Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SUMBER AJARAN ISLAM (HADITS, AL-QUR’AN, dan AR-RA’YU)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Studi Keislaman

DOSEN PENGAMPU :

BANI, M.Pd.I

Disusun oleh kelompok 5:

1.Ahmad solikin [ 126301213100 ]

2.Kevin sabara [ 126301213102 ]

3. Aliyandro syuja [ 126301213101 ]

SEMESTER 1

JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena telah memberikan
kelancaran dan kemurahann-Nya terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan
tugas mata kuliah Studi Keislaman dalam bentuk makalah, Sholawat serta salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad,
SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul “
Sumber Ajaran Islam” ini , masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini,
kami berharap dari makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan bagi kami maupun pembaca. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tulungagung, 3 oktober 2021

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB 1................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................1
A. Latar belakang...............................................................................................................1
B.Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C.Tujuan Masalah..............................................................................................................2
BAB 2................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
1. Al-Qur‟an......................................................................................................................3
2. AL-HADIST.................................................................................................................7
3. Ar-Ra’yu......................................................................................................................10
BAB 3..............................................................................................................................14
PENUTUP......................................................................................................................14
1. KESIMPULAN...........................................................................................................14
2. SARAN........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................16

II
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sumber utama ajaran agama dalam Islam yang utama adalah al-Qur‟an dan al-
Hadis atau al-Sunnah . Al-Qur‟an adalah Wahyu Allah yang mutlak kebenarannya dan
tidak dapat dibantah oleh akal dan kebenaran manusia, sehingga al-Qur‟an adalah
sumber ajaran utama dalam Islam. Al-Hadis atau al-Sunnah adalah sumber ajaran utama
yang kedua setelah al-Qur‟an, sebab al-Hadis atau al- Sunnah adalah ajaran-ajaran dan
contoh teladan dari Rasulullah SAW, menusia yang telah dipercaya dan diangkat oleh
Allah sebagai Rasul yakni utusan Allah untuk menyampaikan Agama Islam kepada
manusia. Hadis Rasul kedudukannya lebih tinggi dari pemikiran atau pendapat manusia
baik dia ulama maupun ilmuan, sehingga al-Hadis atau al-Sunnah dari Rasul harus
digunakan dalam menerapkan ajaran-ajaran agama. Al-Hadis atau Sunnah ini berupa
perkataan Nabi, perbuatan Nabi dan persetujuan Nabi. Sumber-sumber ajaran Islam,
berkaitan pula dengan sumber-sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber hukum
adalah dasar-dasar pijakan dalam pengambilan keputusan hukum. Para ulama sepkat
bahwa sumber hukum dalam Islam adalah , al-Qur‟an, Al-Hadis atau Al-Sunnah, dan
Ar-Ra’yu. Para ulama juga berpendapat bahwa hasil Ijtihad juga sebagai sumber hukum
dan ada juga yang lainnya yang tidak seluruhnya dibahas dalam tulisan ini . Hasil ijtihad
para ulama dapat dijadikan rujukan dalam mengambil keputusan hukum, sehingga hasil
ijtihat merupakan bagian dari sumber hukum dalam agama Islam. Adapun ijtihad itu
berfungsi pula sebagai metode penerapan hukum. Manakala terdapat hukum yang
terjadi pada umat Islam sedangkan dalam nash yang menunjukkan kesahihannya tidak
ditemukan maka para ulama berpendapat bahwa mereka dapat berijtihad untuk
menetapkan hukum tersebut demi kemaslahatan kehidupan umat Islam. Ijtihad ini
dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat Rasul dan para ulama ahli hukum yang
memenuhi syarat untuk berijtihad.1

1
Dr. H. Abd.Rozak, M.A Drs. H. Ja‟far, MA. Studi Islam Di Tengah Masyarakat Majemuk(Islam
Rahmatan lil „Alamin),Tangerang(2019).hal.24 -25

1
B.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan al-Quran ?
2. Apa yang dimaksud dengan hadis?
3. Apa yang dimaksud dengan ro’yu?

C.Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Al-Quran
2. Untuk mengetahui pengertian hadis
3. Untuk mengetahui pengertian Ro’yu

BAB 2

PEMBAHASAN

1. Al-Qur‟an

 Pengertian Al-Qur’an

Mengenai pengertian Al-Qur'an ini cukup banyak dan berbedabeda


dalam pengungkapannya. Ada yang menambahnya dengan keterangan
membacanya menjadi ibadah, dan ada pula yang menambahnya dengan
keterangan yang diriwayatkan dari Nabi Saw secara mutawatir. Sebagian
ulama ada yang menambahnya dengan kata-kata yang mengandung mu'jizat.
Tetapi, pada prinsipnya terdapat persamaan mengenai pengertian Al-Qur'an,
yaitu Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pengertian
tersebut, sejalan. dengan apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman.
Menurutnya, AIQur'an adalah firman Tuhan (AJJah SWT) ( 1994:32). Kata
AI-Qur'an secara lughawi, merupakan bentuk kata yang muradif dengan kata

2
Al-Qira'ah, yaitu bentuk mashdar dari fi 'if madhi 'qara 'a·, yang berarti
bacaan. Arti qara 'a lainnya ialah mcngumpulkan atau menghimpun,
menghimpun huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapih.
Sedangkan arti qara 'a dalam arti mashdar. (infinitif) seperti di atas, disebut
dalam firman AIJah SWT surat AI-Qiyamah, ayat 17-18 yang artinya:
Sesungguhnya alas tanggungan kami/ah mengumpulkannya (dalam dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah se!esai
membacanya maka ikutilah bacaannya.

 Macam-macam Nama Al-qur’an

Selain dari Al-Qur’an disebut juga sebagai berikut :

1. Al-Furqan yang membedakan (antara yang benar dan yang salah, antara yang
baik dengan yang buruk, haq dengan bathil).

2. Al-Haqq yang berarti kebenaran Ilahi yang mutlak sempurna.

3. Al-Hikmah yang berarti hikmah atau kebijaksanaan.

4. Al-Huda yang berarti petunjuk hidup.

5. As-Syifa yang berarti penyembuhan ruhani.

6. Ad-Dzikru yang berarti pengingat

7. Al-Kitab yang berarti tulisan atau yang ditulis

 Isi Pokok dalam Al- Qur’an

Merujuk pada pembahasan para ulama’, sebagian dari mereka ada yang
membagi hukum yang terkandung dalam al-Qur’an menjadi tiga,15 sebagaimana
pernyataan Wahbah Zuhaili di dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi yang juga
dikutip oleh Ernawati, diantaranya:

a) Hukum Akidah (I’tiqadiyah) ialah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan


manusia kepada Allah swt. dan juga kepada para Malaikat, Kitab, Rasul, serta
hari akhir.

3
b) Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan
menghindari sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki,
sombog.

c) Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan


dengan sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian, yakni:
Pertama,muamalah ma’a Allah atau pekerjaan yang berhubungan dengan Allah,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya; Kedua, muamalah
ma’a an-Naas atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia baik
secara2

 Fungsi Al- Qur‟an :

a) Al-Qur‟an Sebagai Petunjuk (Huda)

Allah SWT berfirman ;

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Di awal surat al-baqarah tersebut Allah SWT menyebut al-Qur‟an


sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Adapun petunjuk bagi orang
bertaqwa mempunyai arti bahwa mereka mampu mengambil manfaat dan faedah
dari al-Qur‟an tersebut. Al-Qur‟an merupakan petunjuk dilalah dan irsyad
(penjelasan dan pembimbing) bagi seluruh manusia, dan petunjuk bagi orang
yang bertaqwa, khususnya mereka yang memenuhi panggilan al-Qur‟an.

b) Al-Quran Sebagai Ruh

2
Septi Aji Fitra Jaya, Alqur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam,9. no 2 (2019),hal.208

4
Di dalam ayat yang lain, Allah SWT menyebut al-Qur‟an dengan ruh,
dan salah satu makna ruh di sini adalah segala yang menjadikan hati hidup
penuh dengan makna.

c) Al-Qur‟an Sebagai Cahaya (Nur)

Allah SWT menamai al-Qur‟an dengan Nur (cahaya), yaitu sesuatu yang
menerangi jalan yang terbentang di hadapan manusia sehingga manusia mampu
melewatinya tanpa ada hambatan.

d) Al-Qur‟an Sebagai Pembeda (Al-Furqan)

“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada
hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (QS :
Al Furqaan : 1)

Artinya al-Qur‟an membedakan antara yang hak dengan yang batil, antara yang
lurus dengan yang sesat, yang bermanfaat dengan yang berbahaya.

e) Al-Qur‟an Sebagai Obat Penawar (Asy Syifa)

Al-Qur‟an bersifat Asy syifa (obat penawar) sebagaimana disebutkan dalam


firman Allah SWT yang terjemahnya :

“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu


dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.(QS : Yunus : 57) Dia merupakan
obat bagi penyakit yang bersifat hakiki (menimpa badan) dan penyakit yang
bersifat maknawi (menimpa hati)3

 Cara al-Qur’an Menjelaskan Ayat-Ayat Hukum

Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang sifatnya umum, maka


sebagian besar hukum yang dijelaskan bersifat global dan hanya beberapa yang
bersifat mendetail.

a) Ijmali (global)

3
Dr. H. Abd.Rozak, M.A Drs. H. Ja‟far, MA. Studi Islam Di Tengah Masyarakat Majemuk(Islam
Rahmatan lil „Alamin),Tangerang(2019).hal. 33 -34

5
Penjelasan al-Qur’an bersifat umum, sedangkan sunnah Nabi yang
nantinya akan menjelaskan lebih mendetail. Sebagaimana perintah mendirikan
shalat, membayar zakat, dan penjelasan lafadz yang tidak jelas secara makna.
Allah swt. Berfirman:

“Dirikanlah shalat” (Q.S. al-Baqarah: 43). Ayat tersebut berupa perintah untuk
mendirikan sholat, tidak ada penjelasan mengenai tata cara dan waktu
pelaksanaannya. Maka disinilah Sunnah Nabi berperan adanya, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Shallu kama ra’aytumuni ushalli).

b) Tafshili (terperinci)

Al-Qur’an memaparkan hukum secara terperinci, dan disertai pejelasan


yang mendetail, adapun sunnah Nabi menjadi penguat bagi penjelasan al-Qur’an
tersebut. Contohnya, hukum waris, tata cara dan hitungan dalam thalaq, mahram
(orang yang haram untuk dinikahi), tata cara li’an (saling melaknat) antara suami
dan istri, dan penetapan hukuman dalam kasus pidana hudud

c) Isyarah (isyarat)

Penjelasan al-Qur’an hanya sebatas pokok hukum, baik secara isyarat


maupun secara ungkapan langsung. Adapun sunnah Nabi memberikan
penjelasan hukum yang terkandung dalam pokok bahasan tersebut secara
terperinci.4

2. Hadits
Secara bahasa, kata hadist atau al-hadist berarti baru, dekat, atau berita.
Sedangkan hadist menurut ulama ushul fiqih yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrir yang layak dijadikan dalil bagi hukum syara’5. Kedudukan hadist
sebagai sumber ajaran islam didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Quran,
selain itu para sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajibnya mengikuti
hadist baik pada masa rasulullah hidup maupun setelah wafat.

