PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi
sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga
merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih
sejarah pergerakan umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh
dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka
untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi
kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk
menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah
bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam
penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta
corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha
membahas tentang pengertian tafsir, sejarah perkembangan tafsir, bentuk metode corak tafsir, kitab-
kitab tafsir berbahasa indonesia syarat-syarat seorang mufassir.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian tafsir
2. Sejarah perkembangan tafsir
3. Bentuk, metode dan corak tafsir
4. Kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
5. Syarat-syarat seorang mufassir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, berarti penjelasan (al-
idhah wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
يمحِ الر
َّ اب َّو
َّ الت وه هَّ
ن ِإ ه ٍ َفتلَ َّقى آدم ِمن ربِِّه َكلِم
ِ ات َفتَاب علَي
ُ ُ َُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َُ َ
Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah 2:37)
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hati, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah
SAW tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi menjelaskan
bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, adalah Yahudi, dan wa la adh-dhallin adalah
Nashara.
b. Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan mrnggunakan kemampun ijtihad atau
pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al_Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula
meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan
penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa Arab,
ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain sebagainya.
Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir
itu sendiri.
2. Metode Penafsiran Al-Qur’an
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu:
a. Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncu karena sudah digunakan sejak Nabi
dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian
yang detail, hanya secara ijmali atau global.
Dengan metode ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas,
mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf
dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan ayat-ayat dengan
menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca
akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.
b. Metode Tahlili
Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini, seorang
mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek
bahasa, asbab an nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan
kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-
Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.
c. Metode Muqarin
Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan. Dengan
metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang
memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memilki redaksi yang
berbeda bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya
terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
d. Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan
metode ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan
urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini membahas ayat-ayat
yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini
seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan
antara pengertian yang am dan khas, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-
ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan
terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
3. Corak Penafsiran Al-Qur’an
Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak pnafsiran.
Karena yang dominan dalam at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah pemikiran musafir, baik yang orisinal dari
yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil penafsiran beragam
sesuai latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan masing-masing. Dalam ilmu-
ilmu Al-Qur’an keragaman itu diistilahkan dengan al-laun yang secara harfiah berarti warna. Dalam
bahasa Indonesia, oleh M. Quraish Shihab digunakan istilah Corak. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti corak antara lain berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam,bentuk.
Menurut hemat penulis, kata corak lebih tepat digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah
at-tafsir bi-ar-ra’yi di atas warna dasar itu ada warna warni lain yang beragam, dan itulah corak.
Corak itu sekalipun menunjukkan faham penulisannya, macam atau bentuk tafsirnya.
Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:
a. Corak Sastra Bahasa
Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memelukagama islam,
serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibanding sastra, sehingga dirasakan
kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan
Al-Qur’an.
b. Corak Fiqih dan Hukum
Corak fiqih dan hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab
fiqih, yang setiap golongan brusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c. Corak Teologi dan atau Filsafat
Corak teologi dan atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi
sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan
sadar atua tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya
menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
d. Corak Tasawuf
Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan
berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
e. Corak Penafsiran Ilmiah
Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
f. Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan
Corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan penyakit-penyakit atau masalah-masalah
mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam
bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar.
Demikianlah bentuk, metode dan corak penafsiran Al-Qur’an sepanjang zaman sampai
zaman kita sekarang ini. Masing-masing mufasir telah berjasa menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an
sesuai dengan kemampuan dan latar belakang masing-masing. Karena keragaman latar belakang para
mufassir baik dari segi disiplin ilmu, kecenderungan maupun latar belakang sosial budaya dan
keragaman persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-kitab tafsir yag muncul sepanjang waktu pun
mempunyai bentuk, corak dan warna yang berbeda-beda. Namun demikian, sekalipun terjadi
keragaman, tidak berarti sau sama lain saling berbeda sepenuhnya. Ibarat lingkungan yang
dipertautkan sambung bersambung, selalu ada bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang
sama. Bagian yang sama itulah yang akan menjadi benang merah dari seluruh penafsiran.
A. Kesimpulan
Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir adalah
keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan
secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-
Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas
kemampuan manusia.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali
ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para
sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-
sahabat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakarta