Anda di halaman 1dari 21

1

TUGAS MAKALAH
SUMBER – SUMBER AJARAN ISLAM
(AL - QUR’AN,AL – HADIS DAN AL – RA’YU)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Studi Islam
Dosen Pengampu : Fitra Zula taufan jasa

ANGGOTA KELOMPOK :

1. FITRI ANDINA 2251040377


2. FAIZAL MALIDDIKA 2251040376
3. DEWI RATNA SARI 2251040349

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM RADEN INTAN LAMPUNG
1444 H / 2023 M
2

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatauh


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul SUMBER – SUMBER AJARAN
ISLAM (AL – QUR’AN,AL – HADIS DAN AL – RA’YU)
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas semester 2 dari Bapak Fitra Zula Taufan
Jasa . dibidang studi Metode Studi Islam. Selain itu, penyususnan makalah ini bertujuan
menambah wawasan kepada pembaca.
Penulis mengucapkan ucapan terima kasih kepada ibu dari Bapak Fitra Zula Taufan Jasa
selaku pengampu mata kuliah Metode Studi Islam . Berkat tugas yang diberikan ini dapat
menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini .

Bandar lampung, 18 maret 2023

Penulis
3

DAFTAR ISI

Contents
COVER..........................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB 1..............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG....................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................4
C. TUJUAN...........................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. PENGERTIAN AL – QUR’AN................................................................................5
1. Pengertian Al-Qur’an..........................................................................................................5
2. Nama dan Sifat al-Qur'an...................................................................................................7
3. Kandungan Hukum dalam al-Qur'an................................................................................9
4. Cara al-Qur'an Menjelaskan Ayat-Ayat Hukum............................................................11
B. HADIST........................................................................................................................13
1. PENGERTIAN HADIST.......................................................................................................13
2. FUNGSI HADIST PADA ALQURAN................................................................................14
C. AL – RA’YU.............................................................................................................16
1. PENGERTIAN AL – RA’YU............................................................................................16
BAB III..........................................................................................................................................19
PENUTUP.....................................................................................................................................19
A. KESIMPULAN........................................................................................................19
B. SARAN.....................................................................................................................19
4

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam menetapkan
hukum dan memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah al-Qur’an dan al-
Hadis. Sebagai sumber paling utama dalam Islam, al- Qur`an merupakan sumber pokok
dalam berbagai hukum Islam. Al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan
susunan hukum yang sudah lengkap. Selain itu juga al-Qur`an memberikan tuntunan bagi
manusia mengenai apa-apa yang seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan dalam
kehidupan kesehariannya, Sedangkan al-Hadis merupakan sumber hukum yang kedua
setelah al-Qur’an. Disamping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait
dengan keharusan mentaati Rasulullah Saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas
sedangkan Ra’yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum
dari permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam Alquran dan
Hadis. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra’yu. Namun
perlu digarisbawahi bahwa akal dan ra’yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya.
Akal adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan pemikiran), sedangkan ra’yu adalah,
suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan untuk mencari kebenaran/solusi
dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadis.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan Pengertian dari Al-Qur’an5
2. Apa saja Nama dan Sifat al-Qur'an
3. Bagimana isi Kandungan Hukum dalam al-Qur'an
4. Bagaimana cara Al-Qur'an menjelaskan ayat-ayat hukum
5. Jelaskan pengertian dari hadis
6. Bagaimana fungsi hadis pada Al - Quran
7. Jelaskan pengertian dari Al – Ra’ayu
8. Bagaiman Al – Ra’ayu sebagai sumber hukum islam
5

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari Al-Qur’an
2. Mengetahu nama dan sifat Al-Qur'an
3. Mengetahui isi kandungan hukum dalam al-Qur'an
4. Mengetahui cara Al-Qur'an menjelaskan ayat-ayat hukum
5. Mengetahui pengertian dari hadis
6. Mengetahui fungsi hadis pada Al - Quran
7. Mengetahui pengertian dari Al – Ra’ayu
8. Mengetahui Al – Ra’ayu sebagai sumber hukum islam
6

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AL – QUR’AN
1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur'an secara bahasa berasal dari kata gara'a yaqra'u qira'atan qur'anan. yakni
sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah merupakan Kalamullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan sampai kepada kita secara
mutawatir serta membacanya berfungsi sebagai ibadah. Allah Swt. berfirman:

‫إن علينا جمعة وقواله فإذا قرأناه قاليع قرآنه‬

Penyebutan lafadz Allah dalam pengertian al-Qur'an dimaksud untuk


membedakan antara perkataan malaikat, jin, dan manusia dengan kalamullah (al-
Qur'an) itu sendiri. Adapun kata al-munazzal maksudnya membedakan al-Qur'an dari
kalamullah yang lainnya, karena langit dan bumi beserta isinya juga bagian dari
kalamullah. Sedangkan kalimat 'ala Muhammad saw dimaksud untuk membedakan
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan wahyu yang diturunkan
kepada Nabi dan Rasul sebelum beliau. Adapun redaksi al-muta'abbad bi tilawatihi
maksudnya al-Qur'an merupakan firman Allah yang dibaca setiap melaksanakan
ibadah.

Sebagian ulama' ada yang menambahkan sifat lain dari definisi al- Qur'an,
Redaksi tambahan dari Ali ash-Shabuni yaitu al-mu jiz bi wasithati al- amin Jibril as.
Al-maktub fi al-mushaf, al-mabdu bi surati al-Fatihah wa al- makhattam bi surati an-
Nas. Namun, menurut pendapat Yunahar Ilyas pengertian yang disuguhkan oleh ash-
Shabuni lebih tepat kepada pengertian mushaf bukan al-Qur'an. Karena yang
dimaksud dengan al-Qur'an bukan saja yang tertulis di dalam mushaf, melainkan yang
dibaca secara lisan berdasarkan kemampuan hafalan. Apalagi pada era teknologi saat
7

ini, al-Qur'an tidak hanya berwujud mushaf yang tertulis melainkan juga berbentuk
digital, compact disc dan audio (rekaman).

Selain sebagai firman Allah kepada Nabi saw. Al-Qur'an juga sebagai mukjizat
daripada Nabi saw. Mukjizat sendiri berarti sesuatu yang melemahkan atau perkara
yang keluar dari kebiasaan (amru khariju lil'adah). Dikatakan sebagai mujkizat karena
pada saat itu masyarakat Arab Jahiliyah pandai dalam membuat sastra Arab (syair),
sastra Arab pada saat itu bearada dalam puncak kejayaan sehingga membuat manusia
berbondong-bondong, berlomba-lomba dalam membuat syair, dan syair yang terbaik
akan ditempel di dinding Ka'bah dan membuat yang bersangkutan merasa sombong.
Setelah datangnya al-Qur'an kepada Nabi saw. Masyarakat Arab terkagum-kagum
dan takjub akan lantunan yang terdapat pada al-Qur'an, mereka mengatakan bahwa al-
Qur'an adalah buatan Nabi saw. Bukan firman dari Allah swt. akan tetapi itu semua
tidak benar karena Nabi adalah seorang yang ummi (tidak dapat membaca dan
menulis) dan dibantah oleh al-Qur'an.. Jika memang benar al-Qur'an adalah syair
buatan manusia (Muhammad saw.)
maka masyarakat jahiliyah dituntut untuk membuat syair yang seindah seperti al-
qur'an, dan terbukti mereka tidak sanggup. Firman Allah swt.
‫هد االكم من دول هَّللا ِ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم‬nn‫وا ش‬nn‫ورة من باهلل وادع‬nn‫اتوا يط‬nn‫دنا ف‬nn‫ا على عب‬nn‫ا نزلن‬nn‫وإن كنتم في ريب مم‬
َ‫صا ِدقِين‬
َ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran
itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar”.
Turunnya al-Qur'an tidaklah sekali dalam bentuk mushaf yang terdapat pada saat
ini, melainkan al-Qur'an turun secara periodik atau bertahap. Tujuan dari turunnya
yang bertahap ini dimaksud agar memperbaiki umat manusia, diantaranya sebagai
penjelas, kabar gembira, seruan, sanggahan terhadap musyrikin, teguran dan juga
ancaman. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dikalangan ulama' berkenaan dengan
proses turunnya al- Qur'an, ada pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur'an turun
pada malam hari (lailatu al-qadar), ada pula pendapat yang mengatakan bahwa
turunnya al-Qur'an melalui tiga proses tahapan. Tahap pertama diturunkan di Lauh al-
Mahfudz, kemudian diturunkan ke langit pertama di Bait al-Izzah, dan terakhir
8

diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur dan sesuai kebutuhan


serta peristiwa yang sedang terjadi atau dihadapi oleh Nabi saw.
Meskipun terdapat perbedaan mengenai proses turunnya al-Qur'an, amun pada
intinya al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur. Tujuan dari proses tersebut
diantaranya memenuhi kebutuhan nabi dan kaum muslimin, bentuk keperluan yang
dibutuhkan nabi akan proses turunnya al-Qur'an secara beransur-ansur diantaranya
untuk meneguhkan hati nabi karena setiap proses turun ayat disertai dengan suatu
peristiwa tertentu, dan agar mudah untuk dihafal. Menurut Ahmad von Denfer, proses
turunnya al- Quran adalah masalah pengalaman yang sulit bagi Nabi, supaya perintah
Allah dapat diterapkan secara bertahap dan lebih mudah untuk dipahami, ringan
diaplikasikan, mudah diingat atau dihafalkan oleh orang mukmin pengikut Rasulullah
saw.

