0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
63 tayangan10 halaman
Teks tersebut merangkum pengertian dan sejarah perkembangan ilmu hadits. Ilmu hadits terdiri dari ilmu hadits riwayah yang membahas periwayatan hadits, dan ilmu hadits dirayah yang membahas kaidah untuk menilai sanad dan matan hadits. Cabang-cabang ilmu hadits lainnya meliputi ilmu rijal hadits, jarh wa ta'dil, dan gharib hadits. Sejarah perkembangan ilmu hadits dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga
Teks tersebut merangkum pengertian dan sejarah perkembangan ilmu hadits. Ilmu hadits terdiri dari ilmu hadits riwayah yang membahas periwayatan hadits, dan ilmu hadits dirayah yang membahas kaidah untuk menilai sanad dan matan hadits. Cabang-cabang ilmu hadits lainnya meliputi ilmu rijal hadits, jarh wa ta'dil, dan gharib hadits. Sejarah perkembangan ilmu hadits dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga
Teks tersebut merangkum pengertian dan sejarah perkembangan ilmu hadits. Ilmu hadits terdiri dari ilmu hadits riwayah yang membahas periwayatan hadits, dan ilmu hadits dirayah yang membahas kaidah untuk menilai sanad dan matan hadits. Cabang-cabang ilmu hadits lainnya meliputi ilmu rijal hadits, jarh wa ta'dil, dan gharib hadits. Sejarah perkembangan ilmu hadits dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga
Ulumul Hadits terdiri dari dua kata yaitu ulum dan hadits. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ilm. Jadi artinya “ilmu”, sedangkan Al-Hadits menurut kalangan para ulama adalah “segala sesuatu yang disadarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat”. Jadi apabila di gabung kata ulum Al-Hadits dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu yang mempelajari atau membahas yang berkaitan dengan Hadits Nabi SAW. Sedangkan menurut As-Suyuthi beliau mengemukakan pendapatnya tentang ilmu Hadits yaitu ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan Hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwan para perawnya yang menyangkut ke dhabitan dan keadilannya dan bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya. Penulisan ilmu-ilmu Hadits secara parsial dilakukan oleh para ulama pada abad ke-3 H. Jadi secara garis besar para ulama Hadits mengelompokkan ilmu Hadits ini menjadi dua bagian yaitu : Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. 1.Ilmu Hadits Riwayah Kata riwayah artinya periwayatan atau, jadi secara bahasa Hadits Riwayah adalah ilmu Hadits yang berupa periwayatan, sedangkan para ulama berbeda pendapat mendefenisikan tentang ilmu Hadits Riwayah, namun yang paling terkenal di antara para ulama yaitu defenisi ibnu Al-Akhfani beliau berpoendapatan bahwa ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan danperbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafadz-lafadznya. Sedangkan menurut istilah Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukukan segala yang disadarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taarir maupun sifatnya begitu juga yang menukukan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menjelaskan ilmu Hadits adlaah ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) sifat jasmaniah atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci. Objek kejadian ilmu Hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabiin yang meliputi : a.Cara periwayatannya yakni cara penerimaan dan penyampaian Hadits dari sesorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain. b.Cara pemeliharaan yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan Hadits. Sedangkan tujuan atau urgensi ilmu Hadits Riwayah ini adalah pemeliharaan terhadappp Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan maupun pembukuannya. Ulama yang terkenal dan yang terpandang sebagai pelapor ilmu Hadits Riwayah ini adalah abu bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H). Jadi apabila kita lihat perkembangan sejarah Hadits, Az-Zuhri ini sebagai ulama pertama yang dapat menghimpun Hadits Nabi SAW atas perintah khalifah Umar bin Abdul Azis atau Khalifah Umar II. 2.Ilmu Hadits Dirayah Menurut As-Suyuti ilmu Hadits Riwayah inimuncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi yaitu pada masa Al-Akfani, ilmu Hadits Dirayah ini banyak juga nama sebutannya antara lain ilmu ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits dan Qawaid Al-Hadits. Secara istilah yang dimaksud dengan ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Sedangkan para ulamapun memberikan defenisi yang bervariasi tentang pengertian ilmu Hadits Dirayah diantaranya adalah ibn Al-Akfani memberikan defenisi ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat,macam-macam dan hukum-hukumnya keadaan para perawi, syarat-syarat mereka jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Sedangkan menurut M. Ajjaj Al-Kitab beliau mengatakan bahwa hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima atau ditolaknya. Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau mengatakan bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang shahih yang didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau. Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang sanad adalah : a.Persambungan sanad b.Keterpercayaan sanad c.Kejanggalan yang terdapat atau sumber dari sanad d.Keselamatan dari cacat e.Tinggi rendahnya suatu martabat seorang sanad. Sedangkan sasaran kajian terhadap masalah yang menyangkut matan ada tiga yaitu : a.Kejanggalan-kejanggalan dari redaksi. b.Terdapat catat pada makna Hadits. c.Dari kata-kata asing. Sedangkan tujuan atau faedah ilmu Hadits Dirayah ini ada empat antara lain : 1.Mengetahui pertumbuhan danperkembangan ilmu Hadits. 2.Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, periwayatan Hadits. 3.Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama. 4.Mengetahui istilah-istilah dan kriteria-kriteria Hadits sebagai pedoman untuk menetapkan hukum syara. Jika kita lihat dalam sejarahnya ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadits Dirayah secara lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi. Cabang-Cabang Ilmu Hadits Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, muncul juga cabang-cabang ilmu Hadits lainnya seperti ilmu Rijal AL-Hadits, ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ilmu Fannil Mubhamat, ilmu ‘Ilali Al-Hadits ilmu Gharib Al-Hadits, ilmu Nasikh wa Al-mAnsukh, ilmu Taqfiq al-Hadits, ilmu Tashif wa at-Tahrif, ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan ilmu Musthalah ahli Hadits. Secara singkat kami akan menjelaskan cabang-cabang ilmu Hadits sebagai berikut : 1.Ilmu Rijal Al-Hadits Secara bahasa kata Rijal Al-Hadits artinya orang-orang di sekitar Hadits, sedangkan secara istilah kata ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para Perawi Hadits dalam kapasitas mereka sebagai Perawi Hadits. Sedangkan para ulama Hadits menerangkan ilmu Rijal Al-Hadits ini adalah ilmu yang membahas para Rawi Hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun dari generasi-generasi sesudahnya. 2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dul Secara etimologi kata Al-Jarh dapat diartikan sebagai cacat atau luka dan kata Al-Ta’dil artinya menyamakan, sedangkan secara terminologi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah kecacatan pada perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan perawi. Sedangkan para ulama Hadits mendefenisikan ilmu ini adalah menyifatkan perawi dengan sifatsifat yang membersihkannya, maka nampak keadilannya dan riwayatnya di terima. 3.Ilmu Fannil Mubhamat Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam Matan atau dalam Sanad. 4.Ilmu Ilal Al-Hadits Secara bahasa kata ilal dapat diartikan penyakit atau sakit, namun secara istilah ilmu ‘ilal al- hadits adalah sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang terakibat tercatatnya hadits, namun dari sudut zhahirnya nampak selamat dari sebab itu. Sedangkan menurut ulama ahli hadits mendefenisikan ilmu ini adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat mencatatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan bersambung terhadap hadits yang menqati, memasukkan hadits ke dalam hadits lam dan lam-lam. 5.Ilmu Gharib al- Hadits Menurut Ibnu shalah, beliau menjelaskan tentang ilmu Gharib al –Hadis yaitu ilmu yang digunakan untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat paa lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena jarang digunakan orang umum. 6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansuk Secara etimologi kata nasakh mempunyai dua pengertian yaitu menghilangkan dan menyalin. Sedangkan secara terminologi kata nasakh dapat diartikan sebagai syari’ mengangkat [membatalkan] suatu hukum syar’i yang datang kemudian. Adapun yang dimaksud dengan ilmu Nasikh wa Al- mansunkh menurut para pakar ahli hadis adalah ilmu yang membahas tentang hadis – hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang kemudian dinamakan Nasikh. 7.Ilmu Talfiq al-Hadits Menurut ahli hadis ilmu talfiq dapat didepenisikan adalah ilmu yang membahas cara mengempulkan hadis- hadis yang berlawanan. 8.Ilmu Tashif wa Al-Tahrif Ilmu Tashif wa al- tahrif dapat didepenisikan sebagai berikut ilmu yang berusaha menerangkan dan menjelaskan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau sakal nya dan bentuknya. 9.Ilmu Asbab al-wurud al-Hadits Secara bahasa ilmu ini dapat di artikan sebagai sebab-sebab adanya hadis, sedangkan secara istilah dapat diartikan yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar belakang di wurutkannya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut As-suyuti pengertian ilmu ini adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum dan khusus, mutlak atau muqqaiyad,dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya. 10.Ilmu Musththalah Ahli Hadits Menurut ulama ahli hadis mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu ini sebagai ilmu yang menerangkan atau menjelaskan pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli Hadits. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Apabila kita lihat dari praktinya, ilmu Hadits ini sudah ada sejak periode awal Islam dengan periode Rasulullah. Ilmu ini mulai muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits yang disertai dengan tingginya perhatian para sahabat dalam menerima riwayat yang disampaikan Nabi kepada mereka. Pada periode Rasulullah, penelitian terhadap suatu Hadits menjadi cikal bakal ilmu Hadits. Apabila seorang sahabat ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lain, maka ia segera menemu Rasulullah atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk dikompirmasikannya setelah itu barulah ia menerima dan mengamalkan Hadits itu. Sedangkan pada masa periode sahabat, penelitian Hadits ini menyangkut sanad dan matan, misalnya khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq beliau tidak mau menerima suatu Hadits yang disampaikan oleh seseorang, kecuali dia mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Demikian pula pada masa Umar bin Al-Khattab, beliau mengamcam akan memberikan saksi terhadap siapa yang meriwayatkan hadits jika tidak mendatangkan saksi. Maka para sahabat dapat menyimpulkan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh sahabat dalam menyusun suatu hadits yaitu : 1.Penyelidikan periwayatan hadits dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja. 2.Ketelitian dalamp eriwayatan, baik ketika menerima dan menyampaikannya. 3.Kritik terhadap matan hadits. Ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadits pada masa tabiin yaitu Ibn Syihab Az-Zuhri atas perintah resmi dari khalifah bin Abd. Azis. Akhirnya kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. B.Ruang lingkup pembahasan Hadits dan Ilmu Hadits Hadits dapat di artikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), pernyataan (taqrir) dan sifat, keadaan, himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW. Salah satu ruang lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam criteria qauliyah, fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri. Pada periwayatan Hadits harus terdapat empat unsur yakni: 1.Rawi ialah subjek periwayatan, rawi atau yang meriwayatkan Hadits. 2.Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad SAW.Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi atau sumber yang memberitahukan Hadits, yakni rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan Hadits. 3.Matan adalah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya, berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang diidhafahkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya suatu Hadits pada penghujung sanad. 4.Rijalul Hadits ialah tokoh-tokoh terkemuka periwayat hadits yang di akui ke absahannya dalam bidang hadits. Dengan demikian untuk mengetahui seseorang di sebut sebagai rijalul hadits ditentukan oleh ilmu rijalul hadits Ruang lingkup pembahasan mengenai Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai aspek-aspek dari materi isi kandungan tersebut. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis besarnya meliputi ilmu Hadits Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun obyek ilmu Hadits Dirayah terutama ilmu musthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para perawi, keadaan sanad dan keadaan marwi (matan)-nya A.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Hadits Pada Periode Rasulullah SAW Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalah dihafal oleh para sahabat, sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuat catatan hadis untuk kepentingan sendiri. 1.Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat ada 2 sikap: 2.Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan Al-Quran suruhan menuliskanya karena untuk kkepentingan da'wah bagi mererka yang jauh dari kota Madinah. Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat yang membolehkan dan mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayat yang melarang penulisan hadis. Riwayat-riwayat itu pada hakikatnya tidak bertentangan, melainkan dapat dikompromikan seperti tergambar pada dua sikap Nabi SAW diatas. Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat Rasulullah SAW pada tahun 11 H. Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in 1. Periode Sahabat Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Shabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl- Siddiq (13 H/ 634M), kemudian disusul oleh Umar bin Al-Khatab (23 H l 644 M), Usman bin Affan (35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat khalifah ini dikenal dengan "AI-khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar". Abu Bakar al-Shiddig, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati- hatianya dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis pada masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan beium merupakan kegiatan yang menonjot dikalangan umat Islam. Demikian juga yang dilakukan oleh sahabat lainya, dan mereka sangat hati-hati sekaFi dalam periwayatan Hadis Nabi, apalagi ada ancaman Nabi SAW: "Barang siapa berdusta terhadap diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal aku tidak mengatakanya) hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di dalarn neraka". Umar bin AI- Khatab, ta dikenal sanyat hati-hati dalam pcriwayatan hadis. Umar baru bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat lain. Bila tidak ada saksi maka tlmar tidak menerimanya. Disamping kewaspadaan dan kehati-hatian dalam periwayatan hadis agar tidak terjadi kekeliruan dan kepalsuan. Dalam pada itu, Umar pernah merencanakan penghimpunan hadis Nabi secara tertulis, seflah melakukan shalat Istikharah, Umar mengurungkan niatnya itu, karena khawatir akan memalingkaa perhatian umat Islam dari Al-Quran. Hal itu bukanlah berarti Umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah dengan hati-hati dari kekeliruan dan kebohongan. Periwayatan hadis Nabi pada masa Umar telah banyak dilakukan umat Islam bila dibandingkari dtngan masa Abu Bakar,namun tetap dalam kehati- hatian. Caranya tetap melalui hafalan, dan sedikit melalui catatan yang tidak resmi. Usman bin Affan secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya, hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin Khatab. Pada zaman Usman kegiatan uman Islam dalarn pcriwayatan hadis semakin luas, karena Usman tidak sekeras Umar, juga karena wilayah Islam semakin luas, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat, dan keadaan hadis pada masa Usman ini juga belum dibukukan secara resmi, melainkan tetap melalui hafalan dan catatan-catatan pribadi. Ali bin Abi Thalib, la tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalarn periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah hersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayatn hadis yang barsangkutan mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat yang telah diyakini kebenaranya, maka Ali tidak minta sumpah lagi. Dalam pada itu Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis, selain dalam bentuk lisan (hafalan) juga dalam bentuk tulisan. Situasi umat Islam pada zaman Ali tclah berbeda dengan situasi zarnan sebelumnya, karena pertentangan politik diantara sesama umat Islam. Adapun sahabat Nabi selain Khulafah ar-Rasyidin, juga menunjukan kehati-hatian dalam periwayatan hadis, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan lain-lain. Dalam pada itu diakui bahwa kegiatan periwayatan hadis pada masa sahabat sesudah periode Khulafah ar-Rasyidin, telah lebih banyak dan luas dibandingkan zaman khalitah yang empat itu. Periode Tabi'in Periwayatan hadis pada periode Tabi'in tampak semakin semarak, namun tetap dalam kehati- hatian. Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadis agar terhindar dari kepalsuan, bahkan tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh untuk mengecek dan menylidiki kebenaranya, Periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memperoleh hadits lansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mercka, atau dari sesama periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memperoleh hadits lansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mereka, atau dari sesama tabi'in yang sezatnan dengan mereka, atau dari tabi'it-tabi'in yang banyak ilmunya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada zaman tabi'in telah semakin meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar dimasyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan dengan periode sahabat. Pada masa tabi'in inilah mulai usaha pembukuan hadis yang dilakukan secara resmi atas perintah dan permintaan Khalifah Umar bin Ahdul Azis, memerintaili (99-101H/718M), dan berlanjut terus pada periode-periode berikutnya. B.Kodifikasi Hadits Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadis seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi. Namun untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke waktu akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara periodik. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping itu sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hapalan. Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulaf rasyidin, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah. Periode kedua adalah zaman kuhulafa rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tastabut wa al-iklal min al-riwayah), usaha-usaha para sahabat dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat Islam secara internal sudah mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan periwayatan hadis dengan dua cara: lafzdi dan ma’nawi. Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al- amshar) yang berlangsung papa masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para pemimpin atau menjadi guru pengajar di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin Munabih di Yaman. Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi (‘ahsr al- kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis. Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadis adalah bercampurbaurnya hadis sahih dengan hadis palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd. Al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi, seperti kitab Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad. Kitab Sahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan hadis- hadis yang tidak terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad adalah kitab hadis yang mengoleksi segala macam hadis tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di samping juga tidak menerangkan derajat hadis. Pada periode ini tersusun enam kitab hadis terkenal yang bisa disebut Kutub al-Sitah, yaitu: 1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H) 2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H) 3. Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H) 4. Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H) 5. Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H) 6. Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H) Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan (ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M. Gerakan ulama hadis pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’. Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij ialah kitan hadis yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matas hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrik ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat- syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduanya. Kitab Jami’ ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahl al-syarh wa al-jam’u wa al-takhrij wa al-hadits). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis-hadis. Ulama para periode ini mulai mensistemasi hadis-hadis menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi bagi hadis menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan, al-Musnaf karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah