Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci
menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan
ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-
gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat
ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan
keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan
waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-
Qur`an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan
penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat
besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang
terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir
dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam
penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan
penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Dalam
makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang pengertian tafsir,
sejarah perkembangan tafsir, bentuk metode corak tafsir, kitab-kitab tafsir
berbahasa indonesia syarat-syarat seorang mufassir.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasakan latar belakang diatas maka kami merumuskan masaah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian tafsir?
2. Apa saja bagian bagian-bagian dari tafsir?
3. Apa isi kandungan dari tafsir?

C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui pengertian tafsir
2. Untuk Mengetahui Apa saja bagian bagian-bagian dari tafsir
3. Untuk Mengetahui Apa isi kandungan dari tafsir

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara
etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir
berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang
tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata
yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33

َ ‫َاكاب ْال َحقاا َاوأَ ْح‬


ً ‫سنَاات َ ْفس‬
‫يرا‬ ‫لاجائْن َا‬ ‫لايَأْتُون َا‬
‫َكابا َمثَلااإا َ ا‬ ‫َو َ ا‬
Artinya:
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya” 1‫ا‬
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para
pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-maknanya
dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.2
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân,
mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-
Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya ketika
tersusun serta hal lain yang melengkapinya.
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan
paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan
dengan Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan
pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman

1 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyurat al-‘ashr


al-hadits, 1973), h. 323.
2 Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah
al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.

2
Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan
akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat
diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at
bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.3
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk
diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan
perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat
“tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah ini akan penulis akan mepaparkan
ulasan mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai
modern.

B. Kedudukan Tafsir
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia
adalah ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul
pembicaraan ialah kalam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah
dan sumber segala keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang
pada tali Allah yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat
atau sebenamya. Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena
setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara’.
Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam Kitab Allah SWT.

C. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir


1. Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada
masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir
pada masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada
masa kodifikasi (pembukuan).
a. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi
pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk

3 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.) Juz II,
hlm. 172.

3
mengetahui makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung
berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain
yang lebih mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera
menanyakan pada Nabi.4 Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan
sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi.
Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan
al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin)
al-Qur’an, dan ijtihad.Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena
pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu
cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih
diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.

b. Tafsir pada masa tabi’in


Setelah generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in.
Tafsir pada masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya.
Jika pada masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan
sabahat sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai
banyak bersandar pada berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu
penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan
ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat
menyebar ke berbagai daerah.
Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’îd ibn
Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722).
Mereka berguru pada Ibn Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb
(w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M).
Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w.
720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn
Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.5

4 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-


Hadîtsah, 2005), h. 43.
5 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41.

4
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam
urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama
Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn
Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-
Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya.6

c. Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)


Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa pembukuan
tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah
(sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan
tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para
tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip
hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir
masih menjadi bagian dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis
guna mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196
H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H).
Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-
kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara
sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah
Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H),
Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn
Mardawaih (w. 410 H).7

2. Tafsir pada Abad Pertengahan


Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga
abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa
keemasan (the golden age).8 Perkembangan penafsiran tidak lepas dari
perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian

6 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971),
h. 37
7 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 340-341.
8 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), h. 25.

5
sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan
toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk
melegitimasi kepentingan-kepentingan mazhab/aliran tertentu.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan
Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya
Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya
Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih
al-Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya
Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang
juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-
Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud. Kelahiran Imâduddîn
Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi
munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh
jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis.
Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah
al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan
ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi
pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-
Qur’an secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb
nuzûl, macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.9
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang
muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang
menjadi khas penulis tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas,
bahwa pada abad pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam
ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang
didasari perbedaan mazhab dan tempat.

9 Opcit h. 380.

6
3. Tafsir pada era Modern
Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh
pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran
kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat
mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga
kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional
yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir.
Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an,
karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir
Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian
mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.10
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), ia
adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran
muridnya, Rasyid Ridha. Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya
ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari
salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh
cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya
yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat.11
Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang
menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai
kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah
Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi
ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi
atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-
Jawâhir fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).12

10 Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
11 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
12 Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent.
Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176.

7
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara
lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim
Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), Tafsîr al-
Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-
Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka
(1908-1981)13, dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa
penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan
sastra. Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir,
Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era
mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-
makna al-Qur’an.

D. Macam-Macam Tafsir
1. Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang
bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat
(aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang
dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan perkataan para tabi’in.14

a. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:


Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30

َ ‫ َوأُحلَ ۡتالَ ُك ُما ۡٱۡل َ ۡن َٰ َع ُاماإ َلا َمااي ُۡتلَ َٰىا‬...


‫ا ا‬٣٠‫ا‬...‫علَ ۡي ُكم‬
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang
diterangkan kepadamu keharamannya… ”.Kalimat ‘diterangkan
kepadamu’ (illa ma yutla ‘alaikum)

13 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237.


14 Ibid, h.226

8
ditafsirkan dengan surat al-Maidah:3
‫علَ ۡي ُك ُما ۡٱل َم ۡيت َ اةُا َاوٱلدَ ُاما َولَ ۡح ُما ۡٱلخنزيراا َاو َمااأُه َا‬
‫لالغ َۡيراٱ َا‬
‫ا ا‬٣..‫ّللابها‬ ‫ُحر َم ۡا‬
َ ‫تا‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah.. “

b. Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits


Contoh Surat Al-An’am ayat 82:

‫ظ ۡلم ااأ ُ ْو َٰالَئ َكالَا ُه ُما ۡٱۡلَمۡا ُا‬


‫ا ا‬٨٢‫نا َو ُهما ُّمهۡ تَد ُونَ ا‬ ُ ‫اولَ ۡما َي ۡلب‬
ُ ‫سواْاإي َٰ َمنَ ُهماب‬ َ ْ‫ٱلَذينَاا َءا َمنُوا‬
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka
orang-orang yang mendapat petunjuk”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan
pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).15

c. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat


Contoh surat an-Nisa’ ayat 2
Mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir dan Ibnu Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang menerangkan ayat ini:

‫لات َ ۡأ ُكلُواْاأ َ ۡم َٰ َولَا ُه ۡماإلَ َٰىاأ َ ۡم َٰ َول ُك ۡۚۡماإنَ اهۥُا‬


‫با َو َ ا‬ ‫يثابا َا‬
‫ٱلطي ۖۡا‬ ‫او َلاتَت َ َبدَلُواْا ۡٱل َا‬
‫خب َا‬ ‫َو َءاتُوْاا ۡٱل َي َٰت َ َم َٰا‬
َ ‫ىاأَ ۡم َٰ َولَ ُه ۡ ۖۡم‬
‫ا ا‬٢‫َكانَ ا ُحوبٗ اا َكب ٗيراا‬
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Kata ”hubb” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar16
d. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in:
Contoh Surat Al-Fatihah:

15 Ibid, h.228
16 Ibid, h.235

9
Penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqimyaitu
kebenaran.
Contoh bukunya:
a. Jami al-bayan fi tafsir Al.Qur’an, Muhammad B. Jarir al. Thabari, W. 310
H. terkenal dengan tafsir Thabari
b. Bahr al-Ulum, Nasr b. Muhammad al- Samarqandi, w. 373 H. terkenal
dengan tafsir al- Samarqandi.
c. Ma’alim al-Tanzil, karya Al-Husayn bin Mas’ud al Baghawi, wafat tahun
510, terkenal dengan tafsir al Baghawi.17

2. Tafsir Bir Ra’i


Yaitu penafsiran Al-Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan
pengetahuan empiris (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan
“ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat
(ar-riwayat). Disamping aspek itu mufassir dituntut untuk memiliki kemampuan
tata bahasa, retorika, etimologi, konsep yurisprudensi, dan pengetahuan tentang
hal-hal yang berkaitan dengan wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi
pertimbangan para mufassir.
Contoh surat al-Alaq: 2

َ َٰ ‫ا َخلَقَ ا ۡٱۡلن‬
َ ‫سنَاام ۡنا‬
‫ا ا‬٢‫علَقا‬
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqahyang
berarti segumpal DARAH yang kental
a. Tafsir Terpuji (Mahmud)
Suatu penafsiran yang cocok dengan tujuan syar’i, jauh dari kesalahan dan
kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta berpegang teguh
pada ushlub-ushlubnya dalam memahami nash Al-Qur’an.
b. Tafsir Al-Bathil Al-Madzmum
Suatu penafsiran berdasarkan hawa nafsu, yang berdiri di atas kebodohan
dan kesesatan. Manakala seseorang tidak faham dengan kaidah-kaidah

17 Ibid, h.242

10
bahasa Arab, serta tujuan syara’, maka ia akan jatuh dalam kesesatan, dan
pendapatnya tidak bisa dijadikan acuan.
Contoh bukunya:
a. Mafatih al-Ghayb, Karya Muhammad bin Umar bin al-Husain al Razy,
wafat tahun 606, terkenal dengan tafsir al Razy.
b. Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil, Karya ‘Abd Allah bin Umar al-
Baydhawi, wafat pada tahun 685, terkenal dengan tafsir al-Baydhawi.
c. Aal-Siraj al-Munir, Karya Muhammad al-Sharbini al Khatib, wafat tahun
977, terkenal dengan tafsir al Khatib.18

3. Tafsir Bil Isyari


Suatu penafsiran diamana menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun
disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Contoh :

‫ا ا‬٦٧‫ٱّللَايَ ۡأ ُم ُر ُك ۡماأَنات َ ۡاذبَ ُحواْابَ َق َر ٗ ۖۡةا‬ َ ‫َوإ ۡاذاقَا َلا ُمو‬


‫س َٰىال َق ۡومهۦااإ َنا َا‬
Yang mempunyai makna ZHAHIR adalah “…… Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” Tetapi dalam tafsir Isyari
diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
nafsu hewaniah…”
Contoh dalam kisah :

‫ا ا‬٦٥‫علَ ۡم َٰنَهُامانالَدُنَااع ۡل ٗماا‬ َ ‫فَ َو َجدَاا َع ۡبدٗ اام ۡناعبَادنَاا َءات َ ۡي َٰنَه‬
َ ‫ُار ۡح َم ٗةام ۡناعاندان‬
‫َااو َا‬
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami
Penjelasan: Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa
melalui proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia
memperoleh ilmu karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan
dosa. Ia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir

18 Ibid, h.247

11
diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan
pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
19
Contoh bukunya:
1) Tafsir al-Qur’an al Karim, Karya Sahl bin ‘Abd. Allah al-Tastari, terkenal
dengn tafsir al Tastari.
2) Haqa’iq al-Tafsir, Karya Abu Abd. Al-Rahman al- Salmi, terkenal dengan
Tafsir al-Salmi.
3) Tafsir Ibn ‘Arabi, Karya Muhyi al-Din bin ‘Arabi, terkenal dengan nama
tafsir Ibn ‘Arabi.
4) Makna yang mu’yamil tidak berlawanan dengan al-quran dan as-sunnah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

19 Muchlas, Prof. DR. H. Imam, 2004. Penafsiran Al-Qur’an. UMM Press, Malang.

12
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk
memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup
sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil,
dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga
kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-
ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena
hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan
istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang
berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas
dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat
tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT
tersebut.

B. Saran
Demikianlah karya ilmiah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan
terjemah. Karya ilmiah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun
target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran
digunakan sebagai penunjang pada karya ilmiah ini. Sebelum dan sesudahnya
kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

13
 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,
2011)
 Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Arabiyah, 1995)
 Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman
Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004
 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân
al-Karîm, 1971)
 http://pustakamediasyariah.blogspot.com/2015/07/makalah-tafsir-ilmu-
tafsir-al-quran.html
 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237
 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern
 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah
Hijazy, tt.
 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh:
Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973)
 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr
al-Kutub al-Hadîtsah, 2005)
 Muchlas, Prof. DR. H. Imam, 2004. Penafsiran Al-Qur’an. UMM Press,
Malang.
 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008)
 Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve)

14

Anda mungkin juga menyukai