2. Nama dan Sifat al-Qur'an


Ada beberapa nama yang disandarkan terhadap al-Qur'an. Dalam kitab al-Burhan
fi Ulum al-Qur'an karya al-Zarkasyi sebagaimana dikutip oleh Amroeni Drajat, beliau
menyebutkan ada 54 nama selain penamaan al-Qur'an diantaranya al-Kitab, an-Nur,
al- Kalam, Huda, Rahmah, Furqan, asy-Syifa'. Mauizhah, adz-Dzikra, at-Tanzil,
Wahyu, al- Hadi, al-'Urwah al-Wutsqa, Mutasyabiha, al-Adl, Zabur, Mubin, Balagha,
Shuhuf, Marfu'ah, Muthaharah, dan Basyira wa Nadzira, dll. Dari sekian banyak
nama diatas ada beberapa nama yang sangat populer dikalangan ulama' diantaranya;

a) al-Qur'an
Penamaan al-Qur'an berlandasakan pada kitab suci yang terakhir diturunkan oleh
Allah swt. guna menjadi bacaan sebagaimana arti dari kata Qur'an itu sendiri dan
telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Firman Allah swt.

‫ت َأن هُ ْم أخر كيرا‬ ِ ‫إن هذا ْالقُرْ آنَ يَ ْه ِدي لِلَّتِي ِه َي َأ ْق َو ُم َويُبَ ِّش ُر ْال ُمْؤ ِمنِينَ الَّ ِذينَ يَ ْع َملُونَ الص‬
ِ ‫َّاحبَا‬

b) al-Furqan
Penamaan al-Furqan mengindikasikan bahwa al-Qur'an sebagai pembeda antara
haq dan bathil, atau antara yang benar dengan salah. Sebagaimana Firman Allah
swt.

‫ك الَّ ِذي نَ َّز َل ْالفُرْ قَانَ َعلَى َع ْب ِد ِه لِيَ ُكونَ لِ ْل َعالَ ِمينَ نَ ِذيرًا‬ َ َ‫تَب‬
َ ‫ار‬

c) al-Kitab
9

Al-Kitab artinya al-Jam 'u (mengumpulkan), penamaan ini berdasarkan pada al-
Qur'an yang mengandung bermacam ilmu, kisah, dan berita. Maksud dari al-
Kitab juga bahwa al-qur'an tidak hanya dipelihara melalui lisan (hafalan) tetapi
juga dengan tulisan, Firman Allah swt.

َ‫ْب فِي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِين‬


َ ‫ذلك الكتاب ال َري‬

d) al-Dzikru
Kata al-Dzikru murni dari bahasa Arab, artinya kemuliaan. Makna lain dari adz-
Dzikru ialah ingat, mengingatkan. Maksudnya di dalam kitab al-Qur'an
terkandung pelajaran, nasehat dan kisah para umat terdahulu. Firman Allah swt.

‫نا نحن نزلنا المركز وإنا له لحافظون‬

e) al-Tanzil
Kata al-Tanzil artinya sesuatu yang diturunkan, yaitu mengisyaratkan bahwa al-
Qur'an merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi
Muhammad saw. melalui perantara Malaikat Jibril. Firman Allah swt:

‫روح‬nn‫ه ال‬nn‫زل ب‬nn‫المين ن‬nn‫ثريل رب الع‬nn‫ة الش‬nn‫ورث‬


‫األمين‬

Demikianlah nama-nama lain dari al-Qur'an yang populer dikalangan para


Ulama. Dari sekian nama yang dinisbahkan terhadap al-qur'an kesemuanya itu berasal
dari Firman Allah swt yang terdapat di dalam al- Qur'an itu sendiri. Selain nama-
nama di atas, juga ada sifat-sifat dari al- Qur'an sebagaimana berikut;

a) an-Nur

‫َان ِم ْن َربِّ ُك ْم َوَأن َز ْلنَا ِإلَ ْي ُك ْم نُورًا ُمبِينًا‬


ٌ ‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجا َء ُك ْم بُرْ ه‬

Artinya “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan
kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).”

b) Huda-Syifa'-Rahmah-Mauizhah
ِ ‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجا َء ْت ُك ْم َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ُك ْم َو ِشفَا ٌء لِ َما فِي الصُّ د‬
ٌ‫ُور َوهُدًى َو َرحْ َمة‬
10

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari


Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

c) Basyir-Nadzir

ٌ‫ض َأ ْكثَ ُرهُ ْم فَهُ ْم اَل كتاب‬


َ ‫ت آيَاتُهُ قُرآنَا َع َربِيًّا لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمونَ بَ ِشيرًا َونَ ِذيرًا فََأ ْع َر‬ ِّ ُ‫ف‬
ْ َ ‫صل‬

Artinya: “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab,
untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan
yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak
mau mendengarkan.”

3. Kandungan Hukum dalam al-Qur'an


Merujuk pada pembahasan para ulama', sebagian dari mereka ada yang membagi
hukum yang terkandung dalam al-Qur'an menjadi tiga," sebagaimana pernyataan
Wahbah Zuhaili di dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi yang juga dikutip oleh
Ernawati,diantaranya:
a) Hukum Akidah (I'tiqadiyah) ialah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan
manusia kepada Allah swt. dan juga kepada para Malaikat, Kitab, Rasul, serta
hari akhir.
b) Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan
menghindari sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki,
sombong.
c) Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan
dengan sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian, yakni:
Pertama, muamalah ma'a Allah atau pekerjaan yang berhubungan dengan Allah,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya; Kedua, muamalah
ma'a an- Naas atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia baik
secara pribadi maupun kelompok. Contohnya, kontrak kerja, hukum pidana, dan
lain sebagainya.

Sebagian dari ulama' sepakat dengan pembagian hukum al-Qur'an tersebut,


namun tidak berdasarkan pembagian yang sudah ada. Melainkan dengan tiga bagian
lain, yaitu Tauhid. Tazkir, dan Hukum. Dari seluruh pembagian hukum di atas,
11

menurut Hasbullah Thalib secara umum kandungan hukum dalam al-Qur'an ada lima
bagian, diantaranya:
a) al-Ahkam al-I'tiqadiyyah (suatu hukum yang berorientasi pada keimanan dan
keyakinan).
b) al-Ahkam al-Khuluqiyah (suatu hukum yang berkenaan dengan akhlak)
c) al-Ahkam al-Kauniyah (suatu hukum yang berkenaan dengan alam semesta).
d) al-Ahkam al-Ibariyah (suatu hukum yang kaitannya dengan peristiwa kejadian
pada masa lalu dan dapat diambil pelajarannya (ibrah).
e) al-Ahkam al-Syar'iyyah al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang mengatur perilaku
dan perkataan mukallaf yang ditimbang dengan neraca syari'ah).
Dari lima pembagian yang ditawarkan oleh Hasballah Thalib tersebut,
sebenarnya memiliki nilai kandungan yang sama, hanya saja ada sedikiti perbedaan
penjelasan menurutnya. Berkenaan dengan al-Ahkam al-Kauniyah menurutnya topik
utama dalam hukum tersebut berupa ayat-ayat alam semesta (cosmos) dimana banyak
mengandung isyarat ilmiah sebagai bukti terhadap umat manusia mengenai kebenaran
al-Qur'an. Firman Allah swt. "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. "QS. Ali Imran ayat 190-191).
Sedangkan al-Ahkam al-Ibariyah, topik bahasan pada hukum ini berupa kisah
para umat terdahulu. Hukum ini bertujuan agar manusia selalu mengambil hikmah
ataupun pelajaran hidup yang telah terjadi kepada para umat terdahulu. Apabila
terdapat pelajaran yang baik, maka sudah sepatutnya untuk dijadikan contoh dalam
kehidupan sehari-hari agar mendapat imbalan yang baik pula dari Allah swt. Namun,
jika kejahatan atau kemadharatan yang berakhir kepada kemurkaan Allah swt maka
sudah sepatutnya untuk tidak diikuti agar tidak terulang kejadian yang sama pada
masa kini. Firman Allah swt. "dan tetaplah memberi peringatan, karena
Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Al-
Zariyaat ayat 55).Pesan yang terkandung dalam ayat ini yaitu pentingnya memberi
peringatan, guna membangun perdaban manusia.
12

4. Cara al-Qur'an Menjelaskan Ayat-Ayat Hukum


Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang sifatnya umum, maka sebagian
besar hukum yang dijelaskan bersifat global dan hanya beberapa yang bersifat
mendetail.
a. Ijmali (global)
Secara garis besar penjelasan hukum oleh al-Qur'an terdiri dari tiga cara,
sebagaimanaPenjelasan al-Qur'an bersifat umum, sedangkan sunnah Nabi yang
nantinya akan menjelaskan lebih mendetail. Sebagaimana perintah mendirikan
shalat, membayar zakat, dan penjelasan lafadz yang tidak jelas secara makna.
Allah swt. berfirman "Dirikanlah shalat" (QS. al-Baqarah: 43).
Ayat tersebut berupa perintah untuk mendirikan sholat, tidak ada penjelasan
mengenai tata cara dan waktu pelaksanaannya. Maka disinilah Sunnah Nabi
berperan adanya, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat"
(Shallu kama ra 'aytumuni ushalli).
b. Tafshili (terperinci)
Al-Qur'an memaparkan hukum secara terperinci, dan disertai pejelasan yang
mendetail, adapun sunnah Nabi menjadi penguat bagi penjelasan al-Qur'an
tersebut. Contohnya, hukum waris, tata cara dan hitungan dalam thalaq, mahram
(orang yang haram untuk dinikahi), tata cara li'an (saling melaknat) antara suami
dan istri, dan penetapan hukuman dalam kasus pidana hudud. Firman Allah;
‫ وهو يرثها إن لم‬، ‫ إن ا ْم ُر هَلك ليس له ولد وله أخت يَصْ فُ َما تَ َرك‬، ‫قلها يستفتونك قل هللا يُ ْفتِي ُك ْم في ال َكاللَ ِة‬
‫ديق‬nn‫ظ األن‬nn‫ل ح‬nn‫ذكر مث‬nn‫اة فلل‬nn‫ وإن كانوا إخوة رجاال ونت‬،‫ قلهما الثلثان ما الترك‬n‫ فإن كاننا التنين‬. ‫يكن لها َولَ ٌد‬
ِ ‫بين هَّللا لَ ُك ْم َأن ت‬
‫َضلُّواء‬

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah


memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
13

perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu


tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

c. Isyarah (isyarat)
Penjelasan al-Qur'an hanya sebatas pokok hukum, baik secara isyarat
maupun secara ungkapan langsung. Adapun sunnah Nabi memberikan penjelasan
hukum yang terkandung dalam pokok bahasan tersebut secara terperinci. Sebagai
contoh firman Allah swt.
ِ ‫ت ِمنَ ْال َع َذا‬
‫ب‬ َ ْ‫ص َّن فَِإ ْن َأتَ ْينَ بِفَا ِح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن نِصْ فُ َما َعلَى ْال ُمح‬
ِ ‫صنَا‬ ِ ْ‫فَِإ َذا َأح‬

Artinya: “…..dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.....”.

Pada ayat tersebut memberikan isyarat hukuman yang berlaku kepada budak atau
hamba sahaya yakni setengah dari besaran hukuman yang ditimpakan kepada orang
merdeka, Baik hukuman pidana maupun hak-hak yang berkaitan dengannya.
Demikianlah muatan hukum yang dijelaskan oleh al-Qur'an dengan sifat yang
beragam.
Selain tiga cara tersebut (ijmali, tafshili, isyari) lain halnya pembagian cara
menurut Firdaus, menurutnya al-Qur'an menjelaskan hukum dengan cara yang
sempurna. (kafah), global (ijmali), isyarat. Perbedaannya hanya pada cara "sempurna"
dan "terperinci". Sebagai contoh penjelasan yang sempurna adalah perintah puasa,
dalam hal ini fungsi dari sunnah Nabi sebagai penguat makna yang terkandung di
dalam al-Qur'an. Hemat penulis hal ini sama saja dengan cara yang tafshili, hanya
berbeda dalam penggunaan istilah saja.Sebagaimana firman Allah
‫فمن شهد منكم الشهر فليصمة‬

Artinya: “barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.

B. HADIST
1. PENGERTIAN HADIST
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah
sebagai "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad SAW , baik ucapan,
14

perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya. Muhammad Quraish Shihab dalan bukunya berjudul "
Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat"
menjelaskan bahwa ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-
ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila
mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga
hal ini mereka namai Al-Sunnah.
Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat
dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban
menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya
yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama
adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan
dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja
penggunaan kata athi'u.
Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal
yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban
taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi
tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana
diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang sholat dipanggil oleh Rasul
SAW. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas
dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena
ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya
perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Menerima ketetapan Rasul SAW dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit
pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun
setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah
dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65. Tetapi, di sisi lain, kata Quraish Shihab, harus
diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Quraish Shihab menjelaskan dari
segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT.
Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, dan beliau
pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi
15

generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami


perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak
sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang menurut
adat mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi
qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh
orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan
redaksi yang diucapkan oleh Nabi SAW.
Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat
sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau
penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para
sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah
zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis
karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping
kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan
generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi
SAW.

2. FUNGSI HADIST PADA ALQURAN


Dijelaskan dalam buku Ulumul Hadis oleh Abdul Majid Khon, fungsi hadits
terhadap Al-Qur'an secara umum untuk menjelaskan makna kandungan Al-Qur'an yang
sangat dalam dan global, sebagaimana firman Allah dalam surat An Nahl ayat 44.
َ‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫ٱلزب ُِر ۗ َوَأن َز ْلنَٓا ِإلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ٱل ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬ ِ َ‫بِ ْٱلبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬
Artinya: "Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Penjelasan itu kemudian dirinci oleh para ulama ke berbagai bentuk. Secara garis
besar, ada 4 fungsi hadits terhadap Al-Qur'an antara lain sebagai berikut.
1. Bayan Taqrir
Hadits sebagai penguat (taqrir) keterangan Al-Qur'an, sebagian ulama menyebut
bayan taqrir. Jadi, hadits menjelaskan apa yang telah dijelaskan, seperti sebuah hadits
tentang sholat, zakat, puasa, dan haji. Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW
bersabda:"Islam didirikan atas lima perkara, menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan
16

zakat, haji, dan puasa Ramadhan," (HR Al-Bukhari). Hadits tersebut memperkuat
keterangan mengenai perintah salat, zakat, dan puasa dalam Al-Qur'an pada surat Al
Baqarah ayat 83 dan 183 serta surat Ali Imran ayat 97.
2. Bayan Tafsir
Bayan tafsir artinya hadits sebagai penjelas (tafsir) terhadap Al-Qur'an. Fungsi ini
terbagi lagi ke dalam tiga macam, yaitu tafshil al-mujmal, takhshish al-amm, dan
taqyid al-muthlaq. Tafshil al-mujmal berarti hadits memberi penjelasan secara rinci
pada ayat-ayat Al-Qur'an yang sifatnya global, baik menyangkut masalah ibadah
maupun hukum. Contohnya seperti perintah sholat pada beberapa ayat dalam Al-
Qur'an yang hanya diterangkan secara keseluruhan tanpa disertai petunjuk
pelaksanaan, berapa rakaat, kapan waktunya, dan lain sebagainya. Perincian itu ada
pada salah satu hadits nabi, berikut bunyinya. “Salatlah sebagaimana engkau melihat
aku salat” (HR Al-Bukhari).
Sementara itu, takhshish al-amm artinya hadits mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur'an
yang umum, seperti ayat tentang waris dalam surat An Nisa ayat 11. Kandungan ayat
tersebut membahas tentang pembagian harta pusaka terhadap ahli waris.Karena
sifatnya umum, maka dikhususkan lagi dengan hadits nabi yang melarang mewarisi
harta peninggalan para nabi, berlainan agama, dan pembunuh, seperti salah satu sabda
Rasulullah yang berbunyi: “Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka)”. (HR At-
Tirmidzi).
Yang terakhir ialah taqyid al-muthlaq, artinya hadits membatasi kemutlakan ayat-
ayat Al-Qur'an. Keterangan Al-Qur'an yang mutlak dibatasi dengan hadits yang
muqayyad (taqyid). Contohnya seperti bunyi ayat 38 pada surat Al Maidah.“Pencuri
lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka” (QS Al
Maidah: 38).
Pemotongan tangan pencuri pada ayat di atas tidak dijelaskan batas tangan yang
harus dipotong, apakah itu dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Sebab, kata
tangan mutlak meliputi hasta dari bahu, pundak, lengan, dan sampai telapak
tangan.Kemudian,pembatasan itu dijelaskan dalam sebuah hadits ketika seorang
pencuri datang ke hadapan Rasulullah maka diputuskanlah bahwa tangan yang
dipotong adalah pergelangan.
3. Bayan Tasyri'i atau Ziyadah
Bayan tasyri'i atau Ziyadah adalah membentuk hukum yang tidak terdapat dalam
Al-Qur;an atau sudah ada tetapi khusus pada masalah pokok saja. Contohnya hadits
17

tentang janin yang mati dalam kandungan induknya.“Sembelihlah janin mengikuti


sembelihan induknya” (HR At Tirmidzi).
4. Bayanut Taghyir atau an-Naskh
Bayanut taghyir atau an-naskh adalah melakukan perubahan terhadap apa yang
telah ditetapkan oleh ayat Al-Qur'an. Contohnya hadits riwayat At Tirmidzi tentang
wasiat ahli waris yang berbunyi,“Sesungguhnya Allah telah memberi hak bagian bagi
orang-orang yang benar-benar memiliki hak untuk itu, makanya tidak ada wasiat bagi
ahli waris”.
Hadits tersebut berfungsi menasakh ketetapan ayat Al-Qur'an yang berbunyi,

١٨٠ ۗ َ‫ف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِ ْين‬


ِ ۚ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َوااْل َ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ك َخ ْيرًا ۖ ْۨال َو‬ ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت اِ ْن ت ََر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

Artinya: "Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-


tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak),
berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut
(sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa." (QS Al Baqarah: 180)

Jadi, secara sederhana berikut fungsi hadits terhadap Al-Qur'an sebagaimana


dikutip dari buku Al-Qur'an Hadits karangan Khoirun Nisa dkk.
a) Memperkuat hukum yang sudah ada dalam Al-Qur'an.
b) Merinci ayat Al-Qur'an yang masih bersifat mujmal atau global.
c) Menetapkan hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur'an.
d) Membatasi ayat Al-Qur'an yang bersifat umum.

C. AL – RA’YU
1. PENGERTIAN AL – RA’YU
Secara etimologi kata (ray) berasal dari bahasa Arab yang berarti "melihat".
Menurut Abu Hasan kata rayu memiliki arti: pengelihatan dan pandangan dengan mara
atau hari, segala sesuaru yang dilihat oleh manusia, jamaknya (al-Ara'). Secara
terminologi, rayu menurut Muhammad Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan
manusia setelah melalui proses berfikir dan merenung.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ra'yu merupakan
"hasil dari suatu perenungan dan pemikiran yang bertujuan untuk memberikan solusi
terhadap suatu permasalahan hukum yang belum pernah ada sebelumnya di dalam nas
untuk kemaslahatan hidup manusia dengan menggunakan kaedah yang telah ditetapkan.
18

Kata rayu adalah bentuk masdar dari kata - (ma-yard-ru'yan). Penggunaan kata
nayu bisa berubah arti sesuai dengan tempat penggunaannya. Jika seseorang melihat
bulan dalam keadaan sadar maka diungkapkan bentuk masdarnya adalah rajah tetapi
kalau seseorang melihat bulan dalam keadaan tidur atau bermimpi maka diucapkan ,
masdar pada kata raa disini adalah ruju, untuk sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan
mata dan hanya dapat dipahami dengan hati, maka bentuk masdarnya adalah ayu
selanjutnya kata ini dihususkan untuk sesuatu yang dipandang hati setelah berfikir dan
merenung yang mendalam.
Kata al-ra'ya juga memiliki arti "melihat dengan hati", (1) pandangan hati; setelah
upaya berfikir dan merenung dan mendapatkan ma'rifah untuk menetapkan sesuatu
yang benar terhadap masalah yang tanda-tandanya bertentangan, (2) berfikir, yaitu
menggunakan akal dengan aneka sarana yang diarahkan oleh syara' untuk sampai
kepada petunjuk yang benar dalam menetapkan hukum dimana tidak ditemui dalil nas,
(3) menetapkan hukum syariah dengan menggunakan kaidah yang telah ditetapkan.
Kata nju atau yang seakar dengan itu terdapat pada 328 ayat dalam Alquran."
Dalam bukunya, Amir Syarifudin menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kara
mayu di dalam Alquran itu tergantung kepada apa yang menjadi obyck dari perbuatan
"melihat" itu. Obyek yang dikenai dengan kata rayu di dalam Alquran secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu obyek yang kongkrit (berupa) atau obyek
yang abstrak (tidak berupa). Untuk obyek yang kongkrit kata rayu itu berarti melihat
dengan mata kepala atau memperhatikan.
Sebagaimana Seperti firman Allah dalam Q.s. Luqmán [31]: 20, sebagai berikut:

ِ َّ‫ةً َو ِمنَ الن‬nَ‫ض َوَأ ْسبَ َغ َعلَ ْي ُك ْم يَ ْع َمهُ ظَهِ َرةً َوبَا ِطن‬
‫دل‬nn‫اس َمن تُج‬ ِ ْ‫ت َو َما فِي اَألر‬
ِ ‫َألَ ْم تَ َروْ ا َأ َّن هللاَ َس َّخ َر لَ ُكم َّما فِي ال َّس َم َوا‬
‫دًى‬nnnُ‫ر ِع ْل ٍم َواَل ه‬nnnْ
ِ ‫في هللاِ بِ َغي‬
‫َواَل‬

Kata rayu yang dimaksud dalam ayat di atas adalah "memikirkan", juga berarti
"hasil pemikiran" atau "rasio". Selain kata si (ra'a), untuk artian berfikir dalam Alquran
juga digunakan kata (fakara), atau kata lain yang berakar pada kara itu. Kara (fakara)
ini terdapat 18 ayat di dalam Alquran yang pada umumnya bersamaan artinya dengan
kata rayu. Seperti firman Allah sebagai berikut:
‫تى‬nn‫ل كن‬nn‫ل وأه‬nn‫ا إال بالخ‬nn‫ا بينهم‬nn‫أولم يتفكروا في أنفسهم ما خلق هللا الشهوت واألرض وم‬
‫وان‬
19

َ‫ب َربِّ ِه ْم لَ َكفِرُون‬ ِ َّ‫كثيرا منَ الن‬


ِ ‫اس بِلِقَا‬

Selanjutnya, kata fikir mempunyai kaitan yang erat dengan akal. Karenanya Allah
menggunakan kata "berakal" dalam arti yang sama dengan "berfikir". Kata Las (agala)
dan kata yang berakar kepadanya muncul dalam 49 ayat Alquran, umpamanya dalam
Q.5. al-Nahl [16]: 12, sebagai berikut:
‫س َو ْالقَ َمر والنجوم مسعرت بأمره أنت في ذالك‬
َ ‫اليتم َو َس َّخ َر لَ ُك ُم الَّ ْي َل َوالنَّهَا َر َوال َّش ْم‬

Kata lain yang digunakan Allah di dalam Alquran yang artinya berfikir adalah: Ja
(nazhara), terjemahan kata ini dalam bahasa Indonesia menjadi "nalar", walaupun kata
ini secara bahasa berarti memperlihatkan atau melihat, namun bisa digunakan pula
untuk obyek yang abstrak artinya menjadi memikirkan, Kata nazhara dalam arti berfikir
ini terdapat dalam Alquran lebih dari 30 kali. Umpamanya dalam Q.s. al-'Ankabut [29]:
20, sebagai berikut:
َ ‫ض فَانظُرُوا َك ْيفَ بَ َدَأ ْال َخ ْل‬
‫ق لم هللا يبين النشاء األجرة إن أمله على كل‬ ِ ْ‫قل سيروا في اَألر‬

‫شي ٍء قَ ِدي ٌر‬


ْ

Kalau dianalisa, semua ayat Alquran yang berarti berfikir baik yang berakar -
terlihat kese ‫ نظر‬dan ‫ عقل‬،‫رأى فكر‬، pada kata luruhannya mendorong umat untuk meng-
gunakan pikirannya, baik dengan ungkapan "berpikirlah" atau "kenapa tidak kamu
pikirkan?. Dari sini dapat kita pahami bahwa semua kata di atas yang berarti berfikir,
memerintahkan kita untuk berfikir kritis, kreatif, inovatif agar tercipta ide-ide yang
dapat merubah kehidupan manusia kepada kondisi yang lebih baik.
Ra’yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum dari
permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam Alquran dan
Hadis. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra’yu. Namun
perlu digarisbawahi bahwa akal dan ra’yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya.
Akal adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan pemikiran), sedangkan ra’yu adalah,
suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan untuk mencari kebenaran/solusi
dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadis.
20

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Al-Qur'an adalah firman Allah yang shalih likulli zaman wa fi kulli makan. Segala
perkara yang ada pada dasarnya kembali kepada al-Qur'an, sebagaimana sifat al-Qur'an
yaitu huda (petunjuk). Petunjuk yang benar akan memberikan jalan dan solusi yang
benar. Meskipun al-Qur'an hanya terdiri dari 30 juz, tetapi petunjuk yang ada
didalamnya sangatlah lengkap dan mencakup semua persoalan yang ada. Dengan
demikian al-Qur'an menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan
cara yang umum, terperinci, dan sesuai pokok bahasan. Al-Qur'an dan Hadis adalah
sumber hukum yang sangat relevan dan saling berkaitan antara satu dengan yang
satunya dan akan terus eksis terjaga keotentikannya. Adanya hadis akan terus sejalan
dengan keberadannya kitab Al-Qur'an. Ra’yu adalah salah satu cara umat Islam untuk
menetapkan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum
didapati dalam Alquran dan Hadis. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara
21

komprehensif dengan tetap berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti
keabsahan hasil ra’yu.

B. SARAN
Demikian pokok pembahasan makalah yang penulis buat. Harapan penulis ini dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca. Tapi, karena keterbatasan intelektual dan referensi
membuat makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang sangat penulis harapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai