Anda di halaman 1dari 20

TAFSIR DAN TAKWIL

Rayid Tanjung

Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Email: rasyid.tanjung98@gmail.com

Pendahuluan
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dengan bahasa yang sangat sempurna, sebagai pedoman bagi umat manusia
dalam menjalankan kehidupan baik dalam berbangsa maupun dalam bernegara. Al-
qur‟an menjadi rambu-rambu bagi umat islam dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Semua ajaran islam tertuang dalam al-Qur‟an. Isi al-Qur‟an bersifat universal sesuai
dengan tuntutan zaman. Namun demikian, untuk memahami isi dan kandungan al-
Qur‟an bukanlah suatu hal yang mudah. Tidak semua orang bisa memahami isi
kandungan al-qur‟an, hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan untuk
memahami isi kandungan secara mendalam.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu ilmu agar bisa memahami memahami isi
kandungan al-Qur‟an itu yang dikenal dengan penafsiran al-Qur‟an. Penafsiran al-
Qur‟an akan memberikan penjelasan tentang isi kandungan al-Qur‟an. Dalam
memahami isi kandungan al-Qur‟an, banyak hal yang mempengaruhi penafsirannya.
Salah satu yang mempengaruhi perkembangan interpretasi dan penafsiran al-Qur‟an
adalah takwil. Tafsir dan takwil merupakan hal yang sangat penting dalam
memahami isi kandungan al-Qur‟an. Para ulama terdahulu pada dasarnya tidak
mempermasalahkan istilah takwil. Sebagian ulama ketika memahami ayat Alquran
yang berkaitan dengan ayat-ayat mutashabihat memilih tidak mempertanyakannya.
Mereka cukup menyatakan bahwa kami beriman dengan ayat itu. Tetapi, sebagian
ulama tidak merasa puas ketika memahami ayat-ayat mutashabihat tersebut. Mereka
mengambil sikap untuk melakukan takwil. Karenanya, takwil sebagai sebuah
metodologi dalam memahami Al-quran diyakini telah muncul sejak masa-masa awal

1
sejarah perkembangan tafsir.1 Maka pada makalah ini akan menjelaskan tentang
tafsur dan takwil dalam pandangan ulama kontemporer. Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini ialah
Bagaiman tafsir dan takwil terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat dalam pandangan
Ulama Kontemporer?.

Pembahasan

A. Tafsir
Tafsir merupakan bentuk ‫ ت َ ْف ِعيْل‬dari akar kata ‫ ْالفَسْر‬yang maknanya adalah
menjelaskan dan mengupas makna. Tafsir atau takwil itu diperselisihkan maknanya.
Abu Ubaid dan beberapa ulama mengatakan bahwa keduanya adalah satu makna. Al-
Maturidi berkata, “Tafsir itu adalah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
lafadz ini adalah makna ini dan menyaksikan bahwa Allah menghendaki makna itu.
Jika ada dalil yang qath‟i, maka ia diterima. Jika tidak ada maka itu adalah tafsir
birra‟yi (dengan pendapat) yang dilarang. Al-Ashbahani berkata di dalam kitab
Tafsirnya, “Ketahuilah bahwa tafsir menurut istilah para ulama adalah menjelaskan
makna-makna Al-Qur‟an dan menjelaskan maksudnya. Dia lebih umum tergantung
adanya kata yang sulit atau yang lainnya dan tergantung adanya makna yang jelas
atau yang lainnya.2 Menurut pandangan penulis bahwa yang dimaksud dengan tafsir
adalah menjelaskan makna ayat-ayat dalam Al-Qur‟an dengan menggunakan metode
tafsir untuk mempermudah dalam menafsirkannya.
Karena Al-Qur‟an turun hanya sebagai hujjah bagi para makhluk maka jika
menafsirkannya tidak diperbolehkan, tentu hujah itu tidak akan sampai. Jika
demikian, bolehlah bagi orang yang memahami bahasa Arab dan sebab-sebab
turunnya Al-Qur‟an untuk menafsirkannya. Adapun orang yang tidak mengetahui

1
Muhammad Husayn Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz 2 (Cairo: Maktabah
Wahbah, 2000), hlm. 263.
2
Imam Suyuthi, Ulumul Qur‟an II, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hlm. 886

2
makna-makna bahasa, dia tidak boleh menafsirkannya, kecuali hanya sebatas
penafsiran yang dia dengarkan. Maka jadilah hal itu termasuk ke dalam kategori
periwayatan, bukan termasuk kategori tafsir. Jika dia mengetahui bahwa hal itu
adalah tafsir dan berkehendak untuk mengambil kesimpulan suatu hukum atau
menjadikannya sebagai dalil dari suatu hukum maka hukumnya tidak apaapa. Jika
dia mengatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah demikian, dengan tanpa dilandasi
riwayat yang dia dengarkan maka tidak halal baginya, dan itulah yang dilarang.3
Para Ulama mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-Qur‟an menjadi
empat:
1) Metode Taḥliliy
Metode tafsir taḥliliy juga disebut metode analisis yaitu metode
penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Qur‟an dengan berbagai
seginya, berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani
dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat
dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi SAW., yang ada
kaitannya denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan
ulama-ulama lainnya.4
Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir) memberikan perhatian
sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang
ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian
ayat. Sehingga terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap ayat yang
ditafsirkan oleh para mufassir.
2) Metode Ijmali
Metode Ijmali dalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara menjelaskan
ayat-ayat al-Qur‟an dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa
menggunakan uraian atau penjelasan yang panjang lebar, dan kadang

3
Al-Burhan, II: 156-164
4
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia,
2004), h. 94

3
menjelaskan kosa katanya saja.5 Dengan metode ini mufassir tetap menempuh
jalan sebagaimana metode taḥliliy, yaitu terikat kepada susunan-susunan yang
ada di dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam metode ini mufassir
mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara global.
3) Metode Muqaran
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang
yang mebahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan
ayat atau antar ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonojolkan segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan. Perbedaan-perbedaan redaksi yang
menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna seringkali disebabkan perbedaan
konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat bersangkutan. Karena itu,
„ilm al- munasabah dan ilmu Asbab an-Nuzul sangat membantu melakukan at-
tafsir al- muqāran dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun,
esensi nilainya pada dasarnya tidak berbeda.
4) Metode Mauḍu‟i
Metode mauḍu‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur‟an
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek
yang terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-
fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang
berasal dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional. Selain metode, dalam
tafsir juga terdapat apa yang disebut dengan corak atau laun.

Corak ini adalah suatu karakter tertentu dari suatu tafsir atau nuansa
tertentu yang mewarnai suatu tafsir. Diantaranya sebagai berikut:

5
Mundzir Hitami, Pengantar Studi al-Qur‟an Teori dan pendekatan, (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2012), h. 46

4
1) Corak Fiqhi
Tafsir corak fiqhi adalah tafsir yang bernuansa fikih, banyak
penjelasanpenjelasan/penafsiran-penafsiran hukum didalamnya.6 Biasanya
mufassirnya adalah ulama fikih yang berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur„an
yang terkait dengan hukum. Maka biasanya pembahasan tafsir ini relative
panjang. Cikal bakal Tafsir ini sudah ada sejak munculnya tafsir bil ma‟sur.
Yaitu penafsiran yang menggunakan riwayat-riwayat dari Nabi jga hasil ijtihad
sahabat.
Tafsir corak fikih ini kemudian semakin berkembang terutama setelah
lahirnya mazhab-mazhab fikih. Karena dalam perkembangan selanjutnya, ulama
dengan mazhab fikih tertentu menafsirkan al-Qur„an sesuai dengan teori istibat
hukum mazhabnya. Diantara contoh dari kitab ini adalah : Ahkam al-Qur‟an
karya Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy atau al- Jashshash (w.370 H), Ahkam
al-Qur‟an karya Ibn ‗Araby (w.543H), Tafsir al-Nasafi karya al-Nasafi (mazhab
Hanafi), alJami li Ahkam al Qur‟ankarya Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad
ibn Abi Bakar ibn Farh al-Qurthubi (w.671) (mazhab Maliki), Tafsir al-Kabir
atau Mafatih al-Ghaib karya Fkhruddin al-Razy (Mazhab Syafii).
2) Corak Sufi
Tafsir corak sufi ditulis oleh para sufi sendiri. Tafsir ini juga terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu tafsir sufi nadzari dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi
Nadzari berpendapat bahwa pengertian yang dikehendaki adalah pengertian
batin, bukan pengertian secara harfiah. Model penafsiran ini sering meggunakan
ta„wil. Sedangkan tafsir isyari adalah tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat
al-Qur„an dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang menurut para sufi hanya
diketahui oleh mereka ketika mereka melakukna suluk. Menurut al-Farmawy
tafsir ini bisa diterima apabila: tidak bertentangan dengan dzahir ayat, jika
terdapat syahid syar‟i yang menguatkannya, tidak bertentangan dengan syari„at

6
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah,
2003) jilid II, hlm. 434

5
dan akalsehat serta jika mufassirnya tidak menganggap bahwa tafsirannya adalah
yang paling benar. Contoh tafsir ini adalah Tafsir al-Qur‟an al-„Adzim Karya
Muhammad Sahal ibn Abdillah ibn Yunus ibn Abdillah al-Tusturi.
3) Corak Falsafi
Tafsir corak falsafi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur„an yang dikaitkan
dengan bahasan-bahasan filsafat.7 Baik oleh yang menerima filsafat seperti Ibn
Sina maupun yang menolaknya. Penulisan tafsir falsafi oleh golongan yang
menerima filsafat bukan merupakan produk tafsir yang utuh penafsiaran atas
semua ayat-ayat al-Qur„an akan tetapi hanya beberapa ayat saja yang berkaitan
dengan teori -teori filsafat mereka.
Sedangkan penulisan tafsir oleh golongan yang menolak filsafat ada yang
menulis dalam satu kitab tafsir yang utuh, ada pula yang tertmuat dalam karya-
karya lain. Diantara yang menerima filsafat adalah seperti Ibnu Rusyd dengan
karyanya Tahafut al-Tahafut dan contoh yang menolak adalah seperti Imam al-
Ghazali dengan karya Tahafut al-Falasifah serta Fakhruddin al-Razi dengan
karyanya Mafatih al-Ghaib.8
4) Corak Ilmi
Tafsir dengan corak ilmi adalah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur„an
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan atau usaha mufassir untuk
mnghubungkan ayat-ayat al-Qur„an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang
tujuannya adalah mengungkap kemu„jizatan al-Qur„an. Dengan demikian
mufassir akan menggunakan teori-teori ilmiah sains. Contoh kitab-kitab tafsir
yang bercorak ilmi adalah Al-Ghidza wa al-Dawa karya Jamal al-Din al Fandi,
al-Qur‟an wa ilm al-Hadis (al-Qur„an dan ilmu pengetahuan modern) karya Abd
al-Razzaq Naufal, Tafsir al-„Ilmi li Ayat al-Kauniyyah fi al-Qur‟an al-Karim
karya Hanafi Ahmad.

7
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassiru,..hlm. 430.
8
Abd al- Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlui, (Kairo: Dirasah Manhajiyah
Maudlu„iyyah, 1977), hlm. 35

6
5) Corak Adabi Ijtima‟i
Tafsir dengan corak adabi ijtima‟i adalah tafsir yang menjelaskan
ayatayat al-Qur„an dari ungkapan-ungkapan bahasanya yang teliti kemudian
disampaikan dengan bahasa yang lugas, menekankan pada tujuan diturunkannya
al-Qur„an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan social. Cara pembahasan
dalam tafsir ini tidaklah mendominasikan aspek kebahasaan namun lebih banyak
mengeksplor bagaimana hubungan ayat-ayat al-Qur„an dengan realitas sosial
kemasyarakatan sehingga diharapkan dapat membantu menjadi problem solving
dalm persoalan masyarakat. Dalam proes ini mufassir akan mendiagnosa
persoalan-persoalan umat yang kemudian dicarikan jalan keluar berdasarkan
ayat-ayat al-Qur„an. Contoh dari tafsir ini adalah tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh dengan muridnya Rasyid Ridlo, Tafsir al-Qur‟an al-Karim
karya Mahmud Syaltut, Tafsir alWadlih karya Muhammad Mahmud Baht al-
Hijazi.9
B. Takwil
Dalam sejarah kemunculannya, kata al-ta‟wil telah digunakan sejak pada
zaman Nabi SAW, yaitu ketika beliau berdoa agar Abdullah bin Abbas memahami
al-ta‟wil dengan sebaik-baiknya, tentu dalam kaitan ini juga dengan tafsirnya. Ketika
Nabi SAW masih hidup, para sahabat tidak segan-segan untuk menanyakan kepada
beliau mengenai makna beberapa ayat yang kurang dipahami. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, ketika Nabi SAW telah wafat, para sahabat mulai mendapatkan
kesulitan dalam memahami makna ayat yang ada. Kesulitan para sahabat dalam
memahami kandungan ayat tersebut telah dibaca dan dipahami oleh Ibnu Khaldun
dengan mengatakan bahwa ketika Nabi SAW masih hidup beliau dalam menjelaskan
kandungan al-Qur‟an itu sangat global.10 Sebab itu, masih menurut Ibnu Khaldun,
karena al-Qur‟an diturunkan berdasarkan bagian-bagian, ayat perayat, maka untuk

9
Abd al- Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlui,… hlm. 42
10
Ibnu Khaldun, Muqqadimah Ibnu Khaldun, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2009), hlm.
348

7
menerangkan tentang keesaan Tuhan dan kewajiban beragama, dijelaskannya sesuai
dengan konteks.
Ta‟wil berangkat dari pemahaman bahwa teks mengandung dua eksistensi
makna, yakni makna zahir dan makna batin. Dalam hal ini Ta‟wil berkaitan dengan
„aql (dirayah) yang berfungsi sebagai mental sekaligus konsep penelusuran makna
batin (yang terdalam) pada sebuah teks, sedangkan tafsir berkaitan dengan naql
(riwayah) yang terkait khusus kepada makna zahir teks (makna bahasa). Maka lewat
ta‟wil seorang penafsir kemudian memasuki ranah kajian mengenai asal-asul dan
signifikansi teks sebab ta‟wil tidak terbatas pada kajian linguistik, tetapi pembacaan
secara umum berkaitan dengan seluruh fenomena, peristiwa atau kejadian yang
menyatu ke dalam teks. Gerakan ini yang kemudian membuat akal, pengetahuan dan
imajinasi penafsir begitu penting.11
Kata takwil itu berasal dari akar kata ُ‫ ْاْل َ َّول‬yaitu “kembali”, seolah-olah
maknanya adalah mengembalikan sebuah ayat kepada makna-makna yang mungkin
untuknya. Takwil adalah mentarjih di antara makna-makna yang mungkin tanpa
menegaskan dan tanpa mempersaksikan kepada Allah.” takwil itu kebanyakan
digunakan pada kalimat. menurut ulama mutaakhirin baik dari kalangan fuqaha,
mutakallimin, ahli hadis dan ahli sufi berpendapat bahwa takwil adalah memalingkan
lafazh dari makna yang zhahir kepada makna yang lebih kuat kemungkinannya
disertai dengan dalil-dalil. Dalam hal ini, tugas takwil terbagi menjadi dua yaitu
menjelaskan kemungkinan makna lafazh dan menjelaskan dalil yang bisa
memalingkan dari maknanya yang asli. Ad-Dzahabi setelah memaparkan pengertian
takwil menurut para ulama, lebih memilih kepada pengertian bahwa takwil berkaitan
dengan aspek dirayah yang berpegang kepada perangkat ijtihad dengan mengetahui
karakteristik bahasa Arab Dalam pandangan penulis takwil adalah memalingkan
makna suatu kalimat dengan tidak mengurangi atau menghilangkan makna tersebut.

11
Ahmad Munawir, “Epistemologi Tafsir Dan Takwil”, Jurnal Tafsre, Vol. 6:2 (2018), hlm.
161

8
Pendapat Masyhur, takwil berarti sama dengan tafsir, yaitu, menjelaskan,
dengan pengertian tersebut, kata takwil, dapat mempunyai arti:
a) Kembali atau mengembalikan, yakni mengembalikan pada proporsi yang
sesungguhnya.
b) Memalingkan, yakni memalingkan suatu lafazh tertentu yang mempunyai sifat
khusus dari makna lahir ke makna batin lafazh itu, karena ada ketetapan dan
keserasian dengan maksud yang dituju.
c) Menyiasati, yakni dalam lafazh tertentu ada kalimat-kalimat yang mempunyai
sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan maksudnya yang
setepat-tepatnya.12

Kata takwil terdapat dalam Alquran sebanyak tujuh kali, yaitu:


a) QS. Al-imron (3) : 7
b) QS. An-nisa‟ (4) : 59
c) QS. Al-a‟rof (7) : 52-53
d) QS. Yunus (10) : 39
e) QS. Yusuf (12) : 6
f) QS. Al-Isro‟ (17) : 35
g) QS. Al-kahfi (18) : 78

Dalam hal ini sebagian ulama melihat ada perbedaan-perbedaan antara


keduanya, yaitu:

a) Tafsir berbeda dengan takwil, perbedaanya adalah pada ayat-ayat yang


menyangkut soal umum dan khusus, pengertian tafsir lebih umum dari pada
takwil, karena takwil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-
ayat mutasyabihat. Jadi, mentakwilkan ayat-ayat yang mutasyabihat itu termasuk
tafsir, tetapi tidak setiap penafsiran ayat disebut takwil.

12
Rif‟at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), h. 144

9
b) Tafsir adalah penjelasan lebih lanjut dari takwil, dan dalam tafsir sejauh terdapat
dalil-dalil yang dapat menguatkan penafsiran boleh dinyatakan: “Demikianlah
yang dikehendaki Allah”, sedangkan takwil hanya menguatkan salah satu makna
dari sejumlah kemungkinan makna yang dimiliki ayat (lafazh) dan tidak boleh
menyatakan: “Demikianlah yang dikehendaki Allah swt.”
c) Tafsir menerangkan makna lafazh (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan
takwil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berpikir rasional.
d) Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (bil
ibarah), sedangkan takwil adalah dari yang tersirat (bil isyarah).
e) Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafazh yang biasa-biasa saja,
sedangkan takwil berhubungan dengan makna-makna yang kudus.
f) Tafsir mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh Alquran sendiri,
sedangkan takwil penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (penggalian)
dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.13
Faktor utama yang mendorong para ulama melakukan ta‟wil adalah untuk
menyelaraskan nash-nash dalam kitab suci al-Quran yang secara tekstual atau
zahirnya bertentangan satu sama lainnya. Sebab banyak teks-teks keagamaan yang
sepintas saling bertentangan pada level redaksionalnya. Dalam konteks ini takwil
merupakan kebutuhan yang mendesak. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah
hadits:
“tidak beriman seorang yang berzina saat ia melakukan perzinaan
itu, dan tidak beriman orang yang minum khamer saat ia meminumnya, dan
tidak beriman orang yang mencuri saat ia melakukan pencurian”. Dan “ tidak
beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya”.
Berdasarkan arti hadits di atas, dalam memahami maksud hadis tersebut, para
ulama menakwilkan bahwa keimanan yang dinafikan yang dimaksud adalah
keimanan yang sempurna. Hal ini berdasarkan petunjuk dari nash-nash lain bahwa

13
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 185.

