Anda di halaman 1dari 21

STUDI AL-QURAN DAN ILMU TAFSIR

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Dosen Pengampu :

Dr. Riskun Iqbal,M.M

Disusun Oleh :

1. Agus Munawar
2. Ahmad tri handoko
3. Subhan
4. Ety nur setianingsih
5. Muhammad riski

PROGRAM PASCASARJANA IAI AN NUR LAMPUNG


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................... 2
D. Manfaat................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur‘an........................................................................... 4
B. Sejarah Turun dan Pembukuan Al-Qur‘an........................................... 6
a. Sejarah turunnya Al-Qur‘an........................................................... 6
b. Sejarah pembukuan Al-Qur‘an....................................................... 10
C. Penamaan dan Pengelompokan Surah Al-Qur‘an................................ 13
a. Penamaan Al-Qur‘an...................................................................... 13
b. Pengelompokan surah Al-Qur‘an................................................... 14
D. Keistimewaan Al-Qur‘an...................................................................... 14
E. Pengertian Ilmu Tafsir.......................................................................... 17
F. Pentingnya Ilmu Tafsir dalam Memahami Al-Qur‘an.......................... 17
G. Corak-corak Penafsiran dan Kitab-kitab Tafsir yang Terkenal............ 20
a. Corak-corak penafsiran................................................................... 20
b. Kitab-kitab tafsir yang terkenal...................................................... 23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 24
B. Saran..................................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur‘an merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral, bukan
hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke-islaman namun juga
merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang sejarah.
Kitab suci ini diturunkan Allah kepada nabi pamungkas, Muhammad Saw lengkap
dengan lafal dan maknanya, diriwayatkan secara mutawatir, memberi faedah
untuk kepastian dan keyakinan, ditulis dalam kitab suci mulai awal surat al-
fatihah sampai akhir surat an-Nas (Mushaf Usmany), diperintahkan untuk
disampaikan kepada umatnya, sebagai pedoman dan tuntunan hidup bagi umat
manusia. Dasar dari ajaran islam yang mengandung serangkaian pengetahuan
tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai dalam
sumbernya yang asli di dalam ayat-ayat Al-Qur‘an. Quraish Shihab menyebutkan
bahwa agama Ialam mempunyai satu sendi utama yang esensial, yaitu alquran
yang berfungsi memberikan petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Studi Al-Qur‘an adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang
ada kaitannya dengan Al-Qur‘an. Al-Qur‘an sebagai kitab suci umat islam yang
berlaku sepanjang zaman tidak akan pernah habis dan selesai untuk dibahas.
Inilah yang membuktikan kemukjizatan Al-Qur‘an sekaligus perbedaan Al-Qur‘an
dengan kitab suci lainnya. Pengkajian studi ini sangatlah penting bagi umat islam
khususnya, agar dapat mengetahui berbagai hal yang terkandung di dalam kitab
suci tersebut. Untuk memudahkan dalam membahas kajian ini, penulis akan
memberikan batasan-batasan pada makalah ini. Adapun yang menjadi objek
pembahasan makalah ini meliput, definisi Al-Qur‘an, wahyu dan ilham, kajian Al-
Qur‘an di kalangan muslim generasi awal, pendekatan dalam studi Al-Qur‘an,
perkembangan mutakhir, dan kontribusi para ilmuan barat dalam studi Al-Qur‘an.
Al-Qur‘an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW,
sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki
berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan
bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang
dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya
tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi
ayat-ayat Al-Qur‘an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis,
tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi
tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Al-Qur‘an?
2. Bagaimana sejarah turunnya Al-Qur‘an?
3. Bagaimana proses pembukuan Al-Qur‘an?
4. Apa saja nama-nama lain dari Al-Qur‘an?
5. Bagaimana pengelompokan surah-surah Al-Qur‘an?
6. Apa saja keistimewaan Al-Qur‘an?
7. Apa definisi dari ilmu tafsir?
8. Bagaimana pentingnya ilmu tafsir untuk kita dalam mempelajari Al-Qur‘an?
9. Apa saja corak-corak penafsiran?
10. Apa saja kitab-kitab tafsir yang terkenal?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Studi
Al-Qur‘an meliputi pengertian, sejarah turunnya, pembukuan Al-Qur‘an,
penamaan Al-Qur‘an, pengelompokan surah dan keistimewaan-keistimewaannya.
Dan juga mempelajari tentang Ilmu Tafsir yang meliputi pengertian, pentingnya
ilmu tafsir, corak-corak ilmu tafsir dan kitab-kitab tafsir yang terkenal.

D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah pembaca dapat memperoleh pengetahuan
tentang pengertian, sejarah turunnya, pembukuan Al-Qur‘an, penamaan Al-
Qur‘an, pengelompokan surah dan keistimewaan-keistimewaannya. Dan juga
tentang Ilmu Tafsir yang meliputi pengertian, pentingnya ilmu tafsir, corak-corak
ilmu tafsir dan kitab-kitab tafsir yang terkenal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur‘an

Secara etimologi Al-Qur‘an berasal dari kata ―qara‘a, yaqra‘u, qira‘atan,


atau qur‘anan‖ yang berarti mengumpulkan (al-jam‘u) dan menghimpun (al-
dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara
teratur. Dikatakan Al-Qur‘an karena ia berisikan inti sari semua kitabullah dan inti
sari dari ilmu pengetahuan.[1]
Ada beberapa pendapat tentang asal kata Al-Qur‘an, diantaranya ialah:
a. Al-Syafi‘i berpendapat, bahwa kata Al-Qur‘an ditulis dan dibaca tanpa hamzah
dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab
suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat
dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan
Musa.
b. Al-Fara‘ dalam kitabnya ―Ma‘an Al-Qur‘an‖ berpendapat, bahwa lafal Al-
Qur‘an tidak memakai hamzah, dan diambil dari kata qara‘in jama‘ dari qarinah,
yang berarti petunjuk. Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat Al-Qur‘an itu
serupa satu sama lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan
indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c. Al-Asy‘ari berpendapat, bahwa lafal Al-Qur‘an tidak memakai hamzah dan
diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena
surat-suratdan ayat-ayat Al-Qur‘an dihimpun dan digabungkan dalam satu
mushaf.
d. Al-Zajjaj berpendapat, bahwa lafal Al-Qur‘an itu berhamzah, mengikuti wazan
fu‘lan dan diambil dari kata al-qar‘u yang berarti menghimpun. Hal ini karena Al-
Qur‘an merupakan kitab suci yang menghimpun inti sari ajaran-ajaran dari kitab-
kitab suci sebelumnya.
e. Al-Lihyani berpendapat, bahwa lafal Al-Qur‘an itu berhamzah, bentuk
masdarnya diambil dari kata qara‘a yang berarti membaca, hanya saja lafal Al-
Qur,an ini menurut al-Lihyani berbentuk masdar dengan makna isim maf‘ul. Jadi
Al-Qur‘an artinya maqru‘ (yang dibaca).
f. Subhi al-Shahih menyamakan kata Al-Qur‘an dengan al-qira‘ah sebagaimana
dalam QS. AL-Qiyamah: 17-18.[2]
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu. (Q.S. Al- Qiyamah ayat 17-18).

Sedang pegertian Al-Qur‘an dari segi terminologinya dapat dipahami dari


pandangan beberapa ulama berikut:
a. Muhammad Salim Muhsin, dalam bukunya Tarikh Al-Qur‘an al-Karim
menyatakan bahwa Al-Qur‘an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan diriwayatkan kepada
kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta
sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.[3]
b. Abdul Wahab khalaf mendefinisikan Al-Qur‘an sebagai firman Allah SWT,
yang diturunkan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa
Arab. Isinya dijamin kebenarannya dan sebagai Hujah kerasulannya, undang-
undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang
ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, yang diriwayatkan kepada kita
dengan jalan mutawatir.[4]
c. Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur‘an sebagai kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, ajarannya mencakup
keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya
tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.[5]

Ketiga definisi Al-Qur‘an tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi


pertama lebih melihat keadaan Al-Qur‘an sebagai firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, diriwayatkan kepada umat Islam secara mutawatir,
membacanya sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mukjizat atau
melemahkan para lawan yang menentangnya. Definisi kedua melengkapi
penjelasan cara turunnya lewat malaikat Jibril. Penegasan tentang permulaan surat
Al-Qur‘an serta akhir suratnya, dan fungsinya disamping sebagai mukjizat atau
hujah kerasulannya, juga sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia dan
petunjuk dalam beribadah. Dan definisi ketiga melengkapi isi Al-Qur‘an yang
mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulia,
dan penggalian esensinya hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan
cerdas.[6]

B. Sejarah Turun dan Pembukuan Al-Qur‘an

1. Sejarah Turunnya Al-Qur‘an


Al-Qur‘an diturunkan dalam tempo, menurut satu riwayat, 22 tahun 2
bulan 22 hari, yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi,
sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada` tahun tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10
H.
Proses turunnya al-Qur‘an kepada Nabi Muhammad saw melalui tiga tahapan,
yaitu:
Pertama, al-Qur‘an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh ,
yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan
kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Buruj ayat 21–22:

Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat al-Waqi`ah ayat 77—80:

Artinya: ―Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia,


pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan, diturunkan dari Rabbil „alamiin‖ (QS al Waqiah
ayat 77-80).

Tahap kedua, al-Qur‘an


diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit
dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar ayat 1,
―sungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur‘an) pada malan kemuliaan.‖

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam


kemulian”.
Juga diisyaratkan dalam Q.S. Surat ad-Dukhan ayat 3:

Artinya: ―Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang


diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.‖
Tahap ketiga, al-Qur‘an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi
dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat,
dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam
tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S. asy-Syu`ara‘ ayat 193–195:
Artinya: “Yang dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin. Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan. Dengan
bahasa Arab yang jelas.”
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril, tidak secara sekaligus melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan
sering wahyu turun karena untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang
dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi saw. Di samping
itu banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang
pertanyaan atau kejadian tertentu.

Dalam kenyataan tersebut terkandung hikmah dan faedah yang besar,


sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran itu sendiri dalam Surat al-Furqan ayat
32:

Artinya: Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu


tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan
benar).
Di samping hikmah yang telah diisyaratkan ayat di atas, masih banyak
hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur‘an secara berangsur-
angsur, antara lain adalah:
1. Memantapkan hati Nabi. Ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali
berhadapan dengan para penentang. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-
angsur itu merupakan doroaikan dakwah. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah,
Berkatalah orang-orang yang kafir: ―Mengapa Al Qur‘an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?‖; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu
dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-
Furqan ayat 32).

2. Menentang dan melemahkan para penentang al-Qur‘an. Nabi kerapkali


berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang
musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Maka, turunnya wahyu yang
berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang
mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur‘an. Dan ketika mereka
tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu
mu`jizat al-Qur‘an.

3. Memudahkan untuk dihapal dan difahami. Nabi Muhammad sangat merindukan


turunnya wahyu. Saking rindunya, suatu ketika mengikuti bacaan wahyu yang
disampaikan Jibril sebelum wahyu itu selesai dibacakannya. Karena itu, Allah
berfirman, ―Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah
kamu tergesa-gesa membaca Al Qur‘an sebelum disempurnakan mewahyukannya
kepadamu, dan katakanlah: ―Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan.‖ (QS. Thaha ayat 114) Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Qur‘an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu.‖ (QS. al-Qiyamah ayat 6-9).

Di lain pihak, al-Qur‘an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab


yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan.
Maka, turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk
memahami dan menghapalkannya.
4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat al-Qur‘an turun) dan
melakukan pentahapan dalam penetapan aqidah yang benar, hukum-hukum
syari`at, dan akhlak mulia. Hikmah ini diisyaratkan oleh firman Allah, ―Dan Al
Qur‘an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian.‖ (QS. al-Isra‘ ayat 106).
5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-Qur‘an turun dari Allah Yang Maha
Bijaksana. Walaupun al-Qur‘an turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22
tahun 2 bulan 22 hari, tetapi secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu
bagian dengan bagian al-Qur‘an lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan
Allah yang Maha Bijaksana.

2. Sejarah Pembukuan Al-Qur‘an


· Periode Nabi Muhammad SAW
Al-Qur‘an merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada
rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah
menghafalkan secara pribadi, Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-
sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah
menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid
merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka
dengan sendirinya menulis teks Al-qur‘an untuk di milikinya sendiri diantara
sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan al-Qur‘an kepada Nabi dalam
bentuk hafalan dan tulisan-tulisan.
Pada masa rasullah untuk menulis teks al-Qur‘an sangat terbatas sampai-
sampai para sahabat menulis Al-Qur‘an di pelepah-pelepah kurma,lempengan-
lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-qur‘an sudah
tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-qur‘an masih berserakan tidak terkumpul
menjadi satu mushaf.
Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam
didalam dada para sahat dan penulisan teks Al-Qur‘an yang di lakukan oleh para
sahabat. Dan tidak dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih
menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur‘an
ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur‘an segera
dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang
turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.

· Periode Abu Bakar r.a


Ketika rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar,
banyak dari kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan,
dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi.
Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H),yang menewaskan sekitar 70 para
Qori‘dan Hufadz. dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir
Al-Qur‘an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan
kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur‘an
yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya Abu Bakar menolak
dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa rasulullah, dengan penuh
keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur‘an umar berkata kepada
Abu Bakar ― Demi allah ini adalah baik‖ dengan terbukanya hati Abu Bakar
akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada
Zaid Bin Tsabit.
Pada awalnya Zaid bin Tsabit menolaknya dikarenakan pembukuan Al-
Qur‘an tidak pernah dilakukan pada masa rasulullah sebagaimna Abu Bakar
menolaknya. Zaid bin Tsabit dengan kecerdasannya mengumpulkan Al-Qur‘an
dengan berpegang teguh terhadap para Hufadz yang masih tersisa dan tulisan-
tulisan yang tadinya ditulis oleh Zaid atas perintah rasullullah. Zaid sangat hati-
hati didalam penulisannya, karena al-Qur‘an merupakan sumber pokok ajaran
islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu
Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh
umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.

· Periode Umar Bin Khattab


Pada masa masa Umar Bin Khattab tidak terjadi penyusunan dan
permasalahan apapun tentang Al-Qur‘an karena al-Qur‘an dianggap sudah
menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan sahabat dan para
tabi‘in. dimasa kekhalifaan umar lebih konsen terhadap perluasan wilayah,
sehingga ia wafat. Yang selanjutnya kekhalifaan jatuh ketangan Ustman bin
Affan.

· Periode Ustman Bin Affan


Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab,
semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk
agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiro‘ah antara suku yang satu
dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiro‘ah dirinyalah yang paling
benar. Perbedaan Qiro‘ah tersebut terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran
yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur‘an
menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut
perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk
Iraq. Telah melihat perbedaan tentang Qiro‘ah tersebut.
Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya
perbedaan qiro‘ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk
segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi
perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang
terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan
antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan
membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan
anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Ustman Bin Affan memerintahkan kepada Zaid untuk mengambil Mushaf
yang berada dirumah Hafsah dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek
yakni dialek Qurays, mushaf yang asli dikembalikan lagi ke hafsah. Ustman Bin
Affan menyuruh Zaid untuk memperbanyak mushaf yang diperbaruhi menjadi 6
mushaf, yang lima dikirimkan kewilayah islam seperti Mekkah, Kuffah, Basrah
dan Suria, yang satu tersisa disimpan sendiri oleh Ustaman dirumahnya. Mushaf
ini dinamai Al-Imam yang lebih dikenal mushaf Ustmani, demikian terbentuknya
mushaf ustmani dikarenakan adanya pembaruan mushaf pada masa ustmani.

C. Penamaan dan Pengelompokan Surah Al-Qur‘an

Penamaan Al-Qur‘an
Dibawah ini adalah nama-nama lain dari Al-Qur‘an:
1. Alkitab, yang artinya sesuatu yang ditulis (Ad-Dukhan : 2)
2. Alkalam, yang artinya ucapan (At-Taubah : 6)
3. Az-Zikra, yang artinya peringatan (Al-Hijr : 9)
4. Al-Qasas, yang artinya cerita-cerita (Ali Imran : 62)
5. Alhuda, yang artinya petunjuk (At-Taubah : 33)
6. Al-Furqan, yang artinya pemisah (Al-Furqan : 1)
7. Almau‟izah, yang artinya nasehat (Yunus : 57)
8. Asy-Syifa, yang artinya obat atau penawar jiwa (Al-Isra‘ : 82)
9. An-Nur, yang artinya cahaya (An-Nisa‘ : 174)
10. Ar-Rahman, yang artinya karunia (An-Naml : 77)

Pengelompokan Surah Al-Qur‘an


Surah-surah Al-Qur‘an jika ditinjau dari panjang dan pendeknya terbagi
atas empat bagian, yaitu:
a. Al-Sab’u al-Thiwal, yaitu tujuh surah yang panjang yang terdiri dari Al-
Baqarah, Ali Imran, An-Nisa‘, Al-A‘raf, Al-An‘am, Al-Maidah dan Yunus.
b. Al-Miuun, yaitu surah-surah yang berisi kira-kira seratus ayat lebih. Seperti
Hud, Yusuf, Al-Mukmin.
c. Al-Matsaani, yaitu surah-surah yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat.
Seperti Al-Anfal dan Al-Hijr.
d. Al-Mufashshal, yaitu surah-surah pendek. Seperti al-Dhuha, Al-Ikhlas, al-Falaq
dan An-Nas.[7]

D. Keistimewaan Al-Qur‘an

Salah satu keistimewaan umat Islam dibandingkan umat lainnya adalah


jaminan Allah terhadap Al-Qur‘an. Al-Qur‘an merupakan satu-satunya Kitab
Allah yang dipastikan akan terpelihara keasliannya semenjak kali pertama
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW hingga hari kiamat. hal ini tidak
ditemukan di dalam Kitab Allah lainnya yang telah diwahyukan kepada para Nabi
terdahulu. Baik itu Taurat, Injil, maupun Zabur. Tidaka ada satupun ayat didalam
Taurat (atau Perjanjian Lama) maupun Injil (Perjanjian Baru) yang menyatakan
bahwa autentitas kedua kitab tersebut bakal terjamin. Itulah sebabnya , dewasa ini
ditemukan berbagai versi Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Antara satu
dan alinnya terdapat banyak sekali perbedaan dan tidak seragam.
Namun, keistimewaan Al-Qur‘an bukan hanya terletak pada jaminan
keterpeliharaan keasliannya semata. Al-Qur‘an diwahyukan Allah kepada Nabi
akhir zaman agar menjadi petunjuk bagi segenap umat manusia, tanpa kecuali.
Oleh karenanya, Nabi Muhammad juga ditegaskan Allah diutus untuk segenap
umat manusia, bahkan menjadi rahmat bagi segenap alam semesta. Al-Qur‘an
bukan kitab khusus untuk menjadi petunjuk bagi umat Islam semata. Nabu
Muhammad SAW tidak diutus untuk menjadi Nabi bagi bangsa Arab semata.
Sedangkan Nabi Musa maupun Nabi Isa diutus hanya khusus bagi Bani
Israel, alias keturunan Nabi Ya‘qub. Dengan demikian, Taurat dan Injil juga
dimaksudkan untuk menjadi petunjuk sebatas bagi Bani Israel, bukan untuk
segenap manusia. Inilah keistimewaan peranan Al-Qur‘an sekaligus peranan Nabi
Muhammad yang sungguh sangat berbeda dengan peranan Taurat maupun Injil
atau peranan Nabi Musa maupun Nabi Isa. Al-Qur‘an dimaksudkan Allah untuk
menjadi petunjuk bagi segenap umat manusia, apapun bangsa, suku, warna kulit,
bahasa, bahkan agamanya. Nabi Muhammad diutus Allah agar menjadi Nabi bagi
segenap manusia di muka bumi apapun latar belakangnya.
Sedangkan Taurat dan Injil maupun Nabi Musa dan Nabi Isa diwahyukan
dan diutus Allah untuk menjadi petunjuk dan Nabi bagi Bani Israel semata. Allah
tidak pernah mengamanatkan kepada Nabi Musa maupun Nabi Isa agar
mendakwahkan Taurat atau Injil kepada kalangan diluar Bani Israel. Sedangkan
Nabi Muhammad jelas diamanatkan Allah agar mendakwahkan nilai-nilai Al-
Qur‘an kepada segenap umat manusia, baik itu bangsa Arab atau bukan, Muslim
ataupun bukan. Untuk itu, kita umat Islam selaku pengikutnya juga berkewajiban
mempromosikan Al-Qur‘an agar menjadi petunjuk bagi segenap umat manusia,
baik mereka beriman kepadanya maupun tidak.
Permasalahan ini sangat penting, mengingat bahwa dewasa ini kita sedang
menghadapi era penuh fitnah yang dilakukan oleh kaum kafir dibantu kaum
munafik. Salah satu fitnah yang sengaja disebarkan ialah virus paham pluralisme.
Awalnya pluralisme Cuma menawarkan gagasan keharusan ―menghormati
segenap penganut agama, apapun agamanya‖. Sampai batas ini, Islam tidak
mempermasalahkan sebab itu sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun, para
pengusung pluralisme tidak berhenti disitu saja. Mereka selanjutnya
mempropagandakan bahwa ―semua agama sama, semua agama baik, bahkan
semua agama benar‖. Inilah rancunya. Ketika seorang yang mengucapkan dua
kalimat syahadat menelan begitu saja logika berpikir pluralisme hingga setuju
dengan gagasan semua agama sama baiknya dan sama benarnya, disitulah
masalah muncul. Sebab, jelas berdasarkan uraian diatas bahwa tidaklah sama
antara satu agama dan agama lainnya.
Bahkan, antara tiga agama terbesar dunia dewasa ini-Islam, Kristen, dan
Yahudi- kedudukan dan peranannya tidaklah sama dan setara. Tidak saja kitab
suci kaum Yahudi dan Nasrani dewasa ini telah mengalami distorsi yang begitu
hebat, kemudian ditambah lagi bahwa Allah mengamanatkan kepada ahli Taurat
maupun ahli Injil untuk menjadikan kedua kitab tersebut petunjuk sebatas bagi
kalangan Bani Israel, bukan untuk segenap umat manusia. Sementara itu, kitab
suci Al-Qur‘an tidak saja terjamin keasliannya sebagaimana pertama kali
diwahyukan kepada Nabi Muhammad lima belas abad yang lalu, melainkan ia
juga diperuntukkan bagi segenap umat manusia di muka bumi hingga tibanya hari
kiamat.
Namun, realitas dunia saat ini justru memperlihatkan bahwa umat Islam
alias ahli Al-Qur‘an justru menjadi umat yang mengekor kepada budaya dan
kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani. Tidak bisa kita pungkiri bahwa dunia
dewasa ini dipimpin oleh kaum Barat yang terdiri dari peradaban Yahudi-Nasrani.
Pantaslah bagaimana dunia modern dewasa ini berada dalam perjalanan yang
tidak jelas menuju masa depannya. Sebab, yang memimpin dunia modern adalah
pihak yang tidak memiliki wahyu yang masih asli bersumber dari Allah, bahkan
kalaupun mereka bisa menghadirkan kitab suci mereka yang asli Allah tidak
pernah mengamanatkan kedua kitab suci itu untuk menjadi petunjuk bagi segenap
umat manusia. Kedua kitab suci tersebut hanya diperuntukkan bagi segenap kecil
umat manusia.[8]
E. Pengertian Ilmu Tafsir

Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti
penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah
wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.[9] Pendapat lain mengatakan
bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf‟il, diambil dari
kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan ak-kasyf yang berarti
membuka atau menyingkap; dan dapat pula diambil dari kata al-tasfarah, yaitu
istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk
mengetahui penyakit.[10]
Sedangkan dalam arti terminologis tafsir, berarti penjelasan tentang
kalamullah (Al-Qur‘an) karena itu yang dimaksud dengan ilmu tafsir adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Jalal al-Din al-Suyuti, tertibmakiyah dan
madaniyah, mukhkam dan mutasyabihat-nya, nasikh dan mansukh-nya, halal dan
haramnya, janji dan ancamannya, perintah dan larangannya, dan mengenai
ungkapan dan perumpamaan.
Sedang Abu Hayyan menjelaskan bahwa Ilmu Tafsir adalah ilmu yang
membahas bagaimana cara mengucapkan lafal-lafal Al-Qur‘an, menerangkan apa
yang ditunjukkan dan hukumnya, baik secara fardiyah maupun tersusun, serta
makna yang terkandung dalam susunan kalimatnya.[11]

F. Pentingnya Ilmu Tafsir dalam Memahami Al-Qur‘an

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an dapat juga dipergunakan hadis


asalkan hadis itu benar-benar dapat dan tidak bertentangan dengan keterangan
yang terdpat didalam Al-Qur‘an. Sekalipu hadis tersebut dikatakan sahih, tetapi
jika bertentangan dengan keterangan yang ada didalam Al-Qur‘an maka hadis itu
tidak dapat dipergunakan.
Karya-karya tafsir yang sudah ada tidak dapat diperlakukan sebagai
puncak tafsir yang tidak boleh dilangkahi lagi, karena sikap yang semacam ini
akan menutup rapat penggalian dan pengeluaran ilmu yang bertimbu-timbun
terpendam di dalam Al-Qur‘an itu. Mutu karya tafsir ditentukan oleh keluasan dan
kedalaman ilmu yang dikuasai oleh penafsirannya. Kemajuan ilmu akan
memberikan cahaya baru dalam menafsirkan Al-Qur‘an. Karena itu karya-karya
tafsir dari generasi silam mungkin sekali dan diatasi oleh karya tafsir dari generasi
mendatang.
Karya-karya tafsir dari generasi silam itu banyak berisikan dongeng-
dongeng dan kebanyakan diambil dari sumber-sumber Yahudi dan Nasrani. Oleh
karena itu, tidak dapat diterima begitu saja melainkan harus diperiksa dengan
sangat teliti dan disaring dengan sangat seksama. Al-Qur‘an tidak membawakan
alam pikiran ilmiah, kritis analitis, menukik dan menghujam dalam membongkar
fakta demi fakta untuk menemukan kebenaran.
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur‘an dengan benar, maka harus
diperhatikan petunjuk-petunjuk dan peringatan-peringatan yang telah diberikan
oleh Al-Qur‘an itu sendiri. Petunjuk-prtunjuk yang menjadi landasan dalam hal
menafsirkan Al-Qur‘an itu adalah:
Pertama, Dialah yang menurunkan kepadamu kitab yang di dalamnya
terdapat ayat-ayat yang jelas dan tegas, inilah yang menjadi teras dan kitab itu dan
yang lainnya adalah ayat-ayat yang memberikan ungkapan dalam bentuk kiasan.
Orang-orang yang didalam jiwanya terdapat kecenderungan kepada
penyelewengan, menuruti bagian yang mengandung ungkapan kiasan itu untuk
mengadakan penyelewengan dan memberikan penafsiran semaunya sendiri.
Padahal tidak ada yang mengetahui pengertiannya yang sebenarnya melainkan
Allah dan orang-orang yang berilmu dengan landasan yang kuat dan mereka
mengatakan;
Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal (QS Ali-Imran ayat 7).

Petunjuk yang kedua, adalah:


Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur‟an? Kalau kiranya Al-Qur‟an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak
didalamnya (QS An-Nisaa‘ ayat 82).

Pedoman dalam menafsirkan Al-Qur‘an dapat dirumuskan sebagai berikut:


a. Prinsip-prinsip dalam Islam dinyatakan didalam Al-Qur‘an dengan kata-kata
yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, tidak boleh membuat suatu dalil atas dasar
ayat yang mutasyabih, ayat dengan kata-kata yang mempunyai pengertian yang
beraneka ragam.
b. Kejelasan suatu ayat Al-Qur‘an harus dicari dari dalam Al-Qur‘an itu sendiri,
karena apa saja yang dinyatakan ringkas pada suatu tempat, terdapat penjelasan
yang luas dan lengkap di bagian lain dalam Al-Qur‘an itu juga.
c. Penafsiran terhadap ayat-ayat dengan kata-kata kiasan harus serasi dengan ayat-
ayat dengan kata-kata yang jelas dan tegas.
d. Bila telah terdapat suatu penggarisan hukum atau prinsip yang dinyatakan
dengan kata-kata yang jelas dan tegas, maka keterangan yang menimbulkan
keraguan harus ditafsirkan menurut hukum atau prinsip yang jelas dan tegas itu.
Demikian juga hal-hal yang bersifat khusus dibaca dan dihubungkan dengan
penegasan yang lebih umum.[12]

G. Corak-corak Penafsiran dan Kitab-kitab Tafsir yang Terkenal

1. Corak-corak Penafsiran

Setiap model penafsiran Al-Qur‘an tidak lepas dari keahlian mufasir,


keahlian itu selanjutnyan dibuat standarisasi dalam menafsirkan Al-Qur‘an,
karena itu dalam ilmu tafsir ditemukan berbagai macam corak penafsiran,
seperti corak kalami, fiqhi, tasawwufi, ilmi, falsafi, adabi ijtima‟i, lughowi,
tarikhi, dan siyasi.
Pertama, corak kalami, yaitu model penafsiran Al-Qur‘an yang bahasanya
mengacu pada penjelasan ilmu kalam. Model ini dikembangkan oleh
aliran Mu‟tazilah. Kitab tafsir yang tergolong corak kalami adalah tafsir Anwar
al-Tanzil, oleh al-Baidhawi (wafat 692 H).
Kedua, corak fiqhi, yaitu model penafsiran Al-Qur‘an yang menerangkan
hukum-hukum yang di-istimbath-kan dari hukum syara‟; melalui ijtihad ulama
karena itu dalam model ini banyak diterangkan masalah-masalah ibadah,
muamalah, jinayat, munakahat, dan sebagainya. Kitab yang tergolong
corak fiqhi adalah:
1) Ahkam Al-Qur‟an, oleh Abu Bakar al-Jashshash (wafat 370 H dari Mazhab
Hanafi);
2) Ahkam Al-Qur‟an, oleh Abu bakar al-‗Arabi (wafat 543 H) dari Mazhab Maliki;
3) Ahkam Al-Qur‟an, oleh al-Harasyi (wafat 503 H) dari Mazhab Maliki; dan
4) Tafsir Ibnu Taimiyah, oleh Ibnu Taimiyah dari Mazhab Hambali.

Ketiga, corak tashawwufi yaitu model penafsiran Al-Qur‘an yang


keterangannya cenderung pada isyarat-isyarat atau menerangkan arti dibalik yang
nyata, sedang sumber penafsiran itu dari pengalaman ibadah yang ditempuh.
Corak tashawwufi dibagi menjadi dua macam:
1) Tasawuf nazhari, yaitu tsawuf yang dihasilkan dari perenungan yang
mendalam, sehingga renungan itu menimbulkan suatu kesimpulan yang dibuat
penafsiran Al-Qur‘an. Kitab tafsir yang tergolong model ini adalah “Futuhat al-
Makkiyah” oleh Ibnu ‗Arabi.
2) Tasawuf „amali, yaitu tasawuf yang dihasilkan dari pengamalan ibadah yang
kontinu, ikhlas, dan khusus dengan tambahan kegiatan-kegiatan tertentu. Model
ini yang paling banyak ditemukan dalam penafsiran tasawwufi, seperti ‗Arais al-
Bayan fi Haqa‟iq Al-Qur‟an oleh al-Syirazi.

Keempat, corak ‗ilmi, yaitu model penafsiran Al-qur‘an yang


menggunakan hukum pikiran ilmiah, sehingga model penafsirannya ini
menggunakan persyaratan ilmiah jika penafsiran Al-Qur‘an. Misalnya,
menafsirkan ayat tentang fenomena alam didasarkan atas ilmu biologi, fisika,
kimia, astronomi, geologi, geofisika, botani, antropologi, dan sebagainya.
Tafsir ilmi sebenarnya sama halnya dengan tafsir maudhu‟i yang dibahas
secara tematik dan dapat diterima keberadaannya, mengingat penafsiran ini
berdasarkan dalil naqli dan dalil aqli dengan berbagai metode ilmiah yang ada.
Contoh tafsir ilmi adalah Tafsir „Ilm li Ayat Kawniyah fi Al-Qur‟an al Karim oleh
Ustadz Hanafi Ahmad.

Kelima, corak falsafi, yaitu model penafsiran Al-Qur‘an yang


menggunakan pendekatan filsafat dengan cara merenungkan dan menghayati ayat
yang ditafsirkan, kemudian mengkajinya secara radikal (mengakar) sistematis dan
objektif. Pada model ini, para ulama sebagian pro dan sebagian kontra, bagi yang
pro mengatakan filsafat dapat dipergunakan manusia setelah menghilangkan
perbedaan atau pertentangan ajarannya terhadap Islam, mengingat sumber filsafat
dari terjemahan kitab Yunani, maka perlu islamisasi filsafat. Rumusan filsafat
dapat dipergunakan menafsirkan Al-Qur‘an. Sedang bagi ulama yang kontra tidak
menerima tafsiran filsafat mengingat disiplin ilmu banyak bertentangan dengan
akidah. Model kedua ini diwakili oleh Fahrur Razi dalam tafsirnya “Mafatih al-
Ghayb”, sedang model pertama diwakili oleh Thantawi Jawhari (940 H) dalam
tafsirnya “al-Jawahir).

Keenam, corak adabi ijtima‟i, yaitu model penafsiran Al-Qur‘an yang


membahasnya dikupas berdasarkan sosiokultural masyarakat, sehingga
bahasannya lebih mengacu pada sosiologi. Kitab yang masuk tergolong model ini
adalah:
1. Tafsir al-Manar, oleh Rasyid Ridha (wafat 135 H);
2. Tafsir al-Maraghi, oleh Musthafa al-Maraghi (wafat 1945 M);
3. Tafsir Al-Qur‟an al Karim, oleh Syekh Mahmud Syaltut.

Ketujuh, corak lughawi, yaitu model tafsiran Al-Qur‘an yang lebih


menekankan pada aspek kebahasaan, kaidah, dan sastranya, untuk menerangkan
arti atau maksud ayat. Kitab yang tergolong model ini adalah:[13]
1. Tafsir Bahr al-Mukhid, oleh Hayyan (wafat 754 H);
2. Tafsir al-Kasysyaf, oleh al-Zamahsyari (wafat 528 H).

Kedelapan, corak tarikhi, yaitu model penafsiran yang keterangan


penafsiran yang lebih menekankan aspek penjelasan kisah-kisah Al-Qur‘an. Kitab
yang tergolong model ini adalah “Lubab al-Ta‟wil fi Ma‟ani al-Tanzil” oleh
Imam Khazin (wafat 741 H).

Kesembilan, corak siyasi, yaitu model penafsiran Al-Qur‘an yang


keterangannya untuk mengaitkan paham politik masing-masing. Kitab yang
tergolong model ini adalah:
1. Tanzil Al-Qur‟an Matha‟in, oleh al-Qadhi Abd al-Jabar (wafat 451 H) dari
golongan Mu‟tazilah.
2. Durras al-Anwar, oleh Abd al-Lathif al-Khazirani dari golongan Syiah.

Berbagai corak penafsiran tersebut merupakan khazanah dan kekayaan


ilmu dalam Islam, mengingat isi kandungan Al-Qur‘an memuat berbagai macam
masalah hidup dan kehidupan, sehingga dapat ditafsirkan menurut dimensi
keahlian mufasir masing-masing.[14]

2. Kitab-kitab Tafsir yang Terkenal


Berikut adalah beberapa kitab tafsir yang terkenal:
a. Tafsir Al Jalalain
b. Tafsir Ibnu Katsir
c. Tafsir Al-Maraghi: Tafsir Termasyhur dari Abad Dua Puluh
d. Tafsir al-Kasyaf
e. Tafsir al-Mizan
f. Tafsir Ibnu Abbas
g. Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran karangan at-Thabari
h. Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz karangan Ibnu ‗Atiyah
i. Tafsir al-Quran al-Adzim karangan Ibnu Katsir
j. Mafatih al-Ghaib karangan Fakhr ar-Razi
k. Al-Bahr al-Muhith karangan Abu Hayan
l. Al-Kasyaf ‗an Haqaiq at-Tanzil wa ‗Uyun at-Takwil karangan az-Zamakhsyari
m. Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran karangan Syaikh Thanthawi Jauhari
n. Tafsir al-Manar karangan Syaikh Rasyid Ridha
o. Fi Dhilal al-Quran karangan Sayid Qutb
p. Tafsir al-Bayan li al-Quran al-Karim karangan ‗Aisyah Abdurrahman bint as-
Shathi‘
q. Al-Jami; li Ahkam al-Quran karangan Abu Abdullah al-Qurtubi
r. Tafsir as-Sanqithi
s. Tafsir Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan karangan
Syaikh Nashr as-Sa‘di

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Studi Al-Qur‘an adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang
ada kaitannya dengan Al-Qur‘an. Al-Qur‘an sebagai kitab suci umat islam yang
berlaku sepanjang zaman tidak akan pernah habis dan selesai untuk dibahas.
Persamaan Al-Qur‘an dan wahyu adalah sama-sama perkataan Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril secara beransur-
ansur.
Perbedaan Al-Qur‘an dan wahyu. Wahyu adalah potongan-potongan Al-
Qur‘an yang belum disatukan yang sedikit demi sedikit disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur yang
disampaikannya secara rahasia tanpa diketahui oleh orang lain.
Al-Qur‘an adalah kalam Allah dengan lafadz-Nya bukan kalam Jibril
ataupun Muhammad. Al-Qur‘an bisa juga disebut dengan potongan-potongan
wahyu Allah yang telah dijadikan satu oleh Nabi Muhammad dan sekertaris Nabi
Muhammad (sahabatNya) yang sebelumnya dituliskan secara terpisah-pisah
dalam berbagai pelepah tamar, daun-daun kering dan tulang-tulang suci.
Manfaat al-Qur‘an ialah untuk mengetahui ihwal kitab Al-Qur‘an sejak
dari turunnya wahyu yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW, sampai
keadaan kitab itu hingga sekarang.Untuk memahamai isi kandungannya. Untuk
dijadikan senjata pamungkas
B. Saran

Dari penjelasan yang telah dipaparkan, penulis menyarankan kepada


pembaca, agar dapat memanfaatkan makalah ini sebagai sumber ilmu dan
referensi untuk membuat tulisan terkait, yang lebih baik lagi. Selain itu, agar dapat
memahami Studi Al-Qur‘an meliputi pengertian, sejarah turunnya, pembukuan
Al-Qur‘an, penamaan Al-Qur‘an, pengelompokan surah dan keistimewaan-
keistimewaannya. Dan juga mempelajari tentang Ilmu Tafsir yang meliputi
pengertian, pentingnya ilmu tafsir, corak-corak ilmu tafsir dan kitab-kitab tafsir
yang terkenal.

Anda mungkin juga menyukai