Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi
sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi
petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan
dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga
menjadi tempat pengaduan dan curahan hati bagi yang membacanya. 
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka untuk
dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode tafsir maupun
perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu
untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu
tafsir. Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi sejarah dan
perkembangannya, serta corak dan metode dalam penafsiran.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Tafsir ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Ilmu Tafsir ?
3. Apa saja corak dan metode penafsiran ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Tafsir.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Ilmu Tafsir.
3. Untuk mengetahui corak dan metode penafsiran.

PEMBAHASAN
A.   Pengertian Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi
maupun terminologi terhadap pengertian tafsir. Secara etimologi kata tafsir
berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang
tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata
yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33

‫ق َوَأحْ َسنَ تَ ْف ِسي ًر‬ َ ‫َواَل يَْأتُونَكَ بِ َمثَ ٍل ِإاَّل ِجْئنَا‬


ِّ ‫ك بِ ْال َح‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya.” 1

Sedangkan secara terminologi menurut pendapat Al-Zarqoni tafsir adalah


ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-
hikmahnya.2

Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan
paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan
Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda
dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan
berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan tafsir semakin
mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama.3

B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir


1. Tafsir pada Masa Klasik
1
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-
hadits, 1973), 323.
2
Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah
al-Arabiyah, 1995), 6.
3
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.), 172.
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada
masa klasik maka tafsir terbagi menjadi tiga, yakni :

a. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat


Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih
hidup. Nabi juga menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi
para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit.
Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai
wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat makna
yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada Nabi.4

Ciri penafsiran yang berkembang di kalangan para sahabat adalah


periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini dipertegas dalam firman Allah
Surah al-Nahl: 44 bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-
Qur’an:

‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬


ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬ ْ ‫َوَأ ْن‬
َ ‫زَلنَا ِإلَ ْي‬
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”.

Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan
al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas
(mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.

Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena pembukuan
dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu cabang dari
hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan
secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.5

4
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah,
2005), 43.

5
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, 337.
b. Tafsir pada masa tabi’in
Setelah generasi sahabat berlalu, muncullah tafsir pada masa tabi’in.
Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. 
Pertama, aliran Makkah, Sa’Id ibn JubaIr (w. 712/713 M), Ikrimah (w.
723 M), dan Mujahid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abbas.

Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’ab (w. 735 M), Zaid ibn
Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abu Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru
pada Ubay ibn Ka’ab. 

Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qais (w. 720 M), Amir al-Sya’bi (w. 723
M), Hasan al-Bashri (w. 738 M) dan Qatadah ibn Daimah al-Sadusi (w. 735
M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ud.6

c.  Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)


Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukukan). Masa
pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal
Bani Abbasiyah. Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai menulis
tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para
tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu
mengutip hadist yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in.
Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadist. Diantara ulama yang
mengumpulkan hadist guna mendapat tafsir adalah: Sufyan ibn Uyainah (198
H), Waki ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjaj (160 H), Abdul Rozaq bin
Hamam (211 H).
Pada saat itu mulailah penulisan tafsir yang dipisahkan dari kitab-kitab
hadist. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis
sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn
Majah (w. 273 H), Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H),
Abu Syaikh ibn Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H) dan Abu Bakar ibn
Mardawaih (w. 410 H).7

6
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), 41.
7
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, 340-341.
2. Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga
abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada
masa keemasan (the golden age).8 Perkembangan penafsiran tidak lepas dari
perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir
kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan
kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan
Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya
Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-
Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144
M/528 H); Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H)
dan Tafsîr Jalâlaîn karya Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-
Suyûti (w. 1505 M).

3.  Tafsir pada era Modern


Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh
pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern,
pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para
mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor
utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi
identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir
Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan
jargon penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an.
Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan
tahayyul.9

8
Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), 25.
9
Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), ia
adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas
saran muridnya, Rasyid Ridha.Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan,
akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan
perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang
dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh
adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah
ayat.10

Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara


lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim
Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), Tafsîr al-
Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-
Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka
(1908-1981) dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.11

C.      Corak dan Metode Penafsiran


1.      Tafsir bi al-Ma’tsur.
Cara penafsiran yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya
itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan).
Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk
keterangan dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan
maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.12 
2.      Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang
mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan
10
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
11
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237

12
Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-
Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3.
definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir
ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas
dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran
seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan, tafsir bi
al-ra'yiadalah suatu metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya
sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu.13 Sedangkan az-Zarqani
secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang
disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan jauh dari kesesatan
dan kebodohan.

3.      Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy
adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an
dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an
sebagaimana yang tercantum dalam mushaf .
4.      Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab
mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan
ayat Al-Qur'an yang satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya,
tetapi berbeda masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-
hadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat
tersebut, atau membandingkan pendapat ulama tafsir yang lain tentang penafsiran
ayat yang sama.14

5.      Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam
sistematika uraiannya, mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan
13
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
14
Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina
Utama, 1994), hlm. 36.
susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global
yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak
jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat dengan urutan
ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dan tidak mengaitkan
pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali secara umum
saja.15  Contoh dari tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.

PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an ibarat
samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara ilahi. Untuk
meraihnya, semua orang harus berenang dan menyelami samudera al-Qur’an.
Tidak semua penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena
keterbatasan kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan para pakar
telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan zaman demi
menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran di antaranya
metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.

15
Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.

Anda mungkin juga menyukai