Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT Semua umat Islam meyakini


bahwa sebagai sumber asasi ajaran Islam, kitab suci yang berimplikasi memberi
arah petunjuk perjalanan hidup manusia dari dunia yang fana menuju akhirat
yang baqo’. Dikatakan pula bahwa Al-Qur’an merupakan Hudan Lil Muttaqin.
Dalam rangka mendapatkan petunjuknya, umat Islam berlomba-lomba
menjalankan ajaran Islam ke dalam perilaku hidup manusia di dunia, karena itu
dibutuhkan berbagai macam disiplin ilmu guna mengungkap pesan dalam al-
Qur’an itu sendiri, dan salah satu disiplin ilmu yang memberikan peran penting
dalam upaya menggali dan memahami makna-makna al-Qur’an adalah dengan
mengetahui Al-Qur’an merupakan sumber ilmu yang tidak habis untuk dikaji
berbagai kalangan. Semakin lama dikaji semakin banyak ilmu yang terkuak.
Sebagai contoh,  para ilmuwan mengembangkan maupun mencocokkan
penemuan mereka tentang teknologi, ilmu perbintangan, penemuan pesawat
terbang, matematika, fisika, dan lain sebagainya, dengan pemaparan yang tersebut
dalam al-Qur’an. Sebagian sumber-sumber hukum juga berasal dari al-Qur’an.
Sehingga pengetahuan mengenai makna al-Qur’an pun menjadi sangat
penting untuk dipahami. Adanya Tafsir dan Ta’wil al-Qur’an tentu mempermudah
setiap orang memahami hingga mengkaji isi al-Qur’an. Perlu kiranya kita
memperdalam pengetahuan mengenai Tafsir, Ta’wil al-Qur’an, metodologi
penafsiran hingga tokoh mufassir beserta karyanya. Sehingga kita dapat
memperkokoh keimanan dan menambah pengetahuan dalam memahami al-
Qur’an. Inilah yang menjadi latar belakang disusunnya makalah Tafsir
dan Ta’wil ini.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam


makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Tafsir dan Ta’wil al-Qur’an?
2. Bagaimana klasifikasi Tafsir: bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi?
3. Bagaimana Problematika dan Kontroversi?
4. Bagaimana Jenis Penafsiran : Tekstual dan Kontekstual?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui klasifikasi Tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi.
3. Untuk mengetahui problematika dan kontroversi.
4. Untuk mengetahui jenis penafsiran tekstual dan kontekstual.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir dan Takwil


Secara etimologis kata ‘Tafsir’ adalah kata yang mengikuti wazan1 taf’iel
yang berasal dari akar kata al-fasr yang mempunyai arti al-bayan (menerangkan);
al-kasyf (menguraikan);2 atau al-idhah (menjelaskan)3. Ada juga sebagian ahli
yang berpendapat bahwa kata ‘Tafsir’ berasal dari akar kata al-Tafsirah, sebagai
sebuah nama untuk alat yang digunakan oleh tabib (ahli medis) untuk
mendiagnosa penyakit.4
Sementara kata ‘Takwil’ adalah kata yang juga mengikuti wazan taf’iel,
yang berasal dari akar kata al-aul, yang berarti al-ruju’ (kembali); dengan
pengilustrasian bahwa, pentakwilan adalah mengembalikan sebuah lafal terhadap
salah sebuah makna, diantara beberapa makna yang dikandung oleh lafal
dimaksud. Ada juga sebagian orang yang berpendapat bahawa, kata ‘Takwil’ itu
berasal dari akar kata al-iyalah yang berarti al-siyasah (politisasi); dengan
ilustrasi bahwa, orang yang mentakwil sebuah lafal itu ibarat orang yang sedang
mempolitisasi lafal dimaksud, dan berusaha memberikan makna dalam lafal
tersebut.5
Adapun pengertian Tafsir-Takwil secara terminologis, para ulama tidak ada
yang bersepakat dalam sebuah definisi bersama; diantara para ulama terdapat
perbedaan dalam memberikan pengertian, antara satu dengan lainnya. Sehingga
dalam konteks ini, Imam Ibnu Habib al-Naisaburiy berkata: “Pada zaman kita
sekarang ini, banyak sekali para ahli Tafsir yang ketika ditanya tentang perbedaan
Tafsir-Takwil, niscaya mereka tidak dapat menjelaskannya.6

1
Wazan: adalah bentuk-bentuk lafal dalam bahasa ‘Arab yang menjadi barometer bentuk
lafal-lafal lain (qiyasy-mauzun). Lebh lanjut lihat: al-Kailaniy fi Syarh al-‘Izziy.
2
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Hadis, tt.), juz. II, hlm. 449.
3
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2002), hlm. 208.
4
Al-Suyuthi, op. cit., juz. II, hlm. 449.
5
Idem.
6
idem

3
Sementara itu Imam al-Zarkasyi mendefinisikan, Tafsir adalah disiplin ilmu
yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada
Muhammad (al-Qur’an), menjelaskan makna-makananya, pula mengeluarkan
hukum-hukum dan hikmahnya.7
Imam al-Maturidiy: Tafsir ialah menetapkan bahwa yang dimaksudkan oleh
Allah dari sebuah lafal adalah ‘ini’.8
Ada juga yang mengatakan, Tafsir adalah disiplin ilmu yang membahas
tentang keadaan-keadaan al-Qur’an al-Karim, dari segi dalalahnya (petunjuknya)
kepada yang dimaksudkan Allah, sebatas yang dapat disanggupi oleh manusia.9
Mencermati sekian definisi Tafsir yang diajukan oleh beberapa ulama
sebagaimana tersebut diatas, pada dasarnya ada perkara mendasar yang oleh
seluruh ulama disepakati sebagai sebuah poin inti dalam definisi Tafsir yaitu,
memahami al-Qur’an sehingga terungkap apa yang dikehendaki oleh Allah.
Berangkat dari sini, kiranya tidak ada salahnya: mengemukakan sebuah
kesimpulan akan pendapat-pendapat ulama diatas, sebagai sebuah (tawaran)
definisi Tafsir; dengan mengatakan:
Tafsir ialah usaha atau disiplin ilmu yang berusaha memahami apa yang
dimaksudkan oleh Allah dalam al-Qur’an, melalui lafal-lafalnya.10
Secara terminologis, definisi ta’wil oleh para ulama juga berbeda-beda. Ada yang
mengatakan: ta’wil ialah mengorientasikan sebuah lafal yang mempunyai banyak
makna kepada sebuah makna, sesuai dengan yang ditunjukkan oleh dalil-dalil. 11
Imam Abu ‘Ubaidah misalnya, mengatakan bahwa Tafsir-Ta’wil bermakna
sama.12
Al-Baghawiy dan al-Kawasyi mengemukakan: Takwil adalah mengorientasikan
ayat kepada makna yang sesuai (diantara sekian makna yang dikandungnya), yang
tidak bertentangan dengan al-Kitab (ayat lain) maupun al-Sunnah.13
7
Muhammad bin ‘Alawi al-Malikiy, Zubdah al-Itqan, (Jeddah: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 167
8
Al-Suyuthi, op. cit., juz. 2, hlm. 450
9
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 208
10
Pada persoalan lafal-lafal al-Qur’an inilah sangat nampak perbedaan definisi Tafsir diantara
ulama. Ada sebagian yang berusaha membatasinya secara eksplisit, sementara yang lain agak
longgar.
11
Al-Suyuthi, op. cit., juz. 2, hlm. 449
12
idem.
13
Idem.

4
Sedangkan Imam al-Maturidiy menyampaikan: Takwil ialah mentarjihkan
sebuah makna diantara sekian makna yang dimilki oleh sebuah lafal, dengan tanpa
memastikan bahwa makna tersebut adalah yang dikehendaki oleh Allah (karena
ketiadaan dalil-dalil yang menunjukkannya).14
Menelaah diantara sekian gagasan ulama dalam memberi pengertian Takwil,
ada beberapa persoalan yang menjadi penting dan tidak pernah ditingalkan oleh
ulama dalam setiap pengertiannya sebagaimana dimaksud. Pertama: dikatakan
Takwil bilamana lafal yang dijadikan obyek kajian mempunyai makna lebih dari
satu (lihat al-Baghawiy, al-Maturidiy, al-Kawasyi, atau yang lain); Kedua: ada
ikhtiyar untuk menentukan makna lafal yang menjadi obyek kajian, diantara dari
sekian makna yang dikandung.
Oleh sebab itu, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy menuturkan: ”Tiap-tiap lafal
yang menunjukkan kepada satu makna yang jelas yang diyakini bahwa itulah
kehendak Allah, tidak diperlukan takwil. Tafsir yang diyakini hanya diketahui
oleh Allah sendiri, itulah ijtihad (takwil) mereka, itulah yang biasanya dikatakan
takwil. Yaitu mengistinbathkan hukum, menjelaskan yang umum, dan
mengkhususkannya. Tiap-tiap lafal yang mengandung dua makna atau lebih,
maka di sanalah berlakunya ijtihad para ulama.”15

B. Klasifikasi Tafsir: Bi Al-Ma’tsur dan Bi Al-Ra’yi


1. Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Secara harfiyah, Tafsir bi al-Ma’tsur berarti penafsiran dengan menggunakan
riwayat sebagai sumber pokoknya.16 Tafsir bi al-ma’tsur, mencakup Tafsir al-
Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan al-Hadits, dan al-Qur’an dengan
pendapat sahabat dan atau tabiin, sebagai penjelasan bagi apa yang Allah
kehendaki dari firman-nya itu.17
2. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an

14
Idem.
15
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 215
16
Prof. Dr. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 174
17
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 210, 215, 225.

5
Menafsirkan (ayat) al-Qur’an dengan (ayat) al-Qur’an yang lain merupakan
tingkat yang paling tertinggi dalam kategori Tafsir bi al-Ma’tsur ini. Para
ulama mengatakan: “Sesungguhnya al-Qur’an itu sebagiannya menafsirkan
sebagian yang lain”.18
Bentuk tafsir al-Qur’an dengan (ayat) al-Qur’an lainnya ini, bisa kita lihat
misalnya pada lafal “Penuhilah Janjiku Niscaya Akan Aku Penuhi Janjimu.”19
Ayat ini ditafsirkan dengan: “Jika kamu telah mendirikan shalat, memberikan
zakat, beriman kepada rasul-rasul-Ku dan memuliakan mereka, dan kemu
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, pastilah aku tutup segala
keburukanmu.”20
Dalam ayat pertama diatas, ada dua kata “janji”. Kata “janji” yang pertama
ditafsirkan dengan “mendirikan shalat, memberikan zakat, beriman kepada
rasul-rasul Ku dan memuliakan mereka, dan kemu meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik.” Sedangkan kata “janji” yang kedua ditafsirkan dengan
“aku tutup segala keburukanmu”.21
3. Tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah
Disamping al-Qur’an itu sendiri, otoritas dalam penafsiran al-Qur’an adalah
juga terletak di tangan Nabi Muhammad Sang Rasul.22 Pada saat al-Qur’an
diturunkan, Rasul SAW. yang berfungsi sebagai mubayyin, senantiasa
menjelaskan kepada sahabat-sahabat beliau tentang arti dan kandungan al-
Qur’an. Terlebih lagi khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak mudah
dipahami atau samar artinya.23
Al-Qur’an sendiri menekankan bahwa Rasulullah SAW. berfungsi menjelaskan
firman-firman Allah dalam al-Qur’an.24 Nabi Muhammad ditugaskan
menjelaskan kandungan ayat-ayatnya. Beliau adalah satu-satunya manusia
yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan al-Qur’an, dengan

18
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm., hlm. 236.
19
QS al-Baqarah: 40.
20
QS al-Maidah: 12.
21
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 217.
22
Prof. Dr. Quraish Shihab, dkk., op. cit., hlm. 175.
23
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 71.
24
idem. hlm. 122

6
penjelasan yang pasti kebenarannya.25 Karena beliau adalah wahyu itu sendiri,
yang segenap tindak dan sikapnya tidaklah pernah salah, dan sudah mendapat
jaminan dari Allah akan kebenarannya.
Disebutkan dalam al-Qur’an: Wa Anzalna Ilayka al-Dzikra Litubayyina Li al-
Nas Ma Nuzzila Ilayhim (dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka).26 Wa Ma Anzalna ‘Alayka al-Kitab Illa Litubayyina Lahum Alladzina
Ikhtalafu Fihi Wa Hudan Wa Rahmatan Liqawmin Yu’minun (dan kami
tidaklah menurunkan kepadamu al-Kitab ini kecuali agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan untuk menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman).27
Salah sebuah bentuk penafsiran al-Qur’an dengan al-Sunnah adalah, ayat: “…
makan dan minumlah kalian sehingga nyata kepada kalian benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar….”28 Ayat ini ditafsirkan dengan hadits:
“Sesungguhnya yang dimaksud adalah gelapnya malam dan terangnya siang.”29
Kata “benag putih” dalam ayat diatas, yang dimaksudkan adalah terangnya
siang (tulu’ al-fajr); dan sedangkan yang dimaksudkan dengan benang hitam
adalah gelapnya malam hari.30 Pemahaman dan kejelasan akan yang
dimaksudkan dengan “benang putih” dan “benang hitam” dalam ayat tersebut,
didapat dari hadits sebagaimana dimaksud.
4. Tafsir al-Qur’an dengan Aqwal Sahabat dan/atau Tabi’in
Para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan peristiwa akbar turunnya
wahyu, mengetahui asbab al-nuzul yang menyingkapkan bagi mereka tirai-tirai
yang menutupi makna-makna al-Qur’an. Mereka mempunyai jiwa yang bersih
dan pengetahuan tinggi tentang balaghah dan fashahah, yang memungkinkan
mereka mamahami al-Qur’an dengan benar.31
25
idem., hlm. 127-128
26
QS 16: 46
27
QS 16: 64
28
QS al-Baqarah: 187
29
HR Bukhari-Muslim dari ‘Adiy bin Hatim. Dalam: Muhammad Bin ‘Alawiy al-Malikiy,
Manhal al-Lathief, (Madinah: Pustaka Negeri Raja Fahd, 2000), hlm. 14
30
Muhammad Bin ‘Alawiy al-Malikiy, Manhal al-Lathief, (Madinah: Pustaka Negeri Raja
Fahd, 2000), hlm. 14
31
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 219

7
Para ulama berpendapat bahwa setelah Nabi Muhammad saw. wafat, orang
yang paling memahami al-Qur’an adalah generasi para sahabat, karena mereka
hidup pada masa al-Qur’an diturunkan, bergaul dengan Sang Nabi, orang yang
paling tahu isi dan kandungan al-Qur’an, serta mengetahui konteks sosial
ketika al-Qur’an turun. Oleh sebab itu, pendapat-pendapat (aqwal) sahabat
dijadikan oleh para ahli Tafsir sebagai bahan penting dalam menafsirkan al-
Qur’an.32
Al-Hakim dalam al-Mustadrak menyebutkan: tafsir sahabat yang berkaitan
dengan asbab al-nuzul disamakan dengan tafsir Nabi sendiri.” Sementara
sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa, Tafsir sahabat yang nilainya
sama dengan Tafsir Sang Nabi hanyalah yang berkenaan dengan penjelasan
atau keterangan tentang asbab al-nuzul. Sedangkan selain yang berkenaan
dengan asbab al-nuzul, maka tetap kita anggap mauquf, tidak diberikan nilai
marfu’.33
Pada prinsipnya, banyak sahabat yang ahli dalam menafsirkan al-Qur’an,
namun yang terkenal diantara para beliau hanya 10 orang: al-Khulafa’ al-
Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas34, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.35
Salah satu contoh Tafsir al-Qur’an dengan aqwal sahabat adalah: “Alif Lam
Mim”.36 Maksud ayat ini menurut Ibnu ‘Abbas ialah, “Ana Allahu A’lam”
(Saya Allah Lebih Mengetahui). Hal itu sebagaimana yang telah diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim dan perawi lain, dari riwayat Abu al-Dluha, dari Ibnu
‘Abbas.37
Bagaimana dengan para tabiin? Setelah generasi sahabat (al-qarn al-nabawiy),
orang yang paling mengetahui kandungan al-Qur’an adalah generasi tabiin,
karena mereka hidup dan bergaul dengan para sahabat (yaitu para orang yang

32
Prof. Dr. Quraish Shihab, dkk., op. cit., hlm. 176
33
idem.
34
Salah seorang pemuka sahabat, yang mendapat gelar tarjuman al-Qur’an; dido’akan oleh
Nabi agar menjadi orang yang luas pemahaman keagamaannya dan ahli dalam Tafsir-Takwil
(“Allahumma Faqqihhu Fi al-Din Wa ‘Allimhu al-Ta’wiel”).
35
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 199-200
36
QS al-Baqarah: 1
37
Muhammad Bin ‘Alawiy al-Malikiy, Zubdah al-Itqan, (Jeddah: Dar al-Fikr, 1986) hlm. 88

8
hidup dalam masa turunnya al-Qur’an). Pendapat-pendapat mereka dipandang
sangat membantu generasi selanjutnya dalam memahami al-Qur’an.38
Pada garis besarnya, Tafsir para tabiin adalah berupa nukilan riwayat-riwayat
penafsiran dari para sahabat dan/atau Sang Nabi. Hal itu sebagaimana
mainstream penafsiran type al-ma’tsur sendiri, yakni Tafsir bi al-riwayah.
Maka mayoritas Tafsir tabiin yang tergolong Tafsir bi al-ma’tsur merupakan
kumpulan riwayat-riwayat dari para sahabat dan/atau Nabi sendiri.
Al-Fudhail bin Mahmud berkata: ”Saya pernah mendengar Mujahid
mengatakan bahwa beliau mengemukakan Tafsir al-Qur’an kepada Ibnu Abbas
sebanyak 30 kali. Mujahid menanyakan kepada Ibnu Abbas tentang pengertian
ayat, tentang sebab turunnya, terhadap siapa diturunkan dan bagaimana
keadaannya.”39
Ikrimah, salah seorang tokoh Tafsir masa tabiin, juga berkata: ”Segala yang
saya ceritakan kepadamu, maka semuanya ini saya terima dari Ibnu Abbas.”40
Karena pada masa ini Islam sudah tersebar luas ke beberapa daerah, para tabiin
pun ada di daerah yang berbeda-beda. Oleh sebab itu dalam melakukan
pembacaan tentang Tafsir para tabiin, para ahli biasanya membagi mereka
kedalam region-region (thabaqat).
Pertama: Ulama Makkah. Imam Ibnu Taymiyyah sebagaimana yang dinukil
oleh al-Suyuthi mengatakan: ”Ulama (era tabiin) yang paling pandai tentang
Tafsir adalah tabiin Makkah, karena mereka terdiri dari murid-murid Ibnu
Abbas. Seperti Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Said bin Jubair, dan
Thaus.”41
Kedua: Ulama Madinah. Secara kuantitas, ulama Madinah tidaklah sebanyak
ulama Mekkah. Diantara ulama Madinah yang terpandang, adalah Zaid bin
Aslam yang Tafsirnya dipelajari oleh putranya sendiri yang bernama Abdur
Rahman, juga oleh Malik bin Anas salah seorang Imam Madzhab.42

38
Prof. Dr. Quraish Shihab, dkk., op. cit., hlm. 176
39
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 223
40
idem., hlm. 224
41
idem., hlm. 223
42
Ibid., hlm. 224

9
Selain itu ada Abu Aliyah salah seorang perawi Tafsir Ubay bin Ka’ab, yang
Tafsirnya diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Anas. Ada juga Muhammad bin
Ka’ab al-Quradhy, yang tentang beliau ini Ibnu Aun berkata: Saya belum
pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui tentang takwil al-Qur’an
selain daripada al-Quradhy ini.43
Ketiga: Ulama Non Makkah-Madinah. Para tabiin dalam kategori ini berada di
daerah yang berbeda-beda. Ada yang berada di Irak misalnya, Masruq bin al-
Ajda’ salah seorang sahabat dan murid Ibnu Mas’ud, yang terkenal kewara’an
dan kezuhudannya; ada yang berada di Basrah seperti al-Hasan al-Bashriy yang
terkenal dengan penghulu para tabiin; ada yang dari Khurasan, yaitu Atha’ bin
Abu Muslim al-Khurasany; dan ada juga yang dari daerah lain seperti, Murrah
al-Hamdani al-Kufiy; dan lain-lain.44
Pasca era tabiin (baca: masa tabi’ al-tabiin), timbullah upaya penyusunan
kitab-kitab Tafsir. Dalam masa inilah dikumpulkan pendapat-pendapat sahabat
dan pendapat-pendapat tabiin menjadi kitab Tafsir, dengan corak kekhasannya:
berdasar kepada riwayat yang disandarkan kepada para sahabat dan/atau tabiin.
Oleh sebab itu, adalah beberapa kitab yang terkenal sebagai kitab Tafsir bi al-
ma’tsur dalam masa tabi’ al-tabiin ini.45
Diantara kitab-kitab tersebut adalah, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
sebagai mahakarya dari Imam Ibnu Jarir al-Thabary. Mengenai mahakarya ini,
banyak kalangan yang menilai keistimewaan dan ketinggiannya. Bahkan
diantara kitab Tafsir dalam kategori Tafsir bi al-ma’tsur, kitab ini adalah yang
paling tinggi nilainya.46
Ada juga Tafsir Abu Laits al-Samarkandiy, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Darar
al-Ma’tsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya al-Shuyuthi, dan lain-lain.47
5. Tafsir Bi Al-Ra’yi
Setalah era Imam Ibnu Jarir al-Thabari dengan mahakaryanya: Jami’ al-Bayan
fi Tafsir al-Qur’an, dunia penafsiran al-Qur’an mulai mengalami perubahan.
43
Ibid.
44
Ibid., hlm. 224-225
45
Ibid., hlm. 226-227
46
Ibid., hlm. 201
47
Ibid., hlm. 228-229

10
Pada masa ini, para ahli Tafsir mulai menempuh jalan yang berbeda-beda. Ada
yang tetap menggunakan al-riwayah, dan yang fenomenal adalah
menggunakan al-ra’yu (though), dalam rangka menjelaskan al-Qur’an guna
mengakomodir persoalan-persoalan kontemporer yang muncul dalam era
tersebut.48
Oleh karena itu, pada era ini muncullah term Tafsir bi al-ra’yi sebagai istilah
bagi model baru Tafsir yang mulai berkembang, sebagai penyeimbang model
Tafsir yang telah mapan, yaitu al-Tafsir bi al-ma’tsur, dan yang masih sarat
dengan kontroversi.49
Secara definitif, Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan
dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak.50
Sedangkan yang dimaksud dengan al-ra’yu sendiri, ialah ijtihad. Oleh
karenanya jika ijtihad ini bersandar kepada sandaran (baca: syarat-syarat) yang
seharusnya, jauh dari kebodohan dan kesesatan, maka menafsirkan al-Qur’an
dengan yang demikian ini, dapat dibenarkan.51

C. Problematika dan Kontroversi


Kasus sentimen golongan juga mewarnai dalam problematika Tafsir bi al-
ma’tsur ini. Sebagaimana yang disebutkan oleh Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy
bahwa, kalangan Syi’ah kerapkali dan amat tertarik hatinya untuk mengumpulkan
makna-makna al-Qur’an yang sesuai dengan keinginan, dan mendukung
kelompok mereka.52
Oleh karena itu, kiranya menjadi wajib bagi penafsir dengan riwayat (Tafsir
bi al-ma’tsur), untuk berhati-hati dalam menerima riwayat, pula cermat dan teliti
dalam memferifikasi sanad-sanadnya.
Idealnya, dan sebagiamana yang diutarakan oleh Teungku M. Hasbi Ash
Shiddieqy, segala Tafsir harus kita letakkan dalam neraca yang sama, dan kita

48
Lebih jauh, lihat: Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2002)
49
Ibid. 201
50
Prof. Dr. Quraish Shihab, dkk., op. cit., hlm. 176
51
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 233
52
Baca: Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 202.

11
kembalikan kepada prinsip yang satu. Mana diantaranya yang sesuai dengan
kebenaran dan jauh dari bid’ah dan hawa nafsu, maka itulah Tafsir yang terpuji.
Sebaliknya mana diantaranya yang bergelimang dengan hawa nafsu, menyimpang
dari kebenaran maka itulah Tafsir yang tercela.53
Sebagaimana tersebutkan diatas bahwa, Tafsir bi al-ma’tsur itu mencakup
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sendiri, penafsiran al-Qur’an dengan al-
Hadits, dan penafsiran al-Qur’an dengan aqwal sahabat dan/atau tabiin.
Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an sendiri, dan menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Hadits al-Shahih, keduanya jelas harus diterima. Adapun mengenai
penafsiran al-Qur’an dengan pendapat yang disandarkan (mauquf) kepada para
sahabat dan/atau tabiin, disini timbul perbedaan.54 Perbedaan yang dimaksudkan
ini, adalah berkisar diterima dan tidaknya Tafsir tersebut, sebagai salah sebuah
produk hukum dalam Islam.
Perbedaan dalam memandang penafsiran al-Qur’an dengan aqwal sahabat
dan/atau tabiin tersebut, pada dasarnya bukan disebabkan oleh faktor intern
(aqwal sahabat dan/atau tabiin) itu sendiri, melainkan cenderung disebabkan oleh
faktor ekstern yang menggodanya.
Faktor ekstern yang dimaksudkan adalah, karena banyaknya riwayat shahih
yang tercampur dengan yang tidak shahih, dan karena orang-orang Yahudi dan
Persia yang zindik pada waktu itu banyak membuat hadits-hadits palsu yang
kemudian diambil oleh para ahli Tafsir dengan tanpa disaring.55
Selain itu, pada masa generasi ini (dan terutama lagi masa tabiin), intrik dan
sentimen antar firqah merebak kuat; masing-masing firqah cenderung
menggunakan al-Quran dan al-Hadits sebagai legitimasi bagi kepentingan masing-
masing.56 Sebagaimana yang disebutkan oleh Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy
bahwa, kalangan Syi’ah kerapkali dan amat tertarik hatinya untuk mengumpulkan
makna-makna al-Qur’an yang sesuai dengan keinginan, dan mendukung
kelompok mereka.57
53
Lihat: Tengku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 232
54
Tengku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 225
55
Ibid., hlm. 202
56
Baca: Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris, (Jakarta: P3M, 2005), hlm. xv & 63-65
57
Baca: Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 202.

12
Oleh karena itu, pada aras penafsiran al-Quran dengan aqwal sahabat
dan/atau tabiin ini, selama itu berupa aqwal yang kualitasnya shahih dan dapat
dipertanggungjawabkan, maka dapat diterima. Demikian sebaliknya, tatkala
penafsiran al-Quran dengan aqwal sahabat dan/atau tabiin itu berupa perkara yang
kualitasnya masih dipertanyakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, pun
sarat dengan faktor-faktor ekstern sebagaimana tersebut, kiranya bukanlah sikap
yang jumawah: untuk menolaknya.
Dalam Tafsir bi al-ra’yi, juga tidaklah terlepas dari kontroversi. Kontroversi
ini semakin terniscaya melihat titik tolak Tafsir bi al-ra’yi itu sendiri, yaitu rasio
atau pemikiran.
Dalam konteks Tafsir bi al-ra’yi, yang dimaksud dengan al-ra’y ialah
ijtihad.58 Artinya, seorang mufassir menggunakan ijtihad dalam rangka
menafsirkan al-Qur’an.59 Disinilah letak kontroversi dimaksud, pada seputar
persoalan ”boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y”, dan
hasilnya nanti ”diterima atau ditolak”.
Sebagian ulama yang menolak mengutarakan, karena penafsiran ini
didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir, maka perbedaan antara satu
mufassir dengan mufassir lainnya pastilah lebih mungkin terjadi. Ulama yang
berpandangan seperti ini biasanya menyebut Tafsir bi al-ra’yi ini dengan al-Tafsir
bi al-hawa, Tafsir atas dasar hawa nafsu.60
Sementara itu ulama yang mendukung Tafsir bi al-ra’yi ini, juga tidak kalah
argumentatif dalam mengemukakan alasan-alasan dan dasar-dasar sebagai
legitimasi akan keabsahan penafsiran al-Quran menggunakan al-ra’y.
Pertama: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dengan elegan dan bijak
menyampaikan: ”Seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan,
memahami, dan menafsirkan al-Quran. Karena hal ini, merupakan perintah al-
Quran sendiri. juga setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda
dengan pendapat yang lain, harus ditampung. Ini adalah konsekuensi logis dari

58
Tengku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 233
59
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dkk., op. cit., hlm. 176
60
Ibid., hlm. 176-177

13
perintah al-Quran, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara
sadar dan bertanggung jawab.”61
Kedua: Dalam beberapa hadits, kita juga dapat temukan: hadits-hadits yang
menunjukkan keabsahan menafsirkan al-Quran dengan al-ra’y (ijtihad) ini.62
Hadits tentang Muadz Bin Jabal misalnya,63 atau salah sebuah hadits yang dikutip
oleh Khudloriy Biek: ”Nabi berkata kepada ’Amr Bin ’Ash: berilah hukum dalam
beberapa masalah!; ’Amr Bin ’Ash menjawab: saya berijtihad?, sedangkan anda
masih ada!; Nabi Menajawab: Benar! Ketika ijtihadmu benar maka kamu
mendapat dua pahala, dan jika ijtihadmu salah64 maka kamu mendapat satu
pahala.”65
Dalam sebuah hadits yang lain, Rasul pernah mendoakan Ibnu ’Abbas:
”Allahumma Faqiihhu Fi al-Dien Wa ’Allimhu al-Ta’wil”66. Mengomentari hadits
ini, Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan: ”Andaikata takwil 67 itu hanya
terbatas pada apa yang didengar saja (Tafsir bi al-ma’tsur), tentulah tiada

61
Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyadari bahwa, al-Quran adalah kitab suci yang shalih
likulli zaman wa al-makan, yang meniscayakan relevansitas dan akomodatifannya pada segenap
problematika tempat dan zaman. Al-Quran sendiri juga memerintahkan untuk untuk merenungkan
ayat-ayatnya, dan kecaman terhadap mereka yang sekedar mengikuti pendapat-pendapat lama
tanpa suatu dasar. Lebih jauh lihat: Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 77
62
Dalam konteks spesifik, hadits-hadits ini memang cenderung lebih diorientasikan kepada
ijtihad dalam persoalan fiqhiyyah. Akan tetapi, mengingat yang dimaksudkan dengan al-ra’y
sendiri adalah ijtihad, maka kiranya bukanlah kesalahan: mengkontekstualisasikannya pada Tafsir
bi al-ra’yi ini. Wallahu A’lam.
63
Hadits ini teramat masyhur, terutama lagi dalam wilayah kebebasan berpikir. Hadits ini
bercerita tentang Muadz Bin Jabal yang hendak diutus menjadi gubernur salah sebuah daerah
kekuasaan Islam, yakni Yaman. Pada waktu pelepasan, dia ditanya oleh Nabi: Muadz, dengan apa
engkau akan memberikan hukum?; Muadz menjawab: Kitab Allah; Nabi kembali bertanya: bila
tak engkau temukan disana?; Muadz menjawab: Sunnah Rasulullah; Nabi kembali bertanya: bila
juga tak engkau temukan?; Muadz kembali menjawab: saya akan berijtihad! Berdasarkan Kitab
Allah dan Sunnah rasul-Nya; Nabi kemudian berkata: Semoga Allah memberkati dan memberi
petunjuk utusan dari utusan-Nya!
64
Catatan: salah (luput: Bhs. Jawa) yang dimaksudkan di sini bukanlah salah yang disengaja.
Melainkan sebuah keadaan dimana seseorang berada dalam kesalahan tapi tidak diinginkan dan
disadarinya.
65
M. Khudloriy Biek, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 370
66
Artinya: “Wahai Tuhanku, berikanlah kepadanya (Ibnu ‘Abbas) keluasan paham dalam
agama, dan ajarkanlah Takwil/Tafsir kepadanya.”
67
Ada ulama yang berpendapat bahwa, yang dimaksudkan dengan al-Takwil dalam kalimat
tersebut adalah Tafsir (Lihat: Al-Shuyuthi, al-Itqan, (Kairo: Dar al-Hadits, tt), juz II, hlm. 450);
Sebaiknya hal ini tidak diperdebatkan lebih dulu, karena yang dimaksudkan di sini adalah siratan
hadits dimaksud yang melegitimasikan keabsahan Tafsir bi al-ra’yi. Sebagai (tawaran) solusinya:
al-Takwil tersebut dimaknai sebagai ‘paham al-Quran’.

14
faedahnya untuk ditakhsiskan takwil bagi Ubnu Abbas ini. Kalau demikian, maka
dikehendaki dari dengan takwil ialah Tafsir dengan mempergunakan ijtihad
(Tafsir bi al-ra’yi).68
Ketiga: Al-Quran sendiri (dalam hal ini, berkenaan dengan Tafsir bi al-
ra’yi), sejak awal juga sudah mewanti-wanti. Agar supaya manusia senantiasa
merenungkan ayat-ayatnya, dan mengecam orang-orang yang sekedar mengikuti
pendapat-pendapat lama tanpa suatu dasar.
Afala Yatadabbaruna al-Quran Am ’Ala Qulub Aqfaluha (Apakah mereka
tidak merenungkan al-Quran ataukah hati meraka terkunci?).69
Kitab Anzalnahu Ilayka Mubarak Liyaddabbaru Ayatih Waliyatadzakkaru
Ulu al-Albab (Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan
berkah, agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan orang-orang yang
mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya).70
... Walaw Rudduhu Ila al-rasul Wa Ila Uli al-Amri minhum La’alimah al-
Ladzin Yastanbithunah Minhum... (...Dan jikalau mereka mengembalikannya
kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah hal itu dapat diketahui oleh
mereka yang dapat mengistinbathkan diantara mereka...).71
Keempat: Dalam perspektif kekinian, ketidakbolehan menafsirkan al-Quran
bi al-ra’yi, adalah menyisakan tanda tanya yang cukup besar. Jika Tafsir bi al-
ra’yi itu tidak boleh, dan penafsiran hanya dikonsentrasikan pada riwayat-riwayat
(Tafsir bi al-ma’tsur), lalu bagaimanakah status hukum daripada perkara-perkara
baru yang spesiesnya tidak ada pada masa awal (al-qarn al-awwal).72 Penggunaan
satelit luar angkasa misalnya, atau aids, atau spesies perkara baru yang lain.
Berbanding lurus dengan hal ini, tentu teramat sulit untuk menemukan relevansi
al-Quran sebagai kitab suci yang shalih likulli zaman wa al-makan.
Oleh sebab itu, diawali dengan pendapat Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
berlanjut beberapa hadits, kemudian dilengkapi lagi dengan ayat-ayat,
68
Tengku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 241
69
QS Muhammad: 24
70
QS Shad: 29
71
QS al-Nisa: 83
72
Sebagai catatan, Nabi Muhammad saw. tidaklah menafsirkan seluruh al-Quran. (lihat:
Tengku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002.
hlm. 241)

15
sebagaimana tersebut di atas, kiranya cukuplah berdasar: untuk mengatakan
(sebagai kesimpulan) bahwa, penafsiran al-Quran bi al-ra’yi (rasio-ijtihad)
merupakan penafsiran yang absah.
Dalam konteks kontroversi seputar boleh tidaknya Tafsir bi al-ra’yi
sebagaimana dimaksud ini, Prof. Dr. M. Hasbi Ash Shiddieqy mengemukakan
sebuah kesimpulan yang menarik. Beliau mengatakan bahwa, ”Mungkin juga kita
anggap bahwa perselisihan antara yang membolehkan dengan yang tidak
membolehkan adalah perselisihan lafdzhy.”73 Dalam Artian bahwa, ulama yang
tidak memperbolehkan hanyalah (sekedar) merasa khawatir akan penyalahgunaan
ayat-ayat al-Quran untuk legitimasi atau kepentingan para orang yang tidak
bertanggung jawab.74 Sementara yang bersiteguh memperbolehkan, adalah para
ulama yang merasa resah dan prihatin dengan keadaan umum kaum muslimin
kekinian, yang dilingkupi keterbelakangan.75
Persoalan yang menggelinding kemudian adalah, ”Sejauhmanakah keabsahan
Tafsir bi al-ra’yi?” atau ”Seberapakah kebebasan dalam menafsirkan al-Qur’an bi
al-ra’yi?”
Kiranya dalam setiap disiplin ilmu atau tata sosial-kemasyarakatan, pastilah
ada batasan. Bisa dibayangkan seandainya setiap orang itu bebas telanjang di
muka publik, terlepas batasan dalam kasus ini sikap pribadi atau ada hukum
(formal atau non formal) yang mengatur. Atau dalam praktek kedokteran,
bagaimana jika setiap orang bebas melakukan praktek-praktek medis, seperti
operasi, meramu resep, dan semacamnya. Atau dalam penghitungan statistik, yang
kesemua orang bebas melaksanakan.
Dramatisasi sederhana diatas, merupakan analogi daripada kebebasan
penafsiran al-Quran (bi al-ma’tsur). Dengan kata lain, dalam penafsiran al-Quran
(bi al-ma’tsur) sebagaimana yang tersirat dalam analogi di atas, pun ada batas dan
tata aturan yang mengikatnya.
73
Tengku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 241
74
Dalam kasus ini, biasanya al-Quran dijadikan sebagai pembenar, legitimator, dan
justifikator bagi kepentingan dan agenda golongan-golongan. Lebih lanjut: Very Verdiansyah,
Islam Emansipatoris, (Jakarta: P3M, 2005), hlm. xv & 63-65)
75
Masuk dalam kategori ini, Asghar Ali Engineer dengan Teologi Pembebasan; Hassan
Hanafi dengan Hermeneutika Pembebasan; dan Farid Esack dengan Hermeneutika Pembebasan
dan Pluralisme. (Bisa dirujuk dalam: Very Verdiansyah, op. cit., hlm. 24-41, dan 134-136

16
Sebagaimana telah tersebut bahwa, kebebasan dalam menafsirkan al-Quran
adalah secara sadar dan bertanggung jawab. Dalam kebebasan yang bertanggung
jawab inilah, timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan al-Quran. Hal
itu, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dipunyai oleh dan dalam setiap
disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut, dapat menimbulkan polusi
dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan.76
Kebebasan berTafsir, pada penggal sejarah muslim di masa lampau, telah
menyebabkan al-Quran diTafsirkan dengan beragam pendekatan dan kepentingan.
Ketika konflik politik dan teologis semakin memanas, maka aktifitas Tafsir
kemudian melahirkan pemahaman yang bertentangan antara satu sama lain.
Sebagai upaya meredam konflik-konflik, yang menjadikan al-Quran sebagai
justifikasi ini, para ulama kemudian membuat persyaratan yang cukup ketat, bagi
Tafsir yang dianggap sah.77
Syaikh Muhammad Bin Alawi al-Maliki, mengemukakan 15 (lima belas)
disiplin ilmu yang harus dimiliki oleh sesorang, sebagai syarat bagi orang yang
hendak menafsirkan al-Quran78:
Pertama: Bahasa Arab. Dengan ilmu bahasa ini, keterangan akan bentuk
kata-kata dan konotasinya yang original dapat diketahui;
Kedua: Nahwu (tata bahasa). Dengan disiplin ilmu ini, perubahan dalam
setiap makna dapat diketahui. Karena setiap makna akan berubah, seiring
perubahan dan perbedaan cara baca (baca: i’rab) tiap kalimat;
Ketiga: Tashrif (konjugasi). Dengan disiplin ilmu ini, tiap kata dapat
diketahui bentuk dasar (abniyah) dan bentuk turunan (shighah);
Keempat: Isytiqaq (derivasi kata; etimologi). Disiplin ilmu ini adalah guna
mengetahui sejarah (baca: asal-usul) sebuah kata;
Kelima: Ma’ani (retorika). Dengan ilmu ini, makna-makna tertentu dalam
tiap corak susunan kalimat akan dapat diketahui.

76
Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 77
77
Zuhairi Misrawi (ed.), Dari Syariat Menuju Maqashid al-Syariat: Fundamentalisme,
seksualitas, dan kesehatan reproduksi, (Jakarta: KIKJ feat. Ford Foundation, 2003), hlm. 196.
78
Muhammad Bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqan, (Jeddah: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 170-
172

17
Keenam: Bayan (kejelasan berbicara). Untuk mengetahui makna-makna
tertentu dari segi kejelasan dan kesamaran petunjuk yang ada pada susunan
kalimat;
Ketujuh: Badi’ (efektifitas bicara). Ilmu yang berkenaan dengan tata aturan
kata atau kalimat yang bagus;
Kedelapan: Ilmu Qiraat (wajah-wajah pembacaan al-Quran). Disiplin ilmu
ini berkenaan dengan cara-cara melafalkan al-Quran, dan beberapa model
pembacaan yang mungkin diterapkan dalam membaca al-Quran;
Kesembilan: Ushuluddien (pokok-pokok agama). Ilmu ini membahas
tentang beberapa dasar agama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat-ayat al-
Quran yang dilalahnya jelas;
Kesepuluh: Ushul Fiqh. Disiplin ini mencakup tentang tata aturan
mengambil dalil-dalil bagi sebuah produk hukum agama, dan tata cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalil dimaksud.
Kesebelas: Asbabun Nuzul (kisah-kisah dan riwayat). Dengan ilmu ini,
konteks dan latar belakang turunnya sebuah ayat misalnya, dapat diketahui;
Kedua belas: Nasikh-Mansukh. Dengan disiplin ilmu ini, kiranya dapat
diketahui ayat yang masih dapat digunakan hujjah karena masih tetap, dan ayat-
ayat sudah tidak bisa dipakai lagi karena telah terhapus (mansukh);
Ketiga belas: Fiqh. Disiplin ilmu ini adalah merupakan produk-produk
ijtihad para ulama yang telah terkodifikasikan, yang berkenaan dengan tata cara
dan tata perbuatan;
Keempat belas: Hadits-hadits yang menjelaskan ayat mujmal (general
concept) dan mubham (ambigu). Yang dimaksudkan dengan hadits-hadits
dimaksud ini, adalah beberapa hadits yang telah menjadi Tafsir bagi beberapa ayat
yang umum (mujmal) dan ayat-ayat yang ambigu;
Kelima belas: Ilmu Mauhibah (Ilmu Laduni). Dalam beberapa khazanah
Islam klasik, ilmu mauhibah ini didefinisikan sebagai ilmu yang diperoleh oleh
seseorang karena konsistensinya dalam mengamalkan apa yang ia ketahui.79
79
Catatan: Secara implisit, dalam mengemukakan syarat-syarat penafsiran al-Quran bi al-
ra’yi ini, masing-masing pakar berbeda-beda. Akan tetapi pada intinya mereka sama:
menginginkan adanya sebuah kematangan diri dalam setiap orang yang hendak menafsirkan al-

18
Oleh sebab itu, barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan ijtihadnya (bi al-
ra’yi), dan berpijak pada pegangan-pegangan (baca: syarat) yang telah
diterangkan, maka penafsiran beserta produk Tafsirnya, adalah Tafsir yang dapat
diterima, atau masuk dalam kategori Tafsir yang terpuji. Sebaliknya, orang yang
menyimpang dari ketentuan ini, maka penafsiran beserta produk Tafsirnya, adalah
Tafsir yang tidak dapat diterima, atau Tafsir yang tercela.80

D. JENIS PENAFSIRAN: TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL


Berkenaan dengan kedua pendekatan ini, Prof. Dr. M. Quraish Shihab
mengutip sebuah hadits. Dalam peperangan al-Ahzab, Nabi besabda: “Jangan ada
yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” Mendengar sabda
Nabi ini, pola pikir para sahabat terpetakan menjadi dua:
Pertama: Golongan sahabat yang memahami sabda tersebut secara tekstual,
yang karenanya tidak melaksanakan shalat Ashar walaupun waktunya telah
berlalu; golongan ini berkesimpulan tidak akan shalat Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraidzah.
Kedua: Golongan sahabat yang memahami sabda dimaksud secara
kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar sebelum tiba di
perkampungan Bani Quraidzah, (dengan tetap menjaga kedisiplinan). Dalam
kasus ini, Nabi tidak mempermaslahkan kedua kelompok sahabat yang
menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks sabda tersebut.81
1. Penafsiran Tekstual
Secara harfiyah, kata tekstual adalah berarti bersifat teks. Artinya bahwa,
segala sesuatu yang bersifat teks, maka kepadanya layak untuk disebut
tekstual. Dalam perkembangannya kemudian, dan terutama lagi akhir-akhir

Qur’an, baik kematangan intelektual, emosional, apalagi spiritual. Bandingkan: Muhammad Bin
Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqan, (Jeddah: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 170-172; Dr. M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 79; Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
dkk., Sejarah & Ulum al-Qur’an, (Jakarta: PenerbitPustaka Firdaus, 2001), hlm. 177; dan Tengku
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002. hlm.
202-203
80
Tengku M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 233
81
Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 125

19
ini, istilah tekstual ini lebih akrab dan sering digunakan dalam pembahasan
seputar penafsiran.
Akar-akar historis tekstualisme dan literalisme, sepenuhnya bisa dilacak dari
sejarah peradaban manusia di masa lalu, yang mana pengaruhnya terus
berkembang hingga saat ini.82 Sebagaimana yang disampaikan oleh Nasr
Hamid Abu Zayd bahwa, dalam sejarah peradaban dunia ini ada tiga
peradaban adiluhung. Salah satu peradaban dimaksud ini adalah, peradaban
teks, yaitu peradaban yang tumbuh subur di dataran Arab. Peradaban ini
menjadikan teks sebagai sentral utama, dan agama-agama yang turun di
kawasan ini juga mempunyai perhatian khusus terhadap teks.83
Menurut KH Masdar Farid Mas’udi, Tafsir tekstualis adalah model penafsiran
yang menjadikan teks segala-galanya. Apa yang disampaikan teks adalah
titah Tuhan yang harus dilaksanakan. Efek kemudiannya bagi kalangan
tekstualis ini, ada keyakinan teologis bahwa kehendak dan kekuasaan Tuhan
sudah disampaiakan secara komprehensif dalam teks. Konsekuensinya,
pemahaman keagamaan dan keduniaan harus merujuk sepenuhnya pada
teks.84
Dalam konteks masa kekinian, model pendekatan tekstual ini bisa didapati
bentuknya pada kalangan Islam Fundamentalis. Seperti FPI (Front Pembela
Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonsia), atau persemisalannya. Hal itu
sebagaimana yang diketengahkan oleh Hatim Gazali (salah seorang peneliti
dalam Community for Religion and Social engineering Yogyakarta) bahwa,
Islam fundamentalis lebih menekankan pada makna tekstual dari agama,
bukan pada subtansi.85
82
Very Verdiansyah, op. cit., hlm. xxi
83
Sedangkan dua peradaban adiluhung lainnya adalah, Peradaban Akal (peradaban Yunani).
Peradaban ini mempunyai peranan besar bagi pencerahan dunia dan lahirnya pemikiran filosofis;
dan Peradaban Pasca-Kematian (peradaban Mesir-Kuno). Peradaban ini telah membawa Mesir
dalam puncak kejayaannya dengan membangun Piramida sebagai symbol ketinggian pasca-
kematian. Lebih lanjut lihat: Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran Kritik Terhadap Ulum
al-Quran, ter. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 2
84
Masdar F. Mas’udi, Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris, dalam: Very
Verdiansyah, op. cit., hlm. xxii
85
Dalam hal ini, Hatem membandingkan Islam Fundamentalis dengan Islam liberal. Oleh dia,
kelompok yang disebut terakhir ini, adalah menggunakan pendekatan kontekstual. Islam Liberal
lebih merujuk kepada subtansi dari doktrin agama -atau meminjam istilahnya Al-Syatiby:

20
Atau bila dalam era klasik, KH Husein Muhammad menyebutkan bahwa,
model pendekatan tekstual ini biasa digunakan oleh para ulama zaman abad
pertengahan.86 Hal semacam ini, nampak dalam karya-karya Tafsir. Sebagai
ciri utama yang amat menonjol dari kitab-kitab Tafsir dimaksud adalah
(meminjam istilah ‘Abid al-Jabiri), lebih bercorak bayani dengan
menundukkan nalar dan realitas kepada teks. Secanggih apapun nalar dan
serumit apapun realitas sosial, harus senantiasa ditundukkan oleh teks.87
Jadi kecenderungan model pendekatan tekstualis ini adalah, al-‘ibrah bi
‘umum al-lafdhy la bi khusus al-sabab. Apa yang dikatakan oleh teks, itulah
yang menjadi hujjah, bukan tergantung konteks atau hukum causalitynya.
2. Penafsiran Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah, pendekatan yang dilakukan dengan melihat
konteks sejarah-sosial, yang lebih khusus dalam tradisi Islam disebut sebagai
Asbab al-Nuzul. Kaedah kontekstual selalu mempertimbangkan bahkan
meniscayakan realitas sosial sebagai asas bagi perubahan hukum.88
Ada juga yang menguraikan, pendekatan kontekstual adalah upaya pemaduan
kajian semantik (kebahasaan) al-Quran dengan beberapa elemen penjelas
(konteks) yang lain: elemen historis (sabab al-Nuzul); elemen sosiologis
(sya’nu al-Nuzul); elemen korelasi intertekstual (munasabah); elemen idiom-
idiom syara’ (al-haqiqat al-syar’iyah); peta cultural bangsa Arab; dan post
nuzul al-Quran secara gradual; serta pendekatan keilmuan haruslah searah
dengan tema sentral kandungan ayat.89
Dalam pemasalahan ini KH. Husein Muhammad mengutip pendapat dari ahli
ushul fiqh Spanyol Abu Ishaq al-Syathibi (Al-Muwafaqat, III/347), yang
mengatakan: “Untuk memahami teks bahasa Arab yang mana al Qur-an
diturunkan, diperlukan pengetahuan tentang sejumlah keadaan (muqtadhayat

Maqashid al-Syariah-; memaknai agamanya penuh dengan kesantunan, dan pesan perdamaian dan
anti kekerasan, sehingga segala bentuk kekerasan dianggap menyalahi agamanya; kurang
memperdulikan teks agama (non-literal).
Lebih jauh, lihat: http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/16/opi03.htm
86
http://sistersinislam.org.my/IFL%20articles/Husein%20Muhammad%20bahasa.doc
87
Very Verdiansyah, op. cit., hlm. 70
88
http://sistersinislam.org.my/IFL%20articles/Husein%20Muhammad%20bahasa.doc
89
http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=79

21
al-ahwal): keadaan bahasa (hal nafs al-khithab/teks), keadaan mukhathib
(author), dan keadaan mukhathab (audience). Juga diperlukan pula
pengetahuan tentang konteks-konteks di luarnya yang lebih luas (al-umur al-
kharijiyyah). Konteks eksternal dimaksud ini meliputi: konstruksi (sistem)
sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan di mana teks tersebut diturunkan.
Selain itu, untuk menafsirkan al Qur-an diperlukan pula pemahaman atas
tradisi, adat istiadat masyarakat Arab dalam berbahasa, bertingkahlaku dan
berinteraksi ketika teks-teks al Qur-an diturunkan.”90
Pendekatan kontekstual bersilang-kait dengan beberapa permaslahan kekinian
(al-umur al-‘ashruyyah), adalah pendekatan yang dirasa lebih apresiatif dan
akomodatif. Hal itu mengingat al-Quran sebagai kitab suci, adalah berupa
susunan bahasa ungkapan yang cenderung singkat, akan tetapi padat makna;
substansi yang dikandungnya pun menyentuh seluruh aspek kehidupan
manusia. Di sisi lain, dictum al-Quran sebagai kitabullah yang shalih likulli
zaman wa al-makan, pastilah nian tak terbantahkan.
Lebih dari itu, Nasr Hamid Abu Zayd menuturkan bahwa, al-Qur’an sebagai
sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya91 (Tekstualitas al-Qur'an,
2000). Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara
teks (al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara
pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks al-Qur’an akan hanya menjadi
benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena
kemanusiaan.92 Dengan begitu, kontekstualisasi al-Quran adalah perkara yang
urgen lagi niscaya.
Dalam pendekatan kontekstual ini, ada beberapa prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan, dan diposisikan terlebih dulu sebagai prasyarat.93 Pertama:
Prinsip Ketauhidan. Dalam prinsip ini, satu-satunya eksistensi absolut adalah
Tuhan, selain Dia adalah eksistensi yang relatif-terbatas. Implikasi logis dari
90
Ibid.
91
Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks al-Qur’an dalam 20
tahun lebih, yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya.
92
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=124
93
Catatan: bagian ini disarikan dari makalah KH Husein Muhammad dalam:
http://sistersinislam.org.my/IFL%20articles/Husein%20Muhammad%20bahasa.doc, dengan
beberapa perubahan yang tidak merusak substansi.

22
pada prinsip ini adalah, persamaan seluruh eksistensi-eksistensi yang relatif-
terbatas, yaitu eksistensi-eksistensi selain Tuhan. Prinsip ini lebih
diperhatikan lagi manakala berhubungan dengan ayat-ayat yang berhubungan
dengan dengan relasi sosial-kemasyarakatan.
Kedua: Pesan Moral Universal al-Quran. Dengan kalimat lain, ayat-ayat al-
Qur-an yang bermakna pesan-pesan moral universal, harus menjadi dasar
bagi seluruh cara pandang penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Misal
saja sebagaimana yang tersebut dalam QS al-Hujurat: 13 disebutkan bahwa,
tidak ada kelebihan dan perbedaan satu manusia atas manusia yang lain atas
dasar identitas-identitas sosial, kecuali atas dasar ketaqwaannya kepada
Tuhan.
Ketiga: al-Maslahah al-‘Ammah.94 Dalam bahasa al-Quran, hal ini disebut
dengan rahmatan li al-alamin (QS al-Anbiya’: 107). Sebagai bangunan
argumentasi lebih lanjut, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 1292) dengan tegas
menyatakan bahwa adalah mustahil jika syari’ah menyebabkan atau
menghasilkan ketidakadilan dan ketidakrahmatan, dan jika ini terjadi maka
pastilah interpretasi atau aturan-aturan positif yang telah dilakukan itu yang
tidak tepat.”
Keempat: Pemahaman Asbab al-Nuzul. Dalam aras ini main set yang
digunakan adalah: al-‘ibrah bikhusus al-sabab la bi ‘umum al-lafdzhy.
Artinya, kisah-kisah atau konteks sosio-kemasyarakatan dimana ayat
diturunkan adalah menjadi bahan kajian khusus dalam penarikan pemahaman
dari sebuah teks, pula analisis kausalitas teks dan konteks juga perlu
diperhatikan. Dalam sebuah kaidah ushuliyyah diketengahkan: “Al-Hukm
Yadur Ma’a ‘Illatihi Wujudan Wa ‘Adaman”, (suatu keputusan hukum selalu
tergantung pada causality95-nya).
94
Dalam hal ini, al-Ghazali (w. 1111 M) menyebutnya dengan istilah Maqashid al-Syari’ah.
Dia merumuskan kemaslahatan ini ke dalam lima prinsip dasar (al-Kulliyyat al-Khams): hifzh al-
din (perlindungan terhadap keyakinan/agama); hifzh al-nafs (perlindungan terhadap jiwa); hifzh
al-‘aql (perlindungan terhadap akal pikiran); hifzh al-‘irdh (perlindungan terhadap
kehormatan/keturunan/alat-alat reproduksi); dan hifzh al-maal (perlindungan terhadap
kekayaan/properti). Lihat: Al-Ghazali, Al-Mustashfa, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, juz. I
hlm. 281
95
Prof. Dr. Fazlurrahman (Cendekiawan Pakistan lahir 1919 dan Guru Besar di salah satu
Universitas di Chicago) menyebut ‘illat ini dengan rasio legis.