4
Septi Aji Fitra Jaya, Alqur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam,9. no 2 (2019),hal.210
5
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), 36

6
Para ahli hadist berpendapat bahwa hadist sama dengan sunnah, kedua
kata tersebut memiliki pengertian yang sama. Akan tetapi, terdapat beberapa
perbedaaan antara hadist dengan sunnah, hadist merupakan perkataan,
perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW yang sudah tertulis dan telah
diriwayatkan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya secara bersambung dan
turun temurun. Sedangkan sunnah adalah wahyu Allah yang diterima dan
dipraktikkan Nabi Muhammad SAW untuk kemudian diriwayatkan oleh sahabat
ke generasi selanjutnya. Sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Quran,
hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan al-Quran beberapa
fungsi hadist yaitu sebagai bayan atau menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang
masih global sebagaimana pendapat Imam Malik yang dikutip oleh Rohmansyah
bahwa hadist mempunyai empat fungsi utama yang menghubungkan dengan al-
Quran, fungsi yang pertama sebagai bayan al-taqrir atau yang menetapkan dan
mengokohkan hukum- hukum al-Quran, fungsi yang kedua sebagai bayan al-
taqrir atau yang menjelaskan dan menerangkan maksud dari ayat- ayat al-
Quran,yang ketiga hadist berfungsi sebagai bayan al-tafshil atau yang
menjelaskan ayat ayat yang masih mujmal, fungsi hadist yang keempat sebagai
bayan al-basthi yakni memanjangkan keterangan yang masih ringkas dalam al-
Qur’an.6

Struktur penyusun hadist di bagi menjadi empat yaitu:


1. Mukharrij adalah perawi terakhir yang meriwayatkan hadis. Atau dengan kata
lain, mukharrij adalah perawi terakhir sekaligus perawi yang berhasil
menghimpun berbagai macam hadis dalam sebuah kitab hadis. Misalnya al-
Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibn Majah dan lain
sebagainya adalah ulama yang menghimpun suatu hadis dalam karya-karya
mereka. Istilah mukharrij juga identik dengan istilah mukhrij. Kedua istilah
tersebut terkait erat dengan kegiatan takhrij al-hadits.7

6
Indah Husnul Khotimah, POLEMIK HADIST SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM, Jurnal EdutTech
Vol. 4 No. 17 Januari 2018. H. 9
7
Fitah Jamaludin, M. Ag, Diktat: ”Diktat mata kuliah Ilmu Musthalah Hadist”, (Jember: IAIN Jember,
2021), Hal. 7

7
2. Perawi atau rawi hadist adalah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan
hadis.8
3. Matan secara etimologi dapat diartikan dengan membelah dan mengeluarkan,
sedangkan secara istilah adalah perkataan disebutkan pada ujung atau akhir dari
sanad yang berisi tentang pesan yang disampaikan atau di ucapkan Nabi
Muhammad SAW.9
4. Sanad secara etimologi berarti sandaran atau tempat. Bentuk jama’ sanad adalah
asnad atau sanadat yang artinya jalan , sehingga ulama hadis mendefinisasikan
sanad menurut istilah adalah rangkaian urutan orang- orang yang menjadi
sandaran atau jalan yang menghubungkan hadis atau sunah sampai kepada Nabi
Muhammad SAW.10

Hadist dapat dilihat atau ditinjau dari beberapa segi yaitu dari segi
kuantitas dan kualitas. Dari sisi kuantitas, hadits terbagi menjadi 2, yakni :
1. Hadits Mutawatir ialah hadits yang diterima oleh orang banyak kemudian
disampaikan lagi kepada banyak orang, dan demikian seterusnya. Menurut
Imam Nawawi hadist mutawatir merupakan hadist shahih yang sejumlah besar
orang menurut akal dan adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sejak
awal sanad, tengah, dan akhir. Oleh karena itu kedudukan hadits mutawatir
sangat tinggi.11
2. Hadits Ahad ialah hadits yang belum memenuhi syarat –syarat mutawatir.12

