Anda di halaman 1dari 14

AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH DALAM REALITAS TERAPAN

DISUSUN

HUSNI MUBAROK TANJUNG (2140400006)

DOSEN PENGAMPUH

MAIMUNAH , M.Pdi

PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY

PADANGSIDIMPUAN

TA 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...........................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................1
C. TUJUAN.................................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
A. PENGERTIAN AL-QUR’AN..............................................................................................2
B. FUNGSI AL-QUR’AN..........................................................................................................3
C. PENGERTIAN AS-SUNNAH..............................................................................................4
D. FUNGSI AS-SUNNAH.........................................................................................................5
E. UNIVERLITAS DAN SINGULARITAS ISLAM..............................................................6
BAB III...........................................................................................................................................9
KESIMPULAN..............................................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur'an dan As-sunnah merupakan sumber ajaran Islam, memberi doktrin bahwa Islam
adalah ajaran universal. Namun doktrin tersebut mendapat tantangan zaman. Karena zaman
selalu memberi permasalahan baru yang tidak terdapat pada nash ajaran agama karena
keterbatasan nash tersebut. Disinilah universalitas Islam untuk mewujudkannya dalam realitas
dipertaruhkan, apakah Islam mapu menjawab tantangan tersebut atau tidak

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan fungsi al-Qur'an
2. Apa pengertian dan fungsi as-Sunnah
3. Unirvaslitas dan singularitas Islam.

C. TUJUAN
Untuk mengetahui Al-qur’an dan as-sunnah dalam realitas terapan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AL-QUR’AN

Secara etimologi, al-Qur'an didefinisikan berbeda oleh beberapa ahli, diantaranya ada 3
pendapat:

1) Al-Syafi'I (150-204 H). Ia mengatakan bahwa kata al-Qur'an dituliskan dan dibaca tanpa
hamzah (Al-Qur'an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama khusus yang dipakai untuk
kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab injil dan taurat dipakai
khusus untuk kitab Tuhan yang diberikan kepada Isa dan Musa.

2) As-Asy'ari berpendapat bahwa lafal al-Qur'an tidak memakai hamzah dan diambil dari
kata "qarana" yang berarti mengganbungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat beserta ayat
didalamnya digabungkan dalam satu mushaf. Lebih dari itu al-Qur'an merupakan kitab suci yang
menghimpun inti dari ajaran-ajaran kitab sebelumnya.

3) Al-Lihqani, mengatakan bahwa al-Qur'an itu berhamzah, bentuk masdarnya diambil dari
kata "qara'a" yang berarti membaca. Namun lafal al-Qur'an bentuk masdarnya dimaknai isim
maf'ul, sehingga al-Qur'an artinya "magru" (yang dibaca).

Sedangkan pengertian al-Qur'an secara terminology, secara umum adalah firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, yang tertulis dalam
mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya bernilai ibadah.

Muhammad Abdah mengartikan bahwa al-Qur'an merupakan kalam mulia yang diturunkan
oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad SAW). Ajarannya mencakup
keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak
dimengerti kecuali bagi orang-orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.
Kedua pengertian dari al-Qur'an di atas saling melengkapi. Pengertian yang pertama
cenderung mendefinisikan al-Qur'an dari fisiknya yaitu terhimpun dalam mushaf, dan demi

2
proses turunnya yaitu melalui yaitu melalui malaikat Jibril dan periwayatannya secara mutawatir,
serta konsekuensinya jika membacanya yaitu mendapatkan pahala. Sedangkan pengertian yang
kedua (menurut Muhammad Abduh) cenderung menjelaskan isi dari al-Qur'an yaitu al-Qur'an
bukan hanya bersifat "untestable trith" yakni kalam Allah yang memang harus diyakini secara
mutlak, tetapi juga berisi ilmu pengetahuan yang membuat al-Qur'an bersifat universal.
Dari pengertian di atas kita juga mengatahui kesalahan pendapat yang selama ini
dilontarkan oleh orang barat serta kaum sekuler yang menganggap Islam hanyalah agama untuk
akhirat. Padahal dari fakta yang ada Islam juga mengatur kehidupan dunia dan segala ilmu yang
menyangkutnya.

B. FUNGSI AL-QUR’AN

Adapun al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada
umat manusia, tentu saja suatu fungsi baik bagi pribadi Nabi Muhammad SAW sendiri maupun
bagi seluruh kehidupan manusia, karena memang itulah tugas sebagai Rasul Allah. Diantara
fungsi al-Qur'an menurut Quraish shihab adalah:
(1) Sebagai bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya. Sudah menjadi tradisi
Allah setiap kali mengirim utusannya bagi umat manusia selalu disertai mukjizat yang sesuai
dengan kondisi dan situasi masyarakatnya, agar menjadi sebuah tameng yang melemahkan para
penentangnya.
(2) Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul
dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
(3) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerapkan norma-norma
keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual
dan kolektif.
(4) Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerapkan dasar-dasar hukum yang harus
diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan (ibadah) dan sesama manusia
(muamalah) atau dengan kata lain, al-Qur'an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang
harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

3
Syekh Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam dari Mesir menandakan fungsi al-
Qur'an yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal menusia mampu membedakan yang baik dan
buruk serta mengetahui benar dan salah, tetapi ia (akal) tidak mampu mengetahui hal-hal ghaib.
Disinilah letak fungsi al-Qur'an. Dalam kajian ilmu tauhid, hal-hal ghaib tersebut termasuk
dalam aqidah Islam, sehingga disini al-Qur'an diposisikan dalam doktrin konstan-non
adaptable yang harus diyakini apa adanya.
Lebih dari itu, al-Qur'an juga berfungsi sebagai hakim yang memberikan keputusan akhir
mengenai perselisihan di kalangan umat beragama. Oleh karena itu al-Qur'an merupakan penguat
bagi kebenaran kitab-kitab suci terdahulu yang dianggap positif dan memodifikasi ajaran-ajaran
usang.

C. PENGERTIAN AS-SUNNAH

As-Sunnah menurut pengertian bahasa (etimologi) berarti tradisi yang bisa dilakukan atau
jalan yang dilalui baik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah juga berarti lawan dari
bid'ah (mengerjakan amalan agama tanpa didasari oleh tradisi atau tata cara agama) juga berarti
jalan hidup (sirah). Sedangkan al-Hadits berarti al-Jadid (yang baru) atau berarti al-Garib (yang
dekat dan al-Khabar (berita).

As-Sunnah secara terminologi ada ulama yang membedakan keduanya ada pula yang
menyamakan. Ulama yang membedakan pengertian keduanya adalah Ibnu Taimiyyah,
menurutnya bahwa al-Hadist adalah ucapan, perbuatan maupun tagrir Nabi Muhammad sebatas
beliau diangkat menjadi Nabi/Rasul, sedangkan sunnah lebih dari itu, yakni sebelum beliau
diangkat menjadi Nabi/Rasul. Sedangkan jumhur ulama menyamakan arti as-Sunnah dan al-
Hadits. Hanya saja ulama hadist banyak memakai istilaj al-Hadits, sedangkan ulama ushul
memakai istilah as-Sunnah.
Dalam pembahasan ini pemakalah cenderung untuk menggunakan kedua istilah as-Sunnah
dan al-Hadist dalam penggunaannya, sebagaimana pendapat yang dikemukakan jumhur ulama,
karena selain pendapat ini benyak digunakan oleh para ulama akhir-akhir ini, juga agar
pembahasan tidak berbelit-belit dan terjebak pada perbedaan yang membingungkan. Para ulama

4
berbeda pendapat dalam memberikan suatu pengertian as-Sunnah penyebab utamanya adalah
mereka memandangnya dan membicarakannya sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
Menurut ulama Hadist, as-Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepaada Nabi
SAW berikut berupa perkataan, tagrirnya ataupun selain dari itu (sifat-sifat,
keadaan, himmah (cita-cita)). Mereka memberi definisi seperti ini karena ulama Hadist
memandang Nabi SAW sebagai manusia yang sempurna, yang dapat dijadikan suri tauladan bagi
umat Islam (Qs. Al-Ahzab: 21). Sedangkan ulama ushul fiqih mengartikan as-Sunnah dan al-
Hadist sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW selain al-Qur'an baik berupa
perkataan, perbuatan maupun tagrirnya, yang ada sangkut pautnya dengan hukum. Ulama ushul
fiqih mendefinisikan seperti itu karena memandang Nabi SAW sebagai musyarri' (pembuat
undang-undang) disamping Allah.

D. FUNGSI AS-SUNNAH

Umat Islam telah mengakui bahwa as-Sunnah merupakan pedoman hidup utama setelah al-
Qur'an. Apa-pa yang belum dirinci dalam al-Qur'an yang sifatnya memang hanya berupa grand
konsep, dijelaskan gambling oleh Sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun fungsi as-Sunnah
diantaranya ada 4, yaitu:
1) Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur'an. Maka
dalam hal ini kedua-duanya sama-sama menjadi sumber hukum.
2) Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang masih global,
memberikan batasan terhadap hal-hal yng msih belum terbatas di dalam al-Qur'an, memberikan
kekhususan ayat-ayat al-Qur'an yang bersiat umum, dan memberikan peenjelasan terhdap hal-
hal yang masih rumit dalam al-Qur'an.
3) Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam al-Qur'an. Hal ini
berarti bahwa ketetapan hadist itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang
tidak disinggung oleh al-Qur'an.
4) Ketetapan hadist itu bisa mengubah hukum bahkan menghapus hukum al-Qur'an.

5
Dalam hal kaitannya dengan fungsi hadist yang keempat, ada perbedaan pendapat, jumhur
ulama menyatakan bahwa hadist bisa menasakh (menghapus) hukum dalam al-Qur'an dengan
alasan al-Qur'an dan hadist adalah sama-sama wahyu (QS. An-Wajm: 3-4). Sedangkan Imam
Syafi'I menyatakan bahwa al-Hadist tidak bisa menasakh al-Qur'an, karena hadist merupakan
sumber cabang (furu'), sehingga tidak bisa menghapus al-Qur'an.

E. UNIVERLITAS DAN SINGULARITAS ISLAM

Salah satu pembuktian bahwa ajaran Islam bersifat universal adalah dengan melihat sejarah
kehidupan Rasulullah SAW dan sabdanya yang selalu dihadapkan pada kemajemukan realitas
dan linguistik. Dengan demikian karena kerasulan dengan alam kemanusiaan, Islam senantiasa
ada bersama manusia tanpa dibatasi ruang waktu. Sehingga menimbulkan suatu konsekuensi
bahwa Islam sebagai agama yang abadi hingga akhir zaman dan bersifat universal, mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia, dimana dan kapan saja ia berada. Hal ini sesuai dengan misi
Nabi Muhammad yaitu ajarannya ditujukan kepada seluruh umat manusia sepanjang zaman, oleh
karena itu ajarannya bersifat universal, dan dimanis, walaupun munculnya kurang lebih sudah
empat belas abad yang lalu.
Bukti lain keuniversalan Islam dapat dilihat dari pandangan ajarannya sendiri yakni ajaran
Islam terdiri dari dua dimensi. Dimensi eksoterisme-aqidah dan eksoterisme-syariah, yang pada
tataran praktisnya memiliki titik keseimbangan antara keduanya. Eksoterisme-aqidah adalah
segala sesuatu yang beraksentuasi pada hal-hal yang besifat kepercayaan (abstrak). Dalam kajian
ilmu tauhid, seperti yang sedikit disinggung sebelumnya, aqidah Islam diformulasikan lebih jauh
sebagai rukun iman.  Sifat dari dimensi ini adalah konstan non-adaptable atau transcendental
metafisis. Menurut Muslim A. Kadir dimensi Islam yang transcendental metafisis ini berada di
luar atau belum meruang waktu. Artinya, materi yang terkandung di dalamnya bukan substansi.
Kebenaran yang masih perlu dicari, diujikan, dibuktikan melainkan cukup diterima atas dasar
iman yang merupakan kelengkapan lain kemanusiaan di atas rasio itu sendiri, sehingga sifat
kebenaran ini adalah tidak perlu di uji (untestabel truth).
Menurut Yusuf Qardhawi, seorang pemikir Islam kontemporer dari Mesir, menunjukkan
angka perbadingan 10% dari keseluruhan nash ajaran agama (al-Qur'an dan Sunnah)

6
berdimensi ta'abudi yang harus dijalankan apa adanya tanpa mengenal perubahan. 10% ini juga
menyangkut dimensi eksoterisme-aqidah. Sementara yang 10% bersifat ta'atquli, yang artinya
dapat diintervensi oleh nalar. Cara penerimaannya adalah dengan pembuktian empiris sehingga
memungkinkan muncul dan berkembang deferensiasi dan pendapat.
Lebih besarnya segmen kedua menyiratkan suatu hal, yaitu betapa Islam dengan misi
universalnya sangat akomodatif terhadap tuntutan zaman, sehingga ia tidak mudah basi dan
cenderung kuno dalam menghadapai derasnya arus globalisasi pada era pos industri yang
semakin berkembangnya ilmu pengetahuan seperti yang kita saksikan saat ini.
Menyambung pernyataan Ali A. Yusuf yang menyatakan Islam adalah agama abadi hingga
akhir zaman, menurut Muslim A. kadir hal ini mengindikasikan umat manusia di kemudian hari,
terkait dengan wahyu yang diterima Rasul Allah. Universalitas ini tdak hanya dalam pengertian
lingkup keberagamaan yang menjadi bidang kegiatan semata. Melainkan juga lingkup orang
beriman yang menjangkau semua umat manusia sampai hari akhir. Tabiat ini sudah mulai
tampak dalam panggilan yang tertuang dalam firman Allah SWT. Panggilan ini menggunakan
kata universal, misalnya: "wahai manusia …….." yang tercantum dalam banyak ayat, seperti
surat Al-Baqarah: 21. Seruan ini bukan hanya ditujukan kepada kabilah arab saja, melainkan
seluruh umat manusia.
Perilaku Rasul Allah, sebagai penerima wahyu, merupakan petunjuk konkret sifat universal
ajaran islam. Menurut laporan sejarah, dalam konteks perjanjian Hudaibiyah, beliau bersabda
bahwa diutusnya adalah menjadi rahman secara utuh bagi umat manusia. Sehingga Rasul Allah
mengutus sahabat untuk menemui raja di sekitar Arab dan menyampaikan seruan agar menerima
ajaran Islam.
Sebagai tabiat suatu ajaran keagamaan, universalitas ini terpenuhi jika umat manusa di
kemudian hari, yang tidak langsung mendapat bimbingan Rasulullah SAW dan berada dalam
konteks sosiokultur yang berbeda dengan konteks sosio-kultur beliau, memiliki peluang yang
sama dengan generasi sahabat. Untuk itu diperlukan kegiatan intelektual untuk menangkap
bimbingan tersebut.
Dan puncak dari itu semua adalah singularitas, yaitu ajaran Islam bukan hanya sebagai ide,
namun sudah meruang waktu dalam wujud tampilan konkret, lengkap dengan sifat, keadaan,
tempat dan waktu tertentu, dapat diindra, dalam kehidupan konkret pemeluk dan dapat ditunjuk
sebagai satuan keberagamaan. Evolusi dari universalitas ke singularitas berbanding lurus dengan

7
perubahan dari ajaran agama menjadi respon terhadap ajaran tersebut atau lazim disebut
kebergamaan. Agama hanya menunjuk ke dimensi ide saja, yang baru dapat menjadi kenyataan
yang meruang waktu jika sudah dalam wujud keberagamaan. Sebagai contoh, sunnah yang
merupakan sumber ajaran Islam adalah juga merupakan wujud keberagamaan yang secara
langsung dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW yakni merespon wahyu Allah yang sifatnya
mutlak-absolut (al Qur'an), sebagaimana yang disebutkan dalam fungsi hadist di atas. Walaupun
dalam sunnah juga didapati unsur wahyu.
Menjadi generasi setelah meninggalnya Rasulullah, dimanapun dan kapanpun berarti
menjadi singularitas pemeluk yang berbeda dengan generasi sahabat. Singularitas ini mejadi
khusus, mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu, tempat, kondisi sosiokultural, pola
pemikiran, adat istiadat, warna kulit, dan faktor lain yang menyebabkan komunitasnya menjadi
berbeda. Mengakui singularitas sebagai pelaksanaan Islam berarti menyangkutnya menjadi
sebuah faktualisasi sesuai dengan ciri masing-masing. Ini adalah prosedur faktualisasi yang
menimbulkan konsekuensi munculnya komunitas orang yang beriman setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Universalitas ajaran Islam memang menjadi esensi masyarakat kaum
muslimin di kemudian hari. Namun yang menjadi teladan bukanlah singularitas generasi sahabat
yang menjadi konteks perilaku Rasul Allah itu, melainkan produk oleh keberagamaan yang
dibangun Rasul Allah.
Untuk mencapai tujuan risalah, kegiatan intelektual serta upaya lainnya telah dilakukan
sejak masa Rasulullah sampai masa modern ini. Perhatian yang utama tentu ditujukan pada studi
tentang al-Qur'an dan sunnah. Hal ini dikarenakan orang yang beriman dalam ruang dan waktu
yang berbeda dengan Rasulullah, berupaya untuk melaksanakan ajaran Islam. Mereka perlu
menangkap universalitas ajaran tersebut untuk diaktualisasikan dalam wujud kehidupan sosial
mereka sendiri. Sebab menurut Abu Yazid, kebenaran wahyu dalam Islam adalah mutlak-
absolut, sedang kebenaran pemahaman dan berkomunikasi dan teks wahyu tersebut adalah
relatif. Jika perolehan universalitas, proses faktualisasi ajaran yang diselenggarakan, serta
produknya dalam wujud singularitas keberagamaan sahabat, dijamin kebenarannya tidak
demikian halnya dengan setelah beliau wafat. Inilah awal kesulitan yang mereka hadapi.
Genarasi orang beriman ini tidak menerima bimbingan langsung dari Rasulullah. Sehingga
mereka perlu meganalisis situasi dan kondisi secara empiris di lapangan dengan merujuk pada

8
sumber dalil agama. Dengan demikian, nilai-nilai universal yang tersirat dalam sumber ajaran
dapat ditafsirkan secara ilmiah-empirik.

9
BAB III
KESIMPULAN

Al-Qur'an merupakan wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang digunakan sebagai petunjuk bagi manusia, sedang sunnah merupakan perbuatan, perkataan,
dan tagrir Nabi Muhammad SAW, yang juga merupakan keberagmaan yang secara langsung
dipraktekkan oleh beliau. Ajaran universal dari Islam akan terwujud jika sudah mengalami
singularitas sehingga mampu meruang waktu.

10
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Kencana, Jakarta, 2005.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Mizan, Badung, 1992.
Abu Yazid, Islam Akomodatf, L kis, Yogyakarta, 2004.
Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, Pustaka Setua, Bandung, 2002.
Muslim A. kadir, Ilmu Islam Terapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.

iii

Anda mungkin juga menyukai