Studi Keislaman
DOSEN PENGAMPU :
BANI, M.Pd.I
SEMESTER 1
2021
KATA PENGANTAR
Penyusun
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB 1................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................1
A. Latar belakang...............................................................................................................1
B.Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C.Tujuan Masalah..............................................................................................................2
BAB 2................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
1. Al-Qur‟an......................................................................................................................3
2. AL-HADIST.................................................................................................................7
3. Ar-Ra’yu......................................................................................................................10
BAB 3..............................................................................................................................14
PENUTUP......................................................................................................................14
1. KESIMPULAN...........................................................................................................14
2. SARAN........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................16
II
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sumber utama ajaran agama dalam Islam yang utama adalah al-Qur‟an dan al-
Hadis atau al-Sunnah . Al-Qur‟an adalah Wahyu Allah yang mutlak kebenarannya dan
tidak dapat dibantah oleh akal dan kebenaran manusia, sehingga al-Qur‟an adalah
sumber ajaran utama dalam Islam. Al-Hadis atau al-Sunnah adalah sumber ajaran utama
yang kedua setelah al-Qur‟an, sebab al-Hadis atau al- Sunnah adalah ajaran-ajaran dan
contoh teladan dari Rasulullah SAW, menusia yang telah dipercaya dan diangkat oleh
Allah sebagai Rasul yakni utusan Allah untuk menyampaikan Agama Islam kepada
manusia. Hadis Rasul kedudukannya lebih tinggi dari pemikiran atau pendapat manusia
baik dia ulama maupun ilmuan, sehingga al-Hadis atau al-Sunnah dari Rasul harus
digunakan dalam menerapkan ajaran-ajaran agama. Al-Hadis atau Sunnah ini berupa
perkataan Nabi, perbuatan Nabi dan persetujuan Nabi. Sumber-sumber ajaran Islam,
berkaitan pula dengan sumber-sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber hukum
adalah dasar-dasar pijakan dalam pengambilan keputusan hukum. Para ulama sepkat
bahwa sumber hukum dalam Islam adalah , al-Qur‟an, Al-Hadis atau Al-Sunnah, dan
Ar-Ra’yu. Para ulama juga berpendapat bahwa hasil Ijtihad juga sebagai sumber hukum
dan ada juga yang lainnya yang tidak seluruhnya dibahas dalam tulisan ini . Hasil ijtihad
para ulama dapat dijadikan rujukan dalam mengambil keputusan hukum, sehingga hasil
ijtihat merupakan bagian dari sumber hukum dalam agama Islam. Adapun ijtihad itu
berfungsi pula sebagai metode penerapan hukum. Manakala terdapat hukum yang
terjadi pada umat Islam sedangkan dalam nash yang menunjukkan kesahihannya tidak
ditemukan maka para ulama berpendapat bahwa mereka dapat berijtihad untuk
menetapkan hukum tersebut demi kemaslahatan kehidupan umat Islam. Ijtihad ini
dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat Rasul dan para ulama ahli hukum yang
memenuhi syarat untuk berijtihad.1
1
Dr. H. Abd.Rozak, M.A Drs. H. Ja‟far, MA. Studi Islam Di Tengah Masyarakat Majemuk(Islam
Rahmatan lil „Alamin),Tangerang(2019).hal.24 -25
1
B.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan al-Quran ?
2. Apa yang dimaksud dengan hadis?
3. Apa yang dimaksud dengan ro’yu?
C.Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Al-Quran
2. Untuk mengetahui pengertian hadis
3. Untuk mengetahui pengertian Ro’yu
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Al-Qur‟an
Pengertian Al-Qur’an
2
Al-Qira'ah, yaitu bentuk mashdar dari fi 'if madhi 'qara 'a·, yang berarti
bacaan. Arti qara 'a lainnya ialah mcngumpulkan atau menghimpun,
menghimpun huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapih.
Sedangkan arti qara 'a dalam arti mashdar. (infinitif) seperti di atas, disebut
dalam firman AIJah SWT surat AI-Qiyamah, ayat 17-18 yang artinya:
Sesungguhnya alas tanggungan kami/ah mengumpulkannya (dalam dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah se!esai
membacanya maka ikutilah bacaannya.
1. Al-Furqan yang membedakan (antara yang benar dan yang salah, antara yang
baik dengan yang buruk, haq dengan bathil).
Merujuk pada pembahasan para ulama’, sebagian dari mereka ada yang
membagi hukum yang terkandung dalam al-Qur’an menjadi tiga,15 sebagaimana
pernyataan Wahbah Zuhaili di dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi yang juga
dikutip oleh Ernawati, diantaranya:
3
b) Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan
menghindari sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki,
sombog.
2
Septi Aji Fitra Jaya, Alqur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam,9. no 2 (2019),hal.208
4
Di dalam ayat yang lain, Allah SWT menyebut al-Qur‟an dengan ruh,
dan salah satu makna ruh di sini adalah segala yang menjadikan hati hidup
penuh dengan makna.
Allah SWT menamai al-Qur‟an dengan Nur (cahaya), yaitu sesuatu yang
menerangi jalan yang terbentang di hadapan manusia sehingga manusia mampu
melewatinya tanpa ada hambatan.
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada
hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (QS :
Al Furqaan : 1)
Artinya al-Qur‟an membedakan antara yang hak dengan yang batil, antara yang
lurus dengan yang sesat, yang bermanfaat dengan yang berbahaya.
a) Ijmali (global)
3
Dr. H. Abd.Rozak, M.A Drs. H. Ja‟far, MA. Studi Islam Di Tengah Masyarakat Majemuk(Islam
Rahmatan lil „Alamin),Tangerang(2019).hal. 33 -34
5
Penjelasan al-Qur’an bersifat umum, sedangkan sunnah Nabi yang
nantinya akan menjelaskan lebih mendetail. Sebagaimana perintah mendirikan
shalat, membayar zakat, dan penjelasan lafadz yang tidak jelas secara makna.
Allah swt. Berfirman:
“Dirikanlah shalat” (Q.S. al-Baqarah: 43). Ayat tersebut berupa perintah untuk
mendirikan sholat, tidak ada penjelasan mengenai tata cara dan waktu
pelaksanaannya. Maka disinilah Sunnah Nabi berperan adanya, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Shallu kama ra’aytumuni ushalli).
b) Tafshili (terperinci)
c) Isyarah (isyarat)
2. Hadits
Secara bahasa, kata hadist atau al-hadist berarti baru, dekat, atau berita.
Sedangkan hadist menurut ulama ushul fiqih yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrir yang layak dijadikan dalil bagi hukum syara’5. Kedudukan hadist
sebagai sumber ajaran islam didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Quran,
selain itu para sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajibnya mengikuti
hadist baik pada masa rasulullah hidup maupun setelah wafat.
4
Septi Aji Fitra Jaya, Alqur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam,9. no 2 (2019),hal.210
5
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), 36
6
Para ahli hadist berpendapat bahwa hadist sama dengan sunnah, kedua
kata tersebut memiliki pengertian yang sama. Akan tetapi, terdapat beberapa
perbedaaan antara hadist dengan sunnah, hadist merupakan perkataan,
perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW yang sudah tertulis dan telah
diriwayatkan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya secara bersambung dan
turun temurun. Sedangkan sunnah adalah wahyu Allah yang diterima dan
dipraktikkan Nabi Muhammad SAW untuk kemudian diriwayatkan oleh sahabat
ke generasi selanjutnya. Sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Quran,
hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan al-Quran beberapa
fungsi hadist yaitu sebagai bayan atau menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang
masih global sebagaimana pendapat Imam Malik yang dikutip oleh Rohmansyah
bahwa hadist mempunyai empat fungsi utama yang menghubungkan dengan al-
Quran, fungsi yang pertama sebagai bayan al-taqrir atau yang menetapkan dan
mengokohkan hukum- hukum al-Quran, fungsi yang kedua sebagai bayan al-
taqrir atau yang menjelaskan dan menerangkan maksud dari ayat- ayat al-
Quran,yang ketiga hadist berfungsi sebagai bayan al-tafshil atau yang
menjelaskan ayat ayat yang masih mujmal, fungsi hadist yang keempat sebagai
bayan al-basthi yakni memanjangkan keterangan yang masih ringkas dalam al-
Qur’an.6
6
Indah Husnul Khotimah, POLEMIK HADIST SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM, Jurnal EdutTech
Vol. 4 No. 17 Januari 2018. H. 9
7
Fitah Jamaludin, M. Ag, Diktat: ”Diktat mata kuliah Ilmu Musthalah Hadist”, (Jember: IAIN Jember,
2021), Hal. 7
7
2. Perawi atau rawi hadist adalah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan
hadis.8
3. Matan secara etimologi dapat diartikan dengan membelah dan mengeluarkan,
sedangkan secara istilah adalah perkataan disebutkan pada ujung atau akhir dari
sanad yang berisi tentang pesan yang disampaikan atau di ucapkan Nabi
Muhammad SAW.9
4. Sanad secara etimologi berarti sandaran atau tempat. Bentuk jama’ sanad adalah
asnad atau sanadat yang artinya jalan , sehingga ulama hadis mendefinisasikan
sanad menurut istilah adalah rangkaian urutan orang- orang yang menjadi
sandaran atau jalan yang menghubungkan hadis atau sunah sampai kepada Nabi
Muhammad SAW.10
Hadist dapat dilihat atau ditinjau dari beberapa segi yaitu dari segi
kuantitas dan kualitas. Dari sisi kuantitas, hadits terbagi menjadi 2, yakni :
1. Hadits Mutawatir ialah hadits yang diterima oleh orang banyak kemudian
disampaikan lagi kepada banyak orang, dan demikian seterusnya. Menurut
Imam Nawawi hadist mutawatir merupakan hadist shahih yang sejumlah besar
orang menurut akal dan adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sejak
awal sanad, tengah, dan akhir. Oleh karena itu kedudukan hadits mutawatir
sangat tinggi.11
2. Hadits Ahad ialah hadits yang belum memenuhi syarat –syarat mutawatir.12
8
Dari segi kualitas hadist di bagi menjadi 3 yaitu:
1. Hadist shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dhabit dari sejak awal hingga akhir sanad, tanpa adanya
syadz dan illat.14
2. Hadist Hasan adalah hadist yang bersambung sanandnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya tidak rancu dan
tidak bercacat. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahea hadist hasan hampir
sama dengan hadist shahih, akan tetapi terdapat perbedaan dalam ingatan
perawinya. Dengan kata lain bahwa syarat- syarat hadist hasan dapat dirinci
sebagai berikut:
Sanaddnya bersambung
Perawinya adil
Perawinya dhabit (hafalanya kuat), tetapi ke dhabit-tannya di bawah ke
dhabitan perawi hadist hasan
Tidak ada kejanggalan (syadz)
Tidak ada illat (cacat).15
3. Hadist Dhaif menurut bahasa dhaif berarti lemah, secara istilah hadist dhaif
adalah hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat- syarat hadist shahih dan
hasan.16
3. Ar-Ra’yu
Saat ini, telah banyak sekali persoalan baru yang muncul yang tidak
didapati pada zaman Nabi Muhammad. Persoalan ini juga tidak sepenuhnya
terdapat pembahasannya di dalam Al-Qur’an dan Hadis atau persoalan tersebut
sudah terjadi saat masa Rasulullah, tetapi masih ada perbedaan pendapat dalam
menguraikan sebuah ayat Al-Qur‟an atau hadits yang masih bersifat universal
atau umum. Karna adanya hal tersebut, maka umat Islam harus berani untuk
menemukan cara dan metode agar dapat memecahkan persoalan tersebut. Cara
14
Sintia Paramita, “Pembagian Hadist Bedasarkan Kualitas dan Kuantitas Sanad”, Kearsipan Fakultas
Imu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara, 2020, Hal.9
15
Ibid. H.10
16
Ibid. H.12
9
atau metode tersebut dikenal dengan istilah Ra’yu.17 Kata al-ra’yu sendiri
berasal dari kata ra’a, yarā’ ra’yan yang memiliki arti memperlihatkan, lalu dari
kata tersebut terbentuklah kata ra’yun yang memiliki bentuk jama’ berupa lafad
arā’u yang artinya adalah pendapat pikiran18. Ra‟yu sendiri merupakan sebuah
kata bahasa Arab yang sangat sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Mayoritas orang Arab atau orang yang mempelajari bahasa Arab sudah tidak
lagi asing dengan kata ini. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ra‟yu secara
bahasa merupakan bentuk masdar dari kata ra‟ā ( ) رأى, kemudian
penggunaannya lebih dalam arti maf`ūl yang berarti yang dilihat, yaitu ”sesuatu
yang dilihat oleh hati setelah menuangkan pemikiran dan perenungan yang
bertujuan untuk mengetahui kebenaran berdasarkan tanda-tanda atau isyarat
tertentu”.19 Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah menuangkan segala
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dzanni, dengan
menggunakan rasio yang kuat dan yang bersangkutan merasa tidak mampu lagi
mengupayakan lebih dari itu.
17
Muhammad Iqbal. PENGGUNAAN RA’YU DALAM METODE IJTIHAD MENURUT IMAM ABU
HANIFAH DALAM ILMU FIKIH. Jurnal EduTech Vol. 4 No.1 Maret 2018. H. 77
18
Nur Arfiyah Febriani. Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam. | AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012.
H. 379
19
Muhammad Iqbal. PENGGUNAAN RA’YU DALAM METODE IJTIHAD MENURUT IMAM ABU
HANIFAH DALAM ILMU FIKIH. Jurnal EduTech Vol. 4 No.1 Maret 2018. H. 74
20
H.R. Abu Daud
10
Maka dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber hukum islam
dapat diperoleh dengan;
Jika sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an, maka Al-Qur’an lah yang menjadi
sumber hukumnya
Jika tidak ada didalam Al-Qur’an, maka mencarinya didalam hadits
Jika dikedua nya juga tidak ditemukan, maka barulah boleh
menggunakan ra’yu21
Maka, hukum fikih yang berasal dari ijtihad yang sumbernya tidak
berasal dari Al-Quran dan As Sunnah itu disebut dengan hukum yang
berdasarkan pada ra‟yu atau rasio.24 Dalam berijtihad, tidak semua perkara dapat
menggunakan metode ijtihad. Adapun perkara yang dilarang menggunakan
ijtihad adalah persoalan yang hukumnya sudah diketahui secara pasti atau yang
telah ditetapkan dengan dalil yang qath‟ī al-tsubūt, seperti perkara tentang
wajibnya shalat, puasa, zakat, haji, dua kalimat syahadat, haramnya zina,
mencuri, minum khamar, membunuh, dan sanksi-sanksi hukumnya, karna semua
hal tersebut sudah dinyatakan di dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits. 25 Ijtihad yang
diperbolehkan adalah jika ijtihad tersebut mengenai bidang mu‟amalah (ihwal
ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syakhshiyyah (ihwal
21
Muhammad Iqbal. PENGGUNAAN RA’YU DALAM METODE IJTIHAD MENURUT IMAM ABU
HANIFAH DALAM ILMU FIKIH. Jurnal EduTech Vol. 4 No.1 Maret 2018. H. 77
22
Ibid, h. 83
23
Ibid, h. 77
24
Ibid, h. 80
25
Ibid, h. 81
11
kekeluargaan), dan da‟wah (mission), kedokteran, sains dan teknologi dan
sebagainya.
4. Kedudukan ijtihad
Hasil ijtihad itu relatif bisa berubah [tidak mutlaq]. Bahwa ijtihad
tidak mutlaq karena menginagt hasil ijtihad merupakan hasil analisa
akal,maka sesusai dengan sifat dari akal manusia senderi yang
relatif,maka hasilnya pun relatif pula. Pada saat sekarang bisa
berlaku, dan pada saat yang lain bisa tidak berlaku.
Hasil ijtihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu.
Dalam ketentuan ini generalisasi terhadap suatu masalah tidak bisa
dilakukan. Umat islam bertebaran di seluruh dunia dalam berbgai situasi
dan kondisi alamiah yang berbeda. Lingkungan sosial budayanya pun
sangat beraneka ragam . Ijtihad disuatu daerah tertentu belum tentu
berlaku pada daerah yang lain.
Proses ijtihad harus mempertimbangkan motivasi ,akibat dan
kemaslahatan umum [umat]
Hasil ijtihad tidak boleh berlaku pada persoalan ibadah [mahdlah],
sebab masalahnya tersebut sudah ada ketetapannya dalam al qur’an
dan sunnah, dengan demikian kaidah yang peting dalam melakukan
ijtihad ialah bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan
al qur’an dan sunnah.
BAB 3
PENUTUP
1. KESIMPULAN
12
dengan ijtihad adalah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penguasa atau
pemimpin yang status hukum tersebut belum ada dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam pertama yang didalamnya terkandung
segala ilmu pengetahuan dan segala aturan dalam kehidupan.
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-qur’an. Hadist
menurut ulama ushul fiqih yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir yang layak
dijadikan dalil bagi hukum syara’. Hadits berfungsi untuk mempertegas dan
memperjelas hukum yang disampaikan dalam Al-Qur’an. Lalu, jika status suatu hukum
belum ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, maka para pemimpin atau ulama
boleh melakukan ra’yu.
2. SARAN
Kelompok kita sangat menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kata
sempurna, maka dengan demikian kita sangat berharap penuh kepada pembaca jika ada
yang salah atau kurang untuk segera mengkritik dan memperbaikinya. Kita banyak
13
mengucapkan mohon maaf sebesar- besarnya atas kurangnya pengetahuan kita sehingga
membuat makalah ini jauh dari kata sempurna.
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan, Syaikh Manna. 2015. Pengantar Studi Ilmu Hadist. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Anwar, Shabri Shaleh , dan Jamaruddin, Ade. (2018). Takhrij Hadis . Riau: PT.
Indragiri Dot Com.
Febriani, Nur Arfiyah. (2012). Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal
AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 (halaman 379)
Jamaludin, Fitah. (2021). ”Diktat mata kuliah Ilmu Musthalah Hadist”. Diktat.
Jember: IAIN Jember.
Jaya, S. A. F. (2019). AL-QUR’AN DAN HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM. Jurnal Indo-Islamika, 9(2), 204-216.
15