Syarat-syarat hadist mutawatir


1. Diriwayatkan sejumlah besar perawi
2. Ada kesinambungan jumlah perawi antara thabaqah masing- masing
3. Diperoleh dari Nabi bedasarkan pancaindra
4. Jumlah perawinya mencapai jumlah yang menurut adat dan akal mereka tidak
akan berdusta.13
8
Ibid. H. 7
9
Dr. Shabri Shaleh Anwar ,M.Pd.I dan Dr. Ade Jamaruddin, SS.MA, Takhrij Hadist, (Riau, PT. Indragiri
Dot Com), 20
10
Ibid. H.18
11
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis , (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar), 109
12
Ibid. H. 113
13
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis , (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar), 110

8
Dari segi kualitas hadist di bagi menjadi 3 yaitu:
1. Hadist shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dhabit dari sejak awal hingga akhir sanad, tanpa adanya
syadz dan illat.14
2. Hadist Hasan adalah hadist yang bersambung sanandnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya tidak rancu dan
tidak bercacat. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahea hadist hasan hampir
sama dengan hadist shahih, akan tetapi terdapat perbedaan dalam ingatan
perawinya. Dengan kata lain bahwa syarat- syarat hadist hasan dapat dirinci
sebagai berikut:
 Sanaddnya bersambung
 Perawinya adil
 Perawinya dhabit (hafalanya kuat), tetapi ke dhabit-tannya di bawah ke
dhabitan perawi hadist hasan
 Tidak ada kejanggalan (syadz)
 Tidak ada illat (cacat).15
3. Hadist Dhaif menurut bahasa dhaif berarti lemah, secara istilah hadist dhaif
adalah hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat- syarat hadist shahih dan
hasan.16

3. Ar-Ra’yu

Saat ini, telah banyak sekali persoalan baru yang muncul yang tidak
didapati pada zaman Nabi Muhammad. Persoalan ini juga tidak sepenuhnya
terdapat pembahasannya di dalam Al-Qur’an dan Hadis atau persoalan tersebut
sudah terjadi saat masa Rasulullah, tetapi masih ada perbedaan pendapat dalam
menguraikan sebuah ayat Al-Qur‟an atau hadits yang masih bersifat universal
atau umum. Karna adanya hal tersebut, maka umat Islam harus berani untuk
menemukan cara dan metode agar dapat memecahkan persoalan tersebut. Cara
14
Sintia Paramita, “Pembagian Hadist Bedasarkan Kualitas dan Kuantitas Sanad”, Kearsipan Fakultas
Imu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara, 2020, Hal.9
15
Ibid. H.10
16
Ibid. H.12

9
atau metode tersebut dikenal dengan istilah Ra’yu.17 Kata al-ra’yu sendiri
berasal dari kata ra’a, yarā’ ra’yan yang memiliki arti memperlihatkan, lalu dari
kata tersebut terbentuklah kata ra’yun yang memiliki bentuk jama’ berupa lafad
arā’u yang artinya adalah pendapat pikiran18. Ra‟yu sendiri merupakan sebuah
kata bahasa Arab yang sangat sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Mayoritas orang Arab atau orang yang mempelajari bahasa Arab sudah tidak
lagi asing dengan kata ini. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ra‟yu secara
bahasa merupakan bentuk masdar dari kata ra‟ā ( ‫) رأى‬, kemudian
penggunaannya lebih dalam arti maf`ūl yang berarti yang dilihat, yaitu ”sesuatu
yang dilihat oleh hati setelah menuangkan pemikiran dan perenungan yang
bertujuan untuk mengetahui kebenaran berdasarkan tanda-tanda atau isyarat
tertentu”.19 Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah menuangkan segala
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dzanni, dengan
menggunakan rasio yang kuat dan yang bersangkutan merasa tidak mampu lagi
mengupayakan lebih dari itu.

Pembolehan metode ra’yu untuk dijadikan sumber hukum itu


berdasarkan dengan hadits Nabi yang berbunyi: “…Bahwa Rasūlullāh SAW
ketika hendak mengutus Mu‟ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau
menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu‟ādz
menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur‟ ān).
Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab
Allah? Jawab Mu‟ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak
menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu‟ādz
menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra‟yu) saya. Nabi
bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan
Rasūlullāh SAW dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.”20

17
Muhammad Iqbal. PENGGUNAAN RA’YU DALAM METODE IJTIHAD MENURUT IMAM ABU
HANIFAH DALAM ILMU FIKIH. Jurnal EduTech Vol. 4 No.1 Maret 2018. H. 77
18
Nur Arfiyah Febriani. Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam. | AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012.
H. 379
19
Muhammad Iqbal. PENGGUNAAN RA’YU DALAM METODE IJTIHAD MENURUT IMAM ABU
HANIFAH DALAM ILMU FIKIH. Jurnal EduTech Vol. 4 No.1 Maret 2018. H. 74
20
H.R. Abu Daud

10
Maka dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber hukum islam
dapat diperoleh dengan;

 Jika sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an, maka Al-Qur’an lah yang menjadi
sumber hukumnya
 Jika tidak ada didalam Al-Qur’an, maka mencarinya didalam hadits
 Jika dikedua nya juga tidak ditemukan, maka barulah boleh
menggunakan ra’yu21

Penalaran yang menggunakan ra‟yu itu digunakan untuk metode ijtihad.


Ijtihad itu sendiri memiliki fungsi untuk menetapkan hukum terhadap suatu
persoalan bila persoalan tersebut tidak ditemukan aturan-aturannya yang jelas
didalam Al Qur‟an dan As Sunnah.22 Kata Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau
al-juhd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan dan kesusahan) dan al-thāqah atau
al-wus‟u (kesanggupan dan kemampuan).23 Sedangkan ijtihad menurut Bahasa
memiliki pengertian sebagai mengeluarkan semua kemampuan seorang faqih
(mujtahid) untuk menggali hukum-hukum syara‟ yang masih bersifat zhanni
(bukan pada masalah hukum yang sudah bersifat qath‟i dan tetap).

Maka, hukum fikih yang berasal dari ijtihad yang sumbernya tidak
berasal dari Al-Quran dan As Sunnah itu disebut dengan hukum yang
berdasarkan pada ra‟yu atau rasio.24 Dalam berijtihad, tidak semua perkara dapat
menggunakan metode ijtihad. Adapun perkara yang dilarang menggunakan
ijtihad adalah persoalan yang hukumnya sudah diketahui secara pasti atau yang
telah ditetapkan dengan dalil yang qath‟ī al-tsubūt, seperti perkara tentang
wajibnya shalat, puasa, zakat, haji, dua kalimat syahadat, haramnya zina,
mencuri, minum khamar, membunuh, dan sanksi-sanksi hukumnya, karna semua
hal tersebut sudah dinyatakan di dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits. 25 Ijtihad yang
diperbolehkan adalah jika ijtihad tersebut mengenai bidang mu‟amalah (ihwal
ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syakhshiyyah (ihwal

21
Muhammad Iqbal. PENGGUNAAN RA’YU DALAM METODE IJTIHAD MENURUT IMAM ABU
HANIFAH DALAM ILMU FIKIH. Jurnal EduTech Vol. 4 No.1 Maret 2018. H. 77
22
Ibid, h. 83
23
Ibid, h. 77
24
Ibid, h. 80
25
Ibid, h. 81

11
kekeluargaan), dan da‟wah (mission), kedokteran, sains dan teknologi dan
sebagainya.

4. Kedudukan ijtihad

 Hasil ijtihad itu relatif bisa berubah [tidak mutlaq]. Bahwa ijtihad
tidak mutlaq karena menginagt hasil ijtihad merupakan hasil analisa
akal,maka sesusai dengan sifat dari akal manusia senderi yang
relatif,maka hasilnya pun relatif pula. Pada saat sekarang bisa
berlaku, dan pada saat yang lain bisa tidak berlaku.
 Hasil ijtihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu.
Dalam ketentuan ini generalisasi terhadap suatu masalah tidak bisa
dilakukan. Umat islam bertebaran di seluruh dunia dalam berbgai situasi
dan kondisi alamiah yang berbeda. Lingkungan sosial budayanya pun
sangat beraneka ragam . Ijtihad disuatu daerah tertentu belum tentu
berlaku pada daerah yang lain.
 Proses ijtihad harus mempertimbangkan motivasi ,akibat dan
kemaslahatan umum [umat]
 Hasil ijtihad tidak boleh berlaku pada persoalan ibadah [mahdlah],
sebab masalahnya tersebut sudah ada ketetapannya dalam al qur’an
dan sunnah, dengan demikian kaidah yang peting dalam melakukan
ijtihad ialah bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan
al qur’an dan sunnah.

BAB 3

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw


sebagai mukjizat melalui perantara malaikat jibril, sedangkan Hadits adalah segala yang
dating dari Nabi saw baik perkataan, perbuatan maupun taqir, lalu yang dimaksud

12
dengan ijtihad adalah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penguasa atau
pemimpin yang status hukum tersebut belum ada dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam pertama  yang didalamnya terkandung
segala ilmu pengetahuan dan segala aturan dalam kehidupan.

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-qur’an. Hadist
menurut ulama ushul fiqih yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir yang layak
dijadikan dalil bagi hukum syara’. Hadits berfungsi untuk mempertegas dan
memperjelas hukum yang disampaikan dalam Al-Qur’an. Lalu, jika status suatu hukum
belum ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, maka para pemimpin atau ulama
boleh melakukan ra’yu.

Al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah menuangkan segala kemampuan untuk


mencari hukum syara’ yang bersifat dzanni, dengan menggunakan rasio yang kuat dan
yang bersangkutan merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu. Pembolehan
metode ra’yu untuk dijadikan sumber hukum itu berdasarkan dengan hadits Nabi yang
berbunyi: “…Bahwa Rasūlullāh SAW ketika hendak mengutus Mu‟ādz ke Yaman
bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu
suatu perkara? Mu‟ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah
(Al-Qur‟ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam
Kitab Allah? Jawab Mu‟ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak
menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu‟ādz menjawab:
Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra‟yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji
bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW dengan apa yang
diridhai Rasūlullāh.”

2. SARAN

Kelompok kita sangat menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kata
sempurna, maka dengan demikian kita sangat berharap penuh kepada pembaca jika ada
yang salah atau kurang untuk segera mengkritik dan memperbaikinya. Kita banyak

13
mengucapkan mohon maaf sebesar- besarnya atas kurangnya pengetahuan kita sehingga
membuat makalah ini jauh dari kata sempurna.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathan, Syaikh Manna. 2015. Pengantar Studi Ilmu Hadist. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Anwar, Shabri Shaleh , dan Jamaruddin, Ade. (2018). Takhrij Hadis . Riau: PT.
Indragiri Dot Com.
Febriani, Nur Arfiyah. (2012). Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal
AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 (halaman 379)

Iqbal, Muhammad. 2018. PENGGUNAAN RA’YU DALAM METODE IJTIHAD


MENURUT IMAM ABU HANIFAH DALAM ILMU FIKIH. Jurnal EduTech Vol. 4 No.1
(halaman 77)

Jamaludin, Fitah. (2021). ”Diktat mata kuliah Ilmu Musthalah Hadist”. Diktat.
Jember: IAIN Jember.
Jaya, S. A. F. (2019). AL-QUR’AN DAN HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM. Jurnal Indo-Islamika, 9(2), 204-216.

Khotimah, Indah Husnul. 2018. “ POLEMIK HADIST SEBAGAI SUMBER


AJARAN ISLAM”, Jurnal EdutTech Vol. 4 No.8. (halaman 09).
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Paramita, Sintia.(2020). “Pembagian Hadist Bedasarkan Kualitas dan
Kuantitas Sanad”, Sumatera Utara: UIN Sumatera Utara.
Rozak, A.(2019) Studi islam di tengah masyarakat majemuk (Islam Rahmatan
lil Alamin).Tangerang Selatan: Yayasan Asy Syariah Modern Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai