Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MATA KULIAH FIQIH

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Oleh :
MUHAMMAD REZKY AWALLE
NPM : 18630382

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
BANJARMASIN
2023

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama puji dan syukur penulis panjatkan kehadiratan Allah SWT


yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuni-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber-Sumber Hukum Islam” ini dengan
baik dan dengan tepat waktu. Pada kesempatan kali ini tidak lupa pula penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pengampu dan kepada
pihak-pihak yang telah membantu memudahkan penulis dalam penyusunan
makalah ini.
Sebagai manusia yang jauh dari kata sempurna, penulis memohon maaf
yang sebesar-besarnya jika pada makalah ini terdapat kekurangan ataupun
kesalahan baik pada teknik penulisan ataupun pada materi yang dipaparkan. Oleh
karena itu, penulis juga sangat terbuka jika pada makalah ini terdapat kritik serta
saran demi penyempurnaan makalah ini. Besar harapan penulis agar makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Akhir kata penulis ucapkan sekian
dan terima kasih.

Tapin, 29 April 2023

Muhammad Rezky Awalle

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
BAB II ................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 5
Al-Quran ........................................................................................................................ 5
Hadist ............................................................................................................................. 7
Ijtihad ............................................................................................................................. 9
BAB III............................................................................................................................. 13
KESIMPULAN ............................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 14

3
BAB I

PENDAHULUAN
Pada setiap ajaran yang ada di muka bumi ini, dan menamakan diri sebagai
term agama memiliki ketentuan atau hukum yang mengikat para penganutnya.
Agama Islam sebagai agama samawi yang terjaga kemurnian dan kesucian kitab
sucinya, jauh dari kerusakan perubahan oleh tangan jahil manusia. Sebagai sumber
hukum utama patutlah dipahami dan dikaji secara mendalam oleh manusia yang
beriman agar mampu menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di bumi.
Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan pada Muhammad SAW sebagai bukti
kerasulan, dan keutamaan beliau adalah memberikan penjelasan berupa hadits-
hadits yang menjelaskan ayat. Jadilah al-Qur’an dan hadits dua pegangan utama
umat Islam untuk menjalani hidup, agar mendapatkan berkah dan kebahagiaan di
dunia maupun akhirat.
Akar dan buah pikir manusia tidak bisa merubah isi kebenaran al-Qur’an
dan hadits, sebaliknya kedua sumber hukum tersebut menjadi sumber kebenaran
untuk pertimbangan daya pikir manusia. Kebenaran mutlak al-Qur’an juga menjadi
pertimbangan bagi semua dasar hukum yang lain di bawahnya mulai dari hadits,
ijma’, dan qiyas. Hadits atau bisa juga disebut sunnah merupakan sumber ajaran
kedua sesudah al-Qur’an, karena sunnah adalah ajaran yang disampaikan melalui
perkataan Rasul, dan perbuatan beliau sebagai contoh teladan bagi menusia. Nabi
Muhammad SAW. yang dipercaya oleh Allah dan diangkat menjadi Rasul tentunya
diyakini terbebas dari hawa nafsu yang salah, karena sesungguhnya apa yang
dikatakan dan dilakukan beliau selalu dalam bimbingan Allah.
Pada kenyataannya, dalam Islam yang menjadi sumber hukum selain al-
Qur’an dan hadits terdapat Ijma’ dan juga Qiyas sebagai sumber sekunder,
berfungsi untuk menyempurnakan pemahaman tentang maqasid al-syari‟ah
(Raisuni, 1995). Hal ini, dikarenakan al-Qur’an sudah sempurna dan sudah
diperjelas oleh hadits, pemahaman manusialah yang tak sempurna, sehingga perlu
penjelas untuk menjabarkan sesuatu yang belum bisa dipahami secara mendalam.

4
BAB II

PEMBAHASAN
Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran
Secara bahasa, al-Qur’an merupakan bahasa Arab artinya"bacaan" atau
"sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Term al-Qur’an adalah bentuk kata
benda dari kata kerja qara'a yang memiliki arti membaca. Hal ini sejalan dengan
pendapat Subhi Al-Salih bahwa al-Qur’an itu artinya “bacaan”, asal kata
“qara‟a”. Kata al-Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf‟ul yaitu
maqru‟ (dibaca)(Soenarjo,dkk., 1971).
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat al-
Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah AlQiyamah yang menjelaskan
bahwa Allah telah mengumpulkan alQur’an di dada Muhammad dan
menjadikan Nabi pandai membacanya.
Secara terminologi, al-Qur’an diartikan sebagai kalam Allah diturunkan
pada Muhammad SAW, dari surat al-Fatihah dan berakhir dengan an-Nas.
Sejalan dengan hal ini, Soenarjo, dkk (1971), menjelaskan bahwa al-Qur’an
ialah kalam Allah yang diterima Nabi Muhammad, ditulis di mushaf dan
diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya merupakan ibadah.
Berdasarkan penjelasan definisi di atas, dapat sebutkan bahwa hanya
kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja yang
disebut al-Qur’an. Kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada Rasul lainnya
bukanlah al-Qur’an, tetapi ia memiliki nama tersendiri diantaranya kitab Taurat
yang diturunkan kepada Nabi Musa AS. atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
Nabi Isa AS.
2. Al-Quran Sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an diturunkan menjadi pegangan bagi mereka yang ingin
mencapai kebgaian dunia dan akhirat. Tidak diturunkan untuk satu umat dalam
satu abad saja, tetapi untuk seluruh umat dan untuk sepanjang masa, karena itu
luas ajaran-ajarannya adalah melingkupi seluruh umat manusia.

5
Al-Qur’an dijadikan sumber hukum Islam mengindikasikan bahwa
agama Islam menghendaki agar sifat-sifat yang termaktub dalam ajaran dan
kenetuan yang mengatur perilaku manusia dalam al-Qur’an diterapkan dalam
waktu dan kondisi yang tepat. Misalnya dikehendaki keutamaan sifat pemaat,
tetapi juga diwaktu tertentu dikehendaki pula ketentuan hukum dilaksanakan
dengan tegas. Sifat pemberi maaf, tidak menggampangkan tindak kejahatan
mudah dilakukan tetapi menghendaki manusia agar bersifat jujur dan berani
menerangkan yang benar. Al-Qur’an menghendaki manusia agar selalu berbuat
baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepadanya. Al-Qur’an
mengajarkan manusia untuk tetap suci, tetapi tidak dikebiri. Manusia harus
berbakti kepada Allah ta‟ala, tetapi tidaklah menjadi rahib atau pertapa.
Manuasia harus berendah hati, tetapi jangan melupakan harga diri. Manusia
dapat menggunakan hal-haknya, tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
Manusia diwajibkan mendakwahkan agama dengan jalan hikmah dan
kebijaksanaan.
Demikian hal di atas merupakan sekedar contoh ajaran-ajaran Islam
yang termuat dalam al-Qur’an. Kesemuanya diatur dalam ayatayat al-Qur’an
secara rinci dan jelas. Untuk itu hendaklah umat Islam berusaha untuk
memahaminya. Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia yang bertakwa, yaitu
mereka yang memelihara diri dari siksaan Allah ta‟ala dengan mengikuti segala
perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya.
Al-Qur'an pedoman hidup, banyak menjelaskan berbagai pokok serta
prinsip umum untuk mengatur kehidupan manusia baik dalam berhubungan
dengan Allah maupun dengan makhluk lain. Berbagai peraturan berkaitan
dengan ibadah langsung pada Allah(2:43,183,184,196,197;11:114), aturan
berkeluarga (4:3,4,15,19,20,25; 2:221; 24:32; 60:10,11), aturan bermasyarakat
(4:58; 49:10,13; 23:52; 8:46; 2:143), aturan berdagang (2:275,276,280; 4:29),
utangpiutang (2:282), aturan kewarisan (2:180; 4:7-12,176; 5:106), aturan
pendidikan dan pengajaran (3:159; 4:9,63; 31:13-19; 26:39,40), aturan
berkaitan pidana (2:178; 4:92,93; 5:38; 10:27; 17:33; 26:40)serta berbagai segi
kehidupan lain yang dijamin Allah bisa berlaku dan cocok pada setiap waktu

6
dan tempat (7:158; 34:28; 21:107). Allah memerintahkan kepada tiap Muslim
melaksanakan keseluruhan tata nilai itu di kehidupannya (2:208; 6:153; 9:51).
Di samping bisa menentukan sikap untuk memilih bagian tata nilai dan menolak
bagian lainnya termasuk dalam pelanggaran dan perbuatan dosa itu menurut al-
Qur’an (33:36). Melakukan yang bernilai ibadah (4:69; 24:52; 33:71),
memperjuangkannya dimaknai sebagai jihad (61:10-13; 9:41), mati karenanya
merupakan syahid (3:157, 169), hijrah sebab memperjuangkannya merupakan
pengabdian tinggi (4:100, 3:195), dinilai zhalim, sikap fasiq dan kafir bagi yang
tidak mau melaksanakannya (5:44,45,47).
Hadist
1. Pengertian Hadits
Hadits ialah suatu perkataan atau berita. Hadits ialah suatu perkataan,
informasi dari Rasulullah SAW. Sedangkan al-Sunnah merupakan jalan hidup
yang dilewati atau di jalani atau suatu yang telah dibiasakan. Sunnah Rasul ialah
yang biasa dijalankan dalam kebiasaan hidup Rasulullah berupa seperti
perkataan dan perbuatan serta persetujuan Rasul. Hal ini senada dengan
pendapat Musthafa ash-Shiba’i bahwa kata sunnah artinya jalan terpuji. Sunnah
adalahsegala perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlaq yang
ditinggalkan Rasul, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi
Rasul (seperti mengasingkan diri yang beliau lakukan di Gua Hira’) atau setelah
kerasulan beliau. Adapun menurut “Ulama’ Fiqh”, Sunnah merupakan segala
sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan fardlu dan tidak wajib (ash-Shiba’i,
tt).
2. Hadits Sebagai Sumber Hukum
Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua memiliki
peranan yang penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan
ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup
umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan
dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Hadits juga
berfungsi antara lain menjadi penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum

7
jelas atau menjadi penentu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an. Adapun al-
Sunnah dibagi dalam empat macam, yakni:a
a. Sunnah Qauliyah ialah segala perkataan Rasulullah
b. Sunnah Fi‟liyah ialah semua perbuatan Rasulullah
c. Sunnah Taqririyah ialah penetapan dan pengakuan dari Nabi terhadap
pernyataan maupun perbuatan orang lain.
d. Sunnah Hammiyah ialah sesuatu yang sudah direncanakan untuk dikerjakan
tetapi tidak sampai dikerjakan.
Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam memiliki fungsi sebagai
berikut:
a. Menegaskan atau menjelaskan lebih jauh ketentuan yang dijelaskan dalam
al-Qur’an. Contohnya dalam al-Qur’an menjelaskan ayat berkaitan dengan
shalat tetapi tata cara dalam pelaksanaanya diuraikan dalam Sunnah.
b. Sebagai penjelas dari isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an manusia diperintahkan
oleh Allah mendirikan shalat. Namun tidak dijelaskan tentang jumlah
raka’at, cara pelaksanaannya, rukun, dan syarat dalam mendirikan shalat.
Maka fungsi Sunnah menjelaskan dan memberikan contoh jumlah raka’at
dalam setiap shalat, cara dan rukun sampai pada syarat syah mendirikan
shalat.
c. Menambahkan atau mengembangkan suatu yang tak ada atau masih samar-
samar mengenai ketentuannya dalam al-Qur’an. Misalnya larangan Nabi
untuk mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan sebagian
itu tidak ada dalam alQur’an. Tetapi jika dilihat hikmah dari larangannya
jelas bahwa mencegah rusaknya bahkan terputusnya hubungan
silaturahimkerabat dekat yang merupakan perbuatan tak disukai
dalamagama Islam.
Pada prinsipnya posisi hadits terhadap al-Qur’an berfungsisebagai
penjelas, penafsir, dan perinci terhadap hal-hal yang masihbersifat global.
Namun demikian, hadits juga bisa membentuk hukum tersendiri mengenai hal
yang tidak ada dalam al-Qur’an.

8
Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd” yang berarti “al-
masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan
kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus: 9:Artinya:
….”dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.”
Demikian juga dilihat dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada”,
penambahan hamzah dan ta’ pada kata “jahada” menjadi “ijtihada” pada
wazan ifta’ala, berarti usaha untuk lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya
“kasaba” menjadi “iktasaba” berati usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh.
Dengan demikian “ijtihada” berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya.
Ijtihad dalam pengertian lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya
yang dimilikinya. Dengan demikian, ijtihad bisa digunakan sebagai upaya
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum Islam.
Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi
maupun terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda.
Ijtihadsecara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah
“penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada
kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash
yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal
dengan maslahat.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi
tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah.
Pengertian lain bahwa ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu
hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam

9
perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masamasa
selanjutnya sampai sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita
kenal dengan masa taklid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode
tertentu (kebangkitan atau pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena
tidak dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan
kehidupan yang semakin kompleks.
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah
mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat
dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya itu. Sedangkan Imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut
sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihadsempurna).
Sedangkan Imam Syafi’i menegaskan bahwa seseorang tidak boleh
mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan
dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan
tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum menggali
sumber hukum dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus
memiliki kemampuan dari berbagai aspek kriteria seorang mujtahid agar hasil
ijtihad-nya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi
tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah.
Sedangkan menurut Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad
dengan istinbath. “Istinbath” barasal dari kata “nabath” (air yang mula-mula
memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu, menurut bahasa arti
“istinbath” sebagai muradif dari ijtihad, yaitu “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyian”. Sedangkan menurut mayoritas ulama ushul fiqh, ijtihad
adalah pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fikih
untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syariat.

10
Ijtihad mempuyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan
dalam mencentuskan ide-ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Ada
beberapa pendapat bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari
seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memeroleh pengertian terhadap hukum
syara (hukum Islam).
2. Jenis-Jenis Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber
hukum. Dasar-dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan
sunnah. Di dalam ayat yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman
Allah Swt dalam QS. al-Nisa’:105 sebagai berikut:Artinya: “Sesungguhnya
kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah)
karena (membela) orang-orang yang khianat”.
Demikian juga dijelaskan dalan QS. al-Rum: 21:Artinya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi
kaum yang berpikir.” Adapun fungsi ijtihad, di antaranya: 1) fungsi al-ruju’
(kembali): mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-Qur’an dan sunnah
dari segala interpretasi yang kurang relevan, 2) fungsi al-ihya (kehidupan):
menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan Islam semangat agar
mampu menjawab tantangan zaman, 3) fungsi al-inabah (pembenahan):
memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan
dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang
dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga jumhur ulama
menunjuk ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan
firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’: 59: Artinya: “Jika kamu
mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada
Allah dan Rasul-Nya”.
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnah
ketika terjadi perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama terhadap

11
masalah yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw: Artinya:
“Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan
bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia bergegas
memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka
ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash).
Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga
menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad
bisa dilakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya
tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.

12
BAB III

KESIMPULAN
Sumber-sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan
ketentuan hukum yang mengatur umat Islam. Telah disepakati secara jelas bahwa
al-Qur’an adalah sumber hukum utama bagi umat Islam, berikutnya adalah
hadits/sunnah, dan ijma’. Al-Qur’an yang memiliki jumlah 30 juz merupakan
sebuah keseluruhan dari semua aturan dalam situasi dan kondisi apapun bagi umat
manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia ada dalam alQur’an.
Muhammad SAW. sebagai seorang rasul dan pemegang mukzijat al-Qur’an
untuk disampaikan kepada manusia, diberi keistimewaan untuk menjelaskan secara
rinci hal-hal yang masih bersifat umum di dalam al-Qur’an. Penjelasan beliau tidak
hanya sekedar ucapan saja, tetapi juga ditorehkan dengan perbuatan yang nyata
dengan penuh ketaatan. Perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW. yang disebut
dengan hadits memperjelas hukum Islam, sehingga umat yang memiliki keimanan
akan mudah dalam upaya mentaati perintah Allah ta‟ala.
Sebagai seorang khalifah di muka bumi, umat Islam diwajibkan
mengamalkan perintah yang terkandung dalam dua sumber hukum Islam yang
utama, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Apabila di dalam keduanya belum ditemukan
secara jelas tentang masalah terbaru, maka Al-Qur’an dan hadits itu sendiri yang
memerintahkan para ulama untuk mencurahkan pemikirannya dalam menetapkan
hukum, dan hasil kesepatannya dinamakan ijma‟. Dengan demikian ijma‟ dapat
dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
Kita sebagai umat Islam sangat berharap adanya kesatuan pendapat dan
persatuan seagama yang kuat bagi seluruh umat Islam sedunia saat ini. Sehingga
hukum Islam dapat dijalankan merata di bumi Allah ini. Karena diyakini bahwa
hanya berdasarkan sumber hukum Islam sajalah peradaban umat di dunia ini akan
baik, sempurna, dan mendatangkan kesejahteraan yang berwibawa. Sebaliknya,
apabila selain hukum Islam yang diterapkan, maka kekeringan religius akan
membawa kepada perabadan yang rusak dan membawa umat pada kehancuran.

13
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan, M., Umar, M. H., & Ghafar, A. (2021). Sumber-Sumber Hukum Islam dan
Implementasinya. Borneo: Journal of Islamic Studies, 1(2), 28-41.
Nurol, A., & Jazuli, A. (2000). Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam.
Firdaus, F. (2012). Analisis Kedudukan Hukum dalam Alquran (suatu Analisis
Keadilan dan Kemanusiaan). DIKTUM: Jurnal Syariah dan
Hukum , 10 (2), 128-138.
Ridwan, M., Umar, M. H., & Ghafar, A. (2021). Sumber-Sumber Hukum Islam dan
Implementasinya. Borneo: Journal of Islamic Studies, 1(2), 28-41.
Iryani, E. (2017). Hukum Islam, Demokrasi dan hak asasi manusia. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 17(2), 24-31.
Raisuni, A., & Ahmad, D. (1995). Naẕariyyat Al-Maqashid ‘inda Al-Imam
AsySyathibi.
Rozak, A. (2019). Studi islam di tengah masyarakat majemuk (Islam Rahmatan lil
Alamin).
Thaib, Z. B. H. (2019). METODE AL-QUR’AN DALAM MEMAPARKAN
AYAT-AYAT HUKUM AL-QUR'AN METHOD IN PRESENTING
LAWS. Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, 7(1), 55-
78.
Yasid, A. (2011). Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits dalam Membentuk
Diktum-Diktum Hukum. TSAQAFAH, 7(1), 133-154.

14

Anda mungkin juga menyukai