Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang
terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang
sanad adalah :
a.Persambungan sanad
b.Keterpercayaan sanad
c.Kejanggalan yang terdapat atau sumber dari sanad
d.Keselamatan dari cacat
e.Tinggi rendahnya suatu martabat seorang sanad.
Sedangkan sasaran kajian terhadap masalah yang menyangkut matan ada tiga yaitu :
a.Kejanggalan-kejanggalan dari redaksi.
b.Terdapat catat pada makna Hadits.
c.Dari kata-kata asing.
Sedangkan tujuan atau faedah ilmu Hadits Dirayah ini ada empat antara lain :
1.Mengetahui pertumbuhan danperkembangan ilmu Hadits.
2.Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara,
periwayatan Hadits.
3.Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama.
4.Mengetahui istilah-istilah dan kriteria-kriteria Hadits sebagai pedoman untuk menetapkan
hukum syara.
Jika kita lihat dalam sejarahnya ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadits
Dirayah secara lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi.
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, muncul juga cabang-cabang ilmu Hadits lainnya
seperti ilmu Rijal AL-Hadits, ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ilmu Fannil Mubhamat, ilmu ‘Ilali
Al-Hadits ilmu Gharib Al-Hadits, ilmu Nasikh wa Al-mAnsukh, ilmu Taqfiq al-Hadits, ilmu
Tashif wa at-Tahrif, ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan ilmu Musthalah ahli Hadits.
Secara singkat kami akan menjelaskan cabang-cabang ilmu Hadits sebagai berikut :
1.Ilmu Rijal Al-Hadits
Secara bahasa kata Rijal Al-Hadits artinya orang-orang di sekitar Hadits, sedangkan secara
istilah kata ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para Perawi Hadits dalam
kapasitas mereka sebagai Perawi Hadits. Sedangkan para ulama Hadits menerangkan ilmu
Rijal Al-Hadits ini adalah ilmu yang membahas para Rawi Hadits, baik dari kalangan
sahabat, tabiin maupun dari generasi-generasi sesudahnya.
2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dul
Secara etimologi kata Al-Jarh dapat diartikan sebagai cacat atau luka dan kata Al-Ta’dil
artinya menyamakan, sedangkan secara terminologi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah
kecacatan pada perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan perawi.
Sedangkan para ulama Hadits mendefenisikan ilmu ini adalah menyifatkan perawi dengan
sifatsifat yang membersihkannya, maka nampak keadilannya dan riwayatnya di terima.
3.Ilmu Fannil Mubhamat
Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebutkan dalam Matan atau dalam Sanad.
4.Ilmu Ilal Al-Hadits
Secara bahasa kata ilal dapat diartikan penyakit atau sakit, namun secara istilah ilmu ‘ilal al-
hadits adalah sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang terakibat tercatatnya hadits,
namun dari sudut zhahirnya nampak selamat dari sebab itu. Sedangkan menurut ulama ahli
hadits mendefenisikan ilmu ini adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang
dapat mencatatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan bersambung terhadap hadits yang
menqati, memasukkan hadits ke dalam hadits lam dan lam-lam.
5.Ilmu Gharib al- Hadits
Menurut Ibnu shalah, beliau menjelaskan tentang ilmu Gharib al –Hadis yaitu ilmu yang
digunakan untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat paa lafal-lafal hadis
yang jauh dan sulit dipahami karena jarang digunakan orang umum.
6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansuk
Secara etimologi kata nasakh mempunyai dua pengertian yaitu menghilangkan dan menyalin.
Sedangkan secara terminologi kata nasakh dapat diartikan sebagai syari’ mengangkat
[membatalkan] suatu hukum syar’i yang datang kemudian. Adapun yang dimaksud dengan
ilmu Nasikh wa Al- mansunkh menurut para pakar ahli hadis adalah ilmu yang membahas
tentang hadis – hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan
bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang kemudian dinamakan
Nasikh.
7.Ilmu Talfiq al-Hadits
Menurut ahli hadis ilmu talfiq dapat didepenisikan adalah ilmu yang membahas cara
mengempulkan hadis- hadis yang berlawanan.
8.Ilmu Tashif wa Al-Tahrif
Ilmu Tashif wa al- tahrif dapat didepenisikan sebagai berikut ilmu yang berusaha
menerangkan dan menjelaskan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau sakal nya dan
bentuknya.
9.Ilmu Asbab al-wurud al-Hadits
Secara bahasa ilmu ini dapat di artikan sebagai sebab-sebab adanya hadis, sedangkan secara
istilah dapat diartikan yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar
belakang di wurutkannya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut
As-suyuti pengertian ilmu ini adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan
dengan arti umum dan khusus, mutlak atau muqqaiyad,dinasakhkan, dan seterusnya atau
suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya.
10.Ilmu Musththalah Ahli Hadits
Menurut ulama ahli hadis mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu ini sebagai ilmu yang
menerangkan atau menjelaskan pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dipakai oleh
ahli-ahli Hadits.
Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Apabila kita lihat dari praktinya, ilmu Hadits ini sudah ada sejak periode awal Islam dengan
periode Rasulullah. Ilmu ini mulai muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits
yang disertai dengan tingginya perhatian para sahabat dalam menerima riwayat yang
disampaikan Nabi kepada mereka.
Pada periode Rasulullah, penelitian terhadap suatu Hadits menjadi cikal bakal ilmu Hadits.
Apabila seorang sahabat ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lain, maka ia segera
menemu Rasulullah atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk dikompirmasikannya
setelah itu barulah ia menerima dan mengamalkan Hadits itu.
Sedangkan pada masa periode sahabat, penelitian Hadits ini menyangkut sanad dan matan,
misalnya khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq beliau tidak mau menerima suatu Hadits yang
disampaikan oleh seseorang, kecuali dia mampu mendatangkan saksi untuk memastikan
kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula pada masa Umar bin Al-Khattab, beliau mengamcam akan memberikan saksi
terhadap siapa yang meriwayatkan hadits jika tidak mendatangkan saksi. Maka para sahabat
dapat menyimpulkan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh sahabat dalam
menyusun suatu hadits yaitu :
1.Penyelidikan periwayatan hadits dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja.
2.Ketelitian dalamp eriwayatan, baik ketika menerima dan menyampaikannya.
3.Kritik terhadap matan hadits.
Ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadits pada masa tabiin yaitu Ibn
Syihab Az-Zuhri atas perintah resmi dari khalifah bin Abd. Azis. Akhirnya kaidah-kaidah itu
semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah.
B.Ruang lingkup pembahasan Hadits dan Ilmu Hadits
Hadits dapat di artikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), pernyataan (taqrir) dan
sifat, keadaan, himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW. Salah satu ruang
lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam criteria qauliyah,
fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri.
Pada periwayatan Hadits harus terdapat empat unsur yakni:
1.Rawi ialah subjek periwayatan, rawi atau yang meriwayatkan Hadits.
2.Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad
SAW.Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi atau sumber yang memberitahukan Hadits,
yakni rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan Hadits.
3.Matan adalah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya, berupa perkataan, perbuatan atau
taqrir, baik yang diidhafahkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya suatu
Hadits pada penghujung sanad.
4.Rijalul Hadits ialah tokoh-tokoh terkemuka periwayat hadits yang di akui ke absahannya
dalam bidang hadits. Dengan demikian untuk mengetahui seseorang di sebut sebagai rijalul
hadits ditentukan oleh ilmu rijalul hadits
Ruang lingkup pembahasan mengenai Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai
aspek-aspek dari materi isi kandungan tersebut. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu
Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis besarnya meliputi ilmu Hadits Riwayah dan
ilmu Hadits Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk menghindari
adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Adapun obyek ilmu Hadits Dirayah terutama ilmu musthalah yang khas, ialah meneliti
kelakuan para perawi, keadaan sanad dan keadaan marwi (matan)-nya
A.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Hadits Pada Periode Rasulullah SAW
Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalah dihafal oleh para
sahabat, sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuat catatan hadis untuk
kepentingan sendiri.
1.Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat ada 2 sikap:
2.Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan Al-Quran suruhan
menuliskanya karena untuk kkepentingan da'wah bagi mererka yang jauh dari kota Madinah.
Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat yang
membolehkan dan mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayat yang melarang
penulisan hadis. Riwayat-riwayat itu pada hakikatnya tidak bertentangan, melainkan dapat
dikompromikan seperti tergambar pada dua sikap Nabi SAW diatas.
Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat Rasulullah SAW
pada tahun 11 H.
Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in
1. Periode Sahabat
Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan
sahabat Nabi. Shabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl-
Siddiq (13 H/ 634M), kemudian disusul oleh Umar bin Al-Khatab (23 H l 644 M), Usman bin
Affan (35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat khalifah ini dikenal
dengan "AI-khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar".
Abu Bakar al-Shiddig, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatianya dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis pada masa Khalifah Abu Bakar dapat
dikatakan beium merupakan kegiatan yang menonjot dikalangan umat Islam. Demikian juga
yang dilakukan oleh sahabat lainya, dan mereka sangat hati-hati sekaFi dalam periwayatan
Hadis Nabi, apalagi ada ancaman Nabi SAW:
"Barang siapa berdusta terhadap diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal aku tidak
mengatakanya) hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di dalarn neraka".
Umar bin AI- Khatab, ta dikenal sanyat hati-hati dalam pcriwayatan hadis. Umar baru
bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat lain. Bila tidak ada saksi
maka tlmar tidak menerimanya. Disamping kewaspadaan dan kehati-hatian dalam
periwayatan hadis agar tidak terjadi kekeliruan dan kepalsuan. Dalam pada itu, Umar pernah
merencanakan penghimpunan hadis Nabi secara tertulis, seflah melakukan shalat Istikharah,
Umar mengurungkan niatnya itu, karena khawatir akan memalingkaa perhatian umat Islam
dari Al-Quran.
Hal itu bukanlah berarti Umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah dengan hati-hati
dari kekeliruan dan kebohongan. Periwayatan hadis Nabi pada masa Umar telah banyak
dilakukan umat Islam bila dibandingkari dtngan masa Abu Bakar,namun tetap dalam kehati-
hatian. Caranya tetap melalui hafalan, dan sedikit melalui catatan yang tidak resmi.
Usman bin Affan secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya, hanya saja
langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin Khatab. Pada zaman Usman kegiatan
uman Islam dalarn pcriwayatan hadis semakin luas, karena Usman tidak sekeras Umar, juga
karena wilayah Islam semakin luas, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan
pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat, dan keadaan hadis pada masa Usman
ini juga belum dibukukan secara resmi, melainkan tetap melalui hafalan dan catatan-catatan
pribadi.
Ali bin Abi Thalib, la tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalarn
periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah hersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah
periwayatn hadis yang barsangkutan mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat yang
telah diyakini kebenaranya, maka Ali tidak minta sumpah lagi. Dalam pada itu Ali bin Abi
Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis, selain dalam bentuk lisan (hafalan) juga
dalam bentuk tulisan. Situasi umat Islam pada zaman Ali tclah berbeda dengan situasi zarnan
sebelumnya, karena pertentangan politik diantara sesama umat Islam.
Adapun sahabat Nabi selain Khulafah ar-Rasyidin, juga menunjukan kehati-hatian dalam
periwayatan hadis, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan lain-lain.
Dalam pada itu diakui bahwa kegiatan periwayatan hadis pada masa sahabat sesudah periode
Khulafah ar-Rasyidin, telah lebih banyak dan luas dibandingkan zaman khalitah yang empat
itu.
Periode Tabi'in
Periwayatan hadis pada periode Tabi'in tampak semakin semarak, namun tetap dalam kehati-
hatian. Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadis agar terhindar dari kepalsuan,
bahkan tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh untuk mengecek dan menylidiki
kebenaranya,
Periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memperoleh hadits lansung dari Nabi. Mereka
menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mercka, atau dari sesama periwayatan
hadis pada zaman tabi'in ini tidak memperoleh hadits lansung dari Nabi. Mereka menerima
riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mereka, atau dari sesama tabi'in yang sezatnan
dengan mereka, atau dari tabi'it-tabi'in yang banyak ilmunya.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada zaman tabi'in telah
semakin meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar dimasyarakat menjadi lebih
panjang dibandingkan dengan periode sahabat.
Pada masa tabi'in inilah mulai usaha pembukuan hadis yang dilakukan secara resmi atas
perintah dan permintaan Khalifah Umar bin Ahdul Azis, memerintaili (99-101H/718M), dan
berlanjut terus pada periode-periode berikutnya.
B.Kodifikasi Hadits
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadis seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada
masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi
(kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin
Abd Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis
yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada
lingkup pengertian kodifikasi. Namun untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu
ke waktu akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini dianggap perlu sebagai
upaya untuk melihat perjalanan hadis secara periodik.
Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya
secara sendiri-sendiri. Di samping itu sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada
yang lain melalui kekuatan hapalan. Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulaf
rasyidin, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu
Salamah.
Periode kedua adalah zaman kuhulafa rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan
hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tastabut wa al-iklal min al-riwayah), usaha-usaha
para sahabat dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya
kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat Islam secara internal sudah mulai
labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan
fitnah.
Oleh karenanya para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
Mereka melakukan periwayatan hadis dengan dua cara: lafzdi dan ma’nawi.
Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-
amshar) yang berlangsung papa masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini wilayah
Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah
luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang
dibawa oleh para pemimpin atau menjadi guru pengajar di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis
pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di
Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin
Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi (‘ahsr al-
kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin
Abd. Aziz (717-720M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah
kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm,
Gubernur Madinah untuk menulis hadis. Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz
menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadis adalah bercampurbaurnya hadis sahih dengan
hadis palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya
para ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga
melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H)
dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd. Al-Rahman
al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi, seperti kitab
Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad.
Kitab Sahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan hadis-
hadis yang tidak terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad adalah kitab hadis yang
mengoleksi segala macam hadis tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di
samping juga tidak menerangkan derajat hadis.
Pada periode ini tersusun enam kitab hadis terkenal yang bisa disebut Kutub al-Sitah, yaitu:
1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H)
3. Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H)
4. Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H)
5. Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H)
6. Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H)
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan
(ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua
setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat
jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan
ulama periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang
berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab
Jami’.
Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu
yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij ialah kitan
hadis yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu
lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut.
Kitab athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matas hadis, tetapi sanadnya
ditulis lengkap. Kitab Mustadrik ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat-
syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduanya. Kitab Jami’ ialah
kitab yang memuat hadis-hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahl al-syarh
wa al-jam’u wa al-takhrij wa al-hadits). Periode ini merupakan kelanjutan periode
sebelumnya terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis-hadis. Ulama para
periode ini mulai mensistemasi hadis-hadis menurut kehendak penyusun, memperbaharui
kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi bagi hadis menurut kualitasnya. Mereka
cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan, al-Musnaf karya al-Auzi, dan
al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah

Anda mungkin juga menyukai