Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

AL-QUR’AN : SUMBER UTAMA AJARAN ISLAM


Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Agama Islam
Dosen Pengampu :

Dr. Elan Sumarna, M.Ag.

oleh

Kelompok 3

Dwi Rizqi Agustiyaningrum 2006148

Julvoni Yulita Sani 2010352

Rahma Aulia 2000667

Vriya Salsabilla 2004997

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KHUSUS


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Al-Qur’an : Sumber Utama Ajaran Islam” dengan tepat waktu.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu makalah ini disusun bertujuan untuk
menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca khususnya mengenai Al-Qur’an
sebagai Sumber Utama Ajaran Islam.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada bapak
Dr. Elan Sumarna, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang
telah memberikan tugas ini sehingga penulis dapat menambah wawasan dan
pengetahuan sesuai dengan mata kuliah yang penulis tekuni.

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai
pihak sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
para pecinta ilmu pengetahuan.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Cimahi, 17 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 3
2.1 Definisi Al-Qur’an .................................................................................................... 3
2.2 Fungsi Al-Qu’an ....................................................................................................... 4
2.3 Pokok Isi Kandungan Al-Qu’an................................................................................ 9
2.4 Adab Membaca Al-Qu’an ....................................................................................... 16
2.5 Karakteristik Dasar Al-Qu’an ................................................................................. 19
2.6 Otentisitas Al-Qu’an ............................................................................................... 21
2.7 Posisi Al-Qu’an dalam Studi Keislaman................................................................. 22
2.8 Al-Qu’an sebagai Sistem Nilai ............................................................................... 24
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 30
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 30
3.2 Saran ....................................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alquran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah kepada
rasulnya yang terakhir yaitu nabi Muhammad SAW. Sekaligus sebagai mukjizat yang
terbesar diantara mukjizat-mukjizat yang lain. Turunnya Alquran dalam kurun waktu
23 tahun, dibagi menjadi dua fase. Pertama diturunkan di Mekkah yang biasa disebut
dengan ayat-ayat Makiyah. Dan yang kedua diturunkan di Madinah disebut dengan
ayat-ayat Madaniyah.

Alquran sebagai kitab terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk bagi


seluruh umat manusia (hudan linnas) sampai akhir zaman. Bukan cuma diperuntukkan
bagi anggota masyarakat Arab tempat dimana kitab ini diturunkan akan tetapi untuk
seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang luhur yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan maupun
hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya dan hubungan manusia dengan
alam sekitarnya.

Oleh karena itu Alquran senantiasa harus dipelajari, difahami dan


dimanifestasikan dalam amalan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kiranya dengan
tanpa mempelajari dan memahaminya, seseorang mustahil dapat mengamalkan dalam
kehidupan nyata.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an?
b. Apa saja fungsi-fungsi Al-Qur’an?
c. Apa saja pokok isi kandungan Al-Qur’an?
d. Bagaimana adab membaca Al-Qur’an?
e. Apa saja karakteristik dasar Al-Qur’an?
f. Apa yang menjadi otentisitas Al-Qur’an?

1
g. Bagaimana posisi Al-Qur’an dalam studi keislaman?
h. Bagaimana Al-Qur’an sebagai sistem nilai?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui apa dimaksud dengan Al-Qur’an.
b. Mengetahui fungsi-fungsi Al-Qur’an.
c. Mengetahui apa saja pokok isi kandungan Al-Qur’an.
d. Mengetahui bagaimana adab membaca Al-Qur’an.
e. Mengetahui karakteristik dasar Al-Qur’an.
f. Mengetahui apa yang menjadi otentisitas Al-Qur’an.
g. Mengetahui bagaimana posisi Al-Qur’an dalam studi keislaman.
h. Mengetahui bagaimana Al-Qur’an sebagai sistem nilai.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Al-Qur’an

Secara etimologi, ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata al-Quran.


Namun, secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi tiga:

a. Kata al-Quran adalah isim ‘alam (nama) yang digunakan untuk menyebut kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Menurut pendapat ini, al-Quran
bukan turunan (musytaqq) dari kata apapun, melainkan isim murtajal, yakni
kata yang terbentuk seperti itu sejak semula. Pendapat ini dikemukaan antara
lain oleh Al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
b. Kata Al-Quran berasal dari qarana yang berarti “menghimpun atau
menggabung”. Hal ini sesuai dengan sifat al-Quran yang menghimpun huruf,
ayat, dan surat. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary (260-
324 H/767-820 M). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh al-Farra (w.
207 H/823 M) yang mengatakan al-Quran berasal dari kata qara’in (jamak
qarinah). Secara morfologis, kata qara’in juga berasal dari qarana. Qara’in
berarti pasangan, bukti, atau sesuatu yang menjelaskan. Dinamakan demikian
karena ayat-ayat alQuran bersifat saling berhubungan dan saling menjelaskan
satu dengan lainnya.
c. Kata Al-Quran adalah bentuk masdar dari qara’a yang berarti “membaca”.
Qur’an merupakan masdar yang juga bermakna maf’ul, sehingga artinya
“bacaan”. Bentuk ini sama dengan ghufran (ampunan) yang merupakan masdar
dari ghafara (mengampuni), atau rujhan yang merupakan masdar dari rajaha.
Pendapat ini disampaikan oleh Al-Lihyany (w. 215 H/831 M) dan Al-Zajjaj (w.
311 H/928 M). Hanya saja, Al-Zajjaj memilih “mengumpulkan” sebagai makna
qara’a. Meskipun begitu, antara “membaca” dan “mengum-pulkan”
sesungguhnya memiliki kaitan makna, karena membaca hakikatnya adalah
mengumpulkan huruf dan kata dalam ucapan, sehingga antara keduanya bisa
berarti sama.

3
Secara terminologi, al-Quran memiliki beberapa definisi. Banyaknya definisi
al-Quran tidak lepas dari sudut pandang ulama yang menyusunnya atau kepentingan
kajiannya. Meskipun demikian, definisi-definisi itu memiliki esensi yang sama.
Beberapa di antaranya:

a. Al-Quran ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
untuk melemahkan orang yang menentangnya sekalipun hanya dengan surat
terpendek, dan membacanya dianggap sebagai ibadah.
b. Al-Quran ialah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, diturunkan
kepada penutup nabi dan rasul melalui perantara malaikat Jibril As, ditulis
dalam mushaf, dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya
dianggap ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-
Nas.
c. Al-Quran ialah wahyu Allah yang diturunkan dari sisi Allah kepada RasulNya
Muhammad bin ‘Abdillah sang penutup para nabi, yang dinukilkan secara
mutawatir baik lafal maupun maknanya, dan merupakan kitab samawi terakhir
yang diturunkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi yang sederhana namun memuat


elemen pokok pengertian al-Quran adalah: firman Allah Swt yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad Saw, yang tertulis dalam bahasa Arab, dan membacanya bernilai
ibadah. Sedangkan keterangan bahwa ia diriwayatkan secara mutawatir, ditulis dalam
mushaf, diawali surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, berfungsi sebagai mu’jizat,
dapat dianggap sebagai penjelasan tambahan yang melengkapi definisi al-Quran.

2.2 Fungsi Al-Qu’an


2.2.1 Fungsi Al-Qur’an Dilihat dari Kedudukannya

Menelaah fungsi al-Quran tentu tidak bisa mengabaikan apa yang dikatakan
alQuran tentang dirinya sendiri. Karena, di situlah letak informasi primer yang
dibutuhkan. Kitab suci al-Quran telah menjelaskan tentang dirinya –antara lain—
melalui sejumlah nama atau sebutan yang diberikan Allah Swt untuknya. Al-Quran

4
memiliki banyak nama. Banyaknya nama ini menunjukkan kedudukannya yang tinggi
dan kemuliaannya. Menurut Abu al-Ma‘ali Syaidzalah (w. 495 H/997 M), alQur’an
memiliki 55 nama. Sementara itu Abu al-Hasan al-Harali (w. 647 H/1249 M)
mengatakan bahwa al-Quran memiliki lebih dari 90 nama.

Nama-nama yang menunjukkan fungsi atau peran yang melekat pada al-Quran adalah:

a. Al-Huda (petunjuk). Disebut demikian karena ia merupakan petunjuk bagi


manusia untuk bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Nama ini terdapat
pada surat al-Baqarah: 2, 97, 185; Ali Imran: 138; al-A’raf: 52, 203; Yunus: 57;
Luqman: 3; az-Zumar: 23; Fussilat: 44; Naml: 2, 77; Yusuf: 111; al-Nahl: 64,
89; al-Jatsiyah: 20.
b. Al-Nur (cahaya). Disebut demikian karena ia ibarat cahaya yang menerangi
kehidupan manusia, menjelaskan perkara-perkara yang samar baik terkait
hukum, aqidah, akhlak, dan sebagainya. Nama ini ditemukan pada surat al-Nisa:
174; alMaidah: 15.
c. Al-Bayan (keterangan). Disebut demikian karena ia merupakan keterangan atau
penjelasan dari Allah Swt terkait beberapa pokok ajaran-Nya. Nama ini terdapat
pada surat Ali Imran: 138.
d. Al-Furqan (pembeda). Disebut demikian karena ia membedakan antara yang
benar dan yang batil, yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram.
Nama ini terdapat pada surat al-Furqan: 1; al-Baqarah: 185.
e. Al-Dzikr (peringatan). Disebut demikian karena ia mengingatkan manusia akan
ajaran Allah, sekaligus menjadi media bagi manusia untuk selalu mengingat
Allah Swt. Nama ini dapat ditemukan pada surat al-Hijr: 9; an-Nahl: 44; al-
Anbiya: 7, 50; Yasin: 11; Fussilat: 41.
f. Al-Syifa (obat yang menyembuhkan). Disebut demikian karena ia bisa menjadi
obat yang menyembuhkan berbagai pernyakit, utamanya penyakit hati. Nama
ini ditemukan pada surat Fussilat: 44; Yunus: 57; al-Isra: 82.

5
g. Al-Mau’idhah (nasihat, pelajaran). Disebut demikian karena ia berisi sejumlah
pesan, nasihat dan pelajaran yang patut dijadikan pedoman bagi manusia. Nama
ini terdapat pada surat Ali Imran: 138; Yunus: 57.
h. Al-Tadzkirah (pesan, nasihat). Disebut demikian karena ia berisi pesan dan
nasihat yang mengingatkan manusia untuk selalu menaati perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya. Nama ini terdapat pada surat Thaha: 3, al-Muddatsir:
54.
i. Al-Balagh (keterangan yang cukup). Dinamakan demikian karena ia
merupakan keterangan yang cukup bagi seseorang untuk meraih kebahagian
dan keselamatan di dunia dan akhirat. Nama ini terdapat pada surat Ibrahim: 52,
alAnbiya: 106.
j. Al-Busyra (berita gembira). Disebut demikian karena ia memberi kabar
gembira bahwa orang-orang yang beriman akan mendapatkan pahala dan sorga.
Nama ini ditemukan pada surat al-Baqarah: 97; an-Nahl: 89, 102; al-Naml: 2.
2.2.2 Fungsi Al-Qur’an Dilihat dari Kedudukannya
a. Petunjuk bagi manusia

Fungsi pertama al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Seperti


diketahui, fungsi utama sebuah kitab suci dalam agama dan keyakinan apapun adalah
menjadi pedoman bagi penganutnya. Begitu pula al-Quran, menjadi pedoman bagi
umat Islam. Meskipun begitu, al-Qur’an menyatakan bahwa ia bukan hanya menjadi
petunjuk bagi kaum Muslimin, tapi juga bagi umat manusia seluruhnya.
Kemenyeluruhan misi al-Quran ini tidak lepas dari kemenyeluruhan misi Nabi
Muhammad Saw yang diutus untuk seluruh manusia.

Di dalam al-Quran memang ada dua versi penyebutan al-Quran sebagai


petunjuk. Pertama, ia petunjuk bagi seluruh manusia. Kedua, ia petunjuk bagi orang-
orang yang beriman atau bertakwa.

Ayat yang menyatakan hal pertama di antaranya adalah: “Bulan Ramadhan


adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara

6
yang hak dan yang bathil).” (Q.S. al-Baqarah: 185) Sedangkan ayat yang menyatakan
hal kedua di antaranya adalah: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah: 2)

b. Penyempurna kitab-kitab suci sebelumnya

Al-Quran juga berfungsi sebagai penyempurna kitab-kitab suci sebelumnya.


Fungsi ini hadir karena al-Quran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah
Swt kepada rasul dan nabi-Nya. Sebagai kitab suci terakhir, al-Quran membawa tugas
menyempurnakan kitab-kitab suci terdahulu. Rasionalitas di balik fungsi ini setidaknya
bisa diterangkan melalui dua alasan. Pertama, kitab-kitab suci terdahulu memang
diturunkan untuk kaum tertentu dan zaman yang terbatas. Kedua, dalam perkembangan
sejarah, kitab-kitab suci terdahulu tidak bebas dari perubahan dan penyimpangan.

Pertama, al-Quran membenarkan kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya.


Al-Quran hadir bukan untuk menyangkal adanya kitab-kitab suci tersebut. Bahkan,
dalam doktrin Islam, seorang Muslim diwajibkan percaya adanya kitab-kitab yang
diturunkan Allah kepada nabi-nabi sebelum Muhammad, seperti yang terdapat pada
ayat berikut: “Dan (di antara ciri orang yang bertakwa adalah) mereka yang beriman
kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S.
al-Baqarah: 4).

Kehadiran al-Quran adalah melanjutkan ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.


Misi pokok semua kitab suci adalah mengajak manusia untuk menyembah satu tuhan,
yaitu Allah Swt. Kalau pun ada perbedaan, hal itu tidak lebih dari hal-hal yang
menyangkut masalah cabang (furuiyah), misalnya terkait ritus peribadatan dan
beberapa aspek hukum. Itu pun disebabkan karena faktor perbedaan zaman, tempat dan
masyarakat di mana kitab-kitab itu diturunkan.

Kedua, al-Quran meluruskan hal-hal yang telah diselewengkan dari ajaran


kitab-kitab terdahulu. Hal ini karena kitab-kitab sebelum al-Quran, dalam perjalanan
sejarah, tidak bebas dari penyimpangan, perubahan, pergantian, penambahan atau

7
pengurangan, sehingga diperlukan upaya pemurnian. Kitab suci terdahulu seperti
Taurat, Zabur dan Injil yang ada sekarang tidak bisa disebut asli atau sama dengan kitab
yang diturunkan kepada nabi-nabinya dahulu. Fenomena penyimpangan semacam ini
telah disinggung oleh al-Quran: “Di antara orang-orang Yahudi, mereka mengubah
perkataan (dalam kitab suci) dari tempat-tempatnya.” (Q.S. An-Nisa: 46)
“Sesungguhnya diantara mereka (ahli kitab) ada segolongan yang memutarmutar
lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian
dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang
dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata
dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Q.S. Ali Imrah: 78).

Ketiga, al-Quran berfungsi sebagai alternatif pengganti kitab-kitab suci


terdahulu. Seperti diterangkan di atas, kitab-kitab terdahulu telah mengalami
perubahan, penyimpangan dan penyelewengan, sehingga sulit untuk disebut asli seperti
saat mereka diturunkan kepada nabi atau rasul yang membawanya. Karena itu, al-
Quran hadir sebagai solusi dan alternatif pengganti bagi mereka. Sebagai kitab suci
terakhir, Al-Quran adalah petunjuk sempurna yang tidak perlu diragukan kebenarannya.
Dilihat dari berbagai sisi, al-Quran memiliki keunggulan yang tidak bisa ditandingi
oleh kitab-kitab sebelumnya, baik dari sisi orisinilitas, kesempurnaan, maupun
kekuatannya sebagai mukjizat. Karena itu, tidak ada alasan bagi orang yang beriman
untuk tidak menjadikan al-Quran sebagai pedoman, sebagaimana al-Quran juga
mengajak mereka yang mencari kebenaran untuk berlabuh kepada al-Quran, seperti
seruan Al-Quran kepada Ahli Kitab berikut: “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah
datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang
kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang
kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan.” (Q.S. al-Maidah: 15).

c. Sumber pokok agama Islam

Sebagaimana diketahui, sumber agama Islam itu ada tiga, yakni: al-Quran,
Sunnah, dan Ijtihad. Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad. Sunnah adalah sabda, tindakan dan ketetapan Rasulullah Muhammad.

8
Sedangkan ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh ulama mujtahid
untuk menyimpulkan hukum agama dengan tetap mengacu kepada AlQuran dan
Sunnah. Ada dua bentuk ijtihad yang disepakati oleh ulama, yaitu Ijma’ (kesepakatan
umat pasca wafatnya Rasulullah) dan Qiyas (analogi). Al-Quran merupakan sumber
pokok seluruh ajaran Islam. Yusuf al-Qardlawi mengatakan bahwa al-Quran adalah
pokok Islam dan jiwanya. Dari al-Quranlah diperoleh ajaran tentang keimanan (aqidah),
ibadah, akhlak, dan prinsip-prinsip hukum serta syariat.

2.3 Pokok Isi Kandungan Al-Qu’an

Seluruh umat Islam sepakat bahwa Islam yang disampaikan oleh Muhamad
adalah agama yang sempurna, dan bahkan paling sempurna. Atas dasar ini kemudian
ada sebagian pemikir Islam yang berpendapat bahwa Al-Qur‘an telah menjelaskan
segala-galanya, tak ada sesuatupun yang alpa darinya. Al-Qur‘an merupakan kitab suci
yang di dalamnya sudah dijelaskan sistem perekonomian, politik, sosio-budaya, ilmu
pengetahuan dan seterusnya, sehingga tidak ada suatu pun yang terlupakan olehnya.
Hal ini didasarkan pada Qs. al-Ma‘idah ayat 3:

Artinya: “Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agamamu”.

Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri. Dan Kami turunkan kepadamu al-
Kitab (al-Qur‟an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.

9
Ayat-ayat di atas dan yang senada dengannya memang dapat diartikan bahwa
alquran adalah kitab yang sempurna isinya dalam arti tidak ada sesuatu pun yang
dilupakan dan segala-galanya telah dijelaskan di dalamnya. Pendapat yang menyatakan
bahwa alquran telah menjelaskan seluruh aspek kehidupan manusia, seperti sistem
ekonomi, politik, perindustrian, ketatanegaraan, ilmu pengetahuan dan seterusnya
masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Sebagai standarnya, antara lain adalah
komposisi keseluruhan ayat-ayat alquran beserta rincian isi kandungannya.

Al-Qur‘an diturunkan Allah kepada Muhammad dalam rentang waktu sekitar


23 tahun, periode Makkah selama 13 tahun dan sisanya 10 tahun periode Madinah.
Jumlah ayat al-Qur‘an seluruhnya ada 114, dan disepakati bahwa 86 dari jumlah itu
merupakan surat Makiyah dan 38 merupakan surat Madaniyah. Apabila ditinjau dari
segi jumlah ayat, al-Qur‘an memuat 6236 ayat, 4780 ayat atau 76,65 persen dari
padanya adalah ayat-ayat Makiyah. Ayat-ayat Makiyah yang persentasinya sekitar tiga
perempat dari seluruh isi al-Qur‘an, isinya secara umum berupa penjelasan mengenai
keimanan, dan sedikit hal terkait dengannya. Oleh karena itu logis kiranya sebagian
besar penjelasannya adalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya, iman, kufr, islam,
nifak, hidayah, syirk, khair dan syarr, akhirat dan dunia, surga dan neraka, kitab-kitab
sebelum alQur‘an, umat serta para nabi dan rasul sebelum Muhamad.

Adapun ajaran yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat dan bernegara


terkandung dalam ayat-ayat Madaniyah, yakni ayat-ayat al-Qur‘an yang diturunkan
pada paska hijrah Nabi Muhamad ke Madinah. Karena pada periode Madinah itu
keberadaan umat Islam sudah merupakan suatu tatanan masyarakat yang sudah
memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan, angkatan perang dan lembga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Ayat-ayat Madaniyah berjumlah sekitar 1456 buah atau 23,35
persen dari seluruh ayat al-Qur‘an. Hanya saja perlu ditegaskan bahwa tidak seluruh
ayat Madaniyah yang berjumlah 1456 itu mengandung ketentuan-ketentuan hukum
tentang hidup kemasyarakatan umat Islam, ada juga sebagian kecil darinya yang
berbicara mengenai keimanan.

10
Berikut ini adalah perkiraan komposisi ayat al-Qur‘an dan isinya. Ayat al-
Qur‘an yang memuat ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan
kurang lebih hanya ada 500 buah ayat atau 8 persen dari keseluruhan ayat al-Qur‘an.
Dari sejumlah itu, ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan tentang hidup
kemasyarakatan ada 228 ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang keimanan.
Menyangkut ayat-ayat mengenai hidup kemasyarakatan yang berjumlah 228 itu,
Wahab Khalaf memberikan rincian lebih lanjut berikut ini:

(a) Hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya ada 70
ayat;
(b) Hidup perdagangan/ perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya ada 70 ayat; (
(c) Soal hukum pidana ada 30 ayat;
(d) Hubungan orang Islam dengan non muslim ada 25 ayat;
(e) Soal pengadilan ada 13 ayat;
(f) Hubungan orang kaya dengan orang miskin 10 ayat; dan
(g) Soal kenegaraan ada 10 buah ayat.
Masalah keuangan, perindustrian, pertanian dan sebagainya tidak terdapat
dalam teori rincian di atas. Memang betul dalam rincian tersebut telah ada ayat-ayat
mengenai kenegaraan, misalnya, tetapi ayat-ayat itu tidak menjelaskan bentuk
pemerintahan islami yang harus ditegakkan oleh seluruh umat Islam. Dalam konteks
ini ayat-ayat tersebut hanya menjelaskan dasar-dasar fundamental atau prinsip-prinsip
dasar berupa fundamental ideal yang harus dipegangi oleh seluruh umat Islam dalam
pengaturan negara. Salah satu prinsip fundamental itu adalah permusyawaratan,
sebagaimana ditegaskan dalam ayat “wa syawirhum fi al-amr”. Musyawarah boleh
dijalankan dalam berbagai bentuk pemerintahan, sebagaimana telah teruji dalam
sejarah panjang politik umat Islam. Dan begitu pula masalah ekonomi, ayat-ayat al-
Qur‘an tidak menetapkan sistem perekonomian yang mesti ditegakkan, apakah model
kapitalisme atau sosialisme; dalam hal ini yang dijelaskan olehnya hanya sejumlah

11
prinsip dasar yang harus ditegakkan dalam tatanan perekenomian islam, diantaranya
adalah haramnya riba dan wajibnya keadilan dilaksanakan.
Dengan dasar uraian di atas kiranya dapat dipahami bahwa sesungguhnya al-
Qur‘an tidak memberikan ketetapan tentang berbagai sistem dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Di dalam al-Qur‘an belum ditetapkan sistem kenegaraan, sistem
perekonomian, sistem keuangan, sistem hidup bermasyarakat, perindustrian, pertanian
dan sebagainya yang harus ditegakkan oleh umat Islam. Yang ditetapkan oleh al-
Qur‘an hanya dasar-dasar dan patokanpatokan umum semata, dan di atas dasar-dasar
umum itulah kemudian umat Islam mengatur hidup kemasyarakatannya, sehingga
muncul sistem pemerintahan Islam, ekonomi, keuangan, dan sistem masyarakat Islam.
Ringkasnya, meski al-Qur‘an tidak mengandung sistem ekonomi, kenegaraan,
keuangan dan sebagainya, hal ini bukan berarti ekonomi, masyarakat, politik Islam dan
sebagainya tidak terdapat dalam al-Qur‘an. Semua sistem ini telah ada, hanya saja
bukanlah merupakan doktrin absolut yang tidak dapat berubah menurut perkembangan
zaman; semua sistem itu merupakan hasil ijtihad dan karenanya lebih merupakan hasil
pikiran manusia, sehingga ia dapat berubah dan dirubah. Hanya saja dalam perubahan
itu dimensi prinsip dasarnya yang terdapat di dalam al-Qur‘an tidak boleh dilupakan
dan tidak boleh dirubah, patokan-patokan itu harus tetap dijadikan pegangan.
Ada hikmah agung terkait dengan konsep doktrinal di atas. Masyarakat secara
sosiologis memiliki karakter dasar dinamis, berubah dan berkembang sejalan dengan
tuntutan zaman. Sementara peraturan dan hukum memiliki efek mengikat. Oleh karena
itu kalau peraturan dan hukum absolut berjumlah banyak dan terinci, maka dinamika
masyarakat yang diaturnya tentu akan menjadi terikat olehnya, sehingga menjadi statis.
Agar masyarakat menjadi dinamis, maka ayat-ayat yang mengaturnya jangan begitu
banyak jumlahnya terkecuali menyangkut dasar-dasar pokoknya. Dengan kata lain,
dalam masalah ini tampaknya Tuhan menyerahkan kepada akal manusia untuk
mengaturnya, sesuai dengan ayat-ayat yang mendasarinya yang berjumlah hanya
sedikit lagi global, tidak bersifat terinci. Di sinilah letak hikmah mengapa ayat-ayat al-
Qur‘an tidak banyak membicarakan masalah hidup kemasyarakatan manusia.

12
Adapun mengenai ilmu pengetahuan, fenomena alam memang disinggung oleh
al-Qur‘an, yang menurut perkiraan ahli berjumlah sekitar 50 ayat. Ayat-ayat yang biasa
dinamakan ayat kauniyah ini, pada dasarnya memuat perintah dan dorongan kepada
manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam sekitar. Sebab dengan
memperhatikan fenomena sekitarnya, manusia akan sampai kepada kesimpulan bahwa
fenomena-fenomena yang tedapat di alam semesta tidaklah terjadi dengan sendirinya,
melainkan mesti diciptakan dan digerakkan oleh dzat yang berada di balik alam ini
yakni Tuhan. Dengan kata lain, perenungan terhadap alam akan mengakibatkan iman
manusia menjadi semakin kokoh. Inilah tujuan sebenarnya dari ayat-ayat kauniah.
Selain hal di atas penyebutan ayat kauniyah tidaklah diikuti oleh penjelasan
terinci mengenai proses kejadiannya, dan proses itu hendaknya diusahakan oleh fikiran
manusia. Kalau memang demikian maka kurang begitu tepat untuk dikatakan bahwa
al-Qur‘an itu telah membahas dan menjelaskan ilmu pengetahuan. Sebagaimana
ditegaskan oleh Harun Nasution, yang tepat harus dikatakan bahwa ada di antara ayat-
ayat al-Qur‘an yang menyebut fenomena alam, yang mana ia juga menjadi objek kajian
ilmu pengetahuan, dan memang ilmu pengetahuan lebih merupakan hasil pemikiran
manusia tentang fenomena alam dengan menggunakan metode ilmiah. Oleh karena
tepat apa yang disampaikan oleh Moh. Abduh bahwa al-Qur‘an merupakan buku yang
paling tidak ilmiah, meski di dalamnya disinggung fenomena alam yang juga menjadi
bahasan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini al-Qur‘an lebih merupakan kitab petunjuk
kehidupan yang berlaku sepanjang masa.
Begitu pula mengenai teknologi, kalau makna yang terkandung dalam istilah
teknologi adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan
bantuan alat dan akal, maka al-Qur‘an dalam penyebutan kisah umat terdahulu juga
menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan teknologi. Tetapi hal demikian
bukanlah berarti al-Qur‘an membahas soal teknologi, apalagi teknologi modern. al-
Qur‘an pada dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, dan dalam
penjelasan mengenai petunjuk dan pegangan itu al-Qur‘an menyebut hal-hal yang ada
hubungnnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Uraian di atas menggambarkan
betapa pandangan yang mengatakan bahwa al-Qur‘an sudah mengandung segala-

13
galanya adalah kurang tepat. Al-Qur‘an tidak menguraikan sistem ekonomi, politik,
ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur‘an hanya memuat penjelasan dasar-dasar
pokoknya saja, dan juga fenomena-fenomena alam yang ada hubungannya dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kalau demikian halnya, tiga ayat al-Qur‘an yang biasa
dijadikan rujukan untuk alasan kelengkapan isi al-Qur‘an yakni Qs. al-Ma‘idah ayat 3;
al-An‘am ayat 38 dan an-Nahl ayat 89 perlu ditelusuri kembali makna kandungannya
di dalam berbagai literatur kitab tafsir.
Yang pertama adalah Qs. al-Ma‘idah ayat 3 “al-yaum akmaltu lakum
dinakum….”. Dengan mengutip dari Ibn Abbas, Ibn Katsir mengatakan bahwa menurut
Ali bin Abi Thalib yang dimaksud oleh ayat ini adalah iman telah disempurnakan, tidak
perlu ada tambahan lagi dan tidak pula akan dikurangi. Sementara itu al-Zamakhsyari
menjelaskan bahwa kata akmal dalam ayat itu bermakna melindungi yakni Aku (Allah)
melindungi dari musuh, sehingga kamu mencapai kemenangan dan musuh mengalami
kekalahan. Mungkin juga kata alZamakhsyari ayat itu berarti Tuhan pada hari itu telah
menyempurnakan apa yang diperlukan manusia tentang yang halal dan haram.
Sehingga sebagaimana dikatakan Asbat, bahwa sesudah itu tidak pernah lagi turun apa
yang dihalalkan dan apa yang diharamkan. Menurut Rasyid Ridla, dengan menukil
penjelasan Ibn Jarir, bahwa yang dimaksudkan dengan penyempurnaan agama dalam
ayat ini adalah perginya kaum musyrikin dari Makah dan sucinya kota itu bagi umat
Islam, sehingga dalam pelaksanaan haji tidak terdapat kaum musyrikin di kalangan
umat Islam di Makah. Menurut al-Baidlawi, yang dimaksudkan dengan
penyempurnaan agama adalah kemenangan yang membuat agama Islam berada di atas
agama-agama lainnya. Rasyid Ridla sendiri berpendapat bahwa bahwa yang
dimaksudkan oleh ayat itu adalah penyempurnaan iman, hukum, budi pakerti, ibadah
dengan terperinci dan muamalah dalam garis besar.
Sedangkan ayat kedua (Qs. al-An‘am 38) membicarakan tentang binatang di
bumi dan di langit dan dalam konteks inilah penjelasan bahwa Tuhan tidak melupakan
suatu apa pun di dalam alkitab. Oleh karena itu Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa Tuhan mengetahui semua binatang, tidak lupa memberikan rizki kepadanya,
baik di bumi maupun di langit. Selanjutnya ia mengutip ayat lain untuk memperkuat

14
tarsir di atas tidak ada suatu binatang pun di bumi yang rezekinya tidak tergantung pada
Allah, dan Tuhan mengetahui tempat istirahat serta tempat perbekalannya; semuanya
disebut dalam al-kitab dengan nyata. Sementara al-Zamakhsyari menjelaskan yang
dimaksud dengan al-Kitab dalam ayat ini bukanlah al-Qur‘an tetapi laukh makhfudh
yang ada di langit. Penafsiran semacam ini dimungkinkan sebab menurut Rasyid Ridla,
sebutan alkitab itu mengandung berbagai arti yakni laukh makhfudh, umm al-kitab
dalam induk al-Qur‘an, ilmu Tuhan yang mencakup segala-galanya, dan juga berarti
al-Qur‘an.
Jika yang dimaksudkan al-kitab ayat ini adalah laukh makhfudh atau umm al-
kitab apalagi ilmu Tuhan, maka jelas itu mesti mengandung segala-galanya. Tetapi
kalau yang dimaksud olehnya adalah al-Qur‘an, makna yang dikandung olehnya ialah
soalsoal agama secara umum. Dengan demikian arti yang terkandung di dalam kitab
itu adalah tidak Kami lupakan di dalamnya soal-soal hidayah yakni dasar-dasar agama,
pegangan-pegangan, hukum-hukum, petunjuk tentang pemakaian daya jasmani serta
daya akal nntuk kemaslahatan manusia. Selanjutnya mengenai ayat 89 Qs. al-Nahl, al-
Mujahid menafsirkan dengan semua yang halal dan semua yang haram. Pemaknaan ini
relevan dengan pedapat al-Zamakhsyari yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan
adalah segalanya mengenai soal agama, dan itu pun dengan bantuan sunah nabi, ijma‘,
qiyas dan ijtihad.
Dengan demikian semakin jelas bahwa pendapat yang mengatakan al-Qur‘an
mencakup segala-galanya dan menjelaskan segala-galanya, termasuk di dalamnya
sistem hidup kemasyarakatan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tidak
dapat diterima dan kurang beralasan. Yang benar adalah bahwa dari 6236 ayat al-
Qur‘an ternyata hanya kurang dari 500 ayat yang mengandung ketentuan-ketentuan
tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan manusia. Dan kurang lebih ada 150
ayat al-Qur‘an yang mengandung penjelasan tentang hal-hal yang ada kaitannya
dengan ilmu pengetahuan dan fenomena alam. Sejalan dengan dasar pemikiran
sebagaimana telah dijelaskan di atas, Harun Nasution membagi ayat-ayat al-Qur‘an—
sesuai dengan kandungannya—menjadi sembilan bagian yakni: (1) ayat-ayat mengenai
dasar-dasar keyakinan, yang dari situ kemudian lahir teologi Islam; (2) ayat-ayat yang

15
mengenai soal hukum yang kemudian melahirkan ilmu hukum Islam atau fikih; (3)
ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa ketentuan-
ketentuan tentang ibadah dalam Islam: (4) ayat-ayat mengenai budi pakerti luhur yang
melahirkan etika Islam; (5) ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubungan manusia
dengan Tuhan yang kemudian melahirkan mistisime atau tasawuf dalam Islam; (6)
ayat-ayat mengenai tanda-tanda dalam alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang
membicarakan soal kejadian alam di sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini
menumbuhkan pemikiran filosofis dalam Islam; (7) ayat-ayat mengenai hubungan
golongan kaya dengan miskin dan ini membawa pada ajaran sosiologis dalam Islam:
(8) ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabi-nabi dan
umat mereka, sebelum Muhamad dan umat lainnya yang hancur karena keangkuhan
mereka. Dari ayat ini dapat diambil pelajaran dan ayat-ayat mengenai hal-hal lainnya.

Selain itu terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur‘an itu pada dasarnya
mengandung pesan-pesan sebagai berikut: (1) masalah tauhid, termasuk di dalamnya
segala kepercayaan terhadap yang gaib; (2) masalah ibadah yakni pengabdian kepada
Tuhan; (3) masalah janji dan ancaman; (4) jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat,
berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar
mendapatkan ridla Allah; (5) riwayat atau cerita, yakni sejarah orang-orang terdahulu
baik sejarah bangsabangsa, tokoh-tokoh tertentu maupun para nabi dan rasul.

2.4 Adab Membaca Al-Qu’an

Adab ketika membaca Al-Qurān seharusnya memenuhi beberapa hal, antara


lain:

a. Membaca dengan tartilTartil artinya bagus.


Membaca Al-Qurān dengan tartil artinya melafadkan huruf-huruf Al-
Qurān dengan jelas, bunyi hurufnya, panjang dan pendeknya, ibtida
dan waqafnya, ghunnah dan sukunnyayang sesuai dengan pedoman ilmu
tajwid. Membaca Al-Qurān dengan tartil diperintahkan oleh Allah SWT,
artinya: “Dan bacalah Al-Qurān dengan tartil”.Membaca Al-Qurān dengan

16
tartil dapat berguna bagi orang yang membaca. Ia dapat mendengarkan lafad
bacaannya dengan mengangan-angan lafad dan artinya yang terkandung dalam
bacaannya.Membaca Al-Qurān dengan tartil dapat berguna orang yang
mendengarkannya. Ia dapat mendengarkan bunyi lafad bacaan itu, dapat
direspon isi kandungan bacaan itu.Ini dapat menjadikan stimulus yang
dapat menyentuh hati orang yang membaca dan mendengarkan, dan
dapat mengakibatkan getaran hati, dan meningkatkan keimanan seseorang.
Firman Allah, artinya: “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah
maka dapat menambah iman mereka”.
b. Memperindah bacaanMemperindah bacaan Al-Qurān artinya menghiasi
bacaan-bacaan Al-Qurān dengan suara yang indah dengan menyesuaikan bunyi
huruf dan panjang pendeknya sesuai dengan kaidah ilmu tajwid.Memperindah
bacaan Al-Qurān diperintahkan oleh Nabi saw artinya: “Hiasilah suara-
suaramu dengan bacaan Al-Qurān”. Firman Allah, artinya: “Dan bacalah Al-
Qurān itu dengan perlahan-lahan”.Menghiasi bacaan Al-Qurān dapat
berguna bagi orang yang membacanya. Ia dapat melantunkan bacaannya
dengan indah dan meresap di dalam hatinya sehingga hatinya merasa
terhibur dengan keindahannya bacaan itu.Menghiasi bacaan Al-Qurān
dapat berguna bagi orang yang mendengarkannya (mustami). Mereka
dapat mendengarkannya dengan khidmad, dapat menyentuh pada hatinya
hingga muncul perasaan senang atas keindahan bacaan itu.
c. Membaca Al-Qurān dengan suara yang keras
Mengeraskan bacaan Al-Qurān artinya melafadkan huruf-huruf dari ayat-
ayat Al-Qurān dengan suara yang lantang, tidak ada suara yang samar atau
ragu-ragu bagi orang yang membacanya, sehingga dapat didengarkan
dengan jelas.Mengeraskan bacaan Al-Qurān diperintahkan oleh Allah SWT,
artinya: “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan
nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmāul husna(nama-
nama yang terbaik) ....Mengeraskan suara bacaan Al-Qurān dapat berguna
bagi yang membacanya. Ia dapat mendengarkan suara dan lafad atau huruf

17
Al-Qurān itu sendiri, yang dapat mengontrol tekanan suara masing-masing
huruf dapat stabil. Mengeraskan suara bacaan Al-Qurān dapat berguna bagi
orang yang mendengarkannya. Mereka dapat mendengarkan dengan jelas
masing-masing huruf yang dibaca, yang dapat mengontrol bacaan itu dan
mengerti isi kandungan bacaan Al-Qurān dengan mudah, tidak ragu-ragu.
d. Mengingat isi bacaan Al-QurānYang dimaksud mengingat bacaan Al-Qurān
adalah ketika seseorang membaca Al-Qurān. Keadaan mengingat isi bacaan
yang terkandung di dalamnya, isi kandungan bacaan itu meliputi akidah, akhlak,
hukum, dan hikmah-hikmah serta nilai-nilai pendidikan yang ada di dalamnya.
Mengingat isi bacaan Al-Qurān diperintahkan oleh Allah SWT, artinya:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah Nabi). ”Mengingat isi bacaan Al-Qurān dapat berguna bagi
orang yang membacanya. Seseorang dapat mengingat lafad, makna, dan
kandungan yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan.
e. Menghayati bacaan Al-QurānMenghayati bacaan Al-Qurān artinya
memperhatikan dengan mengkonsentrasikan pikiran pada bacaan itu
ketika membacanya. Memperhatikan bacaan Al-Qurān diperintahkan oleh
Allah, artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qurān?
Kalau kiranya Al-Qurān itu bukan dari sisi Allah. ”Menghayati bacaan Al-
Qurān dapat diketahui dengan cara merasakan lewat “getaran hati” ketika
dibacanya, dan menambah kualitas iman seseorang. Firman Allah, artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka apabila disebut
nama Allah gemetar hati mereka”. Menghayati bacaan Al-Qurān dapat
membuka tabir yang menghalangi masuknya kesadarannya jiwa untuk
memperdalam isi kandungannya.

Menangis ketika membaca Al-QurānMenangis ketika mendengar bacaan Al-


Qurān dengan mencucurkan air mata akibat dari bacaan yang menyentuh jiwanya.
Allah berfirman, artinya: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan
kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata”.

18
Menangis ketika mendengarkannya disebabkan karena mengetahui kebenaran isi-isi
kandungan Al-Qurān setelah mereka ketahuinya. Ini dapat berguna bagi orang
yang mendengarkannya yaitu dapat melenturkan hati yang dapat mengakibatkan
kesadaran baru untuk berbuat kebaikan. Menangis ketika mendengar bacaan Al-
Qurān atas bacaan sendiri maupun orang lain, sehingga mengakibatkan
lentur/lemahnya hati seseorang. Ini dapat mendorong kesadaran baru sehingga
muncul kesadaran untuk membacanya dengan berulang-ulangm sehingga
menjadikan nilai hiburan yang menyenangkan dirinya.

2.5 Karakteristik Dasar Al-Qu’an


a. Jumlah kata dan huruf
Menurut Ash Shiddieqy (1990) alquran mengandung 114 surat dan 6236 ayat.
Kalimatnya menurut hitungan sebgian para ahli 74.437 sedangkan hurufnya terdiri dari
325.345. mengenai bilangan surat, jumhur ulama terkecuali golongan syi’ah
menetapkan sebanyak 114. Jumlah juz dalam alquran adalah 30 juz.
Berbeda dengan yang di kemukakan oleh shihab (2014,hlm 4) bahwa kosakata
alquran berjumlah 77.439 kata, dengan jumlah huruf 323.015 huruf yang seimbang
jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padananya maupun kata dengan lawan
kata dan dampaknya
Senada dengan Ash-Shidieqy, Khallaf (199) menyebutkan bahwa alquran
sebagai kitab suci yang berisi petunjuk memuat 6.236 ayat. Jumlah itu hanya 5,8% dari
seluruh ayat alquran yang mempunyai perincian. Jumlah alquran yang mempunyai
perincian secara keseluruhan adalah 368 ayat, hanya 228 ayat yang merupakan urusan
hidup kemasyarakatan umat (Nasution, 1985, hlm 9). Berdasarkan jumlah tersebut
menunjukkan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup kekeluargaan dan kehidupan
ekonomi mempunyai jumlah besar. Angka mengenai hidup kekeluargaan ini besar
karena keluargalah yang merupakan unit masyarakat terkecil dalam tiap masyarakat.
b. Diturunkannya alquran

19
Mengenai diturunkannya alquran telah terjadi perbedaan faham diantara para
ulama dalam hal ini para ulama mempunyai tiga pendapat sebagaimana dikutip oleh
Ash-Shiddieqy (199), yaitu :
1) Alquran diturunkan ke langit dunia pada malam al-Qadr sekaligus yakni
lengkap dari awal hingga akhirnya, kemudian diturunkan berangsur-angsur
sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun, berdasar kepada
perselisihan yang terjadi tentang berapa lama nabi bermukim di mekkah
sesudah beliau diangkat menjadi rasul
2) Alquran diturunkan ke langit dunia dalam dua puluh kali lailatul qadar dalam
20 tahun atau dalam 23 kali lailatul qadar dalam 23 tahun, atau dalam 25 kali
lailatul qadar dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia
sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Muhammad SAW
secara berangsur-angsur
3) Alquran itu permulaan turunnya, iala di malam al-Qadar. Kemudian diturunkan
sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.
Dari ketiga pendapat tersebut pendapat pertamalah yang paling terkenal di
kalangan masyarakat dan banyak disebut-sebut di dalam tafsir
c. Jenis Ayat Alquran berdasarkan Turun dan Masa
Alquran yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut lalu
disusun dalam bentuk surat-surat dan dinamai dengan surat tertentu sejumlah 114 surat.
Urutan susunan surat tersebut disusun berdasarkan turunnya wahyu dan ada pula yang
tersusun berdasarkan susunan yang terdapat di dalam mushhaf alquran.
Ash-Shidieqy kemudian menegaskan bahwa masa Nabi bermukim di Mekkah
yaitu 12 tahun 5 bulan 13 hari, yakni dari 17 Ramadhan tahun 41 dari milad sampai
awal Rabiul awal tahun 54 dari milad, sehingga jumlah ayat makkiyah meliputi 19/30
dari isi alquran yang terdiri dari 86 surat. Sedangkan masa Nabi bermukim di Madinah
selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari milad
Nabi, hingga Sembilan Dzulhijjah tahun 63 dari milad Nabi, atau tahun 10 hijriah,
sehingga jumlah ayat madaniyah meliputi 11/30 dari isi alquran terdiri atas 28 surat.
d. Alquran Berdasarkan Panjang-Pendeknya Ayat

20
Bila ditinjau dari segi panjang pendeknya surat Alquran terbagi kepada 4
kategori yaitu As-Sab’uth Thiwaal, Al-Miuun, Al-Matsani, dan Al-Mufashshal. As-
Sab’uth Thiwaal maksudnya adalah tujuh surat yang panjang yaitu surat Al-
Baqarah,Ali Imran,An-Nisaa’,Al-A’raaf, Al-An’aam,Al-Maidah dan Yunus. Al-Miuun
maksudnya ialah suat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti
Hud,Yusuf,Mu’min dan sebgainya.Al-Matsani maksudnya ialah surat-surat yang berisi
kurang sedikit dari seratus ayat seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebgainya. Al-
Mufashshal maksudnya adlah surat-surat pendek seperti Adh-Dhuha,Al-Ikhlas,Al-
Falaq,An-Nas dan sebagainya.
e. Alquran Berdasarkan Pembagian Juz
Bila ditinjau dari pembagian juz, Alquran terbagi menjadi 30 juz yang tersebar
dalam 114 surat tersebut. Setiap juz memiliki kadar panjang yang hampir sama.
Pembagian Alquran menjadi 30 juz dimaksudlan untuk memudahkan mereka yang ini
menuntaskan bacaal Alquran dalam 30 hari (satu bulan) (wikipedia.org, 2014).
2.6 Otentisitas Al-Qu’an

Al Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah


satunya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah (QS.
15:9). Mengutip pendapat seorang ulama kontemporer, Muhammad Husain al
Thabathaba’iy yang menyatakan bahwa sejarah al Qur’an demikian jelas dan terbuka,
sejak turunnya sampai sekarang ia dibaca oleh kaum muslim, sehingga pada hakikatnya
al Qur’an tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci
tersebut - lanjut Thabathaba’iy – memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah
dengan menantang siapapun untuk membuat tandingannya.

Salah satu bukti, bahwa al Qur’an yang berada di tangan kita sekarang adalah
al Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad saw. tanpa perubahan dan tetap
sebagaimana keadaannya dahulu. Sejalan dengan pendapat Thabathaba’iy diatas,
Rasyad Khalifah juga mengemukakan bahwa dalam al Qur’an sendiri terdapat bukti-
bukti sekaligus jaminan akan keotentikannya.

21
Sejarah mencatat bahwa sejak zaman Nabi Muhammad saw, al Qur’an telah
dihafal oleh ratusan sahabatnya. Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-
ayat al Qur’an, namun untuk menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, tidaklah
cukup hanya mengandalkan hafalan saja, tetapi dalam bentuk tulisan juga. sejarah
menginformasikan bahwa ayat-ayat al Qur’an sebelum dikumpulkan dan ditulis dalam
satu mushaf (mushaf ‘Utsmani) telah ditulis dalam berbagai benda seperti kulit, tulang,
pelepah kurma, dan kepingan batu.

Pada masa sekarang ini pun masih sama, meskipun al Qur’an telah tercetak
dalam sebuah mushaf, perhatian kaum Muslim untuk menjaga otentisitas al Qur’an
tetap luar biasa, seumpama kita menyurvei dari ujung Timur sampai Barat bumi ini,
maka kita pasti akan tercengang, kita akan menemukan jutaan para penghafal al Qur’an.
Jadi sangatlah wajar, jika al Qur’an dari periode awal ketika Nabi masih hidup sampai
masa kita masih sama tanpa ada perubahan sedikit pun. Akhirnya, dengan membaca
buku “Sejarah al Qur’an; Verifikasi tentang Otentisitas al Qur’an” ini, para pembaca
akan menemukan bukti-bukti keotentikan al Qur’an yang disajikan oleh penulisnya
dengan menggunakan “sejarah” sebagai pisau analisinya.

2.7 Posisi Al-Qu’an dalam Studi Keislaman

Tak ada khilaf sedikitpun di kalangan umat Islam, bahwa alQur‘an adalah
landasan pokok bagi syari‘at Islam. Darinya diambil segala pokok-pokok syariat dan
cabang-cabangnya, dari padanya diambil dalil-dalil syar‟i. Dengan demikian, al-
Qur‘an adalah landasan kully bagi syari‘at Islam dan pengumpul segala hukumnya.
Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Tiadalah Kami alpakan sedikitpun dalam al-
Kitab” (QS. Al-An‘am: 38).

Imam Ibnu Hazm berkata, “Segala pintu fiqh, tak ada suatu pintu dari padanya,
melainkan mempunyai pokok dalam al-Qur‘an dan al-Sunnah menyatakannya”.
Karena al-Qur‘an adalah mengandung dasar-dasar pokok (kully), tentunya dalam
penerapannya bersifat ijmaly yang memerlukan perincian (tafshil), dan bersifat kully

22
yang memerlukan penjelasan (tabyin). Dengan demikian, untuk bisa mengambil
hukum dari padanya kita memerlukan pertolongan alSunah.

Selanjutnya, karena al-Qur‘an merupakan sumber utama, maka para ulama


terus-menerus berusaha untuk mempelajarinya dan menggalinya dengan melakukan
ijtihad untuk mengeluarkan hukumhukum dari „ibarat-„ibarat, isyarat-isyarat, dzahir,
dan nash al-Qur‘an. Sebagaimana mereka telah sungguh-sungguh mencari jalan
menakwilkan ayat-ayat mutasyabih, mentafshilkan ayat-yat yang mujmal,
menerangkan yang belum jelas, serta menerangkan mana yang dikatakan „am, nasikh,
mansukh, dan sebagainya.

Karena al-Qur‘an diturunkan dengan memakai bahasa Arab, maka walaupun


dalam susunan bahasa yang tidak dapat ditandingi oleh Bangsa Arab, namun kita
memerlukan adanya pemahaman terhadap segala uslub Arab di dalam mengistinbatkan
hukum dari alQur‘an. Orang yang meyelidiki ayat-ayat al-Qur‘an satu demi satu, tentu
akan mendapati bahwa sebagian hukum yang terkandung di dalamnya, ada yang tidak
lagi memerlukan penjelsasan, seperti ayat yang menjelaskan tentang had tuduhan zina
dan ayat yang menerangkan li‟an dan sebagainya. Namun ada juga yang masih
memerlukan penjelasan-penjelasan, seperti ayat-ayat yang bersifat mujmal, yang
tentunya memerlukan tafshil, yang kurang terang memerlukan tafsir dan takwil, yang
bersifat muthlaq memerlukan taqyid, dan begitulah seterusnya. Adapun penjelas al-
Qur‘an yang pertama adalah al-Sunnah. Dan ini sudah merupakan kesepakatan para
ulama.

Dalam hal ini, al-Qur‘an berarti mempunyai kedudukan tertinggi dalam


berhujjah, dan mutlak bersifat pasti. Dengan demikian, al-Qur‘an dalam kerangka
urutan dalil-dalil hukum atau sumber ajaran Islam adalah menempati kedudukan yang
paling tinggi. Dalam kaitan ini, maka al-Qur‘an mempunyai fungsi sebagai dasar
pokok, yaitu sebagai alat kontrol atau alat ukur mengenai apakah dalil-dalil hukum
yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan ketentuan-ketentuan alQur‘an. Apabila
ternyata ditemukan adanya ketidaksesuaian atau bahkan bertentangan, maka kekuatan
hukum itu tidak sah dan tidak diberlakukan.

23
2.8 Al-Qu’an sebagai Sistem Nilai

Wacana-wacana tekstual yang dipergunakan al-Qur‘an dalam memperkenalkan


ajaran-ajaran Islam memungkinkan dipahami oleh seseorang secara berbeda dengan
lainnya, terutama dalam kaitannya dengan peran kesejarahan kekhalifahan manusia di
muka bumi, sehingga penafsiran yang beragam merupakan sesuatu yang tidak bisa
dihindari. Keberagaman penafsiran ini merupakan perwujudan dari watak dasar yang
dibawa oleh al-Qur‘an, terbuka terhadap beragam penafsiran (interpretable) atau qabil
li al-niqash dalam pemaknaannya.
Watak dasar al-Qur‘an yang menimbulkan keberagaman penafsiran di atas
digambarkan oleh Abdullah Darraz dengan: ―Bagaikan intan yang setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang
lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia
akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.
Dari sekian ragam penafsiran terhadap al-Qur‘an, bagian pembahasan ini akan
mendiskusikan tafsir al-Qur‘an dari sisi metode serta kondisi [sistem] penafsiran
periode pasca Rasul Allah SAW. Metode tafsir yang didiskusikan dalam bagian
pembahasan ini pada hakikatnya adalah metode tafsir yang dilihat dari perspektif
landasan tafsir seperti yang akan dijelaskan berikut.
a) Perbedaan Metode dan Kecenderungan dalam Memaha-mi al-Qur’an
Sebagai sistem nilai, al-Qur‘an tidak selalu memberikan ketentuan-ketentuan
dalam bentuknya yang matang pada tataran praksis. Tidak sedikit bahwa nilai-nilai
yang dikandung al-Qur‘an harus diwujudkan atau diturunkan kepada nilai praksis agar
dapat menjawab persoalan-persoalan manusia dan sekaligus menyelesaikannya.
Untuk kepentingan menurunkan sistem nilai kepada nilai praksis tersebut
dibutuhkan apa yang disebut dengan instrumen, sebuah perangkat yang berupa upaya
atau proses yang dalam istilah keagamaan disebut dengan ijtihad.
Upaya untuk menurunkan sistem nilai kepada nilai praksis tersebut tidak lain
adalah upaya untuk menerjemahkan kemauan atau maksud-maksud Tuhan dalam teks-
teks suci-Nya. Maka, lahirlah produk-produk pemikiran baik berupa konsep, teori dan

24
semacamnya yang kebenaran dari kesemuanya bersifat relatif. Relativitas tersebut
adalah sebuah kemestian karena merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil
dari proses penerjemahan kebenaran-kebenaran absolut Tuhan (divine truth). Oleh
karena itu, produk-produk pemikiran tersebut tidak bisa terlepas dari realitas
keberagamannya. Hal itu tak lain sebagai akibat dari perbedaan kemampuan (tingkat
kecerdasan), ilmu yang ditekuni, pengalaman serta latar belakang penafsirnya, baik
dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Maka, lahirlah berbagai model penafsiran terhadap wacana-wacana tekstual al-
Qur‘an. Dalam studi ilmu al-Qur‘an, dikenal adanya klasifikasi berbagai macam
penafsiran yang, menurut hemat penulis, tidak jarang menimbulkan kekaburan
pemahaman atau kekurangcermatan dasar-dasar yang dijadikan pijakan klasifikasi
antara metode dan pendekatan. Oleh karena itu, di dalam memahami ragam penafsiran
yang selama ini muncul terhadap al-Qur‘an perlu dipahami perbedaan antara kedua hal
tersebut.
Pertama, Metode, yakni cara untuk menurunkan sistem nilai alQur‘an kepada
nilai-nilai praksis; atau dengan kata lain, cara untuk menginterpretasikan wacana-
wacana tekstual (ayat) yang diintrodusir oleh al-Qur‘an.
Kedua,Pendekatan, yakni perangkat, kecenderungan atau perspektif yang
digunakan seseorang sebagai dasar pijakan untuk menafsirkan wacana-wacana tekstual
(ayat) al-Qur‘an.
b) Menyorot Pengertian Tafsir bi al-Ma’thur dan bi al-Ra’yi
Dalam realitas sosial, ada kecenderungan-kecenderungan yang tidak bisa
dihindari: kebanggaan terhadap kelompok yang sering kemudian menimbulkan klaim-
klaim kebenaran terhadap kelompok yang bersangkutan. Al-Qur‘an menyebut
kecenderungan ini dengan Kullu hizb bima ladayhim farihun.
Kecenderungan akan kebanggaan terhadap kelompok ini pada tataran tertentu
senantiasa mengambil strategi ‘hancur-ubah‘ (break and change) dan mengupayakan
adanya ‘keterputusan sejarah‘ (historical discontinuity) melalui penciptaan istilah-
istilah atau konsep-konsep yang diberikan pemaknaan secara ketat untuk kepentingan
kelompoknya serta mengeluarkan (excluding) kelompok-kelompok lain yang tidak

25
sejalan atau bahkan bertentangan dengan kelompoknya. Contoh konkret yang bisa
disitir di sini adalah penamaan Orde Baru oleh rezim Soeharto terhadap
pemerintahannya dan Orde Lama terhadap pemerintahan Soekarno walaupun rezim
Soekarno sendiri tidak pernah menamakan dirinya dengan Orde Lama. Hal itu
dilakukan oleh rezim Soeharto untuk menciptakan keterputusan sejarah terhadap rezim
Soekarno serta menjadikannya sebagai ‘musuh utama‘ (common enemy) untuk
menarik simpati massa terhadap konsep-konsep yang dikembangkan oleh rezimnya.
Maka, dibuatlah oleh rezim Soeharto istilah-istilah, konsep-konsep dan klaim-klaim
kebenaran untuk menciptakan kesan pada pikiran massa bahwa rezimnyalah yang
paling berhak dan benar dalam memaknai dan menjalankan amanat UUD 1945, bahkan
tidak jarang untuk kepentingan itu substansi UUD 1945 direduksi dan dipelintir
sedemikian rupa.
Menurut hemat penulis, pemikiran semacam di atas dapat juga digunakan untuk
melihat wacana seputar klasifikasi tafsir bi al-ma’thur dan bi al-ra’yi. Dari beberapa
pemahaman oleh para ahli, terutama yang terdahulu, terkesan bahwa ada
kecenderungan penciptaan ‘keterputusan sejarah‘ dari kelompok tafsir bi al-ma’thur
terhadap kelompok tafsir bi al-ra’y, bahwa mereka yang berusaha memaksimalkan
fungsionalisasi argumentasi-rasional (ijtihad) melalui perangkat-perangkat kontekstual
terhadap wacana-wacana tekstual (nashsh-nashsh) al-Qur‘an disebut sebagai kelompok
anti nashsh (bi alra’y) walaupun kelompok ini tidak pernah menamai atau
mengidentifikasi diri sebagaimana yang dilontarkan oleh kelompok bi al-ma’thur.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada para `ulama‘ terdahulu tidak
sedikit bahwa labelisasi atau pemberian capcap tertentu tersebut digunakan untuk
mendiskreditkan kelompokkelompok yang mencoba memberi ‘warna‘ lain terhadap
ragam penafsirannya. Hal itu tampak dari pemaknaan literal mereka terhadap dalil yang
mereka pergunakan untuk mengidentifikasi dan menamai kelompok lain tersebut:
• Ittaqu al-Hadith ‘anni illa ma’alimtum, fa man kadhiba ‘alaiya
muta’ammidan falyatabawaa’maq’adahu min al-nar
• Man qala fi al-Qur’an bi ra’yihi fa ashaba fa akhtha’a

26
Dalam kerangka berpikir semacam di atas, maka perlu diadakan peninjauan
ulang terhadap pemaknaan dari tafsir bi al-ma’thur dan bi al-ra’y agar tidak terjadi
klaim-klaim kebenaran (truth claim) yang disertai upaya menafikan kebenaran dari
pihak lain.
1) Tafsir bi al-Ma’thur
Menurut hemat penulis, tafsir bi al-ma’thur adalah suatu jenis penafsiran al-
Qur‘an yang dilakukan dengan cara penyandaran secara ketat-tekstual-
menyeluruh kepada wacana-wacana keislaman tekstual (nashsh-nashsh),
baik kepada al-Qur‘an itu sendiri, hadith, athar sahabat, maupun pendapat
tabi‘in.
2) Tafsir bi al-Ra’yi
Menurut hemat penulis, tafsir bi al-ra’y adalah suatu jenis penafsiran yang
dilakukan dengan mengembangkan wacana-wacana tekstual (nash-nash) al-
Qur‘an melalui perangkat-perangkat kontekstual dengan memaksimalkan
fungsionalisasi argumentasi-rasional (ijtihad) daripada penyandaran secara
ketat-tekstual-menyeluruh terhadap nashnash atau wacana-wacana tekstual.
Tafsir bi al-ra’y tidak berarti meninggalkan wacana-wacana tekstual, baik
al-Qur‘an, Hadith, athar sahabat maupun produk-produk ijtihad generasi
pendahulu, tetapi mendekati wacana-wacana tekstual itu dengan
penghampiran argumentatif-rasional (ijtihad). Hal itu bisa dipahami dari
definisi yang disampaikan oleh al-Dhahabi: “Tafsir bi al-ra’y adalah suatu
upaya untuk menafsirkan dengan cara ijtihad setelah memahami ujaran-
ujaran orang Arab, lafal-lafal Arab beserta maksudnya, sya‘ir-sya‘ir
jahiliyah, asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh dari ayat-ayat al-Qur‘an dan
selainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur‘an… .
Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan suatu pernyataan, seperti oleh Manna‘ al-
Qaththan, bahwa tafsir bi al-ra’y adalah tafsir dengan akal (akal-akalan), suatu tafsir
yang pemahamannya tidak sesuai dengan ruh syari‘at dan tidak bersandarkan pada nash.
Hal demikian karena pernyataan itu berindikasi politis, untuk mendiskreditkan

27
kelompok yang mencoba untuk memaksimalkan peran akal dengan melalui berbagai
pendekatan terhadap wacanawacana tekstual (nashsh).
c) Kondisi [sistem] Penafsiran Pasca Rasul Allah
Wafatnya Rasul Allah menjadi kontribusi besar terhadap pola yang
dikembangkan oleh para sahabat dalam memahami arti dan kandungan al-Qur‘an,
terutama menyangkut ayat yang tidak diterangkan oleh Rasulullah saw. Pada intinya,
dalam kasus-kasus seperti itu mereka, khususnya yang memiliki kemampuan seperti
`Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‗Abbas, Ubay bin Ka‘ab, dan Ibnu Mas‘ud, terpaksa
melakukan ijtihad.
Satu hal yang tipikal dari penafsiran sahabat terhadap alQur‘an adalah bahwa
mereka banyak merujuk kepada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya
ayat dan peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Penafsiran sahabat
tidak bermuara pada kajian dari segi nah}wu, i’rab, dan macam-macam balaghah
seperti ma’ani, badi’, bayan, majaz dan kinayah. Kajian dari segi lafal, susunan kalimat,
hubungan satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya baru muncul pada kalangan
mufassir terkemudian (muta,akhkhirin). Hal yang demikian karena para sahabat
mempunyai al-dhawq al-lughawi (rasa kebahasaan) yang tinggi sehingga mereka bisa
menangkap pesanpesan yang tersampaikan melalui aspek linguistik al-Qur‘an.
Al-Hakim menyatakan bahwa penafsiran sahabat itu berbasis atas persaksian
secara langsung terhadap wahyu. Dalam beberapa masalah yang berkaitan dengan
sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang disitir oleh al-Qur‘an, para sahabat
mengkonfirmasikan hal-hal tersebut kepada tokoh-tokoh Ahl al-Kitab yang telah
memeluk agama Islam, misalnya ‘Abdullah bin Salam dan Ka‘ab al-ahbar. Kenyataan
seperti inilah yang menjadi cikal bakal dan asal dari munculnya israiliyat.
Sebagai tambahan, perlu dicatat di sini bahwa pada masa pasca sahabat dan
tabi‘in muncul permasalahan-permasalahan yang belum pernah terjadi dan berbeda
sama sekali dengan sebelumnya, sementara pada saat yang sama hadith-hadith telah
beredar sedemikian luas di masyarakat. Maka, muncullah hadith-hadith palsu dan
lemah (dha’if) di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah wacana tafsir untuk

28
perkembangan selanjutnya tidak jarang harus berhadapan dengan berkembang dan
masuknya riwayat-riwayat dha’if ke dalamnya.
Dari uraian di atas tampak bahwa wacana-wacana tekstual keislaman, terutama
yang berkaitan dengan nilai-nilai kesejarahan kemanusiaan, terbuka terhadap upaya
kaji-ulang karena persoalan kesejarahan kemanusiaan sangat erat kaitannya dengan
persoalan kontekstual: ruang dan waktu. Hasil dari upaya kaji-ulang tersebut relatif
sifatnya dan bisa berbeda dari kesimpulan yang diambil oleh para ulama‘ terdahulu
walaupun wacana tekstualnya tidak berbeda.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pengertian al-Quran adalah: firman Allah Swt yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw, yang tertulis dalam bahasa Arab, dan membacanya bernilai ibadah.
Sedangkan keterangan bahwa ia diriwayatkan secara mutawatir, ditulis dalam mushaf,
diawali surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, berfungsi sebagai mu’jizat, dapat
dianggap sebagai penjelasan tambahan yang melengkapi definisi al-Quran. Kitab suci
al-Quran telah menjelaskan tentang dirinya –antara lain— melalui sejumlah nama atau
sebutan yang diberikan Allah Swt untuknya. Al-Quran memiliki banyak nama.
Banyaknya nama ini menunjukkan kedudukannya yang tinggi dan kemuliaannya.
Fungsi pertama al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Quran juga
berfungsi sebagai penyempurna kitab-kitab suci sebelumnya. Kedua, al-Quran
meluruskan hal-hal yang telah diselewengkan dari ajaran kitab-kitab terdahulu. Ketiga,
al-Quran berfungsi sebagai alternatif pengganti kitab-kitab suci terdahulu. Dari al-
Quranlah diperoleh ajaran tentang keimanan (aqidah), ibadah, akhlak, dan prinsip-
prinsip hukum serta syariat. Al-Qur‘an telah menjelaskan segala-galanya, tak ada
sesuatupun yang alpa darinya. Ayat al-Qur‘an yang memuat ketentuan tentang iman,
ibadah dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya ada 500 buah ayat atau 8 persen
dari keseluruhan ayat al-Qur‘an. Dari sejumlah itu, ayat-ayat mengenai ibadah ada 140,
dan tentang hidup kemasyarakatan ada 228 ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang
keimanan. Al Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah
satunya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah. Tak
ada khilaf sedikitpun di kalangan umat Islam, bahwa alQur‘an adalah landasan pokok
bagi syari‘at Islam. Darinya diambil segala pokok-pokok syariat dan cabang-
cabangnya, dari padanya diambil dalil-dalil syar‟i. Wacana-wacana tekstual yang
dipergunakan al-Qur‘an dalam memperkenalkan ajaran-ajaran Islam memungkinkan
dipahami oleh seseorang secara berbeda dengan lainnya, terutama dalam kaitannya
dengan peran kesejarahan kekhalifahan manusia di muka bumi, sehingga penafsiran

30
yang beragam merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Keberagaman penafsiran
ini merupakan perwujudan dari watak dasar yang dibawa oleh al-Qur‘an, terbuka
terhadap beragam penafsiran (interpretable) atau qabil li al-niqash dalam
pemaknaannya.
3.2 Saran

Dari pembahasan topik yang yang sudah kami sampaikan, kami selaku penulis
berharap agar informasi yang kami sampaikan bisa memberikan wawasan baru bagi
para pembaca mengenai Al-Qur’an sebagai Sumber Utama Ajaran Islam. Kami juga
berharap, agar pembaca mampu memberikan banyak masukan dan kritik yang
membangun agar kami dapat terus meningkatkan kualitas tulisan kami menjadi lebih
baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

Amri. (t.thn.). AUTENTISITAS DAN GRADUALITAS AL-QUR’AN. 169.

Daulay, M. R. (2014). Studi Pendekatan Al-Quran. Jurnal Thariqah, 1(1), 31-45.


[Daring]. Diakses dari http://jurnal.iain-
padangsidimpuan.ac.id/index.php/TI/article/download/254/235#:~:text=Alqur
an%20merupakan%20kitab%20yang%20berisikan,petunjuk%20kepada%20se
luruh%20umat%20manusia. Ula, M., Risawandi, Rosdian. (2019). Sistem
Pengenalan dan Penerjemahan Al-Qur’an Surah Al-Waqi’ah Melalui Suara
Menggunakan Transformasi Sumudu. SUMUDU TECHSI, 11(1), 104-113.
DOI : https://doi.org/10.29103/techsi.v11i1.1294

Majid, A. (2016). Pendidikan Agama Islam (A. Majid (ed.)

Mustofa. (t.thn.). Adab Membaca Al-Qur'an. 8-11.

Syukran, A. S. (2019). Fungsi Al-Quran Bagi Manusia. Al-I’jaz : Jurnal Studi Al-
Qur’an Falsafah dan Keislaman, 1(1), 9-23. [Daring]. Diakses dari
https://alishlah.ac.id/jurnal/index.php/AlIJaz/article/view/10/9

32

Anda mungkin juga menyukai