Anda di halaman 1dari 14

KAIDAH TARJIH ANTAR RIWAYAT DAN PENDAPAT DALAM MENAFSIRKAN

AL-QUR’AN

MATA KULIAH

Qawa’id Tafsir

DOSEN PENGAMPU

Dr. Wardani, M. Ag

Oleh Kelompok 10:

Asiah 180103020203

Fikri 180103020293

Muammar 180103020302

Rosyi Norlatifah 180103020202

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARMASIN
2020

PENDAHULUAN

Banyak ulama yang membahas kaidah tafsir baik penjelasan dan pemaparannya tentang
pentingnya kaidah-kaidah tafsir yang harus diperhartikan oleh mufasir dalam penafisiran. Dalam
hal ini, yang perlu diketahui ialah bahwa setiap kata di dalam Al-Qur’an pasti mengandung
maksud dan faedah, meskipun tidak berkaitan secara langsung dengan masalah hukum. Perlu
pula kita memberikan ketegasan dalam menjelaskan hukum-hukum syara‟ baik yang berupa
prinsip-prinsip umum maupun bagian-bagian khusus/terperini dalam suatu masalah.

Pemahaman manusia terhadap pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur’an dapat


mereka pahami dengan mudah apabila ayat yang dipahami itu jelas, namun juga masih banyak
orang yang belum jika ayat yang ingin dipahami itu belun jelas. Perbedaan merupakan watak dan
tabiat manusia. Setiap orang melihat suatu permasalahan dari satu sudut pandang kemudian
menghukuminya sesuai dengan cara pandang dan juga ijtihadnya. Dalam masalah yang sama,
terkadang seseorang dengan yang lainnya menempuh jalan yang berbeda, meskipun tujuan
akhirnya sama.

Perbedaan penafsiran merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian, perbedaan itu
terkadang saling kontradiktif, baik dalam bentuk penafsiran ar-riwayah maupun ad- dirayah.
perbedaan dalam penafsiran akan mempengaruhi seseorang dalam mengamalkan inti sari ajaran
Islam yang bersumber dari al-Qur’an. Dari sinilah pentingnya mengetahui kaidah-kaidah tarjih
dalam penafsiran, untuk mengetahui penafsiran yang paling kuat dan utama di antara penafsiran-
penafsiran yang beragam, untuk selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk keyakinan jika
terkait ayat-ayat akidah, atau dalam bentuk amalan jika terkait dengan ayat-ayat hukum praktis,
akhlak, dan etika. Maka dari itu pemakalah akan mencoba untuk menjelaskan mengenai apa itu
tarjih, apa saja kaidah-kaidah tarjih tersebut dan beberapa pendapat ulama dalam
menafsirkannya.

2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarjih

Secara etimologi (bahasa) Tarjih ( ‫ ) الترجیح‬berarti “menguatkan”. Muhammad Jawab


Mugniyah menyebutkan bahwa tarjih menurut bahasa yaitu menjadikan sesuatu lebih kuat.1
Sementara Muhammad al-Jarjani mengatakan tarjih menurut bahasa yaitu metetapkan salah satu
dari dalil yang tingkatannya lebih kuat dari yang lainnya. 2 Sedangkan menurut istilah syara’,
seperti di kemukakan oleh Muhammad Jawab Mughniyah adalah sebagai berikut;

‫تقد یم أحدى الحجتین على التانیة لمنیة توجب ذلك‬


Artinya ; “Berpegang (mengutamakan) salah satu dari dua Hujjah yang lebih kuat dari yang
lainnya, karena memang ada keistimewaan yang mengharuskan demikian”
Kemudian, Badran Abu Al-Ainan Badran menjelaskan pada defenisi Tarjih dengan mengutip
pendapat Jamaliddin Al-Aswani sebagai berikut;

‫تقویة أحدى اآلمارتین على اآلخرى لیعمل بھا‬


Artinya ; “Menguatkan salah satu dari dua alasan yang tampak untuk diamalkan”
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa Tajih
merupakan usaha untuk mencari dalil atau alasan yang terkuat, karena dua diantara dalil-dalil
tersebut terdapat perlawanan satu sama lainnya. Dengan kata lain, konsep tarjih itu adalah
berawal dari upaya penyesuaian dua dalil atau lebih yang berlawanan, yang penyelesaiannya
lewat tarjih, yaitu berpegang dengan dalil yang lebih kuat dari dalil yang berlawanan tersebut.

B. Fungsi Tarjih

Tarjih berfungsi memvalidasi bayan (penjelasan) al-Qur‘an yang tepat dari semua
pemahaman yang ada. Tujuan memvalidasi penjelasan Al-Qur‘an di sini adalah agar tidak saling
berlawanan antara satu pernyataan dengan pernyataan lain. Pasalnya, al-Qur‘an sebagai sebuah
kalam tentu memiliki keterbacaan yang bertingkat. Tingkatan keterbacaan Al-Qur‘an itu, dalam
ilmu tafsir, diperkenalkan dengan istilah al-muhkam dan al-mutasyabih (Imad, 2006: 42-43).
Teks muhkam tentu lebih dapat dipahami homegen oleh pembaca dari yang mutasyabih.

1
Muhammad Jawab Mugniyah, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, (Beirut; Dar al-Ilm Lilmalayin,
Cet. I, 1975), 441.
2
Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, (Singapore: Jeddah, tth), 56.

3
Mutasyabih mungkin lebih dipahami beragam, atau terlihat bertentangan dengan muhkam.
Keberadaan mutasyabih dalam Al-Qur‘an juga mengisyaratkan pemahaman tunggal atau multi-
pemahaman bukanlah tujuan pesan al-Qur‘an.
Tarjih berfungsi menghantarkan kemudahan amal. Amal merupakan wadah kondisi
ketercerahan manusia dengan al-Qur‘an. Tafsir yang berorientasi amali merupakan puncak
pemahaman dan penafsiran teks al-Qur‘an. Kekayaan makna lafal Al-Qur‘an, terlebih lagi dalam
hal perbedaan penafsiran, sering menjadi persoalan pembaca al-Qur‘an dalam menjelaskan
pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur‘an. Di sinilah, peran tarjih tafsir menjadi urgen
atau penting dalam mewujudkan pemahaman Al-Qur‘an dalam tindakan manusia. Karena,
pemahaman Al-Qur‘an yang tidak mengujung pada tindakan amal adalah pemahaman yang
belum tuntas, meski secara teoritis telah mencapai kejelasan.3

C. Kaidah-Kaidah Tarjih Antar Riwayat


Dalam buku karya Husain Ibn ‘Ali Ibn Husaini Al-Harbi yang berjudul Qawa’id Tarjih
‘Inda Al-Mufassirin, banyak ditemukan pembahasan kaidah-kaidah tarjih. Adapun pembahasan
tarjih secara umum yaitu:
a. Qawa’id Tarjih terkait dengan Teks Al-Qur’an
b. Qawa’id Tarjih terkait Rasm Al-Qur’an
c. Qawa’id Tarjih terkait dengan konteks Al-Qur’an
d. Qawa’id Tarjih terkait dengan Sunnah Nabi dan Atsar
e. Qawa’id Tarjih terkait Bahasa Arab4
Dari pembagian tersebut sehubungan dengan kaidah tarjih antar riwayat, maka di
makalah ini memfokuskan kepada pembahasan qawa’id tarjih terkait dengan sunnah Nabi
Muhammad SAW atau bisa disebut dengan periwayatan hadits Nabi Muhammad SAW. Adapun
pembahasan kaidah-kaidah tarjih terkait sunnah Nabi Muhammad SAW (Hadits) terbagi menjadi
4 kaidah, yaitu:

3
Ahmad Nurrohim, Al-Tarjih Fi Al-Tafsir: Antara Makna Al-Qur’an dan Tindakan Manusia,
Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 13, No. 02, 2019, 96-97.
4
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, (Riyadh: Dar al-Qasim, 2008), 18-19.

4
a. Kaidah Pertama
“Jika hadits itu terbukti dan ada hubungannya dengan tafsir ayat tersebut, maka itu tidak jatuh
ke tangan orang lain”
Menurut Husain, ia menemukan beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yang terkait dengan
penafsiran Nabi, yang mana jika itu terbukti kebenarannya maka tafsiran tersebut memiliki
kejelasan yang dapat diklarifikasi. Dan ini adalah salah satu pesanNya, Allah SWT berfirman
dalam QS. An-Nahl: 44 yang artinya, “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan
Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. Nabi menjelaskan mengenai
ayat tersebut, setelah itu tidak ditemukan lagi penjelasan lain.
Dasar kata dari “Jika hadits itu terbukti” untuk mendapatkan keotentikan kata dasar
tersebut terdapat 2 bentuk menurut Al-Hasan, pertama merupakan bentuk musyawarah yang
dimana jika derajat hadits yang disebutkan dalam tafsir merupakan ayat yang sah atau baik,
maka itu dapat dibuktikan oleh semua ulama. Kedua, jika hadits itu lemah kemudian terdapat
pemguatan dari hadits lain, maka tidak ada masalah dengan itu tetapi para ulama akan tetap
memilih hadits yang paling kuat. Imam at-Thabari sering sekali memilih pernyataan yang
bertentangan dengan hadits lemah dengan cara mentarjih. Kemudian ditambahkannya dengan
mengatakan, jika itu benar dari Rasulullah, kami tidak merujuk kepada orang lain, tetapi dalam
rantai penularannya(perawi yang meriwayatkan) perlu ditegaskan. 5 Dalam artian lain imam at-
Thabari mentarjih atau mengambil hadits yang lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang
lemah.
Jika ada hadits lemah yang tidak di didukung dan ditentang oleh para ulama, maka dalam
hal tarjih ini diperbolehkan. Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Al-Qayyim dan para ulama lain,
maka mereka tetap mengedepankan hadits lemah tersebut atas pendapat mereka masing-masing
karena tidak menemukan hadits yang lebih kuat dari pada hadits tersebut. Kemudian jika tidak
ada aspek tarjih lain kecuali hadits lemah ini, maka tidak diwajibkan bagi semua orang untuk
mengamalkannya. Kaidah ini dipakai oleh para ulama secara umum dan ini bukanlah
pelanggaran terhadap tafsir Nabi melainkan untuk menguatkan penjelasan suatu hadits. Di antara
para imam yang menyukainya yaitu, imam al-Thabari, Abu Bakar bin Al-Araby, Qadhiy Ibn

5
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 192

5
‘Athiyah, imam Al-Qurthuby, Syekh Al-Islam, Abu Hayyan Al-Andalusia, Ibn Jazi al-Kalbi, Al-
Zarkhasi, Ibn Al-Wazir, Al-Shawkani, dan Al-Wasy.6
Contoh kaidah ini ada dua, pertama tafsir rasionalis yang mereka tanggapi dengan tafsir
Nabi, mereka tidak percaya dengan tasfir tersebut. Allah berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 82
yang berbunyi,

... ‫بِظُ ْل ٍم‬ ‫وا َولَ ْم يَ ْلبِس ُٓو ۟ا إِي ٰ َمنَهُم‬


۟ ُ‫ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik) ...”
at-Thabari mengatakan, beberapa dari mereka ada yang berbeda pendapat mengenai makna yang

‫) َولَ ْم يَ ْلبِس ُٓو ۟ا إِي ٰ َمنَهُم‬. Mereka berkata tentang keyakinan, yang dimaksudkan
dimaksud dari (‫بِظُ ْل ٍم‬

Ibn Mas’ud yaitu, saat ayat ini turun ( ‫وا َولَ ْم يَ ْلبِس ُٓو ۟ا إِي ٰ َمنَهُم بِظُ ْل ٍم‬
۟ ُ‫ )ٱلَّ ِذينَ َءامن‬ini menyusahkan atau
َ
sulit bagi orang-orang, maka dari itu mereka berkata, “Ya Rasulullah, siapa diantara kita yang
tidak mendzalimi dirinya sendiri?” berkata: bahwasanya itu bukan menandakan, apakah kamu

mendengarkan perkataan hamba yang shaleh: (‫َظي ٌم‬


ِ ‫ع‬ ‫ٱلش•••رْ كَ لَظُ ْل ٌم‬
ِّ ‫)إِ َّن‬ “sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”7, sesungguhnya itulah
yang dinamakan syirik. Kedua, perkataan para mufassir yang bertentangan dengan tafsir Nabi.

Contoh dari ini ada pada tafsiran ayat ( ‫لَّهَا‬ ‫“ ) ۚ َوٱل َّش ْمسُ تَجْ ِرى لِ ُم ْستَقَ ٍّر‬Dan matahari berjalan
ditempat peredarannya”, perbedaan dari para penafsir terhadap makna dari ( ‫ر لَّهَا‬ ٍّ َ‫)لِ ُم ْس •تَق‬.
Pertama, maksud dari peredaran/ketetapan ialah, dia berada di bawah singgasana yang
bersebelahan dengan bumi dari segala sisi, karena itu ia merupakan atap dari semua makhluk.
Kedua, yang dimaksudkan dari peredaran ialah tingkatan tertinggi sebuah perjalanan yaitu hari
kiamat.8
b. Kaidah Kedua
“Jika kaidah itu terbukti dan merupakan teks dalam arti salah satu ucapan, maka itu menjadi
rujukan baginya tentang apa yang bertentangan dengannya”

6
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 196-200
7
QS. Luqman ayat 13
8
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 200-203

6
Dalam kaidah kedua ini Jika hadits itu terbukti, dan itu ada dalam arti satu Ucapan maka
itu merupakan referensi tentang apa yang tidak setujui. Perbedaan antara kaidah ini dengan
kaidah sebelumnya, yaitu yang terkandung dalam hadits pada kaidah kedua ini tidak mengacu
pada sumber tafsir ayat tersebut sedangkan pada kaidah pertama mengacu kepada sumber
tafsirannya.9 Para ulama memakai kaidah ini antara lain, imam at-Thabari, Abu Ja’far al-Nahhas,
Abu Bakr al-Araby, Al-Hafiz Ibn Katsir, Al-Shawkani, dan Al-Waasy.

Contoh kaidah ini muncul dalam tafsiran yang ayatnya berbunyi, ( ‫ق‬
ٍ ‫َسا‬ ُ ‫)يَوْ َم يُ ْك َش‬
‫ف عَن‬
para pendahulu yang berbeda dalam tafsir ayat ini ada dua; pertama, Itu artinya, pada hari itu
mengungkapkan kesusahan dan kesedihan, dan itu merupakan hari kiamat. Ibn Abbas juga
berkata tentang ayat ini, dia mengungkapkan suatu hal, seperti kata penyair itu perang membuat
kami kesulitan. Kedua, ayat itu menjelaskan tentang hari kebangkitan. Ini diriwayatkan dari
rantai yang shahih.10

Dari Abu Sa’id mendengar Rasulullah berkata: “Tuhan kita membuka kaki-Nya dan
bersujud kepada-Nya. Setiap mukmin dan mukmin, dan siapapun yang biasa bersujud di dunia
ini tetaplah kemunafikan dan reputasi, Jadi dia pergi bersujud, dan punggungnya mengembalikan
satu lapisan. Hadits ini menyebutkan membuka kaki dan bersujud kepada-Nya, kemuliaan bagi-
Nya.11 Maksud dari hadits tersebut, menggambarkan bahwa pada hari Kiamat Allah SWT datang
untuk memberikan keputusan di antara hamba-hamba-Nya dan memberikan balasan, lalu Dia
menyingkapkan betis-Nya yang mulia yang tidak mirip dengan sesuatu apa pun, ketika itu itu
manusia menyaksikan keagungan Allah dan kebesaran-Nya yang tidak mungkin diungkapkan.
Ketika itu, mereka dipanggil untuk sujud kepada Allah, maka sujudlah orang-orang mukmin
yang biasa bersujud kepada Allah dengan suka rela, sedangkan orang-orang fasik dan orang-
orang munafik pergi agar dapat sujud, namun mereka tidak sanggup untuk sujud dan punggung
mereka tetap rata. Balasan seperti ini sesuai dengan amal mereka ketika di dunia, karena ketika
mereka dipanggil di dunia untuk sujud kepada Allah, mengesakan-Nya dan beribadah kepada-
Nya dalam keadaan sehat, namun mereka enggan dan sombong melakukannya, maka anda tidak

9
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 206.
10
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 209.
11
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 211.

7
perlu bertanya tentang keadaan mereka dan buruknya tempat kembali mereka, kaena Allah telah
murka kepada mereka dan mereka telah tetap mendapatkan ketetapan azab dan terputuslah segala
hubungan serta tidak bermanfaat pernyesalan mereka, dan tidak pula uzur mereka pada hari
Kiamat. Dalam ayat ini terdapat sesuatu yang membuat hati takut mengerjakan maksiat dan
berusaha mengejar yang telah luput selagi masih ada waktu.

Disebutkan dalam Shahih Bukhari, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda:

‫ فَيَ ْسجُد لَهُ ُك ّل ُم ْؤ ِمن َويَ ْبقَى َم ْن َكانَ يَ ْسجُد ِريَا ًء َو ُس ْم َعةً فَيَ ْذهَب َك ْي َما يَ ْسجُد‬، ‫فَيَ ْك ِشف ع َْن َساقِ ِه‬
‫احدًا‬ ً َ‫صير ظَ ْه ُرهُ طَب‬
ِ ‫ق َو‬ ِ َ‫فَي‬
“Maka Dia (Allah) menyingkapkan betis-Nya, lalu setiap mukmin bersujud kepada-Nya dan
tinggallah orang yang sujud karena riya’ dan sum’ah; ia pun pergi untuk sujud, maka
punggungnya menjadi rata lagi.”

Mereka diminta sujud itu adalah untuk menguji keimanan mereka Padahal mereka tidak sanggup
lagi karena persendian tulang-tulang mereka telah lemah dan azab sudah meliputi mereka.

c. Kaidah Ketiga
“Setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’ ulama merupakan sebuah
jawaban/tanggapan”
Contoh kaidah ini mungkin tumpang tindih, misalnya berkenaan dengan faktor
penentangan terhadap Al-Qur’an mungkin juga bertentangan dengan sunnah, atau mengenai
pendapat ummat dan sebaliknya. dan itu terbatas untuk menyebutkan dibawah satu bagian dari
kaidah. Kemudian dibatasi untuk mengatakan dikembalikan oleh kaidah itu tanpa meyebutkan
ucapan yang benar dalam ayat tersebut atau semua pernyataan di dalamnya, tergantung pada
konteks al-qaidah, sebagai tanggapan atas pertanyaan yang dijelaskan dengan kualitas-kualitas
tersebut diatas hanya sebatas teks-teks qaidah. Dan jika jatuh ucapan ini, terbatas pada kebenaran
ucapan yang lain, dengan perbedaan diantara keduanya. Dalam pengajuan dan penundaan itu
sesuai dengan pertimbangan oleh aturan berat lainnya. Pada topik “dasar atas pentarjihan” itu