23
Dalam konteks kekinian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hatim Gazali
(salah seorang peneliti dalam Community for Religion and Social engineering
Yogyakarta), pendekatan kontekstual ini bisa kita peroleh gambarannya
dalam manhaj kalangan Islam Liberal. Islam Liberal merujuk kepada subtansi
dari doktrin agama -atau meminjam istilahnya Al-Syatiby: Maqashid al-
Syariah-, memaknai agamanya penuh dengan kesantunan, dan pesan
perdamaian dan anti kekerasan, sehingga segala bentuk kekerasan dianggap
menyalahi agamanya; kurang memperdulikan teks agama (non-literal). 96
Sekaligus berusaha mengkontekstualisasikan ayat-ayat terkait dengan
persoalan-persoalan kontemporer yang menjadi problem umat.
Dalam terapan kedua pendekatan diatas, kita bisa mengambil salah sebuah
ayat al-Quran. Dalam hal ini adalah surat al-Nisa’: 34:

“Al-Rijal Qawwamuna ‘Ala al-Nisa’ Bima Fadldlala Allahu Ba’dlahum


‘Ala Ba’dl Wa Bima Anfaqu min Amwalihim”

Menurut KH. Husein Muhammad, bila menelaah ayat tersebut dengan


pendekatan tekstual, tentu kesimpulan yang dihasilkan adalah tetap sama
bahwa, wanita itu inferior yang berada di bawah kepemimpinan laki-laki yang
superior (sebagaimana termaktub). Meskipun kemodernan telah mengubah
kehidupan perempuan dalam berbagai aspek, namun pendapat keagamaan
masih terus meletakkan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah. Efek
lebih jauhnya, pemahaman seperti ini kemudian dijadikan dasar legitimasi
bagi tindakan-tindakan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan dalam
seluruh ruang kehidupannya baik pada domain publik maupun peribadi.97
Akan tetapi bila mentelaah ayat tersebut dengan pendekatan kontekstual,
dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana tersebut diatas maka,
pemahaman terhadap teks tersebut akan menjadi lain. Pertama: Pemahaman
tekstual terhadap ayat tersebut dengan pengaminan akan posisi inferior
perempuan dan kesuperioran laki-laki, adalah bertabrakan dengan prinsip
ketauhidan dan ayat moral universal (baca: al-Hujurat: 13).

http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/16/opi03.htm
96

97
http://sistersinislam.org.my/IFL%20articles/Husein%20Muhammad%20bahasa.doc

24
Kedua: Pemahaman bahwa perempuan inferior dan laki-laki superior, adalah
sama halnya dengan penculasan terhadap al-maslahah al-‘ammah (QS al-
Anbiya’: 107: rahmatan li al-alamin; atau al-Ghazali: maqashid al-syari’ah)
itu sendiri, padahal tiap produk hukum syar’iy adalah bertolak padanya.
Pemposisian perempuan dalam inferioritas dan laki-laki dalam superioritas
merupakan ketidak rahmatan, karena relasi yang terbangun nantinya adalah
satu kalangan di bawah kalangan lainnya, dan jelas kalangan yang di bawah
pastilah tidak terahmati.
Ketiga: Ayat tersebut terikat dengan konteks dimana ayat diturunkan. Ayat
tersebut terbingkai dalam konteks sosio-kemasyarakatan yang patriarki.
Dalam sistem, ini potensi kecerdasan intelektual perempuan tertekan dan
akses sosial-ekonominya pun tersekat. Sementara laki-laki sebagai pihak
penentu, tentu mempunyai keunggulan dalam aspek akal-rasional, dan karena
keterbukaan akses sosial-ekonominya, maka fungsi sebagai pemberi nafkah
adalah niscaya.
Keunggulan-keunggulan ini, tentu saja bersifat kondisional; ia muncul lebih
karena konteks sosio-kemasyarakatan yang patriarki. Boleh jadi (bahkan
pasti), realitas akan berubah bilamana konteksnya berbeda. Ambil saja
konteks kekinian, banyak wanita telah sukses dalam posisi-posisi yang
dulunya selalu diisi laki-laki; pun tak jarang potensi kecerdasan akal-rasional
perempuan melebihi laki-laki.
Al-hasil, bukanlah kemutlakan bahwa laki-laki itu memimpin perempuan; dan
bukan kemutlakan pula posisi laki-laki sebagai superior dan karenannya
wanita inferior.

25
BAB III
PENUTUP

Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati,


dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang
sejalan dengan dinamika sosial (Rethinking Islam, 1999). Al-Qur’an sebagai teks
yang telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan
yang sangat luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan
hal ini. Oleh karena itu, pelbagai metode penafsiran dan model Tafsir dalam kurun
waktu sejarah Islam, adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha
mendinamisir Al-Qur’an yang sangat universal itu.98
Dalam rangka jihad mendapatkan pesan Sang Pencipta dalam al-Quran,
baik itu melalui ikhtiyar penerjemahan, penafsiran, atau hanya sekedar mencari
pemahan, pastilah tidak terlepas dari ragam problem. Mengingat kompleksitas
persoalan yang melingkupinya. Mulai dari rentang waktu yang teramat panjang,
perbedaan budaya dan konteks sosio-kemasyarakatan, sampai letak geografis yang
memang berjauhan. Nah, berangkat dari ragam problematika tersebut, terlebih lagi
yang berhubungan dengan ikhtiyar penafsiran kitabullah ini, ada sebuah teori
filsafat yang dapat dimanfaatkan untuk menganilisis problem-problem tersebut,
sehingga al-Quran bisa dipahami secara proporsional dan komprehensif, yaitu
hermeneutika. Sampai sini, kiranya kadar urgensitas serta relevansi hermeneutika
telah terbayangkan.
Pesan Allah dalam teks al-Quran yang diturunkan melalui Nabi
Muhammad, tidak akan hanya dipahami secara tekstual saja, melainkan juga
dipahami secara kontekstual lagi komprehensif. Juz, tidak terpaku pada teks dan
konteks khususnya (asbab al-nuzul) saja, lebih dari itu harus ada inovasi dan
upaya kreatif penuh tanggung jawab dalam penafsiran al-Quran (dan
persemisalannya), yang selaras lagi sesuai dengan dinamika waktu dan ruang
(shalih likulli zaman wa al-makan).

98
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=124

26
Dalam kaitan ikhtiyar penafsiran dan pemahaman terhadap al-Quran,
dengan pemakaian metode hermeneutika di dalamnya, ada tiga elemen pokok.
Yaitu: teks (hal al-nafs al-khitab); pengarang (author; mukhatib); dan pembaca
(audience; mukhatab)99, yang masing-masing memiliki konteks dan dunia sendiri-
sendiri. Oleh karena itu, ketiga elemen dimaksud ini, harus menjadi titik tolak dan
pertimbangan, guna mendapatkan pemahaman dan penafsiran yang tepat dan
terpuji.
Pertama: Teks
Dalam nalar kritis, tentunya yang pertama kali muncul adalah pertanyaan
kritis berkenaan dengan dunia teks ini: “Mungkinkah ‘gagasan’ Tuhan Yang
Tidak terbatas, dapat terangkum atau terejawentah secara komplit dalam teks yang
pastinya adalah terbatas?”
Zuhairi Misrawi, salah seorang yang disebut-sebut sebagai salah satu
intelektual muda NU mengatakan bahwa, bahasa dan teks merupakan medium
untuk menyampaikan pesan wahyu, yang meski mempunyai keistimewaan,
tetaplah merupakan produk budaya yang mempunyai sifat terbatas. Menyamakan
ide Tuhan, hanya sebatas yang terungkap dalam symbol bahasa dan teks sama
artinya mengecilkan Tuhan itu sendiri, karena dengan itu berarti kita telah
“membatasi” Tuhan. Padahal Dia adalah Tidak Terbatas. Dengan demikian,
bahasa dan tekas ibarat gunung es, di mana makna yang tidak tampak masih lebih
banyak dari pada makna yang muncul di permukaan.100
Dalam wilayah dunia teks-bahasa inilah, Hassan Hanafi menegaskan bahwa
analisis linguistic terhadap kitab suci (dalam hal ini, al-Quran) memang bukan
merupakan analisis yang baik. Tapi ia merupakan alat sederhana yang membawa
kepada pemahaman terhadap makna kitab suci. Dalam analisis bahasa, Hanafi

99
Catatan: Jauh hari sebenarnya Abu Ishaq al-Syatibi sudah mengatakan bahwa, untuk
memahami teks bahasa Arab yang mana al-Qur-an diturunkan, diperlukan pengetahuan tentang
sejumlah keadaan (muqtadhayat al-ahwal): keadaan bahasa (hal nafs al-khithab/teks), keadaan
mukhathib (author) dan keadaan mukhathab (audience). [Al Syathibi, Al Muwafaqat, III/347,
dalam: http://sistersinislam.org.my/IFL%20articles/Husein%20Muhammad%20bahasa.doc]
100
Very Verdiansyah, op. cit., hlm. 117

27
menunjukkan pentingnya juga penggunaan fonologi, morfologi, leksikologi, dan
sintaksis.101
Fonologi ialah kajian mengenai pola bunyi bahasa, yaitu kajian mengenai
bunyi-bunyi yang berfungsi dalam sesuatu bahasa. 102 Morfologi berfungsi
menjelaskan bentuk kata berikut implikasi maknannya akibat perbedaan
penggunaan kata. Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis makna:
‘makna etimologis’103; ‘makna biasa’104; dan ‘makna baru’105.106
Sementara itu sintaksis, bagi Hanafi merupakan kunci sesungguhnya dari
kegiatan penafsiran dalam tahap ini. Berguna menyingkap prinsip-prinsip makna
ganda dalam teks. Seperti makna harfiah dan makna kias, isti;ah-istilah univocal
dan ekuivokal, makna samar dan makna yang tepat, makna yang tampak dan
makna yang tidak tampak, makna yang jelas dan yang tersembunyi, makna khusus
dan makna umum, larangan ataukah perintah.107
Disamping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada level berikutnya,
penafsiran harus juga memusatkan diri pada latar belakang sejarah yang
melahirkan teks. Menurut Hanafi, dalam hal ini ada dua jenis situasi: ”situasi saat”
atau ”contoh situasi”, dan ”situasi sejarah”. Situasi saat adalah, kasus dimana teks
diturunkan yang menjadi substratum bagi wahyu. Sementara situasi sejarah terjadi
ketika teks tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis bukan berupa wahyu, tapi
inspirasi mengenai wahyu (komentar seperti dalam al-hadits) tertentu dalam
sejarah yang ditulis oleh para penulis wahyu pada masa berikutnya.108
101
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembabasan: Metodologi Tafsir al-Quran menurut
Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 118
102
http://www.tutor.com.my/stpm/fonologi/Fonologi.htm
103
Makna etimologis adalah makna dasar, yang menunjukkan timbulnya makna kata itu di
dunia. Makna ini memberikan jaminan pada teks sebagai suatu kenyataan dan mencegah
munculnya penafsiran-penafsiran yang bersifat metafisis, mistis, teoritis, dan formal. Lihat: A.
Khudori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 164
104
Makna biasa adalah makna yang mengikat teks (wahyu) pada penggunaan kata dalam
suatu masyarakat, ruang, dan waktu tertentu. Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai
dengan yang dimaksud oleh situasi khusus. Lihat: Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembabasan:
Metodologi Tafsir al-Quran menurut Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 119
105
Makna baru adalah makna yang diberikan wahyu yang tidak terkandung dalam makna
etimologis, maupun makna biasa. Makna inilah yang menjadi dasar turunnya wahyu atau
maqashid al-lafdz (semangat teks). Makna baru ini befungsi memberi petunjuk bagi tindakan, dan
merupakan dorongan baru bagi manusia. Lihat: Ilham B. Saenong, op. cit., hlm. 119
106
Very Verdiansyah, op. cit., hlm. 117
107
Ilham B. Saenong, op. cit., hlm. 119
108
Ibid.

28
Setelah menelusuri makna linguisitik dan latar belakang sejarah munculnya
teks, selanjutnya kiranya kita perlu melakukan generalisasi. Yaitu generalisasi
makna-makna yang dihasilkan dengan situasi luar, situasi kekinian yang diluar
situasi saat maupun contoh situasi di mana teks tersebut pertama turun, sehinggan
teks tetap tampak segar, baru dan modern.109namun, makna baru dalam teks tidak
akan menjadi segala-galanya, karena ada kebenaran di luar teks dan kendala
keterbatasan bahasa itu sendiri tidak dapat memuat pesan-pesan realitas yang
nampak.110
Kedua: Pengarang
Dalam kaitan dengan teks suci, pengarang yakni Tuhan diletakkan dalam
posisi sebagai pengarang atau sumber pesan. Tuhan sebagai ’pengarang’ teks
berada dalam posisi yang sama sekali berbeda dengan dengan Muhammad sebagai
penerima pesan. Tuhan adalah Dzat Maha Tinggi dan Tak Terbatas; sedang
Muhammad dan elemen lain yang digunakan untuk menyampaikan pesan (bahasa
dan teks) berada dalam posisi yang serba terbatas.111
Dalam prinsip fenomenologis, Hassan Hanafi mensyaratkan bahwa, dalam
menginterpretasi teks, penafsir tidak boleh dipengaruhi oleh dogma atau
pemahaman-pemahaman yang ada. Tidak boleh didahului oleh keyakinan atau
bentuk apa pun sebelum menganalisis secara lingusitik terhadap teks dan
pencarian arti-arti. Seorang mufassir harus memulai pekerjaannya dengan tabula
rasa, tidak boleh ada yang lain, kecuali ala-alat untuk analisis linguistik.112
Ketiga: Pembaca
Audiens atau dunia pembaca yang dimaksud di sini adalah pihak-pihak yang
menerima pesan, baik Nabi Muhammad sebagai rasul maupun umat dan generasi
sesudahnya. Manusia sebagai audiens yang menerima pesan wahyu Tuhan
senantiasa berada dalam situasi yang terus berubah. Dalam membaca teks suci
dalam diri manusia terdapat sejumlah situasi, kemampuan, kecerdasan, referensi
dan sebagainya yang bisa jadi berbeda satu dengan yang lain. Persepsi sebelum
109
A. Khudori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm.
165
110
Very Verdiansyah, op. cit., hlm. 119
111
Ibid., hlm. 116
112
A. Khudori Soleh (ed.), op. cit., hlm. 163

29
membaca teks, vested interest serta pengalaman hidup dan religius jelas akan
sangat mempengaruhi seseorang dalam mengungkap makna teks.113
Meskipun banyak kalangan, terutama para ulama moderat kekinian seperti
Hassan Hanafi, Farid Esack, Fazlur Rahman, atau yang lain, mengakui akan
besarnya manfaat hermeneutika sebagai sebuah pendekatan penafsiran dan
pemahana al-Quran, hermeneutika tidaklah terlepas dari pro dan kontra, terkait
penerapannya dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran.
M. Abdur Rahman114 misalnya, salah seorang mahasiswa al-Azhar Fak.
Aqidah Filsafat Mesir, dalam salah sebuah tulisannya mengemukakan kecaman
dan kritik yang keras terhadap pemakaian hermeneutika dalam pemahaman atau
penafsiran al-Quran. Menurutnya, penggunaan hermeneutika dalam pemahaman
atau penafsiran al-Quran, adalah sebuah hal yang keliru. Karena al-Quran sebagai
kitab suci adalah tidak diragukan kebenaranny; al-Quran diakui dan terbukti
sebagai karya tuhan yang tidak dimasuki oleh pendapat-pendapat manusia dalam
redaksi aslinya. Berlainan dengan Bibel, dimana penggunaan hermeneutika disini
adalah karena adanya keraguan akan originalitas dan sejarah ’kelam’ yang ada di
dalamnya.
Dalam menyikapi pro-kontra ini –bagi penulis, kebijaksanaan (hikmah)
haruslah di letakkan sebagai dasar dan sudut pandang. Menolak mentah-mentah
hermeneutik dengan sekian manfaat yang ada padanya itu berarti bukan tindakan
yang bijak, sebaliknya mengangungkan hermeneutika yang karenanya
mendatangkan sikap memandang tidak sederajat terhadap yang lain (other), juga
merupakan sikap yang tidak ksatria. Yang terpenting adalah, apapun metode atau
pendekatan terhadap penafsiran dan pemahaman al-Quran, maka kemaslahatan
umum dan pembebasan kaum muslim dari keterjajahan multidimensionalnya,
adalah tetap yang dijadikan orientasi.
Akhirnya, Waffaqanallahu LimaYuhibbuhu Wayardlah
Wallahu a’lam Bisshowab..

113
Zuhairi Misrawi (ed.), Dari Syariat Menuju Maqashid al-Syariat: Fundamentalisme,
seksualitas, dan kesehatan reproduksi, (Jakarta: KIKJ feat. Ford Foundation, 2003), hlm. 196.
114
http://azharku.wordpress.com/2006/09/11/hermeneutika-al-quran-perlukah/ diakses pada
tgl 20 Maret 2019 Pukul 19.00 WIB

30
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Muhammad Bin Alawiy, Zubdah al-Itqan, (Jeddah: Dar al-Fikr, 1986)

Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Hadis)

Al-Malikiy, Muhammad Bin ‘Alawiy, Manhal al-Lathief, (Madinah: Pustaka


Negeri Raja Fahd, 2000)

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: PT


Pustaka Rizki Putra, 2002)

Biek, M. Khudloriy, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr, 1988)

E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,


1999)

Misrawi, Zuhairi (ed.), Dari Syariat Menuju Maqashid al-Syariat:


Fundamentalisme, seksualitas, dan kesehatan reproduksi, (Jakarta: KIKJ
feat. Ford Foundation, 2003)

Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembabasan: Metodologi Tafsir al-Quran


menurut Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002)

Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003)

Shihab, Quraish, dkk., Sejarah & Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001)

Soleh, A. Khudori (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela,


2003).

Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris, (Jakarta: P3M, 2005)

http://www.tutor.com.my/stpm/fonologi/Fonologi.htm

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=124

http://sistersinislam.org.my/IFL%20articles/Husein%20Muhammad
%20bahasa.doc
http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/16/opi03.htm

http://www.tutor.com.my/stpm/fonologi/Fonologi.htm

31

Anda mungkin juga menyukai