10
para pelaku maksiat tidak keluar dari lingkup keimanan.14 Takwil merupakan suatu
kebutuhan dalam pemecahan problematikan kontemporer saat ini. Kebutuhan akan
menghidupkan takwil ini juga dinyatakan oleh Yusuf Qorodhawi: “Takwil adalah
kebutuhan yang tak dapat ditinggalkan. Ia dapat diwajibkan oleh akal, syariat, atau
bahasa arab. Orang yang menolak itu berarti telah keluar dari jalur yang benar dan
terperosok dalam lubang kesalahan seperti yang dilakukan kelompok zahiriyah.”15
Dari pernyataan yusuf al-Qhorodhawi tersebut takwil memiliki peran yang sangat
penting dan menjadi kebutuhan dengan permasalah-permasalah kontemporer yang
semakin bertambah.
Apabila kita membahas tentang takwil maka kita tidak dapat terlepas juga
dari pembahasan Mutasyabihat, karena salah satu area pembahasan takwil adalah
ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang ambiguous. Mutasyabihat diambil dari
kata Syabaha yaitu apabila salah satu dari dua hal serupa dengan hal yang lain,16
saling menyerupai sehingga sulit untuk menentukan pilihan. Dalam bahasa
Indonesia, kata Syubhah memiliki arti keragu-raguan/ kebimbangan atau
kekurangjelasan terhadap sesuatu, juga mengandung suatu keadaan yang kurang atau
tidak jelas status hukumnya, yakni suatu keadaan dimana satu dari dua hal tidak
dapat dibedakan karena adanya kemiripan antara keduanya. Dari sini kita dapat
menarik benang merah bahwa mutasyabih adalah redaksi yang memunculkan makna
“samar” atau “ tidak jelas”. Dengan tidak adanya kata sepakat tentang batasan arti
dari pengertian mutasyabih, maka cukup sulit untuk merumuskan kriteria tentang
mana ayat-ayat yang termasuk muhkamat dan mana ayat-ayat yang mutasyabihat.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, hal ini mungkin dikarenakan suatu ayat
disebut muhkam oleh sebagian ulama, namun dianggap mutasyabih oleh Ulama yang
lain. Sebagai contoh, ayat-ayat yang berkenaan dengan syurga dan neraka oleh
14
Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998), hlm.
414-415
15
Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998), hlm.
412
16
Louis Ma‟luf, al-Munjid: Fi al-lughah wa al-A‟lam , (Beirut: Dar al-Masyriq, 1983), hlm.
372-373

11
sebagian Ulama dianggap muhkam, akan tetapi dianggap mutasyabih oleh Ulama
yang lain. Golongan Bathiniyyun misalnya, menganggap ayat-ayat tersebut termasuk
ke dalam kelompok ayat mutasyabihat, karena menurut mereka gambaran tentang
syurga dan neraka difahami sebagai metafora-metafora yang tidak langsung menuju
kepada hakikatnya.
C. Contoh Tafsir dan Takwil
Beberapa contoh tafsir dan takwil di dalam al-Qur‟an, diantaranya adalah
sebagai berikut:

1) QS Ar-Rum ayat 38

ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ َ‫ف‬
ُ ِ‫ين يُر‬
َ‫يد و َن َو ْج و‬ َ ‫الس بِ ي ِل ۚ ذىَ ل‬
َ ‫ك َخ يْ ٌر ل ل ذ‬ َّ ‫ني َوابْ َن‬
َ ‫ب َح قَّوُ َوا لْم ْس ك‬ ‫آت ذَ ا ا لْقُ ْر َ ى‬
َ ‫ك ُى مُ ا لْ ُم ْف لِحُ و‬
ُ‫ن‬ َِّ
َ ِ‫اَّلل ۖ َوأُولىَ ئ‬

Artinya:
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian
(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.
Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah;
dan mereka itulah orang-orang beruntung”17

Dalam ayat ini terdapat kata Wajhallah yang secara harfiah bermakna
wajah Allah. akan tetapi kemudian ditakwil maknanya menjadi “Keridhaan
Allah” oleh Ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Adapun tafsir dari ayat ini dalam
tafsir Al-Misbah sebagai berikut:
“Dan apabila hanya Allah Swt. yang meluaskan rezeki dan menetapkan
ukurannya, maka berikanlah hak kaum kerabat kepadanya, yaitu berupa
kebajikan dan hubungan silaturahmi. Dan juga berilah kepada orang yang
membutuhkan dan kehabisan perbekalan di jalan berupa zakat dan sedekah. Hal
itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang menghendaki rida Allah dan

17
Ar-Rum (30):38

12
menginginkan pahala-Nya. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
keberuntungan dengan kenikmatan yang abadi”.
2) QS Al-Baqarah ayat 225
ِ ‫اَّلل ََل إِلىَ و إِ ََّل ى و ا ْْل ي ا لْقَ يُّ وم ۚ ََل ََتْخ ُذ ه ِس نَ ةٌ و ََل نَ وم ۚ لَو م ا ِِف ال سَّ م او‬
‫ات‬ َ َ َ ُ ٌْ َ ُ ُ ُ ُّ َ َ ُ َ ُ َّ
‫ض ۗ مَ ْن ذَ ا ا لَّذِ ي يَ ْش فَ عُ عِ نْ َد هُ إِ ََّل ِبِِ ذْ نِوِ ۚ يَ عْ لَ مُ مَ ا بَ ْنيَ أَيْدِ ي ِه ْم َومَ ا‬
ِ ‫َومَ ا ِِف ْاْل َْر‬
ِ ‫خ لْ فَ ه م ۖ و ََل ُُيِ يطُو َن بِش ي ءٍ ِم ن عِ لْ ِم وِ إِ ََّل ِِبَا َش اء ۚ و ِس ع ُك ر ِس يُّو ال سَّ م او‬
‫ات‬ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َْ َ ُْ َ
ِ ِ ِ
ُ‫ض ۖ َو ََل يَ ئُودُ هُ ح ْف ظُ ُه َم ا ۚ َو ُى َو ا لْعَ ل ُّي ا لْعَ ظ يم‬ َ ‫َو ْاْل َْر‬
Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya?
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.18

Tafsir QS Al-baqarah ayat 255 dalam pandangan Quraish shihab:

“Hanya Allahlah yang berhak untuk disembah. Dia hidup kekal dan
terus-menerus mengurus makhluk ciptaan-Nya tanpa pernah lalai. Dia
tidak pernah ceroboh atau tidur, sebab Dia tidak memiliki sifat
kekurangan. Hanya Dialah yang memiliki langit dan bumi, tidak ada
seorang pun yang menyertai-Nya. Maka dari itu, tak seorang makhluk
pun dapat memberi syafaat kepada yang lainnya kecuali dengan izin
Allah. Allah Swt. mengetahui segala sesuatu yang telah dan akan terjadi.
Tidak ada seorang pun mampu mengetahui ilmu Allah kecuali orang-
orang yang dipilih-Nya. Kekuasaan-Nya sangat luas, meliputi langit dan
bumi. Tidak sulit bagi-Nya mengatur itu semua, sebab Dia terhindar dari
sifat kurang dan lemah, dan Mahaagung dengan kekuasaan-Nya.”
Menurut Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat kursi dalam Q.S. Al-
Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan kalimat-kursi Allah meliputi langit dan bumi Al-

18
Al-Baqarah (2): 225

13
Tabataba‟i dalam Tafsir Al-Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah
untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Keluasan Kursi Allah berarti
ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, makna kursi yang dimaksud
adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Ini
mengisyaratkan pula bahwa benda-benda itu terkontrol dengan baik. Adapun yang
dimaksud keluasannya adalah bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di
langit dan bumi. Quraish Shihab tampaknya sependapat dengan penafsiran Al-
Tabataba‟i tersebut. Ia menakwilkan kursi-kursi Allah dengan ilmu atau kekuasaan-
Nya yang mencakup atau meliputi langit dan bumi. Ia mengilustrasikan tentang
kekuasan Allah tersebut seperti kekuasaan penguasa dalam kehidupan dunia. Para
penguasa dikelilingi oleh pendukung-pendukung yang mengakrabkan diri dengan
mereka dan mereka pun membutuhkannya untuk lebih memantapkan kekuasaannya.
Dari 2 contoh ayat tentang tafsir dan takwil diatas dapat dicermati bahwa
pentakwilan suatu makna dalam suatu ayat dalam Al-Qur‟an sangatlah penting di era
milanial ini karena pemahaman masyarakat terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat
kurang dimengerti sebagaimana diuraikan diatas. Terlebih lagi untuk mereka yang
awam terhadap takwil ini. Misalnya tentang kursi Allah dalam ayat al-kusi diatas,
untuk orang yang awam maka mereka akan beranggapan bahwa Allah itu memiliki
kusi sama halnya kursi yang dimiliki oleh manusia, kemudian juga tentang tentang
kata “wajhallah” dalam QS ar-Rum ayat 38 yang secara harfiah artinya wajah Allah,
maka masyarakat awam pun berasumsi bahwa allah itu memiliki wajah sama halnya
dengan makhluk. Hal ini tentu akan menjadi problematikan jika pemahaman orang
awan tersebut tidak diubah atau diberikan penjelasan, akan mengarah kepada
kesesatan.

