Anda di halaman 1dari 10

TAFSIR DARI SEGI BENTUK METODE DAN CORAK

A. Pengertian Tafsir

Menurut az-zarkasyi dalam Burhan Fi Ulum Al-Quran Tafsir adalah ilmu untuk
memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang menerangkan maknanya
menyingkap hukum dan hikmahnya dengan merujuk dalam ilmu bahasa Arab seperti ilmu Nahu,
Tsyrif, Bayan, Usul Fiqh, Qiraat, Asbabun Nuzul dan Nasakh Mansukh1.

1. Bentuk-bentuk tafsir bi lma’tsur

a. Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran

Contoh:

‫احلت لكم بهيمة اال نعام اال ما يتلى عليكم‬

Artinya;

“... Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan disebutkan kepadamu ... ”(QS. Al-
Maidah: 1)

Dijelaskan oleh firman Allah:

‫حرمت عليكم الميتة والد م ولحم الخنزير وما اهل لغير هللا‬

”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah ...”.(QS. Al-Maidah: 3).

Firman Allah:

2
‫والسماء والطارق‬

Artinya:

1
Thameem Ushama, 2000. Metodologi Tafsir Al Qur’an, Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif, Jakarta : Riora
Cipta, hlm. 2.
2
Nashruddin Baidan, 2000, Rekontruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yogya. hlm. 2-3.
“Demi langit dan yang datang pada malam hari”.(QS. At-Thariq: 1)

Kata At-Thariq dijelaskan dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu pula:

Artinya:

“(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus”. (QS. At-Thariq: 3)

b. Tafsir Al-quran dengan Sunah

Contoh Sunah Rasul yang berfungsi sebagai tafsir dan penjelasan Al-Quran.

Rasulullah Saw menjelaskan “zalim dengan syirik” dalam firman Allah:

‫الذين امنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم اولئك لهم االمن وهم مهتزون‬

Artinya:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk.”(QS. Al-An’am: 82)

Rasulullah mengatakan penafsiran ini dengan firman Allah:

‫ان الشرك لظلم عظيم‬

Artinya:

“Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.” QS. Luqman:13

c. Tafsir Sahabat

Masih ada lagi bagian yang ketiga dari pembagian tafsir ma’tsur, yaituTafsir sahabat. Tafsir ini
juga termasuk yang muktamad (dapat dijadikan pegangan) dan dapat diterima, karena para
sahabat pernah berkumpul dan bertemu dengan Nabi Saw, dan mereka mengambil sumbernya
yang asli dan telah menyaksikan turunnya wahyu dan turunnya Al-qur’an, serta
mengetahuiasbabun nuzul. Mereka mempunyai tabiat jiwa yang murni, fitrah yang lurus dan
berkedudukan tinggi dalam hal kefasihan dan kejelasan berbicara mereka memiliki kemampuan
dalam memahami Kalam Allah. Dan hal lain yang ada pada mereka tentang rahasia-rahasia Al-
Quran sudah tentu melebihi orang lain.

Al-Hakim berkata, “kedudukan tafsir sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Quran
adalah marfu’. Tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadis Nabi yang
silsilahnya sampai kepada Nabi. Karena itu tafsir sahabat termasuk ma’tsur.”

Adapun tentang kedudukan tafsir tabi’in, ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang
berpendapat bahwa tafsir tabi’in itu termasuk tafsir ma’tsur karena sebagian besar
pengambilannya secara umum dari sahabat. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in
termasuk tafsir dengan ra’yuatau akal, dengan pengertian bahwa kedudukannya sama dengan
kedudukan para mufassir lainnya (selain Nabi dan Sahabat). Mereka menafsirkan Al-Quran
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadis)3.

2. Bentuk-bentuk tafsir bil ra’yi

a. Tafsir mahmud (terpuji)

Tafsirmahmud ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan,
sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam
memahami teks Al-Qur’an. Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yunya dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut dengan berpegang pada makna-makna Al-qur’an
maka penafsirannya dapatdiambil serta patut dinamai dengan tafsir mahmud atau tafsir masyru
(berdasarkan syari’at).

b. Tafsir mazmum (tercela)

Tafsir mazmum yaitu bila Al-Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehendak hatinya
tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat, atau Kalam Allah ditafsirkan menurut pendapat
yang salah dan sesat. Ash-shaabuuny mengatakan; Bila seseorang tidak memahami kaidah-
kaidah dan pokok-pokoknya, ia akan berjalan sebagaimana unta buta yang otaknya miring dan
pemahamannya picik4.

3
Thameem Ushama, 2000. Metodologi Tafsir Al Qur’an, Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif, Jakarta : Riora
Cipta, hlm. 5.
4
Ali Hasan Al ”aridl, Sejarah dan Metodolofi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hlm. 35.
Begitu pula orang yang tidak memahami tujuan syara’, ia pun akan terjerumus dalam lembah
kejahatan dan kesesatan.

Contohnya orang yang mengambil kesimpulan ayat secara lahir dari firman Allah:

‫ومن كان فى هذه اعمى فهو فى االخرة اعمى واضل سبيال‬

Artinya;

“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nant)i ia akan lebih buta
(pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.(QS. Al-Isra: 72)

Ia menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka
jahanam. Padahal yang dimaksud buta disini bukanlah buta mata, tetapi buta hati, berdasarkan
alasan firman Allah:

‫فانها ال تعمى االبصار ولكن تعمى القلوب التى فى الصدور‬

Artinya;

“... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada. ”
(QS. Al-Hajj: 46)5

Metode tafsir Ijmali (Global)


Metode ijmali adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an dengan singkat dan
global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau penjelasan yang panjang lebar,
sehingga mudah untuk difahami oleh masyarakat awam maupun intelektual.
Asy-syibarsyi mendefinisikan tafsir ijmali adalah sebagai cara menafsirkan al-Qur’an
dengan mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi kandungan
ayatayat al-Qur’an.
Dengan metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana metode tahlili, yaitu
terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam mushaf. Hanya saja dalam metode ini
mufassir mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara global6.

5
Ali Hasan Al ”aridl, Sejarah dan Metodolofi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hlm. 35.
6
Nashruddin Baidan, 2000, Rekontruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yogya. hlm. 4.
Dengan demikian, perbedaannya dengan metode tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna
ayat-ayat di ungkap secara ringkas dan global, tetapi sangan jelas, sehingga tidak diperlukan cara
yang berbelit-belit untuk menangkap maknanya. Sedangkan pada tafsir tahlili, makna ayat
dijelaskan secara rinci dengan tinjauan dari berbagai segi dan aspek yang luas secara panjang
lebar.
Dalam metode ijmali tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bantuan dan
rujukan dari hadits-hadits Nabi SAW, pendapat kaum salaf, peristiwa sejarah, sebab turunya al-
Qur’an, dan yang paling umum adalah bantuan kaidah bahasa7.

Metode Tafsir Tahlili (Analisis)


Metode tafsir tahlili juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang berusaha
menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan ayat dan surat
dalam al-Qur’an dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan
ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi SAW yang ada kaitannya dengan
ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama lainnya.
Menurut al-Farmawi metode tafsir tahlili mencakup beberapa aliran tafsir lainnya
yaitu:tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi-al ra’yi, sistimatika fiqh, sistimatika sufi, sistimatika falsafi,
sistimatika ‘ilmi, dan sistimatika adabi wa ijtima’i.

Oleh karena itu, ciri-ciri utama metode tafsir ini adalah sebagai berikut:
1. Membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan ayat itu dari berbagai seginya.
2. Mengungkapkan asbab an-nuzul yang ditafsirkannya jika ayat tersebut memang
memiliki asbab an-Nuzul.
3. Menafsirkan ayat per-ayat secara berurutan, dalam pembahasannya selalu melihat
kepada korelasi antar ayat, untuk mennemukan makna dari penafsiran itu.

Metode Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)


Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema
atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-Nuzul,
kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-

7
Nashruddin Baidan, 2000, Rekontruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yogya. hlm. 4.
dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang
berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an
tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema
khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian.
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-
tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu
dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula
dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara
utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa,
dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian:

Pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat
yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama
surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul.

Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun
pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja.

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga
tidaksalah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari
tematemaatau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri,
atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam
ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari
pemahaman ayatayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran
atau terkaan berkala (al-Ra’y al-Mahdh). Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap
menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir8.

8
Nashruddin Baidan, 2000, Rekontruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yogya. hlm. 5.
Metode Tafsir Muqarran (Perbandingan)

Tafsir Muqarran adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam
suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan
hadits baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan
menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud
dengan metode komporatif ialah:

a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus
yang sama.

b. Membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan.

c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat
luas, M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa ”Dalam metode ini khususnya yang
membandingkan antara ayat dengan ayat (juga ayat dengan hadis), biasanya mufassirnya.
menejelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-
masing ayat atau perbedaan kasus masalah itu sendiri9.

a. Corak Lughawi

Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan kecenderungan atau pendekatan
melalui analisa kebahasaan. Tafsir model seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan
kata per kata (tahlil al-lafz}), mulai dari asal dan bentuk kosa kata (mufradat), sampai pada
kajian terkait gramatika (ilmu alat), seperti tinjauan aspek nahwu, sarf, kemudian dilanjutkan
dengan qira’at. Tak jarang para mufasir juga mencantumkan bait-bait syair arab sebagai landasan
dan acuan. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan
bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala
seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui
bahasa al-Qur’an, seorang mufasir akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan

9
Ali Hasan Al ”aridl, Sejarah dan Metodolofi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hlm. 37-39.
susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat
tersebut. Bahkan Ahmad Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sarf,
etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufasir. Di sinilah, urgensi
bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an. Diantara kitab tafsir yang menekankan
aspek bahasa atau lughah adalah Tafsir al-Jalalain karya bersama antara al-Suyuti dan al-
Mahalli, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain.

b. Corak Filsafat

Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah perkembangan kebudayaan


dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan itu pada masa Khilafah ‘Abbasiyah banyak
digalakkan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab. Di antara buku-buku yang
diterjemahkan tersebut adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat
Islam.

c. Corak Fikih

Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan kemajuan dengan


berbagai macam kritik dan pro kontranya, corak fiqhi merupakan corak yang berkembang. Tafsir
fiqhi lebih popular disebut tafsir ayat al-Ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada
ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an.

Dilihat dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis corak yang banyak
diterima hampir semua mufasir.3 Tafsir ini berusia sudah sangat tua, karena kelahirannya
bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qur’an itu sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak
untuk disebutkan dalam deretan daftar nama-nama kitab tafsir ayat al-Ahkam, baik dalam bentuk
tahlili maupun maud}u’i, antara lain : Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas} (917-980 M), seorang
faqi}h mazhab Hanafi. Ahkam al-Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-1148 M). al-Jami’ li ahkam
al-Qur’an karya al-Qurtubi (w:1272 M). ahkam al-Qur’an karya al-Shafi’i (w: 204H.). dan masih
banyak lagi karya tafsir di bidang fikih atau Tafsir Ahkam.

Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah: kalimat ‫ وأرجلكم‬dalam masalah wudhu’ yang
terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6. Jika dibaca mans}ub (fath}ah) maka yang wajib
dilakukan pada kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh bukan mengusap. Akan tetapi jika
majrur (kasrah) maka yang wajib hanya mengusap.

d. Corak Tasawuf

Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi
sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi
terhadap kelemahan yang dirasakan5. Disamping karena dua faktor yang dikemukakan oleh
Qurais Shihab di atas, faktor lain adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi. Antara lain adalah
Tafsir al-Qur’a>n karya Sahal ibn Abdillah al-Tustari (w: 283H). Tafsir ini dinilai oleh sebagian
orang tidak memuaskan karena tidak lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi al-
Qur’an 30 juz.

e. Corak al-Adabi wa al-Ijtima’i

al-Adabi wa al-Ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-Adabi dan al-Ijtima’i. Corak tafsir
yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir
kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima’i. Kata al-Adabi dilihat dari bentuknya
termasuk masdar (infinitif) dari kata kerja (madi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama
dan sastra.

Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang
dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh
karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-Ijtima’i
bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan/sosial.
Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sosial-
kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural10.

10
Thameem Ushama, 2000. Metodologi Tafsir Al Qur’an, Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif, Jakarta : Riora
Cipta, hlm. 12.
DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin. 2011. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.


Hasan Al-‘Aridl, Ali.1992. Sejarah dan Metodolofi Tafsir. Jakarta: Rajawali Press.
Ushama, Thameem. 2000. Metodologi Tafsir Al Qur’an, Kajian Kritis, Objektif dan
Komprehensif. Jakarta:Riora Cipta.

Anda mungkin juga menyukai