Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Kata tafsir mengikuti polataf’il berasal dari kata al-fasr (f, s, r ) yang berarti
“menjelaskan, menyiapkan, dan menampakkan atau menerangkan makna abstrak.”
Kata al-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang yang
tertutup. Dalam lisan al-arab dinyatakan bahwa kata al-fasr berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup.

B. RumusanMasalah
1. Apakahpengertianmetodetafsir
2. Apakahmacam – macammetodetafsirdaribeberapaseginya
3. Apakahmetodetafsirkontempoler
4. Apakahhermeunetika al – quran
C. Tujuan
1. Agar dapatmengetahuipengertianmetodetafsir
2. Agar dapatmengetahuimetodetafsirdaribeberapaseginya
3. Agar dapatmengetahuitafsirkontenpoler
4. Agar dapatmengetahuihermeuunetika
BAB II
PEMBAHASAN
A. GAYA DAN SISTEMATIKA TAFSIR
METODE YANG DIGUNAKAN DALAM ILMU TAFSIR Dalam hasil karya para
mufasir, mereka sering berbeda dalam memberikan istilah untuk tafsir masing-
masing. Istilah-istilah tersebut, yaitu al-itijüł
adl-manhaj, al-uslůb, dan ath-tharigah. Keempat istilah itu tidak dipakai oleh
mufasir pada awal masa Islam. Begitu pula pada masa sekarang, belum ada
kesepakatan mengenai istilah-istilah tersebut sehingga digunakan secara
tumpang tindih, padahal yang dibahas adalah istilah yang sama. Oleh sebab
tu, sebelum lebih lanjut membahas metode yang digunakan dalam ilmu
tabsir, dijelaskan terlebih dahulu keempat istilah tersebut untuk memudahkan
pemahaman dan memberikan arahan.
1. Al-Ittijâh
a) Pengertian
Menurut bahasa, al-ittijah berasal dari kata ittajaha-yattajihu-
ittijühan yang artinya tujuan atau arah. Sementara itu menurut istilah, al-
itijáh ialah tujuan pandangan mufasir yang dijadikan alat bantu dalam
membedah tafśirnya.
b) Ciri-Ciri
Hal yang ditekankan adalah mazhab akidah mufasir, seperti tafsir
salaf, tafir tazilah, atau tafsir Al-Asyari. Di samping itu, tafsir juga dililhat
dari disiplian yang mewarnainya. Contohnya adalah sebagai berikut.

1) Corak bhuá, seperti Maiani Al-Qaran karya Al Fara dan Majiz Al Qe


karya Abu Ubaidah
2) Corak nahwi, seperti l'vab Al-Qur'an karya An-Nuhasi, Al-Buhr Al
Mubhath
karya Ibnu Hayyan, dan Dar Al-Mashin karya As-Samin Al-Halabi
3) Corak balighah, seperti Al Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari dan At- Tahin
wa An-Tanwir karya Ath-Thahir bin Asyur.

2. Al-Manhaj
a) Pengertian
Menurut bahasa, al-manhaj berasal dari kata nahaja-yanhaje
manhajan yang artinya jalan yang dilalui untuk sampai ke tujuan yang hendak
dicapai Sementara itu menurut istilah, al-manhaj ialah acuan yang menjadi
pegangan nenafsirkan sehingga dengan acuan tersebut mufasir dapat
mencapai tujuannya.
b) Ciri-Ciri
Mufasir menekankan pada salah satu metode yang dijadikan sebagai
pisau bedah tafsirnya. Misalnya, mufasir membedah dengan pisau bedah
semantik, sastra, atau semiotika. Dengan demikian, pembahasan tentang al-
manhaj akan menemukan kesamaan dengan al-ittijâh. Akan tetapi, penekanan
dalam al manhaj adalah perangkat-perangkat yang digunakan untuk menjadi
petunju jalannya tafsir. Sementara itu, al-ittijâh lebih dipengaruhi oleh disiplin
ilmu yang digunakan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. J
3. Al-Uslub
a) Pengertian
Menurut bahasa, al-uslúb berasal dari kata salaba-yaslubu-salaban
yang artinya jalan, metode, teknik, bentuk, atau gaya. Selain itu, al-uslúb juga
berarti gaya penulisan atau ekspresi. Sementara itu menurut istilah, al uslab
ialah metode untuk menemukan arti yang terkandung tanpa keluar dari rel
yang telah ditentukan
b) Ciri-Ciri
Tafsir akan di ketahui metodenya dengan melihat bagaimana ayat-
ayat Alquran ditafsirkan. Apabila ditafsirkan dari segi kosakata saja, disebut
tafsir at-tahlili dengan mengambil penjelasan globalnya saja, disebut tafsir
pabila ditafsirkan dengan mengomparatifkan dengan ayat atau hadis
yang lain, disebut tafsir al-mugåran; dan apabila ditafsiırkan dengan
menekankan pada topik yang terkandung, disebut tafsir al-maudhi'i
4. Ath-Thariqah
a) Pengertian
Menurut bahasa, ath-thariqah berasal dari kata tharaąa-yathruqu-
tharigatun yang artinya jalan yang harus dilalui oleh mufasir untuk
memahami dan menafsirkan teks. Sementara itu menurut istilah, ath-
tharigah ialah pisau dan bedah yang digunakan mufasir untuk memahami
lalu menafsirkan ayat-ayat Alquran
b) Ciri-Ciri
Berdasarkan pisau bedah (ath-thariqah) yang digunakan, tafsir
dikelompokkan ke dalam dua kategori berikut.
1) Tafsir bi al-ma'tsûr. Tafsir ini menggunakan riwayat sebagai alat bantu.
2) Taafsir bi ar-ra'yi. Tafsir ini menggunakan ijtihad sebagai alat bantu.
5. Analogi Mengenai Keempat Metode
Agar lebih mudah memahami tentang empat metode yang telah
dijabarkan,
nya keempat metode tersebut dibuat analogi sebagai berikut:
Seseorang yang hendak menuju suatu kota sedang menimbang. jalur yang
akan ditempuh, entah melalui jalan darat, laut, atau udara. deskripsi singkat
tersebut dapat disimpulkan bahwa kota yang hendak di tuju merupakan tujuan
(al-ittijah), sementara jalur yang hendak ditempuł al-manhaj
Selanjutnya, apabila dalam perjalanan ia melihat pemandangan
keseluruhan, detail, atau membandingkannya dengan pemandangan l
ia dapat menyimpulkan apa yang dilihat; hal itu merupakan al-uslab. Sem itu,
apabila orang tersebut memilih jalan darat lalu ketika melewati sel ia
beristirahat sambil melihat-lihat pemandangan, hal itu dianalogikan dengan
ath-thariqah
6. Penerapan Istilah dalam Tafsir
Tujuan atau a-itijäh berkaitan dengan akidah, yang selanjutnya disebut
al-itiä al-'aqadi. Dalam penetapan akidah, setiap mufasir memiliki cara
tersendiri. Jika mufasir menggunakan akidah Ahlussunnah wa Al-Jama'ah,
manhaąj-nya adalah manhaj Ahlussunnah wa Al-Jama'ah. Begitu pula jika
mufasir menggunakan akidah Syiah, Mu'tazilah, atau tasawuf.
Selanjutnya, setiap mufasir menggunakan gaya yang berbeda-beda.
Dengan demikian, meskipun al-manhaj yang digunakan sama, gaya
menafsirkannya berbeda. Oleh sebab itu, sebagian mufasir ada yang memulai
tafsirnya dengan mengemukakan suatu ayat lalu menjelaskan kosakata, diikuti
dengan makna global, kemudian meng-istinbâth-kannya Berbeda dengan yang
lain, ada yang mengemukakan suatu ayat lalu membedakan antara kosakata dan
makna global. Selain itu, ada pula yang gumpulkan sejumlah ayat yang
memiliki ruang lingkup pembahasan yang sama lalu menafsirkannya tanpa
mengikuti tata urutan ayat dalam mushat.
Dengan kata lain, yang menjadi perhatian pokoknya adalah topik, bukan
tata urutan ayat Di sisi lain, ada gaya penafsiran yang hanya menyajikan
pendapat para mufasir, mengomparasikannya, dan memilih pendapat yang
paling shahih tersebut merupakan ath-thariqah atau al-uslüb. Pada
perkembangan
Semua gaya tnya, antara selanjutnya dikuntkan dengan pendapat
Muhammad Ahdulah jabr bahwa ra ath-thariqah mufasir dan al-uslúb tafsir
diberlakukan sama. tkan dengan pendapat Muhammad Abdullah Jabr bahwa
ialah jalan (ath-thariqah) dalam mengungkapkan kata-kata, menulis, atau
ekspresi.
B. GAYA DAN SISTEMATIKA TAFSIR (METODE TAFSIR)
sebelumnya telah dijelaskan tentang al-ttijüh, al-manhá, ath-tharigah, dan al
uslub yang seringkali digunakan secara tumpang tindih. Misalnya, Fahdi
al-uslib Abdurrahman Ar-Rumi menyejajarkan al-uslib dengan ath-tharigeh untuk
mengacu kepada metode tafsir:, Nasarudin Baidan dl-manhaj untuk mengacu
kepada metode tafsir5 dan Muhammad An- syie menggunakan istilah al-manháj
untuk mengacu kepada ath-thariah. benjelasan di atas mengenai al-uslůb, ath-
thariqah, dan al-manhâj, in menyejajarkan ath-tharigah Rerdasarkan p ulkan bahwa
ketiga kata tersebut mengandung pengertian metode. dapat disimp
Selanjutnya, istilah-istilah tersebut mengacu kepada metode tafsir. Metode
alah cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud, atau
cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan
guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan. Metode berasal dari bahasa Yunani,
yaitu methodos yang berarti cara atau jalan. Selanjutnya, diserap ke
dalam bahasa Inggris menjadi method. Sementara itu dalam bahasa Arab,
metode diterjemahkan dengan thariqah atau manhaj
Metode dapat digunakan untuk herbagai objek sehingga metode r salah satu
sarana untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. itu, studi Alquran tidak
lepas dari metode benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-a
diturunkan kepada Nabi Muhammad. Oleh sebab untuk mencapai pemahama yat
Alguran
Metode tafsir berisikan seperangkat kaidah yang harus dikuti ketik menafsirkan
ayat-ayat Alquran. Tanpa menggunakan metode tertentu, ses bisa saja keliru
menafsirkan.
Sementara itu, dapat dikatakan bahwa metode merupakan penjabara
pendekatan. Pendekatan memberikan gambaran konsep dasar yang mamu
yang mampu mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode tafsir.
Sehub ungan alam ilmu dengan penggunannya, ada dua istilah yang sering
digunakan dalam limu tafsir.
1. Metode tasir, yaitu cara yang digunakan untuk menafsirkan Alquran.
Metodologi tafsir, yaitu disiplin ilmu yang membahas tentang cara
nafsirkan Alquran.
2. Dengan demikian, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Sementara itu, metodologi
tafsir merupakan pembahasan ilmiah tentang metode-metode tafsir Alquran"
dan berkedudukan sebagai jalan yang harus ditempuh jika ingin sampai kepada
tujuan. Selanjutnya, tujuan disebut corak tafsir sehingga bagaimana pun bentuk
tafsir akan mencapai suatu corak tertentu.
Sementara itu, berbicara mengenai metode tafsir, ada empat macam, yaitu
tafsir al-ijmâli (metode global), tafsir at-tahlili (metode analitis), tafsir al-mugâram
(metode komparatif), dan tafsir al-maudhů'i (metode tematik). Metode tatsir
yang mula-mula muncul adalah tafsir al-ijmáli yang kemudian dikuti oleh tatsir
a-tahli dengan mengambil bentuk tafsir bi alma'tsar. Selanjutnya, tafsir at-tahlili
Berkembang dan mengambil bentuk tafsit biarta'y. Tatsit barra'yit kemudian
kembangan yang pesat sehinga mengkhususkan kajtiannya dalam
tertentu,sepertifiqh,tasawuf, nahwu, dan balaghah. Bentuk ini kemudian
mengilhami munculnya tafsir al-madhi'i yang dikuti oleh tafsir al-muqaran
1. Tafsir al-ijmali (metode global)
a) Pengertian
Tafsir al-ijmali ialah menafsirkan Alquran dengan cara yang global dan
singkat. dalam metode ini, bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan
enak sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat dalam mushaf, serta
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-qur’an mufasir
menjelaskan makna umum yang terkandung dalam ayat tanpa menjelaskan
perangkat angkat pendukungnya secara detail, seperti irdb atau balaghah.
b) Ciri-Ciri
Tafsir al-ijmáli memiliki cara kerja tersendiri yang berbeda dengan
metode-metode tafsir lainnya. Berikut ini cara kerja tafsir al-ijmáal.
1) Mengikuti urutan ayat sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf.
2) Lebih menyerupai terjemah maknawi sehingga mufasir tidak berpegang
pada makna kosakata.
3) Mufasir lebih menekankan pada penjelasan makna umum.
4) Apabila dibutuhkan, mufasir mengemukakan alat bantu, seperti asbib
an-nuzůl.
5) Peenatsirannya tidak begitu jauh dengan siyâq Alquran. Begitu pula
dengan
bentuk kosakata dan ujaran yang digunakan.
c) Keumuman Penggunaan
Metode ini memilki ikatan yang erat antara kosakata teks dan kosakata
tafsir. Selain itu, metode ini layak untuk digunakan dalam ceramah,
khuthabah mukadimnh, atau samburan pidato Hal itu karena bahasa yang
digunakan cenderung singkat dan tidak membosankan, bahkan tidak tidak
menyadari sedang membaca tafsir. Oleh sebab itu, metode ini lebih
menyentuh pembaca..
d) Contoh Karya yang Menggunakan Tafsir Al-Ijmali
Hal yang perlu diperhatikan dari metode ini adalah uraian yang rin tidak
membutuhkan banyak halaman. Beberapa karya tafsir yang menggunakan
metode global, antara lain Tafsir Al Jalalam karya dua mann Jalaluddigun
kan Tanwir Al Migbás yang disandarkan kepada Abdullah bin Abbas (w. 68
H dan dikumpulkan oleh Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Yalo
Fairuzabadi (w. 817 H), Tafsir Kalam Al-Manmıan karya Abdurrahman bin s
At- Tafsir fi Ahádts At- Tafstr karya Muhammad Al-Makki An-Nashin Al-
Maná Al-Imali karya Abu Bakr Al-Jazairi.
2. Tafsir At-Tahlili (Metode Analitis)
a) Pengertian
Menurut bahasa, a-tahli berasal dari kata hallala-yuhalihu-tahlilan yang
artinya melepas, mengurai, keluar, atau menganalisis. Sementara itu
menurut istilah, tafsir at-tahlilt ialah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan
memaparkan segala aspek yang bersinggungan dengan ayat serta
menerangkan makna yang tercaku sesuai dengan keahlian mufasir.12
Metode ini menerangkan arti ayat-ayat Alquran dari berbagai segi sesuai
urutan surah dalam mushaf dengan mengedepankan kandungan kosakata.
hubungan antarayat, hubungan antarsurah, asbâb an-nuzúl, hadis-hadis yang
berhubungan, pendapat para ulama salaf, serta pendapatnya sendiri.
b) Ciri-Ciri
Bentuk tafsir metode ini dapat berbentuk tafsir bial-ma'tsûr dan tafsir bi
ar-ra’yi Hal itu karena mufasir dapat menafsirkan secara
menyeluruh.Mufasir juga dapat menafsirkan ayat demi avat dengan
mengikuth tafstr Nabi . sahabat.
atabi tabr' in. Selain itu, mufasir dapat menafsirkan sesuai dengan
yang menjadi keahliannya. Berikut ini ciri-ciri yang melekat pada analitis.
1) Ayat-ayat ditafsirkan sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf
2) Penjelasannya sedikit demi sedikit karena segala segi ditelti, seperti
kosa-
ata, munasabah (hubungan), tata bahasa, atau asháb an-nuzul
3) Menggunakan alat bantu yang efektif berupa disiplin ilmu yang menjadi
keahlian mufasir.
4) Menekankan pengertian filologi sebagai acuan awal.
5) Ayat atau hadis lain yang memiliki kosakata yang sama digunakan
sebagai
batu loncatan.
6) Mengamati konteks nash untuk menemukan pemahaman ayat.

c) Karya-Karya yang Menggunakan Tafsir At-Tahlili


1) Berbentuk Tafsir bi Al-Ma'tsur
Tafsr at-tahlai yang berbentuk tafsir bi al-ma tsir lazim
digunakan ulama klasik. Mereka mengutip tafsir sahabat, tabi'in, dan
tabi' tabi'in. Salah satu tafsir termasyhur yang menggunakan metode ini,
yaitu Tafsir Ath-Thabari karya Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H).
Tafsir-tafsir lainnya yang menggunakan metode serupa, antara lain
Ma'alim At-Tanzil karya Al-Baghawi (w. 516 H). Tafsir Al-Qur'an
Al-'Azhim karya Ibnu Katsir (w. 774 H), dan Ad Durr Al Mantsar ft At-
Tafsir bi Al-Ma'tsúr karya As-Suyuthi (w. 911 H).
2) Berbentuk Tafsir bi Ar-Ra' yi
Tafsir yang menggunakan metode attahlili dengan menekankan
pada tafsir bi Ar-Ra' yi sebenarnya sangat banyak, antara lain Tafst Al-
Kházm karya Al-l atsir yang menggunakan mea lainTafsir Al-Khâzin
karya Al-Khazin (w. 741) Anwar At Tanzil wa Asrar At Ta'wdl karya Al
Baidhawi
(w. 691 H), Al-Qur'àn karya Asy-Syairazi (w. 606 H), al- Kasysyâf
karya Az-Zamakhsyari (w. 538 H), Arais Al-Bayán Fi haqiqilqur’an
karya asy syairazi (w 606 h)
3) Tafsir Al Mugaran (Metode Komparati)
a. Pengertian
Menurut bahasa, al-muqáran berasal dari kata qarana-
yuqarinue-m yang berarti menggandeng, menyatukan, atau
membandingkan. Selain itu menurut istilah, tafsir al-muqáran ialah
tafsir yang membandingkan ayat dan ayat atau antara ayat dan hadis,
baik dari segi isi maupun re
Definisi lainnya ialah membandingkan antara pendapat ulama
tafsir menonjolkan segi perbedaan. Dengan kata lain, mufasir
meneliti ayat –aya Al quran lalu membandingkannya dengan
pendapat mufasir lainnya selain itu ditemukan pemahaman baru.
Rinumuadranatan sementara ayat-ayat hingga
b. Ciri-Ciri
Ciri utama metode ini adalah membandingkan. Adapun yang
dibandingkan adalah ayat dengan ayat lainnya, ayat dengan hadis,
atau pendapat mufastr dengan pendapat mufasir lainnya. Berikut ini
ciri-ciri metode komparatif.
1) Cakupan pembahasannya sangat luas karena membandingkan
tiga hal. yaitu ayat, hadis, dan pendapat mufasir lainnya
2) Ruang lingkup dari masing-masing aspeknya berbeda-beda.
3) Ada yang menghubungkan pembahasan dengan konotasi kata
atau kalimat. Misalnya, Muhammad adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap
orang-orang kafir. (QS. Al-Fath (48): 29) Ketika membahas kata
al-kuffar, tidak dapat disamakan dengan kata al-kuffår yang
terdapat dalam ayat berikut. mseperti hujan yang tanam-
tanamanmya mengugumkm para petani. (QS. Al Hadid) Seperti
hujan yang tanam-ta Hadid (57): 20) dalam dua ayat tersebut
sama, tetapi konotasi maknanya sangat jauh berbeda.
4) Mengompratifkan antara ayat-ayat yang beredaksi sama, hadis
yang me- kemiripan, serta pendapat mufasir mengenai ayat
tertentu
c. Karya-Karya yang Menggunakan Tafsir Al-Muqâran
Mufasir yang pertama kali menggunakan metode ini adalah Ibnu
Jarir Ath-Thabari dalam Jami Al Bayân ft Ta'wil Al-Qur an. Selain
itu, mufasir lainnya menggunakan metode serupa, antara lain Ibnu
Katsir dalam Tafsir Alán Al-'Azhim, Asy-Syanqithi dalam Adhwa'
Al-Bayán fi idhäh Al-Qur anbi Al-Qur'ân, dan Abu Abdirrahman
Ibnu Uqail Azh-Zhahiri dalam Tafsin At-Tafasîr
4) Tafsir Al-Maudhů'i (Metode Tematik)
a) Pengertian
Menurut bahasa, al-maudhi't berasal dari kata al-wadh'u yang
dibentuk dari wadha a-yadhi'u-wâdhi'un-maudhu'un yang artinya
menjadikan, meletakkan, atau menetapkan sesuatu pada tempatnya.4
Sementara itu menurut istilah, tafsir al-maudhů't ialah tafsir dengan
topik yang memiliki hu ayat yang satu dan ayat yang lain mengenai
tauhid, kehidupan sosial, atau ilmu pengetahuan. Dengan kata lain,
tafsir al-maudhi't ialah metode mengumpul- ayat-ayat Alquran yang
membahas satu tema tersendiri, menafsirkannya secara global
dengan kaidah-kaidah tertentu, dan menemukan rahasia yang
tersembunyi di dalam Alquran.to Selanjutnya, dalam menggunal al-
maudhů't, ditempuh langkah-langkah berikut.
1) Mengumpulkan ayat-ayat yang membahas topik yang sama
2) Mengkaji asbab an-nuzúl dan kosakata secara tuntas dan
terperinci.
3) Mencari dalil-dalil pendukung, baik dari Alquran, hadis, maupun
itihad

b) Ciri-Ciri
Tema menjadi hal yang paling menonjol dalam tafsir ini.
Berikut ini chn-cin yang terdapat dalam tafsir al-maudhu'i
1) Mufasir tidak memandang urutan ayat dalam mushaf
2) Ayat dikumpulkan sesuai tema yang akan dibahas.
3) Pemilihan tema tertentu menjadi sangat menonjol
4) Petunjuk yang termuat dalam ayat dijadikan sumber kajian.
5) Membahas seluruh permasalahan yang tercakup dalam tema.
c) Jenis Tafsir Al-Maudhû'î
Tafsir al-maudhů'i dibedakan menjadi dua, yaitu tafsir al-
maudhů'i umum dan tafsir al-maudhu'i khusus. Pembahasan tafsir al-
maudhů't umum mencakup seluruh Alquran, yaitu menafsirkan
semua ayat yang bertema sama. Sementara itu, pembahasan tafsir al-
maudhů'i khusus mencakup sebagian ayat Alquran yaitu menafsirkan
sebagian ayat yang bertema sama
Selanjutnya, berdasarkan cara kerja yang dilakukan mufasir,
tafsir al-mnudhi dikelompokkan menjadi tiga
1) Tema yang dibahas terdapat di sela-sela Alquran, seperti
membahas katahaqq atau sabar Langkah pertama yang
dilakukan mufasir adalah mengeumpulkan selorab serta
derivasinya. Selanjutnya, la meneliti mumasabah serta setiap
ayat agar ditemukan pemahaman yang lebih utuh Contoh tatsir
model ini adalah Kalimah al-haqqi fi al-qur’anil karim karya
muhammad bin abdurrahman ar rawi dan ash shabr fi al-qur’an
karya Yusuf Qardhawi.
2) Pengumpulan ayat Alquran yang membicarakan permasalahan
tertentu mengumpulkan seluruh ayat Alquran dengan
memfokuskan perhatian pada permasalahan yang dikaji.
Munasabah serta dalalah tidak begitu hatikan. Contoh tafsir
model ini adalah An-Nasth wa Al-Mansakh Laa Abu Ja far An-
Nuhasi Ahmad bin Muhammad bin Ismail bin Yunus Al-Muradi,
I'rab Al-Qur'ân karya Muhyiddin bin Ahmad Mushthafa, Ar-
Tarbiyah fi Kitab Allâh karya Mahmud Abdul Wahhab, dan Al-
Qur an wa Ath-Thibb karya Muhammad Washafi.
3) Mufasir memilih topik tertentu dalam suatu surah.
Setelah menentukan topik, mufasir meneliti surah yang
dipilihnya. Hal itu karena setiap surah memiliki karakteristik
serta tujuan tertentu. Contoh tafsir model ini adalah Tashwir Al-
Ulahiyah kamá Td'arradhahu Surah Al An'am karya Ibrahim Al-
Kailani, Qadhaya Al'Aqidah fi Dhau Surah Qaf karya Kamal
Muhammad Isa, dan Qadhaya Al-Mar'ah fi Surah An-Nisa karya
Muhammad Yusuf.
d) Bentuk Tafsir Al-Maudhu'i
Tafstr al-maudhů't sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi.
Akan tetapi, penamannya baru muncul sekitar abad XIV Hijriah.
Tafsir al-maudha't di- bedakan menjadi empat kelompok
1. tafsir Alquran dengan Alquran, yaitu mufasir mengumpulkan
ayat-ayat Al- quran yang membahas tentang suatu tema lalu
menafsirkannya dengan serta manfaatnya nyata karena tidak
banyak dipengaruhi oleh mufasir dan menunjukkan keutuhan
Alquran
2. Tafsir ayat-ayat hukum, yaitu mufasir mengumpulkan a
berhubungan dengan hukum-hukum figh lalu membahasnya
dalam tanpa membahas ayat-ayat lain secara mendetail. Contoh
model ini adalah Tafsir Al-Qurthubi. ayat-ayat yan,g secara men
3. Tafsir ayat-ayat yang memilki keserupaan, yaitu mufasir
mengumpul kosakata yang terdapat dalam berbagai ayat yang
membicarakan tema tertentu. Selanjutnya, ayat-ayat tersebut
diteliti dan dibandin dengan ayat lain yang memiliki kosakata
yang sama untuk ditemulk makna kosakata yang sesuai dengan
maksud ayat. Contoh tafsir model adalah Tafsir Al-Asybah wa
An-Nazhair karya Muqatil bin Sulaiman.
4. Studi interpretatif, yaitu mufasir mengumpulkan ayat-ayat
Alquran yang memiliki tema sama lalu menelitinya. Kesamaan
tema tersebut bisa tentang nasakh-mansůkh, sumpah, atau
metafora. Contoh tafsir model inadalah An-Násith wa Al Mansikh
karya Abu Ubaidah Al-Qasim bin Salam. Tawdl Al-Musykal Al-
Qur'an karya Ibnu Qutaibah, Amtsal Al-Queran karya Al-
Mawardi, dan At- Tibyán fi Aqsám Al-Qur'án karya Ibnu Al-
Qayyim
e) Karya-Karya yang Menggunakan Tafsir Al-Maudhu'i Berikut ini
beberapa contoh karya tafsir al-maudhů'i
1) Tafsir Alquran dengan Alquran, seperti Surah Al-An'âm (6) ayat
59
ditafsirkan dengan Surah Luqmân (31) ayat 34 (hal ini terdapat
dalam Shahih Al-Bukhâri, 6/56, nomor 4627)18 dan Surah Al-
An'âm (6) ayat 82 18 Teksnya adalah sebagai berikut.
Dari Salim bin Abdillah dari ayahnya bahwasanya Rasulullahs
bersabda, "Kunci-k yang ghaib (QS. Al-An'am (6): 59) ada lima
sebagamana firman Allah: Sesiungguhnya hanya di sisi Allah
ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menununkan hujan, dan
mengetah ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang
dapat mengetahui (dengan pasti)a yamg akan dikerjakannya
besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahi di bumi
mana ia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha
Mengenal."

C. MENIMBANG, HERMENEUTIK SEBAGAI ALAT UNTUK MENAFSIRKAN


AL-QUR'AN
Sekilas tentang Hermeneutik
Untuk menjelaskan hakikat hermeneutik dalam makalah yang sangat
pendek ini, tentu saja sangat jauh dari harapan untuk memperkenalkan
wajahnya yang sesungguhnya. Ini mengingat bahwa hermeuneutik, dalam
artian sebuah pendekatan dalam ilmu filsafat, merupakan sebuah disiplin ilmu
yang sudah mengakar jauh ke dalam wacana kefilsafatan bahasa dan berkaitan
erat dengan piranti lain, seperti semiologi dan strukturalisme. Oleh karena
itu, tanpa bermaksud mereduksi hakikatnya yang utuh, makalah ini hanya
mengangkat semangat hermeneutik, terutama sebagai pisau bedah pesan-pesan
Al-Qur'arn
Secara etimologis kata "hermeneutik neue" yang dalam bahasa Inggris
menjadi hermeneutics (to interpret) yang berarti menginterpretasikan
menerjemahkan." Dengan merujuk definisi yang dikemukakan, di antaranya,
oleh Hosein Nasr,) Zygmunt Bauman,3) disimpulkan bahwa hermeneutik adalah
disiplin menjelaskan, mengungkapkan, memahami, da " berasal dari kata Yunani
, menjelaskan, menafsirkan, atau filsafat yang berupaya
menelusuri pesan dan dan pengertian dasar yang mengejawantah dari satu teks,
wacana, dan real sehingga sampai pada isi, maksud, dan makna terdalam (ultimate
serta arti yang sebenarnya g) sejauh pengertian ini, hermeneutik juga dikenal dalam
tradisi Islam disebut dengan istilah ilmu tafsir, yaitu suatu disiplin ilmu yang
memiliki
yang sangat kuat dan masih berkembang sampai sekarang. Han hermeneutik yang
berkembang dan dipahami dalam tradisi filsafat kelihatanya secara metodologis
melangkah lebih jauh melampaui batas tradi tafsir yang selama ini dikembangkan
dalam studi Islam. Peran herm pertama kali banyak digunakan dalam ilmu tafsir
kitab suci. Sebab karya yang mendapatkan inspirasi Illahi, seperti Al-Qur'an, Taur
sebagainya sangat memerlukan interpretasi atau hermeneutik
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Kita berp
membuat interpretasi, berbicara, menulis dan sebagainya melal Dengan kata lain,
hidup ini tidak akan terlepas dari aktivitas bahasa. A Derrida, manusia terkungkung
oleh logosentrisme. Setiap kita berbahas memiliki dua dimensi, yaitu internal
(batin/esoteris) dan eksternal eksoteris). Dimensi internal ialah situasi psikologis
dan intensi atau kehend pikir, sedangkan dimensi eksternal ialah tindakan
menafsirka
mengekspresikan kehendak batin dalam bentuk wujud lahir, yaitu kata yang
ditujukan kepada orang lain. Karena berbahasa selalu melibatkan penafsiran
kehendak batin, tidaklah semua yang kita ucapkan senantiasa berhasil
mempresentasikan seluruh isi hati, pikiran, dan benak kita. Oleh karena itu.
kebenaran sebuah bahasa bukan semata-mata terletak pada susun gramatikanya
saja, tetapi juga pada tata pikir, intensi, dan implikasi dari sebuah ucapan.
Hermeneutik adalah cara baru untuk "bergaul" dengan bahasa. Teks merupakan
bagian dari bahasa. Teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana
lisan dalam bentuk tulisan. Salah satu persoalan yang hendak dijembatani oleh
hermeneutik adalah terjadinya jarak antara
penulis dan pembaca, yang antara keduanya dihubungkan oleh teks. Ketika sebuah
teks hadir di hadapan kita, sesungguhnya kita tidak dapat memahani teks secara
sempurna tanpa menelusuri kondisi sosio-kultural dan psikolog penulisnya. Maka,
hal itu meniscayakan dialog intens antara penulis (author) teks (text), dan pembaca
(reader). Inilah sesungguhnya yang merupakan semangat hermeneutik.
Hermeneutik menegaskan bahwa manusia otenti dilihat dalam konteks ruang dan
waktu manusia sendiri mengalami atau memahami. secara lebih tegas, Trigg
menjelaskan : The Paradigm for hermeneutik is ation of traditional text, where the
problem must always be how e to understand in our own context something which
was written in
he interpretation cally ditferent situation 7) Mtenafsirkan Al-Qur'an dengan
Paradigma menafsirkan Al-Qur'an dengan Paradigma Hermeneutik
tidak berjumpa langsung dengan Tuhan atau Malaikat Jibril sebagaimana yang
dialami Nabi Muhammad SAW., melainkan hanya dalam untuk teks. Teks Al-
Qur'an memiliki dua dimensi, yaitu sakral dan profan Sakral dalam artian bahwa
teks Al-Qur'an tidak diperkenankan diubah-ubal sedangkan profan artinya
meskipun Al-Qur'an adalah wahyu, bahasa Arab dijadikan wahananya sampai
tingkat tertentu masuk kategori budaya yang di dalamnya terkandung sifat relatif
dan sistem tanda bahasa yang ada dan bersifat arbitrer (kesepakatan sosial).
Penekanan yang berlebihan pada
pendekatan sakral menyebabkan dimensi historitas Al-Qur'an akan tetutup sehingga
kurang dialogis dengan alam pikiran manusia yang ingin berdialog
dan menafsirkannya Tanpa terjemahan, kita sesungguhnya tamu asing di hadapan
teks al-Qur'an. Akan tetapi, terjemahan pun tampaknya tidak cukup tanpa pemandu-
pemandu teks. Oleh karena itu, wilayah teks merupakan bagian yang ter
dalam upaya menafsirkan Al-Qur'an dan pemandu yang dapat dipakai di
antaranya adalah hermeneutik
Hermeneutik yang ditawarkan dalam kajian ini berangkat dari tradisi
filsafat bahasa kemudian melangkah pada analisis psiko-historis-sosiologis
Jadi, jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks Al-Qur'an, persoalan
dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur'an hadir di tengah
masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam
rangka menafsirkan realitas atau bagaimana Al-Qur'an mampu berbicara dengan
erasi yang akan datang setelah teks itu lahir, yang mempunyai corak hidup
dan kultur yang berbeda. Dalam hal ini, dilihat dari sudut historis dan filsafat
linguistik, begitu kalam Tuhan membumi dan sekarang malah menjelma ke
dalam teks, Al-Qur'an tidak dapat mengelak untuk diperlakukan sebagai objek
kajian hermeneutik Dengan semangat hermeneutik yang sudah dijelaskan, kita
tidak mungkin dapat memahami teks Al-Qur'an tanpa mempertimbangkan kondisi-
kondisi
ntu Pengarangnya (Tuhan) ketika memfirmankan Al-Qur'an. Dengan kata
eorang tidak memperoleh pemahaman yang benar jika pemahaman
lain, seseorang tidak memperoleh yang benar jika pemahaman terhadap teks Al-
Qur'an tidak disertai pemahaman objektif atas pengarangnyan atau situasi sosial
teks dimunculkan. Dari sudut filsafat hermeneutik, terlihat sumbangan Kant-yang
kemudian digaris bawahi oleh Schleiermarcher-yan secara serius mempersoalkan
dan membangun teori The possibility of Human Understanding. Dalam wacana
tafsir Al-Qur'an, relativitas itu semakin tampak apabila kita memperhatikan
komunitas interpretatif ala Arkoun sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini
WGWord of God QDQur'anic Discourse OCC Official Closed Corpus nterpretated
Corpus WG QD IC OCC HS History of Salvations Interpretating Community
terrestrial history IC IC
Namun, suatu persoalan pelik sulit dielakkan apabila rumusan hermeneutik
diterapkan untuk memahami teks Al-Qur'an yang Pengarangnya (Allah), berada
di luar kategoris historis. Lain halnya jika teks Al-Qur'an dipandang sebagai
kalam Allah yang redaksinya telah ditransformasikan ke dalam bahasa manusia
sehingga secara hermeneutis terdapat dua acuan pengarang. Yang absolut adalah
Allah, tetapi firman dari Yang absolut ini telah dijembatani oleh Nab
Muhammad SAW. yang memiliki dua kapasitas, yaitu Ilahi dan insani. Dengan
demikian, yang perlu dipertimbangkan dengan baik ketika seseorang hendak
menafsirkan Al-Qur'an adalah kondisi sosial masyarakat Arab ketika
Muhammad masih hidup atau ketika Al-Qur'an turun. Sejauh ini upaya untuk
memahami konteks ketika Al-Qur'an turun gencar dikemukakan oleh Fazlur
Rahman. Ia berkesimpulan bahwa setting masyarakat Arab saat itu merupakan
asbab an-nuzul Al-Qur'an sehingga tidak ada satu ayat pun yang tidak memiliki
asbab an-nuzul.Tradisi penafsiran klasik pun sudah menggunakan asbab arn
nuzul, tetapi dalam beberapa kasus, terkadang asbab an-nuzul hanya
ditempatkan sebagai data figuran ketimbang data utama, sehingga tetap saja
konteks masyarakat Arab tidak te-review dengan baik. Sejauh ini pula, Ibnu
Abbas berjasa dalam memunculkan tradisi filologis dalam menafsirkan A
Qur'an ketika ia banyak merujuk sya'ir-sya'ir jahili untuk mengetahui semant
kata-kata Al-Qur'an, sebagaimana dapat dilihat pada Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir
Ibnu Abbas yang disusun Fairuzzabadi. Kita pun tidak dapat melupakan jasa
Amin Al-Khuli beserta istrinya, Bintu Asy-Syathi, yang meramu tradisi filologis
ke dalam kerangka operatif
Dengan memasukkan variabel tradisi dan perilaku sosial, semakin jelas
keterkaitan hermeneutik dengan disiplin keilmuan lain, terutama sejarah dan
sikologis. Dalam sejarah Al-Qur'an, hubungan teks dan situasi sosial dapat mati,
misalnya, perbedaan gaya bahasa dan muatan wahyu Al-Our'an yang
Mekah dan wahyu yang turun di Madinah tuiruiliki pekembangan makna ketika di
Mekah dan di Mad
Kata "ummat", misalnya perkembangan makna ketika di Mekah dan di
Madinah. Di Madinah kata "ummat" juga meliputi orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang membuat perjanjian damai dan kerja sama dengan Nabi Muhammad SAW
vadari bahwa sebuah kata mengalami perkembangan makna, untuk memperoleh
pemahaman yang benar, yang dikehendaki oleh pembicara rmeneutik tidak cukup
mendasarkan pada teks Al-Qur'an maupun mahaman semantikal, melainkan perlu
melibatkan faktor psikologis dan iologis agar tidak terkecoh oleh teks semata
Dalam tataran operatif, paradigma hermeneutik ini, umpamanya, telah diterapkan
oleh Kuntowijoyo dalam Lima Program Reinterpretasinya ini adalah paparannya:
Perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada
penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur'an.
Selama ini, kita melakukan penafsiran yang bersifat individual ketika memahami,
misalnya, sebuah ayat menyatakan larangan untuk hidup berlebih-lebihan. Dari
penafsiran individual terhadap ketentuan ini sering timbil sikap untuk mengutuk
orang-orang yang hidup berfoya-foya, yang memiliki vila-vila di Puncak, atau yang
mempunyai banyak simpati deposito di bank-bank luar negeri. Sesungguhnya
kecaman-kecaman sah adanya. Akan tetapi, yang lebih mendasar adalah mencari
sebab-sebab struktural mengapa gejala hidup mewah dan berlebihan itu muncul
dala konteks sistem sosial dan sistem ekonomi. Dengan upaya ini, penafsiran kita
terhadap gejala hidup mewah harus lebih dikembangkan pada perspektif sosial dan
perspektif struktural. Dari penafsiran semacam ini kita akan menemukan akar
masalah yang paling esensial, yaitu terjadinya konsentrasi kapital, akumulasi
kekayaan, dan sistem pemilikan sumber sumber penghasilan atas dasar etika
keserakahan. Gejala-gejala seperti
inilah yang sebenarnya harus kita rombak agar tidak memungkinkan terjadinya
gaya hidup mewah, yaitu gaya hidup secara moral maupun
sosial sangat dikecam Al-Qur'an
Mengubah cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif. Tujuan
dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif adalah menyuguhkan cita objektif.
Tentang ketentuan zakat, misalnya, secara Islam pada cit objektif, tujuan zakat
memang diarahkan untuk pembersihan harta kita, untuk pembersihan jiwa kita.
Akan tetapi, sisi objektif zakat pada juga intinya adalah tercapainya kesejahteraan
sosial. Keseaeaan sosial itulah yang menjadi sasaran objektif dikeluarkannya
ketentuan untuk berzakat
Dari reorientasi semacam ini, kita dapat mengembangkan tesis yang lebih
uas bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan tercapain kesejahteraan sosial
yang di dalamnya zakat merupakan salah sat sasarannya. Demikian juga, kalau kita
berbicara tentang larangan riba Ketentuan itu misalnya, perlu kita beri konteks pada
cita-c egalitarianisme ekonomi untuk tercapainya kesejahteraan sosial. Oleh karena
itu, pada level aktual, kita dapat saja mengembangkan bentu bentuk institusi bank
yang bebas bunga (zero interesting bank) yang tidak menggunakan rente, untuk
membantu pemilikan modal bagi kelas ekon lemah
Mengubah Islam yang normatif menjadi teoretis. Selama ini, kit cenderung
lebih menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an pada level normatitf dan kurang
memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu
menjadi kerangka-kerangka teori ilmu. Secara normatif kita mungkin hanya dapat
mengembangkan tafsiran moral ketika memahami konsep tentang fuqara dan
konsep tentang masakin. Kaum fakir dan miskin paling-paling hanya akan lihat
sebagai orang-orang yang
perlu dikasihi sehingga kita wajib memberikan sedekah, infak, dan zakat
kepada mereka. Dengan pendekatan teoretis, kita mungkin akan dapat memahami
konsep tentang kaum fakir dan kaum miskin pad yang lebih real, lebih faktual,
sesuai dengan kondisi-kondisi sosial ekonomi, maupun kultural. Dengan cara itu,
kita dapat mengembangka konsep yang lebih tepat tentang siapa sesungguhnya
yang dimaksud
sebagai fuqara dan masakin itu; pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka berada
pada suatu masyarakat; dan sebagainya. Demikianlah, kalau kita
berhasil memformulasikan Islam secara teoretis, banyak disiplin ilmu y
orisinal dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Al-Qur'an
Mengubah pemahaman yang ahistoris. Selama ini pemahaman kita
mengenai kisah-kisah yang ditulis dalam Al-Qur'an cenderung bersi ahistoris.
Padahal, maksud Al-Qur'an menceritakan kisah-kisah itu adalah agar kita berpikir
historis. Misalnya, kisah tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Fir'aun
sering kita pahami pada konteks zaman itu. Kita tidak pernah berpikir bahwa apa
yang disebut sebagai kaum tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan
ada pada setiap sistem sosial Contoh lain, misalnya, di dalam sebuah ayat kita
diperintahkan untuk
membebaskan mereka yang terbelenggu."Dengan cara berpikir histori kita dapat
mengidentifikasi siapakah yang dimaksud sebagai golongan 'yang terbelenggu" itu
dalam sistem sosial politik kita sekarang

Anda mungkin juga menyukai