Contoh tafsir dan takwil kontemporer yakni Al-Maidah ayat 38 sebagai


berikut:

ِ
ٌ ‫اَّللُ َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬ َّ ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِديَ ُه َما َجَزاءً ِِبَا َك َسبَا نَ َك ًاَل ِم َن‬
َّ ‫اَّللِ ۗ َو‬ َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬

14
Artinya:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Asbab an-Nuzul QS.al-Maidah: 38 sebagai berikut:


“Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada seorang wanita mencuri di
zaman Rasulullah, kemudian dipotong tangan kanannya (sesuai dengan
QS.alMaidah: 38).Ia bertanya: Apakah tobatku diterima, ya Rasulullah? Maka Allah
menurunkan ayat berikutnya (QS. Al-Maidah: 39) yang menegaskan bahwa tobat
seseorang akan diterima Allah apabila ia memperbaiki diri dan berbuat baik.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain yang bersumber dari „Abdullah bin „Amr).19
Menurut Hasbi, ayat ini tegas menetapkan hukum memotong tangan pencuri.
Ayat ini tidak menetapkan batas minimum barang curian, yang dapat dijatuhi
hukuman potongan tangan. Menurut Hasbi, dengan tidak ditetapkannya batas
minimum dalam ayat tersebut adalah sesuai benar dengan hikmah Alquran yang
umum, mengingat perkembangan keadaan dan masa. Menurut Hasbi, dengan
mengutif perkataan para muhaqqiq, bahwa „lafazh sariq dan sariqah” mengandung
pengertian seorang residivis. Maka yang dipotong tangannya hanyalah pencuri yang
telah berulang kali mencuri. Adapun pencuri yang baru sekali atau dua kali berbuat
dan perbuatannya itu belum menjadi kebiasaan, maka dia tidak dijatuhi hukuman
potong tangan.

Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa hukuman potong tangan dilakukan


sesudah tidak ada lagi jalan untuk memperbaikinya. Bahkan had (hukum) bagi si
pencuri itu dapat digugurkan dengan adanya pemberian maaf atau dengan tobat, asal
perkara pencuriannya belum sampai kepada hakim. Oleh karena itu, ayat ini

19
K.H.Q.Shaleh, H.A.A.Dahlan, dkk, Asbabun Nuzul “Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat Al-Qur‟an”, Edisi Kedua, (Bandung: CV.Penerbit Diponegoro, 2000), hlm. 191-192.

15
ditujukan kepada Nabi dalam kedudukannya selaku hakim. Maka dalam menentukan
batas pencurian terserahlah kepada hakim, mengingat masa, tempat dan keadaan.20
Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Hasbi, M.Quraish Shihab
memaparkan penafsirannya terkait ayat di atas. Quraish Shihab memulai dengan
menjelaskan kata „as-Sariq‟/pencuri memberi kesan bahwa yang bersangkutan telah
berulang-ulang kali mencuri sehingga wajar ia dinamai pencuri. Menurutnya, jika
kita memahami demikian, ini berarti seorang yang baru sekali atau dua kali mencuri
belum wajar dinamai pencuri dan dengan demikian ia belum atau tidak dikenai
sanksi yang disebut oleh ayat di atas.21
Untuk memperkuat argumennya diatas, Quraish Shihab memberikan
jawabannya dengan memahami sifat Allah, al-Gaffar yakni yang Maha Pengampun.
Dengan mengutif penjelasannya imam al-Ghazali dan menyuguhkan sebuah riwayat
yang terkait dengan tertangkapnya seorang pencuri pada masa sayyidina Ali Ibn Abi
Thalib. Ada hal yang menarik yang perlu digaris bawahi dari penjelasan Quraish
Shihab, bahwa mencuri berbeda dengan korupsi, merampok, mencopet dan
merampas. Menurutnya, mencuri adalah mengambil secara sembunyi-sembunyi
barang berharga milik orang lain yang disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang
wajar, dan si pencuri tidak diizinkan untuk memasuki tempat itu. Dengan demikian,
siapa yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya tetapi diamanatkan kepadanya,
ia tidak termasuk dalam pengertian mencuri oleh ayat ini, seperti jika bendaharawan
menggelapkan uang. Tidak juga disebut pencuri orang yang mengambil sesuatu dari
satu tempat yang semestinya barang itu tidak diletakkan disana. Begitu juga pemilik
rumah atau toko yang mengabaikan rumah atau tokonya terbuka sehingga
merangsang yang lemah keberagamaannya untuk mencuri barang dari dalamnya,
maka yang mengambilnya terbebas dari hukum potong tangan, disebabkan pemilik
rumah tidak meletakkan barang-barangnya ditempat wajar.

20
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quranul Majid,Jilid.1,(Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2011), hlm. 660-661
21
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah „Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an”,Vol.3,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.112.

16
Dengan demikian, agama disamping melarang mencuri, juga melarang
pemilik harta membuka peluang bagi pencuri untuk melakukan kejahatannya.
Alhasil, hukuman ini tidak serta merta dijatuhkan, apalagi Rasul SAW. Bersabda
“hindarilah menjatuhkan hukuman bila ada dalih untuk menghindarinya”.22
Sayyidina „Umar Ibn al-Khaththab menegaskan: “ saya lebih suka keliru tidak
menjatuhkan sanksi hukum karena adanya dalih yang meringankan daripada
menjatuhkannya secara keliru padahal ada dalih meringankannya.”Itu sebabnya
beliau tidak menjatuhkan sanksi bagi yang mencuri pada masa krisis atau paceklik.
Menurut Quraish Shihab, bukan berarti yang bersangkutan tidak dijatuhi
sanksi sama sekali, tetapi bisa ditegakkan sanksi lain sebagai pengganti yang
diistilahkan dengan ta‟zir, yaitu hukuman yang lebih ringan dari hukuman yang
ditetapkan bila bukti pelanggaran cukup kuat. Menurutnya, ta‟zir tersebut bisa
berupa hukuman penjara atau apa saja yang dinilai wajar oleh yang berwenang.
Hukum potong tangan baru bisa dijatuhkan jika sesuatu yang dicuri merupakan
barang berharga. Menurutnya sementara orang memahami kata “potonglah kedua
tangnya” mempunyai pengertian majazi, artinya lumpuhkan kemampuannya.
Pelumpuhan dimakasud antara lain dengan cara penjarakan. Sanksi hukum potong
tangan dalam ayat di atas juga mempunyai artian batas maksimal yaitu hukuman
yang setinggi-tingginya, dan dengan demikian hakim dapat menjatuhkan hukuman
yang lebih ringan dari pada hukuman potong tangan apabila ada hal-hal yang dapat
meringankan.23
Dalam hemat penulis, dalam kontek ketatanegaraan indonesia bahwa
memotong tangan sebagai ayat tentang pencurian diatas tidak dapat diplikasikan
dalam ketatanegaraan indonesia karenna hukum pidana indonesia merupakan
kodifikasi hukum pidana barat. Maka hal tersebut tidak dapat diaplikasikan di
Indonesia. Akan tetapi ayat tentang pencurian tersebut bisa diaplikasi indonesia
dengan cara memakai potong tangan tersebut dengan memotong kemampuan

22
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah….hlm.113-114
23
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah….hlm.115.

17
fisiknya, melalui penjara dalam kontek Indonesia sehingga meninggal efek jera.
Penjara tersebut penulis analogikan sebagai makna Faqtha‟u aidiyahuma (Potonglah
tangan keduanya). Dengan demikian ayat tentang pencurian tersebut bisa
diaplikasikan di negara ini.

Kesimpulan
Tafsir dan takwil merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya saling berhubungan. Tafsir dan takwil menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk dipelajari dan dipahami serta diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya di negara Indonesia. Dalam hemat penulis tafsir adalah
menjelaskan makna ayat-ayat al-quran dengan menggunakan metode dan corak
tertentu dalam meafsirkannya sedangkan takwil adalah memalingkan makna suatu
kata atau kalimat dari makna teks menjadi makna konteks dengan tidak
menghilangkan makna dari kalimat itu. Tafsir dan takwil dapat menjawab
permasalahan kontemporer. Salah satunya tentang masalah hukuman bagi pencuri
dalam al-Qur‟an surah al-Maidah ayat 38. Dimana dalam ayat tersebut menjelaskan
tentang hukuman pencuri dengan potong tangan. Secara tekstual, ayat tersebut tidak
bisa dilakukan di Indonesia karena masyarakat yang plural dengan agama yang
bermacam-macam dan juga Indonesia menggunakan hukum pidana hasil kodifikasi
Barat. Maka hal tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan. Akan tetapi dalam
hemat penulis setelah membaca dan mencermati pada tafsir dan takwil kontemporer
ternyata bisa diaplikasikan di Indonesia dengan cara memalingkan makna memotong
kedua dalam al-Qur‟an Surah al-Maidah tersebut dengan makna memotong
kemampuan untuk melakukan pencurian yakni dengan memenjarakan sebagaimana
diatur oleh hukum pidana Indonesia Pasal 362 KUHP dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun. Artinya bahwa ayat tentang hukum bagi pencuri tersebut dapat
diaplikasikan dengan konsep tafsir dan takwil kontemporer tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA
al-Dzahabi, Muhammad Husain al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2003.

19
al-Farmawi, Abd al- Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlui, (Kairo: Dirasah
Manhajiyah Maudlu„iyyah, 1977.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994.
Al-Dhahabi, Muhammad Husayn, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 2, Cairo:
Maktabah Wahbah, 2000.
Departemen Agama, AlQur‟an dan Terjemahnya, Bandung: Lubuk Agung, 1989.
Khaldun, Ibnu, Muqqadimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2009.
Ma‟luf, Louis, al-Munjid: Fi al-lughah wa al-A‟lam , Beirut: Dar al-Masyriq, 1983.

Munawir, Ahmad , “Epistemologi Tafsir Dan Takwil”, Jurnal Tafsre, Vol. 6:2
(2018), pp. 161
Qordhawi, Yusuf, Berinteraksi dengan al-Quran, Jakarta: Gema Inasni Press, 1998.
Rahmawatie , May, Yudie R. Haryono (editor), Tafsir dan Modernisasi dalam Al-Quran,
Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, Jakarta: Gugus Press,
2002
Suyuthi, Imam, Ulumul Qur‟an II, Surakarta: Indiva Pustaka, 2008.

20

Anda mungkin juga menyukai