Anda di halaman 1dari 14

1).

METODE TAFSIR TAHLILI

1. MAKNA TAFSIR TAHLILI


Secara Harfiah (‫)التحللي‬berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan Al-Qur’an
yang dilakukan dengan cara mendiskripsikan uraian makna yang terkandung didalam ayat-ayat
Al-Qur’an denganmengikuti tertib susunan atau urutan-urutan surat-surat dan ayat-ayat
AlQur’an itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis didalamnya.
Metode tafsis tahlili yang juga disebut dengan metode tajzi’I merupakan metode tafsir yang
paling tua usianya. Adalah suatu metode tafsir yang ‘’Mufasirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat AlQur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan urutan ayat-ayat
Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum didalam mushaf.Metode tafsir tahlili, Tegsa M. Qurish
Shihab, lahir jauh sebelum maudhu’i. Ia dikenal sejak tafsir al-farra (W.206 H/821 M) atau Ibnu
Majjah (W. 237 H/851 M), atau paling lambat Al-Thabari (W. 310 H/933 M). ketiga kitab-kitab
tafsir Al-Qur’an yang ditulis para mufasir masa-masa awal pembukuan hamper semuanya
menggunakan metode tahlili.Metode tafsir tahlili cara pendekatan dan tafsirnya mengandalkan
nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusuri satu demi
satu segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir akan menguraikan bermula kosa
kata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkenaan dengan teks atau kandungan
ayat.

MACAM-MACAM METODE TAFSIR TAHLILI

Di tinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode tafsir tahlili dibagi menjadi 7 (tujuh)
macam, yaitu :
A. Al Tafsir Bi Al Ma’tsur
Al tafsir bi al ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadist nabi
yang menjelaskan sebagian ayat yang di rasa
sulit dipahami oleh para sahabat : atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. semakin jauh tentang zaman dari masa nabi
dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat Al-Qur’an semakin
berrvariasi dan berkembang.
B. Al Tafsir bi Al Ra’yi
Al tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran al-qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang
penafsiran itu betul-betul mengetahui perihal bahasa arab, asbabun nuzul, nasikh mansukh dan
lain-lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
C. Al Tafsir al Shufi
Seiring dengan semakin luasnya cakrawala budaya dan berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan, tasawuf pun berkembang dan membentuk kecenderungan para penganutnya
menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh didalam penafsiran al-qur’an.
1. Tasawuf Teoritis
Para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-qur’an berdasar teori-teori madzhab
dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka berupa maksimal untuk menemukan,
didalam alqu’an tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori dan ajaran mereka. Sehingga
mereka tampak terlalu berlebih-lebihan didalam memahami ayat-ayat dan penafsirannya sering
keluar dari didukung oleh kajian bahasa.
2. Tasawuf Paraktis
Yang dimaksud dengan tasawuf paraktis adalah tasawuf yang mempraktekkan gaya hidup
sengsara, zuhud dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Para tokoh aliran ini
menamakan tafsir mereka dengan al tafsir al-isyari, yaitu mentakwilkan ayatayat berbeda
dengan arti dzahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak oleh para
pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti dzahir yang dimaksudkan.
D .Al Tafsir al Fiqhi
Berbarengan dengan lahirnya al tafsir bi al ma’tsur, lahir pula tafsir al fiqhi dan sama-sama di
nukil dari nabi Saw. Tanpa perbedaan antara keduanya. Para sahabat setiap menemukan
kesulitan untuk memahami hukum yang dikandung oleh al-qur’an langsung bertanya kepada
nabi, dan beliau langsung menjawab. Jawaban Rasul ini di satu pihak adalahtafsir bi al ma’tsur
dan di lain pihak sebagai tafsir al-fiqhi. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat langsung mencari
keputusan hukum dari alqur’an dan berusaha menarik kesimpulan hukum syari’ah berdasarkan
ijtihad, hasil ijtihad mereka ini di sebut tafsir al fiqhi.Sebagaimana telah disinggung bahwa latar
belakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena tersebarnya dan bertemu aneka budaya.
Ditengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat
dilaksanakan dimasa bani Abbas. Berbagai sumber perbengharaan ilmu di gali, dan aneka
macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku tentang filsafat karya para filosof Yunani.Tokoh-
tokoh islam yang membaca buku-buku filsafat tersebut terbagi kepada dua golongan. Pertama,
golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara
filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berupaya menjauhkan
ummat darinya.
E. Al Tafsir al Ilmi
Ajakan Al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri diatas prinsip pembebasan akal dari tahayul
dan kemerdekaan berfikir, Al-Qur’an menyuruh umat manusia memperhatikan alam. Allah
disamping menyuruh kita memperhatikan wahyu-Nya yang tertulis, yaitu alam. Meskipun ayat-
ayat itu secara tegas dan khusus tidak ditujukan kepada para ilmuwan, namun pada hakikatnya
mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat kauniyah tersebut,
karena mereka itu mempunyai sarana dan kompetensi untuk itu dibanding tokoh-tokoh ilmu
lainnya.
F. Al Tafsir Al Adabi Al Ijtima’i
Corak tafsir ini berusaha memahami nash nash al-qur’an dengan cara, pertama dan utama,
mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti : selanjutnya menjelaskan makna-
makna yang dimaksudkan oleh al-qur’an dengan gaya bahasa yang indah dan menarik.
Kemudian pada langkah berikutnya, penafsiran berusaha menghubungkan nashnash al-qur’an
yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan system budaya yang ada. Pembahasan tafsir
ini sepi dari penggunaan istilah ilmu dan teknologi dan tidak akan menggunakan istilah-istilah
tersebut kecuali jika dirasai perlu dan hanya sebatas pada kebutuhan.

CONTOH PENAFSIRAN TAHLILI


Dalam contoh ini sengaja kami mengambil satu ayat yaitu ayat 115
dari surat Al-Baqarah :
115 : ‫( وهلل المشرق والمغرب فا ينما تولوا ثم وجه هلال ان هلال واسع عليم ) البقره‬Yang dimaksud oleh Allah dalam
firmannya ‫رق وهلال‬aa‫رب المش‬aa‫ والمغ‬ialah, Allah berwenang penuh atas pemilikan dan pengaturan
keduanya seperti dikatakan ‘’Rumah ini kepunyaan si fulan’’. Artinya dia berwenang atas pemilik
rumah itu. Dengan demikian, firmannya ( ‫ )هلال و والمغرب النشرق‬bermakna bahwa keduanya adalah
milik dan makhlukNya. Kata ( ‫رق‬aa‫ ) المش‬sama artinya dengan ‫ طلعص‬yang kasrahlam, yaitu
menunjukkan kepada ‘’tempat matahari terbit’’.

MAKNA TAFSIR MAUDHU’I


Kata maudhu’I berasal dari kata ‘’maudhu’’ ( ‫ ) موضوغ‬yang merupakan isim maf’ul ‘’wadho’a’’ (
‫ع‬aaa‫ ) وض‬yang berarti meletakkan, menjadikan, mengira-ngira, mendustakan, ataupun arti
maudhu’I, yang dimaksud disini adalah yang dibicarakan atau judul/topic, sehingga dapat
dipahami bahwa tafsir maudhu’I, adalah : menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada
judul tertentu. Terdapat beragam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama
tafsir, tentang pengertian tafsir maudhu’i. Namun pengertian yang ada dan paling populer ialah,
tafsir maudhu’I, adalah ; tafsir yang dilakukan oleh seorang mufasir dengan cara menghimpun
seluruh ayat al-qur’an yang dibicarakan tentang satu masalah/tema, serta mengarah kepada
pengertian atau tujuan, walaupun ayat-ayat tersebut turunnya berbeda dan tersebar di berbagai
surat didalam Al-Qur’an.

URGENSI METODE TAFSIR MAUDHU’I


Pentingnya metode tafsir maudhu’I, dapat kita ketahui dengan menyebutkan keistimewaan-
keistimewaannya :
1. Bahwa tafsir maudhu’i itu mengumpulkan semua ayat yang menyangkut judul yang satu
dalam satu pembahasan, sehingga ayat yang satu menafsirkan ayat yang lain, maka oleh
karena itu tafsir maudhu’I termasuk tafsir bilmatsur.
2. Bahwa tafsir maudhu’I yang merupakan tafsir bilmatsur itu dekat kepada kebenaran, karena
menafsirkan firman Allah dalam sesuatu ayat dengan ayat yang lain dari Allah juga. Sebab
Allah yang memiliki firman itu adalah yang lebih mengetahui apa yang dikehendaki dengan
firman tersebut.
3. Denagn tafsir maudhu’I orang akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa
ayat dalam satu judul pembahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud ayat Al-Qur’an
dan petunjuknya.
4. Dengan dikumpulkannya semua ayat yang membahas sesuatu topic dalam tafsir maudhu’I,
akan memberikan pandangan dengan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh
nash-nash Al-Qur’an mengenai topic tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai
topic tersebut secara lengkap.
5. Dengan terkumpulnya semua ayat yang mengenai sesuatu topic, maka akan memudahkan
orang untuk menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh
orangg-orang yang mempunyai tujuan jahat terhadap AlQur’an.
6. Bahwa tafsir maudhu’I, ini lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut
adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Al-Qur’an yang umum bagi semua pranata sosial islami
dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang mudah dipahami,diamalkan dan
dimanfatkan dalam menjalani kehidupan.

KESIMPULAN
Dari berbagai uraian diatas maka dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan mengenai
metode tafsir Tahlili dan metode tafsir maudhu’I yaitu :

1. Metode tafsir tahlili merupakan metode penafsiran ayat-ayat Alqur’an dengan


mendiskripsikan uraian makan yang ada dalam ayat-ayat al-qur’an serta melakukan analisis.
2. Metode tafsir tahlili, para mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat Al-Qur’an dari
berbagai segi, dan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an, yakni dimulai dari surat Al-
Fatihah, Al-Baqarah, Ali Imran, dan seterusnya hingga An-nas.
3. Metode tafsir maudhu’I, merupakan penjelasan hal-hal; yang berhubungan dengan satu dari
beberapa tema kehidupan pemikiran, sosial, budaya, keadilan, alam, dan lain-lain dari sudut
pandang Al-Qur’an.
4. penafsiran Al-Qur’an secara tematik dan konstektual sudah saatnya dikembangkan agar
pesan-pesan Al-qur’an mampu berdialog dengan masyarakat manusia sebagai penerima
pesanpesan itu.
5. Melalui metode tafsir maudhu’I, para mufasir, para da’I, dan masyarakat muslim akan mampu
menguasai tema-tema tertentu yang ada serta mengkajinya.

2).
Tafsir Naqli
Tafsir Naqli sendiri adalah tafsir yang didasarkan pada penukilan terhadap hal-hal yang
transendent dalam hal ini adalah dalil-dalil kewahyuan. Yaitu segala sesuatu yang bersumber
dari Allah dan Rasulnya. Dalam pemahaman Ilmu tafsir, tafsir naqli sebenarnya memiliki banyak
sebutan yaitu tafsir bi al-riwayah, dan tafsir bi al-ma’tsur namun metode tafsir ini lebih masyhur
dengan sebutan tafsir bi al-ma’tsur.

Kata Al Ma’tsuradalah isim maful yang terambil dari mufrod atsar (bekas)yang secara
etimologis berartimenyebutkan atau mengutipkan. Atsar juga berarti sunnah, hadits, jejak,
pengaruh dan kesan. Jadi kata ma’tsur pada hakekatnya mempunyai makna mengikuti atau
mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu sehingga tinggal mewarisi
dan meneruskan apa adanya.

Sedangkan pengertian tafsir bi Al–Ma’tsur secara terminologi terdapatberbagai pendapat. Al


Zarqani misalnya, ia mendefinisikan tafsir bi Al Ma’sur dengan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an, penafsiranAl-Qur’an dengan Al Sunnah dandengan pendapat para sahabat.

Sementara menurut Muhammad Husen Al Zahabi,tafsirbi Al Ma’sur adalah penafsiran Al-Qur’an


dengan Al-Qur’an, Al-Qur’andengan Al Sunnah, Al-Qur’an denganpenafsiran para sahabat dan
tabiin.
Senada dengan al-Zahabi, Manna Qathan mendefinisikan Tafsir naqli atau tafsir bi al-ma’tsur)
sebagai tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih secara tertib
yangsebagaimana telah diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain: menafsirkanAl-
Qur’an dengan Al-Qur’an, atau menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah karenaSunnah
merupakan penjelas bagi Kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat yangditerima dari para
sahabat sebab mereka lebih mengetahui tentang Kitabullah, ataudengan riwayat-riwayat dari
tabi’in besar sebab mereka telah menerimanya dari parasahabat.

Dari ragam pendefinisian diatas dapat ditarik ide pokonya yaitu bahwa yang disebut tafsir bil
ma’tsur adalah cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, baik penafsiran terhadap ayat Al-
Qur’an itu terdapat dalam surah yang sama atau berlainan surah, yang menjadi ilatnya adalah
adanya munasabah al-ayah, atau ketersambungan dan ketersesuaian antara ayat yang
ditasirkan dengan ayat yang menafsirkan.

Tafsir bil al-ma’tsur yang kedua adalah menafsirkan Al-Qur’andengan Sunnah Nabi. Dalam Al-
Qur’an disebutkan.

‫َو َم ا َي ۡن ِط ُق َع ِن اۡل َه ٰو ؕى ِاۡن ُه َو ِااَّل َو ۡح ٌى ُّي ۡو ٰح ۙى‬


dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (al-Najm: 3-4)

dari ayat ini didiapati bahwa seluruh tindak tanduk Nabi tidak pernah berangkat dari kemauan
hawa nafsu melainkan suatu wahyu yang diwahyukan.

Tafsir Aqli
Selain tafsir bi al-naql juga ada tafsir bi al-aql. Apa tafsir bi al-aql itu sebenarnya,? Tafsir bi al-
aql sendiri biasa disebut dengan tafsir bi al-Dirayah, atau juga tafsir bi al-ma’qul, sesuai dengan
arti harfiahnya bahwa metode tafsir ini tidak didasandarkan atas tartib riwayat-riwayat.
Melainkan pada kekuatan rasional dan sifatnya ijtihadi, sehingga yang menjadi sandaran
penafsirannya adalah bertolak dari gramatika kebahasaan, aspek sejarah dan peradaban Arab
masa silam, dan juga pengunaan sains dan ilmu pengetahuan yang dapat menopang dalam
penafsiran suatu ayat.

Selain itu ada pertimbangan-pertimbangan lain, seperti ilmu ushul al-fiqh, balaghah, bayan,
ma’ani dll, sehingga tafsir bi aql ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa bertopang pada
kualifikasi keilmuan yang lain. Sekalipun pengunaan rasio yang cukup dominan, namun tetap
berdasarkan prinsip-prinsip logika yang benar dan sistem berpikir yang sah, juga dengan
prasarat-prasyarat yang ketat.

Pakar tafsir kontemporer semacam ali al-Shabuni bahkan mengklasifikasikan model tafsir ini
menjadi dua macam, yaitu tafsir bi al-ra’yi yang terpuji dan yang tercela. Selama penafsiran
seseorang atas Al-Qur’an itu tepat sasaran dengan tujuan yang dikandungnya, kemudian tidak
melenceng dari kaidah umumnya yang tersurat dari nash-nash, juga selaras dengan kaidah
bahasa Arab yang benar, maka hal itu dapat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi yang terpuji. Dan
sebaliknya, disebut tafsir bi al-ra’yi tercela lantaran menafsirkan ayar-ayat Al-Qur’an tanpa
didasari pada pemahaman yang memadai, menafsirkan ayat hanya lantaran ambisi dan
kepentingannya semata, juga tanpa ada kemampuan dalam penguasaan kaidah-kaidah bahasa
Arab dan batas-batas syariat.

Contoh tafsir bi al-aql dalam tafsir Jalalain , surah Al-Fatihah ayat 2.

‫دوه وهللا علم‬aa‫تحق ألن يحم‬aa‫ق آو مس‬a‫د من الخل‬aa‫ مالك لجميع الحم‬: ‫َاْلَح ْمُد ِهّٰلِل جملة خبرية قصد بها الثناء على هللا بمضمونها على أنه تعالى‬
‫الم‬aa‫ال ع‬aa‫الم يق‬aa‫ه ع‬aa‫على المعبود بحق َر ِّب اْلٰع َلِمْي َن أي مالك جميع الخلق من اإلنس والجن والمالئكة والدواب وغيرهم وكل منها يطلق علي‬
‫اإلنس وعالم الجن إلى غير ذلك وغلب في جمعه بالياء والنون أولي العلم على غيرهم وهو من العالمة ألنه عالمة على موجده‬
“(Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai ungkapan
pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa Allah Taala
adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna
yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah Zat yang harus mereka puji. Lafal Allah
merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. (Tuhan semesta alam) artinya Allah
adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat,
hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya
ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafal ‘al-`aalamiin’ merupakan bentuk jamak
dari lafal ‘`aalam’, yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk
berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata ‘aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia
adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya”

Dari contoh tafsir bi al-aql di atas lebih banyak diuaraikan tentang sisi gramatika kebahasaan
dan kemungkinan makna-makna dan penjelas atas makna yang terkandung didalam ayat
tersebut. Sehingga ada perluasan cakupan makna dari awal kandungan makna leksikalnya.

3).
Hadis Sahih

Sahih secara bahasa adalah sehat. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang
sanadnya bersambung (muttasil), diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabit (mempunyai
daya ingat yang kuat), serta tidak beryadz (kontroversi) dan tidak 'illat (cacat). Dikutip dalam
buku 'Ulum al-Hadits oleh Nurrudin 'Itr, dijelaskan bahwa para ulama telah memberikan definisi
hadis sahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut :

‫م َق َر َأ ِفي‬.‫َح َّد َث َن ا َع ْبُد ِهللا ْبُن ُيْو ُس َف َق اَل َأْخ َبَر َن ا َماِل ٌك َع ِن اْب ِن ِش َه اٍب َع ْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ُج َب ْي ِر ْب ِن ُم ْط ِع ِم َع ْن َأِبْي ِه َق اَل َس ِمْع ُت َر ُس ْو َل ِهللا ص‬
)‫اْلَم ْغ ِر ِب ِبالُّط ْو ِر “(رواه البخاري‬

” Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada
kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata:
aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR.
Bukhari, Kitab Adzan).
Hadis Dhaif
Dhaif menurut bahasa adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Hadis dhoif adalah yang tidak
terkumpul padanya sifat hadis sahih dan hasan. Maka dapat dikatakan bahwa hadis dhoif tidak
memenuhi tiga syarat. Sanad hadis dhoif ini terputus, perawinya tidak memiliki ingatan yang
kuat, dan matannya terdapat 'illat (cacat).

Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;

‫ًا َأْو ِاْم َر أًة ِفي‬a ‫ ” َم ْن َأَت ي َح اِئض‬: ‫َم اَأْخ َر َج ُه الِّت ْر ِمْيِذْي ِمْن َط ِر ْي ِق “َح ِكْي ِم اَألْث َر ِم ”َع ْن َأِبي َت ِمْيَمِة الُهَج ْيِمي َع ْن َأِبي ُه َر ْي َر َة َع ِن الَّن ِبِّي ص م َقاَل‬
‫“ ُدُبِر َه ا َأْو َك اُه َن ا َفَقْد َكَف َر ِبَم ا َأْن َز َل َع َلى ُم َح ِّمٍد‬

Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari
abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang
perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang
telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”

Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits
ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad
dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh
para ulama hadits”

4).

Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Qur’an Menurut Ahnaf


Salah satu instrumen yang digunakan oleh Imam Hanafi untuk menguji kesahihan sebuah hadis
adalah mengkonfirmasikan hadis tersebut dengan alQur‟an. Metode ini sebetulnya telah
digunakan oleh para sahabat. Namun Imam Hanafi lebih dikenal di kalangan para ulama dan
fuqaha‟ dalam memakai metode ini. Mungkin karena Imam Hanafi sering menggunakannya dan
menjadikannya sebagai sebuah standar yang baku dalam menguji validitas sebuah hadis.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat perkataan Imam Hanafi berikut seperti yang dikutip oleh
Musfir Azmullah al-Daminiy dari kitab “al-„Alim wa al-Muta‟allim”:Jika seseorang berkata: “Saya
percaya segala sesuatu yang dikatakan oleh Nabi. Saya juga percaya Nabi tidak akan
mengucapkan perkataan bohong serta tidak akan mungkin perkataannya bertentangan dengan
al-Qur,an”, perkataan ini muncul sebagai ungkapan percaya terhadap Nabi dan al-Qur,an serta
menampik adanya kemungkinan pertentangan antara Nabi dengan al-Qur,an. Jika Nabi
menyalahi al-Qur,an dan mengada-ada terhadap Allah, tentu Allah tidak akan membiarkannya
dan akan mengazabnya seperti yang difirmankan Allah dalam al-Qur,an tentang ayat perzinaan.
Maka penolakan seseorang terhadap hadis Nabi yang kontradiksi dengan al-Qur,an, hakikatnya
bukanlah penolakan terhadap Nabi dan mendustakannya, melainkan penolakan terhadap orang
yang mengada-ada terhadap Nabi. Tuduhan dialamatkan kepada orang tersebut bukan kepada
Nabi. Segala sesuatu yang dikatakan Nabi baik yang kita dengar maupun tidak,akan kita taati,
kita beriman dengannya, dan kita bersaksi bahwa perkataan tersebut seperti yang dikatakan
oleh Nabi. Kita juga bersaksi bahwa Nabi tidak akan pernah menyuruh melakukan sesuatu yang
dilarang oleh Allah, memutus sesuatu yang disambung oleh Allah, dan tidak pula
menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Allah. Kita juga
bersaksi bahwa Nabi senantiasa sejalan dengan Allah dalam segala urusan. Beliau tidak
mengada-ada dan berdusta terhadap Allah. Beliau juga tidak termasuk orang yang suka
memberat-beratkan orang lain. Oleh karena itulah Allah berfirman “ Barang siapa yang mentaati
rasul berarti ia mentaati Allah.” (Q.S. an-Nisa‟ : 80)
‫َم ْن ُيِط ِعالَّر ُسوَلفَ َقْد َأَط اَع َّالََّلَو َم ْن تَ ََّو َّلَفَم ا َأْر َس ْلَن اَك َع َلْي ِه ْم َح ِفيًظ ا‬
Dalam teks di atas Imam Hanafi menampik adanya kontradiksi antara firman Allah dengan
Nabi. Jika terdapat kontradiksi maka yang patut dicurigai adalah validitas hadis tersebut. Dari
kalimat di atas tampak bahwa Imam Hanafi lebih cenderung memilih jalan tarjih jika terjadi
kontradiksi antara hadis dengan sunnah Metode pendayagunaan hadis ahad versi fuqaha‟
hanafiah menurut pengamatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam tataran aplikasi ternyata tidak
diterapkan secara konsisten. Terdapat indikasi kuat ulama hanafiah sepaham dengan mayoritas
fuqaha‟ dalam menerima ziyadah „ala al-nash untuk 32 masalah fiqhiyyah yang sumber
tambahan itu berasal dari hadis ahad berkualitas
shahih dan 14 rumusan hukum fikih yang sumber tambahan atas nash alQur‟an berdasar hadis
ahad yang berkualitas dha‟if. Sementara itu ada 29 rumusan masalah fikih yang bersumber dari
hadis ahad yang tingkat kesahihannya lebih tinggi dari kategori di atas tapi tidak dipakai oleh
ulama hanafiah. Contoh penerapan manhaj ini oleh fuqaha‟ hanafiah :Diceritakan oleh Jabir bin
Abdullah, ia berkata: talah datang (terlambat) seorang laki-laki pada hari jum‟at, saat itu Nabi
Saw tengah menyampaikan khutbahnya. Maka Nabi Saw bertanya: Sudahkah engkau
mengerjakan shalat (tahiyyat al-masjid)? Lelaki itu menjawab belum! Nabi bersabda: Segeralah
engkau menunaikan shalat dua raka‟at (H.R. Bukhari dan Muslim)Menurut Imam Syafi‟i hadis
ahad dapat dipakai bersamaan dengan alQuran, dan dapat saja men-takhsis bahkan dapat
menetapkan hukum baru di luar al-Quran. Tidak ada hadis yang bertentangan dengan al-Quran.
Karena itu, hadis tidak boleh ditolak jika secara ilmu mustalah hadis yang sudah memenuhi
kriteria ke-sahih-an. Jika terlihat bertentangan, maka penyelesaiannya adalah dalam bentuk
jam‟u, naskh, dan tarjih.Imam Syafi‟i pernah berkata seperti yang dikuti Edi dalam bukunya
alImam Syafi‟i.Jangan sekali-kali mempertentangkan hadis-hadis Rasulullah satu dengan yang
lainnya selama mungkin dipertemukan hadis-hadis tersebut agar dapat sama-sama diamalkan.
Jangankan telantarkan yang satu dengan yang lain, karena kita punya kewajiban yang sama
untuk mengamalkan hadis-hadis tersebut. Oleh karena itu, jangan jadikan (nilai) hadis- tersebut
sebagai
bertentangan kecuali apabila tidak dapat diamalkan kecuali harus meninggalkan
salah satu darinya. Berdasarkan ungkapan Imam Syafi‟i diatas dapat dikatakan bahwa ia lebih
mengutamakan pengamalan hadis-hadis. Dalam kajian ushul fiqh Imam
Syafi‟i berpendapat bahwa hadis tidak bisa me-nasakh al-Quran, sebaliknya juga demikian al-
Quran pun dinilai tidak bisa me-nasakh hadis.
Kesimpulan kami
Keberadaan hadis ahad membuat semangat para peneliti semakin bergairah dalam mengkaji
kembali dasar syari‟at ini. Terkadang hadis yang telah dinilai sahih sanadnya, namun kajian
matan baru penting untuk dikaji. Apakah ia sesuai dengan al-Quran ataukah sebaliknya.
Terkadang hadis sahih sanadnya namun matannya bertentangan dengan al-Quran membuat
sebagian ulama
untuk tidak menerimanya, dan ini tidka menjadikan orang yang berpaham seperti ini terjatuh
kepada golongan paham ingkar sunnah. Pada dasarnya, yang disebut paham inkar sunnah
adalah paham yang menafikan kehujjahan hadis/sunnah yang maqbul. Pendirian ulama yang
menolak sebagian hadis ahad tentunya karena beliau melihat adanya indikasi ke-tidak beres-an
dalam
periwayatan hadis tersebut. Salah satu dampak yang ditimbulkan dari perbedaan metode yang
dipakai oleh dua Imam besar ini adalah berbeda dalam menetapkan konsep dalam beberapa
kajian lain, salah satunya adalah konsep naskh mansukh. Perbedaan konsep melahirkan
perbedaan hasil ijtihad. Perbedaan tidak bisa dihilangkan, perbedaan jangan dipertentangkan,
dan perbedaan adalah bentuk dari kekayaan.

5).

Dalam rangka untuk mengetahui apakah suatu hadits yang kita terima merupakan hadits yang
sahih, hasan ataupun daif, sehingga memudahkan kita untuk mengamati hadits tersebut.
Apakah hadits maqbul atau mardud, kegiatan takhrij hadits sangatlah penting. Serta akan
menguatkan keyakinan kita untuk mengamalkan hadits tersebut.Menurut pendapat mayoritas
ulama takhrij berarti petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada sumber aslinya, yang
diriwayatkan dengan menyebutkan sanad-nya, kemudian diperjelas martabat atau
kedudukannya bila diperlukan.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mencoba akan melakukan takhrij hadits sebagai
proses studi mentakhrij hadits, yaitu hadits yang berkenaan dengan nafkah seorang laki-laki
(suami) kepada keluarganya adalah sedekah. Penulis akan mengungkapkan riwayat hadits
tersebut, serta melakukan i’tibar terhadap hadits tersebut atau lebih jelasnya melakukan
penelitian hadits.

Matan Hadits dan Para Perawinya


Adapun matan hadits yang akan ditakhrij, yaitu:

)‫ َنَفَقُة الَّر ُج ِل َع َّلى َأْه ِلِه َص َد َقٌة (رواه بخارى‬: ‫َع ِن الَّن ِبِّي َص َّلى هللاُ َع َلْيِه َو َس َّلَم َق َل‬
Arinya:
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: ‘Nafkah seorang lelaki (suami) kepada keluarganya adalah
sedekah”.

Setelah kita takhrij hadits tersebut, melalui kitab Mu’jam Mufarros, dan kata yang diambil adalah
‫ َنَفَقٌة‬dari situlah dapat keterangan hadits tersebut, yaitu:
272 ,5 ‫ حم‬42 ‫ ت بر‬,13 ‫ معازى‬,41 ‫ خ إيهان‬.‫نفقة الرجال على أهله ( تحسبها ) صدقة‬.
Dari keterangan ini, maka penulis menemukan hadits tersebut dalam kitab shahih Bukhari, juz 3
hal 21, kitab Magazi.
‫عن‬
‫سمع‬
‫عن‬
‫خدثنا‬
‫خدثنا‬
Hadits tersebut diriwayatkan oleh lima orang perawi. Dimana perawi terakhirnya adalah Muslim
Ibn Ibrahim. Ia meriwayatkan dari Syu’bah Ibn Hajjaj dari ‘Adiy Ibn Sabits Al-Ansyari Al-Kufi, dari
Abdullah Ibn Yazid Al-Anshori Al-Khuthami yang mendengarkan dari Abu Mas’ud Al-Badar.
Untuk mempermudah gambaran periwayatan hadits tersebut maka disini sicantumkan skema
periwayatannya.

B. Biografi Singkat Para Perawi


1. Abu Mas’ud Al-Badar
Hadits di atas diriwayatkan dari Abu Mas’ud Al-Badar sebagai perawi pertama. Nama
lengkapnya adalah ‘Uqbah Ibn Amru Ibn Tsa’labah Ibn Asirah Ibn ‘Athiah Ibn Judarah Ibn ‘Auf
Ibn Haris Ibn Khazraj Al-Ansyori. Diantara murid-muridnya yaitu Abdullah Ibn Yazid Al-
Khadthimy, Qois Ibn Abi Hazam, Abdullah Ibn Yazid An-Nakh’i dan lainnya yang meriwayatkan
hadits langsung dari Rasulullah SAW. Karena beliau termasuk dari golongan sahabat. Namun,
ulama berbeda pendapat tentang keikutsertaanya pada perang badar. Kebanyakan dari ulama
hadits menyatakan bahwa Abu Ma’ud Al-Badar ikut pada perang tersebut. Di antara ulama
berpendapat tersebut yaitu Su’ban dan disebutkan dalam shahih Bukhari dalam suatu hadits
yang diriwayatkan oleh Urwah Ibn Zubair bahwa Abu Mas’ud Al-Badar ikut perang. Begitu juga
Muslim Ibn Hujjaj yang dijelasknan dalam kitabnya Al-Kuny, kemudian Abu Ahmad Al-Hakim
dan ahli Madirah serta ahli-ahli kitab juga menyatakan hal yang sama. Tapi, Ibn Sa’ad
menyatakan bahwa Abu Mas’ud Al-Badar telah mengikuti perang uhud dan perang-perang
sesudahnya, namun dia tidak pernah ikut perang badar dan apapun sebab di ujung namanya
ada Al-Badar, karena dia dilahirkan di Badar.Khulaifah meyatakan dia wafat pada umur 40 ahun
di Kufah, sedangkan Al-Madani menytakan di Madinah.
2. Abdullah Ibn Yazid Al-Khuthamy
Dari Abu Mas’ud Al-Badar, hadits tersebut kemudian dirwayatkan oleh Abdullah Ibn Yazid Ibn
Zaid Ibn Husain Ibn Amru Ibn Haris bin Khuthamh Al-Khutani. Beliau banyak meriwayatkan
hadits langsung dari Nabi Muhammad SAW, dari Abi Ayyub, Abi Mas’ud, Zai Ibn Tsabit.
Kemudian hadits beliau banyak dirwayatkan oleh anaknya Musa, anak dari perempuan
Abdullah Ibn Yazid (guru) Adiy Ibn Tsabit Al-Ansyori dan Abu Ibn Ishak as-Syabi’i.Sewaktu kecil
beliau pernah mengikuti perang Khudaibiyah, selain itu pernah mengikuti perang Jamal dan
Sitfin bersama Ali dan juga beliau menjadi seorang Amir di kufah pada pemerintahan Ibn
Zubair. Al-Asiri menyatakan kepada Abu daud bahwasanya beliau ini termasu sahabat.Selain
itu, Abu daud mendengar dati Mu’az Al-Zubairi bahwa beliau bukan termasuk sahabat.
Sedangkan Abu Hakim menyatakan beliau hidup bersama Rasulullah sewaktu kecil, sewaktu
beliau menjadi amir di kuffah sewaktu beliau menjadi amir Sabilah yang menjadi sekretarisnya
serta beliau pernah mengikuti Barhitriduan.Abu haklim menyatakan bahwasnya periwayatan
shahih, namun dalam shahih bukhari tidak menyebutkan keshahihannya yang menyebutkan hal
itu hanya kitab “Athof” dan sewaktu Al-Asrom menanyakan kepada Abi Abdullah, Apakah Ibn
Yazid termasuk sahabat yang shahih, maka dijawabnya tidak ada shahih, tapi Abi Abdillah
menyatakan pada suatu riwayat bahwa nabi tidak melihat adanya hal yang menyatakan kalau
Yazid tidak shahih. Ibn Ubaid dan Al-Baqoni menyatakan kepada darul putri bahwa Abdullah
Ibn Yazid Siqat serta ayah dan kakeknya termasuk sahabat.
3. Adiy Ibn Tsabit Al-Ansyarori
Perawi ketiga ini, nama aslinya adalah Adiy Ibn Tsabit Al-Ansyori Al-Kufi. Guru-guru beliau
yaitu, bapakanya, kakak dari ibunya yaitu Abdullah Ibn Yazid Al-Khuthamy dan Said Ibn Jabir.
Sedangkan murid-muridnya adalah Abu Ishak As-Sabiri, Abu Ishak As-Syaibaini, Yahya Ibn
Syaid Al-Ansyari, A’mas dan Syu’bah.Abdulllah Ibn Ahmad, dari ayahnya bahwa beliau Siqah
dan Abu Halim berkata kalau beliau Saduq dan juga sebagai Imam di mesjid Syiah. Dan Al-
Ajalai serta Nasa’i berkata bahwa beliau siqat, Al-Barqoni menyatakan juga kalau beliau siqat.
Sedangkan Athobari mengingatkan berhaati-hati di dalam meriwayatkan hadits beliau, dan Ibn
Muin Assilmi menyatakan kalau beliau membahayakan karena cenderung kepada syiah.Beliau
meninggal dunia di bawah kekuasaan Khalid di Iraq pada tahun 116 H.
4. Syu’bah Ibn Hajjaj
Perawi keempat pada hadits di atas nama aslinya yaitu Syu’bah Ibn Al-Hajjaj Ibn Al-Wardhi Al-
Athaqi Al-Azdhi Al-Wasih Al-Basri. Di antara guru-guru beliau adalah Aban Ibn Taqlub, Ibrahim
Ibn Amir Ibn Mas’ud, Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Al-Munthasir dan Adiy Ibn Tsabit. Sedangkan
murid-murid beliau adalah Ayyub, A’mas, Said Ibn Ibrahim, Hajjaj Ibn Minhal dan Muslim Ibn
Ibrahim.Pernyataan para kritikus hadits tentang dirinya antara lain:
a. Ahmad Ibn Hambal:
- Sekiranya Syu’bah tidak ada, niscaya hadits-hadits hukum akan banyak lenyap.
- Dia lebih sabt daripada Al-A’maiy di bidang hukum.
- Pada zamannya, tidak ada orang yang lebih baik pengetahuannya di bidang hadits selain
Syu’bah.
b. Sufyan Al-Syafiuri:
- Syu’bah itu amirul-mu’minin fil hadits.

c. Asy-Syafi’i
- Sekiranya Syu’bah tidak ada, niscaya hadits di Iraq tidak dikenal orang.
d. Ibn Sa’ad
- Dia itu siqah ma’mun Sabt, Hujjaj.
e. Al-‘Ajali
- Dia itu siqah Sabt, tetapi agak sedikit ada kesalahan di bidang rijalul hadits.
f. Ad-Daraqutni
- Syu’bah banyak mengalami kesalahan di bidang rijalul hadits karena kesibukannya untuk lebih
banyak menghafal matn hadits.Hampir seluruh kritikus hadits memuji Syu’bah, kekurangan
Syu’bah menurut Al-‘Ajali dan Ad-Daraqutni adalah di bidang rijalul hadits dan bukan matn
hadits.Beliau lahir pada tahun 82 H dan wafat pada tahun 160 H di Basrah.
. Muslim Ibn Ibrahim
Perawi yang kelima ini, nama aslinya yaitu Muslim Ibn Ibrahim Al-Azdhi Al-Farohidi. Diantara
guru-guru nya said Ibn Abdul Aziz, Malik, AlAuzai dan Syu’bah dan diantara murid-muridnya
adalah Abdussalam Ibn Suddat, Jarrir Ibn Hazim, Abban Ibn Yazid Al-Athor dan Syu’bah.Ibn Abi
Khaisamah dari Muin Bahwa beliau siqat lagi dipercaya, Al-Ajali juga menyatakan kalau beliau
siqat, Abu Halim dari ayahnya menyatakan bahwa beliau siqat dan seduq. Beliau menulis di
waktu yang dekat dengan aribu Syekh. Dia hafal hadits Qurrah, hadits Hisam dan hadits Abban
Al-Athor. Ibn Saad menyatakan kalau beliau siqat begitu juga Ibnu Hibban menytakan bahwa
beliau siqat.Beliau adalah orang Basrah dan beliau wafat pada bulan Safar tahun 222 H di
Basrah.
6. Imam al-Bukhari
Al Imam abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Al-Mugheirah Al-Bukhari, seorang
ulama besar Islam yang ternama, yang tidak ada bandingannya dalam urusan hadits, yang
telah menghafal bepuluh-puluh ribu hadits, yang mempunyai kitab shahih dan sudah terkenal
namanya dan mempunyai tafsir dan kitab-kitab hadits lainnya. Hadits-haditsnya diriwayatkan
beliau, yang telah dipandang shahih dan tidak diperiksa lagi hadits yang telah ditulis dalah
shahihnya.Beliau ini dilahirkan di Bukhara pada tahun 194 H/910 M. Setelah beliau besar, maka
pada tahun 210 H, beliau mengadakan perlawatan untuk mempelajari hadits ke Khurasan, ke
Irak ke Mesir dan ke Syam.Beliau telah dapat mendengar hadits-hadits sejumlah 100.000 hadits
shahih dari 1000 guru (ahli hadits). Kemudian hadits-hadits yang beliau pandang sahahih dari
jumlah 100.000 itu. beliau masukkan (bukukan) ke dalam Ash-Shahih. Seterusnya beliaulah
mula-mula sekali menulis kitab hadits yang isisnya hadit shahoh semata-mata.Kemudian
setelah beliau kebali dari perlawatan, dari negeri-negeri yang tersebut di atas beliaupun terus
menetap di Bukhara. Tetapi amat sayang orang-orang Bukhara menuduh beliau telah sesat
karena sebab itu, sehingga beliau dikeluarkan dari Bukhara ke sebuah desa di Samarkand dan
disini juga beliau menghembus nafas terakhir.

C. Analisis Hadits
Suatu hadits dapat dinilai shahih apabila telah memenuhi lima syarat yaitu rawinya bersifat adil,
sempurna ingatan, sanadnya tidak putus, hadits itu tidak berillah dan tidak janggal. Untuk
mengetahui kelima hal tersebut perlu dilakukan penelitian para rijal dan penilaian para ulama
hadits terhadap rijal hadits tersebut.Kajian mengenai biografi rijal hadits akan diketahui
ketersambungan sanad yang dapat dilakukan melalui dua hal, yakni dengan mengetahui akan
adanya pertemuan antara kedua perawi atau sering juga disebut dengan istilah mu’asharah dan
kedua adalah dengan mengetahui guru dan murid perawi. Dua cara inilah yang nantinya akan
digunakan dalam analisa ketersambungan sanad.Dari pembahasan sebelumnya menyebutkan
bahwa perawi pertama shadits ini adalah Abu Mas’ud al-Badar. Beliau adalah seorang sahabat
yang ikut perang badar dan beliau wafat pada usia 40 tahun di Kufah. Hadits ini kemudian
diriwayatkan lagi oleh Abdullah Ibn Yazid yang bertemu nabi sewaktu masih kecil dan pernah
mengikuti perang Khudaibiyah, jamal dan safifin serta pernah menjadi amir di Kufah. Jadi, bisa
kita simpulkan kalau kedua perawi ini pernah bertemu yakni mereka pernah hidup sejaman,
sama-sama sahabat nabi, walaupun Abdullah Ibn Yazid termasuk sahabat kecil. Kemudian
mereka sama-sama satu daerah yaitu Kufah dan dalam kitab biografi dijelaskan jika mereka
adalah guru dan murid. Itu berarti sanad antara keduanya bersambung.Setelah Ibn Yazid,
hadits ini kemudian diriwayatkan oleh Adiy Ibn Tsabit. Adiy Ibn Tsabit ini adalah anak dari anak
perempuan Ibn Yazid. Jadi, Ibn Tsabit ini adalah cucunya. Sehingga dapat kita ketahui bahwa
mereka pernah bertemu dan sangat memungkinkan kalau Adiy menerima hadits tersebut dari
kakeknya. Walaupun tidak diketahui tahun kewafatan Ibn Yazid. Bukti kakek dan cucu ini sudah
cukup kuat, ini berarti sanad antara keduanya bersambung.Setelah Adiy Ibn Tsabit, hadits ini
kemudian diriwayatkan oleh Syu’ban. Adiy meninggal pada tahun 116 H. Sedangkan Syu’bah
lahir tahun 62 H, meninggal pada tahun 160 H. Berdasarkan data sejarah ini maka dapat
diketahui bahwa mereka pernah bertemu, selain data sejarah tersebut yang mendukung,
banyakny guru Syu’bah dan kerajinan dia dalam mencari hadits itu juga bisa mendukung bukti
adanya pertemuan mereka. Itu berarti sanad antara keduanya bersambung.Perawi berikutnya
Muslim Ibn Ibrahim. Beliau murid Syu’bah dan wafat pada tahun 222 H. Dari data ini dapat
diketahui selisih tahun kewafatannya hanya 62 tahun. Jadi, dapat diketahui bahwa sewaktu
Muslim masih kecil pernah belajar kepada Syubah, karena dapat diperkirakan usia Muslim lebih
dari 62 tahun. Kemudian kalau masalah ketersambungan sanad antara Muslim Ibn Ibrahim
dengan Bukhari itu jelas sebab dijelaskan dalam biografi Muslim bahwa Bukharilah yang
menyatakan kalau Muslim itu wafat pada tahun 222 H. Selain bukti ini kita ketahui kalau Bukhari
lahir pada tahun 194 H dan wafat pada tahun 256. Jadi, mereka pernah bertemu dan memiliki
hubungan guru dan murid. Itu berarti sanad antara keduanya bersambung.Jadi, jelaslah sudah
bahwa para perawi dari hadits di atas tersambung semua sanadnya dan mereka semua siqat
serta ada dua orang perawi yang termasuk sahabat yaitu Abu Mas’ud dan Abdullah Ibn Yazid.
Namun yang menjadi permasalahan terletak pada adiy Ibn Tsabit. Oleh para pengeritik hadits
dikatakan bahwa beliau adalah orang Syiah yang sangat fanatik, sehingga menimbulkan
permasalahan-permasalahan terhadap hadits-hadits yang beliau riwayatkan.Sedangkan
menurut penulis itu tidak masalah karena hadits yang beliau riwayatkan ini tidak ada
berhubungan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan hal-hal yang sangat
prinsipal dalam pandangan aliran-aliran yang ada dalam Islam.
Setelah penulis ketahui ketersambungan semua sanad, maka penulis melihat tidak ada syuzuz
dan illat pada sanad tersebut karena semua perawi dalam sanad tersebut bersifat siqat. Jadi,
memenuhi lima syarat pada sanad.Selain itu, hadits ini juga memiliki jalur sanad lain serta
terdapat dalam kitab hadits lain baik dalam bentuk matn yang sama atau mirip. Adapun yang
sama matannya terdapat dalam Susunan At-Tarmidhi, kitab Al-Birru baab 42, nomor hadits
1972 hal 388. Sedangkan beda matan tapi sama maknanya yaitu pada shahih Muslim bab
zakat nomor haditsnya 1002 hal pada musnah Ahmad Ibn Hambal juz 6 hal 70, nomor urut
haditsnya 17081, pada susunan Nasa’i kitab zakat juz 3, hal 71, nomor urut hadits 2541 dan
pada susunan Ad-Darimi juz 2 halaman 284.Di bawah ini adalah skema jalur sanad hadits
tersebut dari seluruh sanad yang ada, seperti yang ada dalam buku metodologi penelitian
hadits nabi karya Dr. M. Syahudi Ismail

‫سمع‬

‫عن‬

‫عن‬

Adapun dalam meneliti matn yang harus dilakukan adalah meneliti susunan matn yang semakin
dan meneliti kandungan matn. Dan pada hadits ini kandungan matn tidak ada illat dan cacat.
Karena bila mmemberi sesuatu kepada orang lain itu sudah jelas shodaqoh, apalagi
memberikan sesuatu itu kepada keluarga. Jadi, sangat memungkinkan bila Nabi pernah
menyampaikan hal tersebut.
D. Penjelasan Hadits
Dari hadits tersebut An-Nawawi dapat mengambil kesimpulan, bahwa pembagian yang sesuai
dengan syarat tidak akan mengurangi pahala, maka perbuatan yang diarahkan untuk mencari
pahala akan mendapatkan pahala dengan kemurahan Allah. Menurut saya, ada yang lebih jelas
dengan maksud ini daripada meletakkkan makanan, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Abu Dzarr, “Dan dalam kemaluan kalian ada sedekah.” Mereka pun berkata, “Apakah jika
salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya maka dia akan diberi ganjaran?” Beliau
menjawab, “Benar, apakah kalian tidak melihat jika dia menyalurkan pada yang haram (maka
dia akan mendapatkan dosa).”Hal ini dalam perbuatan tersebut mempunyai efek pada diri
manusia, lalu bagaiman dengan perbuatan yang tidak mempunyai efek pada diri manusia?
Perumpamaan dengan suapan makanan adalah mubalaghah (menekankan dengan sangat)
dalam merealisasikan kaidah ini. Karena jika di diberi pahala dengan sesuap makanan kepada
istrinya pada saat tidak membutuhkan, lalu bagaimana dengan orang yang memberikan
beberapa suapan pada orang yang membutuhkan, atau orang yang melaksanakan ketaatan
yang tingkat kesulitannya berada di atas harga sesuap makanan?Terakhir, hadits ini
berhubungan denga hak istri yang dinikmati manfaatnya oleh suami, karena apa yang diberikan
kepada istrinya bermanfaat bai kesehatan badannya yang dimanfaatkan pula oleh sang suami.
Kemudian juga, biasanya memberikan nafkah kepada istri merupakan panggilan jiwa, berbeda
dengan memberikan nafkah kepada orang lain.

Kesimpulan

Hadits diteliti di atas memiliki bayak sanad. Walaupun demikian bukanlah hadits muthawatir,
melainkan hadits ahad. Melihat jumlah periwayat yang terdapat dalam seluruh sanad, hadits
tersebut pada periwayat tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat berstatus garib dan mulai
pada periwayat tingka lima, enam dan tujuh berstatus masyhur.Setelah seluruh sanad diteliti,
ternyata memenuhi lima syarat hadits shahih dan begitu juga matnnya tidak ada syuzuz dan illat
. Jadi, dapat diambil natifah bahwa hadits tersebut berkualitas shahih.

Anda mungkin juga menyukai