Anda di halaman 1dari 67

TAFSIR, TA’WIL DAN

TERJEMAH
A. TAFSIR
1. Sejarah Tafsir Al-Qur'an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah Saw masih hidup seringkali timbul
beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu
mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah Saw. Secara garis
besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam
menafsirkan Al-Qur'an.
Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global
di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung
pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau
mereka berselisih paham tentangnya.
Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka
adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami
makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya.
Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai
mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena
disandarkan pada Rasulullah Saw terutama pada
masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat
dimasuki ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu
sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah Saw.
Para sahabat yang terkenal banyak
menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat
khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari,
Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum
terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih
bercampur dengan hadits.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar
Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota
utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan
madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah
Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn
Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan
Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan
murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi
dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan
murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-
Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing
madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi
hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis
sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan
tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya
seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya.
Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut
pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar.
Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama
dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini
melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad
dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan
pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
2. Pengertian Tafsir
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Qur’an tidak sama dengan interpretasi
teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab
yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita
membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk
pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang Islam. Dalam
bahasa Arab, kata tafsir (‫ )التفسير‬berarti “menjelaskan”.[1] Lafal
dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran :
33. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan
yang paling baik penjelasannya[1067]. (QS Al-Furqan: 33)

[1067] Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad


s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah
menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.

Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (‫ )الفسر‬yang
berarti “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga
bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[2]

[2]. Rosihan Anwar, Ulum Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010, hal. 209
Tafsir atau At-Tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain :
a. Menjelaskan, menerangkan, yakni: ada sesuatu yang semula
belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut,
sehingga terang dan jelas.
b. Keterangan sesuatu, yakni : perluasan dan pengembangan dari
ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum, sehingga
menjadi lebih terperinci, mudah difahami serta dihayati.
c. Tafsiroh, yakni alat kedokteran yang mengungkap penyakit
seseorang pasien, maka tafsir bisa dikatakan dapat makna
yang tersimpan dari Al-Qur’ an
Tafsir menurut istilah, para ulama memberikan rumusan-
rumusan yang berbeda, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy, dalam at-Taujih :
“Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan lafazh yang
sukar difahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih
memperjelas pada maksud baginya, baik dengan
mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati
sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang
mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan
dalalah”.
2. Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam Al-Ta’riifat :
“Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam
pengertian syara’ ialah menjelaskan makna ayat : dari segala
persoalannya kisahnya, sababunnujulnya dengan menggunakan
lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang”.
3. Menurut az-Zarkasyi adalah sebagai berikut :
“Tafsir adalah ilmu yang mengkaji tentang pemahaman
kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw,
menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum
yang dikandungnya serta ilmu-ilmu yang ada di dalamnya”.
Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut dapat
disimpulkan bahwa : “Tafsir adalah usaha yang bertujuan
menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-
lafazhnya agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang
samar-samar menjadi terang, yang sulit difahami menjadi
mudah difahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup manusia benar-benar dapat difahami, dihayati dan
diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.”
Unsur-unsur pokok untuk memahami pengertian tafsir adalah sebagai berikut :
1. Hakekatnya ialah menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an, yang
sebagian besar masih dalam bentuk yang sangat global.
2. Tujuannya untuk memperjelas apa yang sulit difahami dari Al-Qur’an itu
sendiri.
3. Sasarannya agar Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari
Allah benar-benar berfungsi sebagaimana Al-Qur’an itu diturunkan.
4. Sarana pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an itu meliputi berbagai
ilmu yang berhubungan dengan itu.
5. Bahwa upaya menafsirkan Al-Qur’an bukaan untuk memastikan-
demikianlah yang dikehendaki Tuhan- namun pencaharian makna itu
hanyalah menurut kadar kemampuan manusia dengan keterbatasan
ilmunya.
3. Bentuk Tafsir Al-Qur'an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis
besar dapat dibagi menjadi tiga :
1. Tafsir bi Al-Ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah
Rasulullah Saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan
(aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-
ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-
Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode,
yaitu :
1. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa
tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya
masih secara lisan (musyafahah).
2. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi
pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir
bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits
dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
3. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur
yang secara khusus dan berdiri sendiri.
Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis
dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi
al-Ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada nabi Saw,
kepada para sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in. diantara contohnya,
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an :

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan


kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
Dijelaskan oleh firman Allah :
Tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah :

7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.[9]. (al-Fatihah:7)
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang
sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Disini Rosulullah menafsirkan al-Maghdhubi


Di antara keistimewaan tafsir bil Ma’tsur ini seperti yang
dicatat oleh Quraisy Syihab, yaitu sebagai berikut ;
1. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-
Qur’an.
2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan-pesannya.
3. Mengikat muufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga
membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam
subjektivitas yang berlebihan.
Tafsir-tafsir bi al-ma’tsur juga mempunyai kelemahan
antara lain ;
1. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir yang mana terjadi
pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan dikalangan
umat Islam yang menimbulkan beberapa aliran seperti
Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Diantaranya karena
fanatisme, politik, dan usaha-usaha umat Islam.
Penganut-penganut Syi’ah amat tertarik hatinya untuk
mengumpulkan makna-makna Al-Qur’an sesuai dengan
keinginan mereka.
2. Masuknya unsur Israiliyyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi
dan Nashrani yang masuk ke dalam penafsiran Al-Qur’an, persoalan
Israiliyyat sebenarnya sudah ada sejak Nabi masih ada.
Namun pada masa itu Israiliyyat belum menjadi persoalan yang parah,
mengingat yang dilakukan para sahabat masih berada dalam batas-batas
kewajaran. Israiliyyat menjadai persoalan serius ketika berada pada masa
tabi’in. pada masa itu, Israiliyyat tidak saja telah bercampur antara yang sahih
dan yang batil, tetapi juga banyak yang merusak akidah umat. Dalam sejarah,
Israiliyyat semacam itu masuk dan tersebar melalui tafsir bi al-ma’tsur.
Riwayat-riwayatnya yang shahih didalamnya dicampurkan dengan yang tidak
shahih dan karena orang-orang Yahudi dan orang-orang Parsi yang Zindik
telah banyak membuat hadits-hadits palsu yang kemudian diambil oleh ahli-
ahli tafsir tanpa disaring.
3. Eksistensi sanad yang menjadi
salah satu kualifikasi keakuratan
sebuah riwayat, ternyata pada
sebagian tafsir bi al-ma’tsur tidak
ditemukan lagi.
4. Terjerumusnya sang mufassir
kedalam uraian kebahasaan dan
kesastraan yang bertele-tele
sehingga pesan pokok al-Qur’an
menjadi kabur.
5. Sering konteks turunnya ayat atau sisi
kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang
dipaham dari uraian (nasikh mansukh)
hampir dapat dikatakan terabaikan sama
sekali sehingga ayat-ayat tersebut
bagaikan turun di tengah-tengah
masyarakat yang hampa budaya
2. al-Tafsir bi al-Ra’yi
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi
menambahkan fungsi ijtihad dalam proses
penafsirannya, di samping menggunakan apa yang
digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-
penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan
berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab
dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan
bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran
al-Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan
pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab
dan arah pembicaraan mereka serta
pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan
makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan
syair jahily sebagai acuan dan panduannya.
Mengenai keabsahan tafsir bi al-ra’yi, para ulama terbagi
ke dalam dua kelompok :
1. Kelompok yang melarangnya. Bahkan menjelang abad
ke II H, “corak” penafsiran ini belum mendapat legitimasi
yang luas dari para ulama yang menolaknya. Diantara
argumentasi-argumentasinya ;
a. Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti
membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan
demikian hasil penafsirannya hanya bersifat pikiran
semata. Padahal Allah berfirman ;
Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an adalah
Nabi, berdasarkan firman Allah :
c. Rasulullah Saw bersada :
‫سلَّ َم َم ْن‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن ُه َما قَا َل قَا َل َر‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫ي‬ ِ ‫َّاس َر‬
َ ‫ض‬ ٍ ‫عب‬ َ ‫ع ْن اب ِْن‬ َ
‫س ٌن‬
َ ‫يث َح‬ ٌ ‫سى َه َذا َح ِد‬ ِ َّ‫آن ِبغَي ِْر ِع ْل ٍم فَ ْليَتَبَ َّوأْ َم ْقعَ َدهُ ِم ْن الن‬
َ ‫ار قَا َل أَبُو ِعي‬ ِ ‫قَا َل فِي ْالقُ ْر‬
‫ص ِحي ٌح‬
َ

“Siapa saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya semata,


atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka
persiapkanlah
mengambil tempat di neraka”
d. Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk
berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an
2. Kelompok yang mengizinkannya.
diantara argumentasiya :
a. Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang
menyerukan untuk mendalami kandungan Al-Qur’an.
Misalnya firman Allah ;

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran


b. Seandainya tafsir bi al-Ra’yi dilarang,
mengapa ijtihad diperbolehkan, Nabi
sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-
Qur’an.
c. Para sahabat sudah biasa berselisih
pendapat mengenai penafsiran suatu
ayat.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al
qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada
dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh
dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini
dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab
batil dalam rangka melegitimasi golongannya
dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar sesuai
dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :

1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud).


Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang
khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan
pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang
banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh
bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir
Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan
Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang
terpuji (mahmudah / maqbul)
a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir
maktsuur
b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang
dikaitkan dengan satu kait berpikir
mengenai kitab Allah menurut hidayah
sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi
permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ra’yi ada dua:
1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap
mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah
ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu
syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini
sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang
di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang
mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak
mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-
Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya
Tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul
Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul
Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az
Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf
‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil
Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwil.
3. al-Tafsir al-Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari: adalah takwil Al Qur’an
berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat
yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul
‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilhamNya.
Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir
akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung
dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap
orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh
Allah SWT.
Hukum Tafsir bil-isyarah: Telah berselisih para ulama dalam menghukumi
tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat),
dan sebagian lainnya melarangnya.
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak
ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras
keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang
memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang
memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat
beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah
bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan
bertanya kepada orang bodoh.
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang
zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah
dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah
yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang
hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus
yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an
inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan
gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang
biasa disebut tafsir Isyari .
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada
ayat
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina."
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam
tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An
Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
B. TAKWIL
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata ‘ail’ yang berarti ke asal,
ada juga yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari kata ‘aul’
yang berarti memalingkan, memalingkan ayat dari makna yang
dhahir kepada suatu makna yang dapat diterima olehnya. Ta’wil
pada istilah mempunyai dua makna; pertama, takwil dengan
pengertian suatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara)
mengembalikan perkataanya, atau suatu makna yang kepadanya
suatu kalam dikembalikan. Kalam ada dua macam, insya’ dan
ikhbar.salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kata
perintah).
Ta’wil al amr adalah Esensi perbuatan yang diperintahkan seperti
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata: adalah
Rosulullah membaca didalam ruku’ dan sujudnya subhanallah wa
bihamdihi Allahummaghfirli. Beliau mentakwilkan (menjalankan
perintah) qur’an, yang dimaksud disini adalah Firman Allah SWT

“maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah


Sedangkan ta’wilul ikhbar adalah esensi dari apa yang
diberitakan itu sendiri yang benar-benar terjadi. Misalnya firman
Allah:
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia
telah menjelaskan kitab, dan mereka tidak
menunggu-nuggu kecuali ta’wilnya yaitu
datangnnya apa yang diberitakan Qur’an
akan terjadi, seperti hari kiamat dan tanda-
tandanya serta segala apa yang ada di
akhirat berupa buku catatan amal, neraca
amal, surga, neraka dan lain segalanya.
Menurut pandangan yang masyhur kata Ta’wil sama dengan tafsir yakni
menjelaskan dan menerangkan, dengan pengertian kata Ta’wil bisa mempunyai
arti ;
1. Kembali atau mengembalikan, yakni mengembalikan makna
pada proporsi yang sesungguhnya.
2. Memalingkan, yakni memalingkan suatu lafazh tertentu yang
mempunyai sifat khusus, dari makna dzohir ke makna bathin
karena ada keterkaitan satu diantara yang lainnya.
3. Mensiasati, yakni bahwa dalam lafazh-lafazh tertentu
atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus
memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan makna yang
setepat-tepatnya.
Ta’wil dalam arti secara istilah adalah sebagai berikut:
1. Menurut Al-Jurzani: Ta’wil ialah memalingkan lafazh dari
maknanya yang dzohir kepada makna lain yang dipunyai
lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan al-
Qur’an dan Sunnah.
2. Ta’wil ialah mengembailkan sesuatu pada maksud yang
sebenarnya, yakni menerangkan apa yang
dimaksudkannya.
3. Menurut ulama khalaf ta’wil ialah mengalihkan suatu laazh
dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh
karena ada indikasi untuk itu.
Sasaran ta’wil pada lazimya menyangkut ayat yang
mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah
kemungkinan makna yang dikandungnya.