8
telah dibahas sebelumnya di kata pengantar menyebutkan beberapa contoh kaidah ini, termasuk
kebutuhan untuk mengembalikannya tempat dan penyebutan analog.12

d. Kaidah Keempat
“Tidak benar menggunakan ayat untuk menafsirkan atau merincikan (menjelaskan) tentang
perkara-perkara yang gaib (tidak ada), yang tidak ada dalilnya baik itu dari al-Qur'an maupun
hadits”
Penjelasan mengenai kaidah ini, tidak ada cara untuk mengetahui tentang sesuatu yang
gaib. Hal gaib adalah seluruh perkara yang tidak dapat diketahui perihalnya baik dengan metode
ijtihad atau kapabilitas istinbat kecuali berdasarkan pada nash al-Qur'an atau hadits itu sendiri,
dan semua ini tidak ada hubunganya dengan hukum taklifi. Yang termasuk bagian ini adalah
kejadian-kejadian yang telah lalu dan terjadi seperti tentang awal mula penciptaan, informasi
tentang umat-umat yang telah binasa, dan bisa juga kejadian yang belum terjadi seperti
peperangan besar dan hari berbangkit, gambaran tentang surga dan neraka, dll. Maka semua hal
itu tidak benar penjelasannya menggunakan ijtihad, yang memang tidak ada dalil terhadapnya,
atau menggunakan riwayat-riwayat israiliyyat.
Lalu penulis menjadikan kaidah ini sebagai tarjih, karena kaidah ini mempertimbangkan
berbagai kemungkinan tentang keaslian dari sebuah kerancuan/ketidakjelasan,
penyamarataan/generalisasi, dan peringkasan pada sebuah ayat untuk merincikan sesuatu yang
tidak ada dalil padanya, padahal hal tersebut didasari oleh riwayat-riwayat israiliyat. Maka dari
perspektif ini, kaidah ini merupakan kaidah yang tarjih.13
Pembagian Israiliyyat, dalam hal ini, Adz-Dzahabi mengklasifikasikan dari tiga sudut
pandang14, yaitu sudut pandang kualitas sanad, sudut pandang kaitannya dengan Islam, dan sudut
pandang materi.
1. Sudut pandang kualitas sanad
Sudut pandang ini memperlihatkan dua bagian yaitu Israiliyyat dengan kualitas sanad
yang shahih dan Israiliyyat dengan kualitas sanad yang dha’if.

12
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 222,223.
13
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 225.
14
Raihanah, Israiliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Tafsir Al-Qur’an, dalam Jurnal Tarbiyah Islamiyah,
Vol 5, No. 1, Januari-Juni 2015, 103-107.

9
a. Israiliyyat yang shahih
b. Israiliyyat yang dha’if
2. Sudut pandang kaitannya dengan Islam
a. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam, contohnya Israiliyyat yang menjelaskan bahwa
sifat-sifat Nabi itu adalah tidak kasar, tidak keras, dan pemurah.
b. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam, contohnya adalah Israiliyyat tentang
kisah perdebatan Nabi Adam dan Nabi Musa
3. Sudut pandang materi Sudut pandang ini memperlihatkan tiga bagian yaitu:
a. Israiliyyat yang berhubungan dengan akidah, contohnya Israiliyyat yang menjelaskan
firman Allah:
ٌ ۢ َّ‫ط ِو ٰي‬
‫ت‬ ْ ‫ت َم‬
ُ ‫ْضتُ ۥهُ يَوْ َم ْٱلقِ ٰيَ َم ِة َوٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
َ ‫ق قَ ْد ِر ِهۦ َوٱأْل َرْ ضُ َج ِميعًا قَب‬ َّ ‫ُوا ٱهَّلل َ َح‬ ۟ ‫َوما قَ َدر‬
َ
َ‫بِيَ ِمينِِۦه ۚ ُسب ٰ َْحنَهۥُ َوتَ ٰ َعلَ ٰى َع َّما يُ ْش ِر ُكون‬
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit
digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari
apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
b. Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum, contohnya Israiliyyat berasal dari
Abdullah bin Umar yang berbicara tentang hukum rajam dalam Taurat.
c. Israiliyyat yang berhubungan dengan kisah-kisah
Contohnya apa yang dikemukakan Imam Ibnu Katsir di dalam menafsirkan Quran
surah Hud ayat 37:

َ‫َوٱصْ ن َِع ْٱلفُ ْلكَ بِأ َ ْعيُنِنَا َو َوحْ يِنَا َواَل تُ ٰخَ ِط ْبنِى فِى ٱلَّ ِذينَ ظَلَ ُم ٓو ۟ا ۚ إِنَّهُم ُّم ْغ َرقُون‬
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan
janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu;
Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”
Adapun contoh dalam kaidah ini yaitu,
1. Apa yang terdapat pada penjelasan (tafsir) firman Allah Ta'ala tentang kisah Nabi
Nuh a.s:

‫َو َمٓا َءا َمنَ َم َع ٓۥهُ إِاَّل قَلِي ٌل‬

10
Imam at-Thabari menukilkan perbedaan pendapat para mufassir tentang
jumlah orang yang beriman kepada Allah bersama Nabi Nuh yang kemudian
beliau bawa mereka kedalam kapal, lalu imam at-Thabari menyebut 4 pendapat,
yaitu:

a. Sebagian mufassir mengatakan: mereka berjumlah 8 orang


b. Sebagian mufassir lain: mereka berjumlah 7 orang
c. Sebagian mufassit lain: mereka berjumlah 10 orang namun tidak termasuk istri
mereka.
d. Sebagian mufassir lain: mengatakan: mereka berjumlah 80 orang.

Maka keempat pendapat ini tentang jumlah orang yang beriman kepada Nabi Nuh a.s
yang kemudian dibawa ke dalam kapal merupakan hal yang tidak ada dalil
tentangnya baik dari al-Qur'an maupun hadits, tetapi riwayat ini diambil dari bani
Israil, maka yang tepat adalah jangan menggunakan ayat untuk hal tersebut, karena
itu adalah apa yang telah Allah samarkan bagi kita, dan tidak ada hujjah terhadap
pernyataan tersebut.15

D. Pandangan Ulama tentang Tarjih

pendapat ulam tentang pentarjihan dua dalil yang saling berlawanan satu sama lainnya.
Pertanyaan yang segera muncul apakah memang betul terdapat perlawanan atau pertentangan
antara dalil nash atau tidak. Para ulama sepakat baik ulama klasik maupun kontemporer, seperti
Imam al- Syaukani, Abu Ishak al-syatibi, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Jawd
Mughniyah dan Zaky al-Din Sya’ban ,19 mengatakan bahwa dalil nash atau nash itu sendiri
tidak terdapat perlawanan atau pertentangan satu sama lainnya. Atau tidak mungkin terjadi
perlawanan diantara dua dalil nash, karena nash itu datangnya dari syari’.
Akan tetapi perlawanan antara dalil nash itu adalah berdasarkan pandangan mujtahid.
Para mujtahid atau ulama memandang dim,ana diantara dalil-dalil nash terdapat perlawanan satu
dengan yang lainnya. Menghadapi dua perlawanan dalil ini, para ulama menempuh jalan tarjih.
Pentarjihan yang ditempuh oleh mereka memang terdapat perbedaan satu sama lainnya.
15
Husain ibn ‘Ali Ibn Husain Al-Harbi, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah Nazariyyah
Tatbiqiyyah, 236

11
Misalnya dari mazhab Hanafi, mengenai pentarjihan hadis-hadis yang belawanan, mazhab
Hanafi tidak berbicara panjang lebar yang penting, jika terjadi perlawanan diantara hadis, maka
harus dilihat dari segi martabat hadis dan segi wurudnya. Jika sudah diketahui maka diambil
yang terkuat untuk diamalakan,
Menurut Imam al- Syaukani berbicara panjang lebar tentang pentarjihan dua dalil nash
yang berlawanan. Imam Syaukani dengan mengutip pendapat Imam al-Zarkasyi, menjelaskan
bahwa Allah tidak menurunkan hukum-hukum itu berdasarkan dalil yang qath’iy seluruhnya
tetapi diantaranya terdapat dalil-dalil yang zanny. Hal ini dimaksudkan bahwa dalil yang zanny
tersebut dapat diperluas penerapannya dalam kehidupan manusia (mukallfaf), agar tidak hanya
dalam satu mazhab. Ketika hukum-hukum syara’ ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang zanny
itu, maka terjadilah perlawanan diantaranya baik sifatnya jelas atau samar-samar. Atas dasar ini
maka jalan penyelesaiannya adalah harus dilakukan pentarjihan, dengan berpegang kepada yang
lebih kuat.
Selanjutnya, Imam al-Qhazali dalam kitabnya al-mustasfa, menyebutkan bahwa
pentarjihan dalil nash yang zanny , karena dalil nash yang zanny itu berbeda atau tidak sama
kekuatannya dan tidak ada tarjih terhadap dua dalil yang qath’iy. Menurut al-qhazali dalil nash
yang qath’iy itu tidaklah lebih unggul atas sebagian yang lain, sekalipun diantaranya ada yang
kurang jelas dan tidak perlu penerangan /penjelasan yang mendalam dan ada pula yang tidak
jelas, sehingga memerlukan penelitian dan pemahaman yang mendalam.16

16
Al-Qhazali, al-Mustasfa, Mesir;( Maktabag: al-Jundiyah, 1971), 522-523.

12
PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tarjih ialah mengutamakan salah satu
dari dua Hujjah yang lebih kuat dari yang lainnya pada prinsipnya adalah memilih dan
mengamalkan dalil atau alasan yang terkuat diantaranya dalil-dalil yang tampak adanya
perlawanan satu sama lainya. Munculnya upaya tarjih adalah karena adanya perlawanan diantara
dalil-dalil hokum yang akan dijadikan hujjah atau alasan dalam menetapkan hokum.
Secara umum dalam buku Husain yang berjudul Qawa’id Tarjih Inda Al-Mufassirin,
penjelasan tarjih terbagi menjadi 5 yaitu Qawa’id tarjih terkait dengan teks Al-Qur’an, Qawa’id
tarjih terkait rasm Al-Qur’an, Qawa’id tarjih terkait dengan konteks Al-Qur’an, Qawa’id tarjih
terkait dengan Sunnah Nabi dan Atsar, dan Qawa’id tarjih terkait bahasa arab. Adapun
pembahasan dalam makalah ini mengenai Qawa’id Tarjih antar riwayat, yaitu berkaitan dengan
sunnah Nabi (Hadits Nabi). Kaidah ini terbagi menjadi 4 yaitu,
a. Kaidah 1, Jika hadits itu terbukti dan ada hubungannya dengan tafsir ayat tersebut, maka
itu tidak jatuh ke tangan orang lain
b. Kaidah 2, Jika kaidah itu terbukti dan merupakan teks dalam arti salah satu ucapan, maka
itu menjadi rujukan baginya tentang apa yang bertentangan dengannya
c. Kaidah 3, Setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’ ulama
merupakan sebuah jawaban/tanggapan
d. Kaidah 4, Tidak benar menggunakan ayat untuk menafsirkan atau merincikan
(menjelaskan) tentang perkara-perkara yang gaib (tidak ada), yang tidak ada dalilnya baik
itu dari al-Qur'an maupun hadits

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, al-Mustasfa, Mesir;( Maktabag: al-Jundiyah, 1971.

Al-Harbi, Husain ibn ‘Ali Ibn Husain, Qawa’id at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin: Dirasah
Nazariyyah Tatbiqiyyah, Riyadh: Dar al-Qasim, 2008.

Jawab Mugniyah Muhammad, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, Beirut; Dar al-Ilm
Lilmalayin, Cet. I, 1975.

Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Singapore: Jeddah, tth.

Nurrohim Ahmad, Al-Tarjih Fi Al-Tafsir: Antara Makna Al-Qur’an dan Tindakan Manusia,
Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 13, No. 02, 2019.

Raihanah, Israiliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Tafsir Al-Qur’an,dalam Jurnal Tarbiyah


Islamiyah, Vol 5, No. 1, Januari-Juni 2015.

14

Anda mungkin juga menyukai