Disusun Oleh :
1. Kuni Azizati
(1600031023)
2. Fakhri Kurniawan
(1600031042)
3. Muhammad Maulana
(1600031032)
4. Septiana Siti Yulaiha
(1600031041)
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum wr.wb
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
makalah yang kami susun ini masih banyak kekurangan dari segi penulisan, tata
bahasa, maupun isi. Untuk itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala
kritik dan saran dari pembaca demi memperbaiki makalah ini.
Penyusun
BAB II
Hadits
Hadits Nabi banyak dijadikan sebagai sumber penafsiran Al
Qur’an oleh para sahabat, sebab banyak hadits yang merupakan
penjelasan terhadap ayat-ayat musykil yang ditanyakan sahabat
kepada nabi.
Ijtihad
Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran Al
Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang
berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan
ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini
mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat
menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan
mengetahui aspek-aspek ke-balaghoh-an di dalamnya.
Keterangan Ahli Kitab
Sebagaimana diketahui bahwa terdapat persamaan antara
Al Qur’an dengan kitab taurat dan injil dalam beberapa masalah
tertentu, seperti dalam hal memuat cerita para nabi dan uamt
terdahulu. Tetapi cara Al Qur’an mengungkapkan cerita tersebut
tidak mendetail, sebab Al Qur’an bukan buku sejarah yang
hendak menceritakan suatu peristiwa secara kronologis dan
mendetail. Cerita dalam Al Qur’an biasanya hanya sekedar tamsil
atau ibarat saja.
Namun sebagian para sahabat ada yang mengambil cerita
yang tidak ada keterangannya dalam Al Qur’an dari ahli kitab
yang telah masuk islam. Hal itu disebabkan oleh adanya rasa
ingin tahu yang berlebihan dari sebagian sahabat yang hendak
mengetahui secara detail mengenai kisah-kisah yang diceritakan
secara global dalam Al Qur’an.
b) Corak dan Karakteristik Tafsir Para Nabi dan Sahabat
Berdasarkan uraian mengenai sumber penafsiran sahabat,
maka para ulama menyebutkan bahwa metode penafsiran sahabat
adalah metode tafsir bir-riwayah. Dalam hal ini tafsir atau
perkataan para sahabat oleh ulama dihukumi sebagai hadits ma’fu
( disandarkan kepada Rasulullah ), sedangkan hal yang mungkin
dimasuki akal maka statusnya mauquf ( disandarkan kepada
sahabat ). Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir
yang mauquf pada sahabat, karena mereka menganggap paling
ahli dalam bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan
situasi serta kondisinya. Sehingga jika sekarang kita melihat
penafsiran yang tidak relevan maka tidak harus mengikutinya.
Karakteristik tafsir pada masa ini :
Penafsiran Al Qur’an pada masa ini masih belum menjadi
sebuah karya tafsir yang utuh. Artinya Al Qur’an tidak
ditafsirkan semua, hanya ayat tertentu saja yang dianggap
sulit pengertiannya yang diberi penafsiran. Kemudian
penafsiran. Kemudian penafsiran berkembang senafas
dengan perkembangan zaman dan problem yang dihadapi
umat.
Sedikit terjadi perbedaan dalam memahami lafadz Al
Qur’an, sebab problem yang dihadapi umat pada waktu
itu tidak serumit sekarang.
Mencukupkan penafsiran secara global.
Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasar makna
bahasa yang primer.
Tidak ada penafsiran secara ‘ilmi, fiqih, dan mahdzabi.
Belum ada pembukuan tafsir, sebab pembukuan baru ada
setelah abad II H.
Penafsiran saat itu merupakan bentuk perkembangan
hadits. Sebab tafsir pada mulanya hanya merupakan
cabang dari hadits yang diriwayatkan dari nabi mengenai
hal-hal yang terkait dengan penafsiran ayat Al Qur’an.
c) Tokoh-Tokoh Mufassir Pada Masa Sahabat
Menurut As-Suyuti dalam itqan, sahabat yang terkemuka
dalam bidang ilmu tafsir ada 10 yaitu :
Abu Bakar As-Shidhiq
Umar al-Faruq
Usman dzun nurain
Ali bin Abi Thalib
Abdullah ibn mas’ud
Abdullah ibn Abbas
Ubay bin Ka’ab
Zaid bin Tsabit
Abu Musa al-Asy’ary
Abdullah ibn Zubair
Sedangkan ditinjau dari intensitas dan kuantitasnya
mufassir yang banyak menafsirkan Al Qur’an ada 4 yaitu : Ali
bin Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, dan
Ubay bin Ka’ab.
2. Tafsir Pada Masa Tabi’in
Tafsir sahabat dianggap telah berakhir dengan meninggalnya
tokoh-tokoh sahabat yang dulu menjadi guru dari para tabi’in
dan digantikan dengan tafsir tabi’in. Para tabi’in selalu
mengikuti jejak gurunya yang mahsyur dalam penafsiran Al
Qur’an terutama mengenai ayat-ayat yang musykil bagi orang
awam.
Penafsiran Rasulullah dan para sahabat yang tidak mencakup
semua ayat Al Qur’an dan hanya menafsirkan bagian yang sulit
dipahami orang-orang yang semasa dengannya. Hal tersebut
menyebabkan munculnya problem baru, oleh karena itu para
tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu
menyempurnakan tafsir Al Qur’an secara terus-menerus
berlandaskan pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan
peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al Qur’an yang
mereka valid sera berdasarkan pada alat-alat pemahaman dan
juga sarana pengkajian lainnya.
a) Aliran-Aliran Tafsir Pada Masa Tabi’in
Secara garis besar tafsir Tabi’in dikategorikan menjadi 3
yaitu :
Aliran Tafsir di Makkah
Aliran tafsir ini didirikan oleh murid-murid sahabat
Abdullah ibn Abbas seperti Said bin Jubair, Mujahid, Atha bin
Abi Rabah, Ikrimah maula ibn Abbas, dan Thawus bin kisan Al-
Yamani. Mereka semua dari goglongan maula ( sahaya yang
dibebaskan ).
Aliran ini berawal dari keberadaan ibn Abbas sebagai guru
di Makkah yang mengajarkan penafsiran Al Qur’an kepada para
tabi’in dengan menjelaskan hal-hal yang menambahkan
pemahamannya serta mentransfernya pada generasi berikutnya.
Dalam hal qira’ah aliran ini memakai qira’ah yang
berbeda-beda, seperti Said bin Zubair kadang memakai qira’ah
ibn Abbas dan terkadang memakai qira’ah Zaid bin Tsabit,
sementara dalam metode penafsiran aliran ini memakai dasar aql
( ra’yu ).
Aliran Tafsir di Madinah
Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang didukung
oleh sahabat yang lain. Aliran tafsir di Madinah muncul karena
banyak sahabat yang menetap di Madinah, bertadarus Al Qur’an
dan sunnah Rasul yang diikuti oleh para tabi’in sebagai murid
sahabat nabi melalui Ubay bin Ka’ab. Para tabi’in juga banyak
menafsirkan Al Qur’an yang kemudian disebarkan pada generasi
berikutnya. Pada aliran ini telah berkembang ilmu ta’wil
terhadap ayat-ayat Al Qur’an.
Aliran Tafsir di Iraq
Aliran tafsir ini dipelopori oleh Abdullah Ibn Mas’ud yang
memperoleh perlindungan dari Gubernur Iraq Ammar bin Yasir,
serta didukung oleh para tabi’in di Iraq seperti, Alqamah bin
Qais, Masruq, Aswad bin Yasir, Murah al-Hamdani, Amir asy-
Sya’bi, Hasan al-Basri, dan Qatadah bin Di’amah. Secara global
aliran ini banyak menerima ra’yu. Akibat dari warna tersebut
maka timbul khilafiyah dari penafsiran Al Qur’an.
b) Sumber Penafsiran pada Masa Tabi’in
Para mufassir dai aliran ini berpegang kepada apa yang ada
dalam Al Qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka
riwayatkan dari para sahabat berasal dari Rasulullah, penafsiran
yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran dari
mereka sendiri, serta keterangan yang diterima tabi’in dari ahli
kitab yang bersumber dari isi kitab meeka terhadap kitabullah
sebagaiman yang dianugrahkan Allah kepada kita.
c) Corak dan Karakteristik Tafsir Masa Tabi’in
Pada aliran ini, corak tafsir bir-riwayah masih mendominasi
penafsiran para tabi’in. sebab para tabi’in meriwayatkan tafsir
dari para sahabat sebagaimana para tabi’in sendiri saling
meriwayatkan satu sama lain. Karakteristiknya antara lain :
Pada masa ini tafsir juga masih belum terkodifikasi
secara tersendiri.
Tradisi tafsir masih bersifat hafalan dan
periwayatan
Tafsir sudah kemasukan riwayat israiliyat, karena
keingintahuan para tabi’in untuk mencari
penjelasan lebih detail mengenai cerita-cerita dalam
Al Q ur’an.
Sudah mulai muncul benih-benih perbedaan
mahdzab dalam penafsiran.
Sudah banyak perbedaan pendapat antara
penafsiran tabi’in dengan para sahabat.
3. Kelebihan dan Kekurangan Penafsiran Pada Periode Klasik
Kelebihan :
Tidak bersifat sectarian, artinya tafsir tersebut tidak
dimaksudkan untuk membela kepentingan
mahdzab tertentu.
Tidak banyak perbedaan pendapat diantara
mengenai hasil penelitian.
Belum kemasukan riwayat israiliyat yang dapat
meruak aqidah islam.
Kekurangan :