Dalam Al-Akhlak wal Wajibat, Al-Maghraby mengemukakan:


”Adapun ta’wil ialah bahwa ayat mempunyai sejumlah
kemungkinan makna yang dikanndungnya. Maka ketika engkau
sebutkan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi
ragu-ragu tidak tahu mana yang harus dipilihnya. Karena itu
ta’wil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat mutasyabihat”.
Ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Menurut ulama mutakallimin
adalah ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan Dzat atau Sifat Allah SWT. Kebalikan ayat ini adalah
ayat Muhakamat yakni ayat-ayat yang telah terang maknanya dan tegas pengertian yang
dimaksudnya.
Ta’wil menurut golongan mutaakhirin adalah
memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada
makna yang lemah karena ada dalil
menghendakinya. Takwil semacam ini banyak
digunakan oleh kebanyakan ulama mutaakhirin,
dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah
SWT keserupaaannya dengan makhluk seperti yang
mereka sangka. Dugaan ini sungguh bathil karena
dapat menajtuhkan mereka dalam kekhawatiran
yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau
bahkan lebih dari itu. Misalnya aliran mu’tazilah
yang menafsirkan ayat-ayat yang memberikan
kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani secar teoritis.
Dengan kata lain, ayat-ayat alqur’an yang
menggambarkan bahwa Tuhan bersifat jasmani
diberi takwil oleh muktazilah dengan pengertian
yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah.
Seperti, kata ‘istawa’ dalam surat Thaha ayat 5
ditakwilkan dengan al istila wa al ghalabah
(menguasai dan mengalahkan),

5. (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang


bersemayam di atas 'Arsy[913].

[913] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah


yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran
Allah dsan kesucian-Nya.
kata aini ditakwilkan dalam surat Thaha ayat 39
ditakwilkan dengan ‘ilmi’ (pengetahuan).

39. Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti,


kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), Maka
pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya
diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya. dan
aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang
yang datang dari-Ku[916]; dan supaya kamu diasuh
Kata yad dalam surat shad ayat 75 ditakwilkan
dengan al quwwah atau al qudrah.

75. Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang


menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-
ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa)
Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".
Ayat-ayat alquran yang dijadikan sandaran dalam
mendukung pendapat di atas adalah ayat 103 surat
al-an’am

103. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,


sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan;
dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Hal semacam ini mengandung kontradiktif, seperti


kata yad ditakwilkan dengan kekuasaan, karena
memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu
makna yang serupa dengan makna yang mereka
sangka harus ditiadakan, mengingat makhlukpun
mempunyai kekuasaan.
C. TERJEMAH
Terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu
bahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin,
memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa
lain. Sedangkan yang dimaksud dengan terjemah
al-qur’an adalah seperti yang dikemukakan oleh
ash-shabuni; memindahkan al-qur’an ke bahasa lain
yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah
dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang
tidak mengerti bahasa arab, sehingga ia dapat
memahami kitab Allah.
Kata terjemah dapat dipergunakan pada dua arti
a. Terjemah Maknawiyyah atau Tafsiriyyah, yaitu
menerangkan makna atau kalimat pembicaraaan
dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-
kata bahasa asal atau memperhatikan susunan
klimatnya, melainkan oleh makna dan tujuan
aslinya.
b. Terjemah Harfiyyah, yaitu mengalihkan lafadz-
lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang
serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga
susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan
susunan dan tertib bahasa pertama.
Terjemah harfiyyah dibagi menjadi dua:
1. Terjemah Harfiyyah bi l-misli, yaitu menyalin
atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan
sinonimnya (murodifnya) ke dalam bahasa baru dan
terikat bahasa aslinya.
2. Terjemah harfiyyah bi dzuni al-mitsli, yaitu
menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli ke
dalam beberapa bahasa lain dengan
memperhaitkan urutan makna dan segi sastranya,
menurut kemampuan bahasa baru serta
kemampuan penerjemahnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang
bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah
harfiyyah dengan pengertian sebagaimana di atas
tidak mungkin dicapai dengan baik. Sebab
karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan
yang lain dalam hal tertib bagian kalimat-kalimatnya.
Contoh, jumlah fi’liyyah dalam bahasa arab dimulai
dengan fi’il kemudian fa’il, baik dalam kalimat tanya
maupun yang lainnya, mudlaf didahulukan atas
mudhof ilaihi, dan mausuf atau sifat, kecuali dengan
idhofah tasybih. Yang mana hal itu tidak dimilki oleh
bahasa lain.
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun
tarjamah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat
dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun
bahasa terjemahnya;
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan
ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa
tersebut;
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua
makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa
pertama;
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari
bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi
bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah
tersebut.
D. Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil dan Terjemah
Perbedaan tafsir, ta’wil disatu pihak dan terjemah di
pihak lain adalah tafsir dan ta’wil berupaya
menjelaskan makna setiap kata di dalam Al-Qur’an,
sedangkan terjemah hanya mengalihkan bahasa Al-
Qur’an yang dari bahasa arab ke bahasa non Arab.
Abu ubaidan dan sekelompok ulama berpendapat
bahwa tafsir dan ta’wil adalah sama kata Al-Maturidy
tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki
oleh ayat dan dengan sungguh-sungguh
menetapkan, demikianlah yang dikehendaki Allah,
maka ada dalil yang membenarkan penetapan itu,
dipandanglah tafsir yang shohih. Kalau tidak
dipandanglah tafsir yang berdasarkan pikiran yang
tidak dibenarkan, ta’wil ialah mentarjihkan salah satu
makna yang mungkin diterima ayat ,yakini salah
satu mutamilad, dengan tidak menyakini bahwa
demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki
Allah.
Dikatakan tafsir yaitu apa yang terjadi jelas didalam
kitabullah atau jelas didalam hadist sohih, artinya itu
jelas tampak, ta’wil yaitu apa yang disimpulkan oleh
ulama, dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa
tafsir itu istilah apa yang bersangkut dengan ayat
sedangkan ta’wil yaitu, apa yang bersangkutan
dengan ilmu pengetahuan.
2. Menerangkan makna 2. Menetapkan makna
lafazh yang tak menerima yang dikehendaki suatu
selain dari satu arti. lafazh yang dapat menerima
banyak makna karena
didukung oleh dalil.
Adapun perbedaan tafsir dan ta’wil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut;

TAFSIR TA’WIL

1. Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih umum 1. Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih banyak


dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-
dan kosakata dalam kitab-kitab yang kitab yang diturunkan Allah saja
diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
3. Al-Maturidi: menetapkan apa 3. Menyeleksi salah satu makna
yang dikehendaki ayat dan yang mungkin diterima oleh suatu
menetapkan seperti yang ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah
dikehendaki Allah. yang dikehendaki Allah.
4. Abu Thalib Ats-Tsa’labi: 4. Abu Thalib Ats: menafsirkan
menerangkan makna lafazh baik bathin lafazh.
berupa hakikat atu majaz.
Kesimpulannya tafsir adalah pengertian lahiriyah
dari ayat Al-Qur’an yang pengertiannya secara
tegas mengatakan maksud yang dikehendaki
Allah… Azza wa jala… Sedangkan ta’wil pengertian-
pengertian tersirat yang diistimbatkan ( diproses )
dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan
perenungan dan perkiraan, serta merupakan sarana
pembuka tabir.

Anda mungkin juga menyukai