USHUL FIQH
(Sumber Hukum Islam dan Pembagiannya)
Assalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh.
Alhamdulillah, dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wata‟ala yang Maha Besar
dan Maha Agung , kami panjatkan puji syukur sebesar-besarnya karena atas kehadirat-Nya
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta segala pertolongan-Nya kepada kami.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebuah pembahasan tentang
“Sumber Hukum Islam dan Pembagiannya”.
Makalah ini telah kami susun dengan se- maksimal mungkin untuk memenuhi tugas
dalam mata kuliah Ushul Fiqh. Serta dalam menyelesaikan makalah ini, kami juga
mendapatkan bantuan dan arahan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini dalam jangka waktu yang telah ditentukan.. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Dhofir Catur Bashori, S.H., M.H.I.
dimana atas bimbingan beliau kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Namun dari semua itu, kami juga menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Maka dari itu tanpa
mengurangi segala hormat, kami menerima segala bentuk saran maupun kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.Sekian dan selamat membaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
2.4 Peran atau Fungsi Al Hadits terhadap Al Qur‟an Dalam Pembentukan Suatu Hukum ... 8
PENUTUP................................................................................................................................ 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah Allah dan taatlah Rasul-Nya, dan ulil
amri yang beriman diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”. (Q.S. an-Nisa‟:59)
Maka dari itu penulis akan sedikit membahas tentang sumber hukum Islam yang selama
ini menjadi pedoman umat Islam dalam menentukan hukum. Diantara empat sumber hukum
Islam yang ada, pada kesempatan ini penulis akan membehas mengenai sumber hukum Islam
yang pertama dan kedua yaitu Al Qur‟an dan Hadits (Sunnah Rasul).
2
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya: “Al Qur‟an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang
ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir,
tanpa ada keraguan”.
Al Qur‟an diturunkan di kota Makkah tepatnya di Gua Hira pada 611 M dan berakhir di
kota Madinah pada 633 M secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari dengan
ayat pertama yang diturunkan adalah ayat 1-5 Surah Al-Alaq sebagai berikut:
Artinya: (1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; (2) Dia telah
menciptakan manusia dengan segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
Pemurah; (4) Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam; (5) Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam kajian ushul fiqh Al Qur‟an merupakan sumber hukum pertama dalam
menetapkan suatu hukum. Adapun dalam arti luas hukum-hukum yang terdapat dalam Al
Qur‟an yaitu hukum i‟taqadiyah, hukum khuluqiyah, dan hukum „amaliyah. Sedangkan
3
dalam arti sempit terbagi menjadi dua yaitu hkum-hukum ibadat atau fiqh ibadat, dan hukum
muamalat atau fiqh muamalat.
2.1.2 Definisi Hadits atau Sunnah Rasulullah
Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti
pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa arti; yaitu
1. “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu).
Dalam hal ini yang dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid
adalah hadis Nabi saw. Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur‟an disebut
wahyu yang matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah wahyu
yang ghair matluw sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril. Nah, kalau keduanya sama-
sama wahyu, maka dikotomi, yang satu qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.
2. “Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,
3. “Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan
dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan أخربنا, حدثنا,و
)أنبأناmegabarkan kepada kami, memberitahu kepada kami dan menceritakan kepada
kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang jamaknya
“ahadits”.
Sedangkan pengertian hadits secara terminologi menurut ahli ushul, hadits adalah:
اقواىل صىل اىلل عليو وسلم وافعاىل وتقاريره مما يتعلق بو حكم بنا
“Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi SAW
yang bersangkut paut dengan hukum”.
Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul fiqih di atas, berarti informasi tentang
kehidupan Nabi ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan makan dan pakaian yang tidak ada
relevansinya dengan hukum, maka tidak disebut sebagai hadis.
Menurut istilah ushul iqh, Sunnah Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad
„Ajjaj al-Khatib (guru besar Hadis Universitas Damaskus), berarti “segala perilaku
Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qaulyyiah),
perbuatan (Sunnah fi‟liyyah), atau pengakuan (Sunnah taqririyah).” Contoh Sunnah
qaulyyiah (ucapan) adalah sabda Rasulullah SAW:
َ ضى أ َ ْن َل
َ ض َز َر َولَ ِض َز
ار َ َسلَ َم ق
َ علَ ْي ِه َو َ صلَى
َ ُاَلل َ ِاَلل
َ َرسُى َل َت أَن ِ عبَادَةَ ب ِْن الص
ِ َام ُ ع َْن
“Dari Ubadah bin Samit, sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan bahwa tidak boleh
melakukan kemudaratan, dan tidak pula boleh membalas kemudaratan dengan kemudaratan.”
(HR. Ibnu Majah)
4
Sementara contoh Sunnah fi‟liyyah ialah tentang perincian tata cara shalat, sebagai
berikut: Dari Ibnu Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Saya shalat seperti sahabat-sahabatku melaksanakan shalat, aku tidak melarang seseorang di
antara mereka shalat, baik siang maupun malam seseuai yang dikehendakinya, kecuali
mereka sengaja shalat pada saat terbit dan tenggelamnya matahari.” (HR. Bukhari)
Sunah takririah, yaitu apa yang ditetapkan oleh R.nsul, dari apa yang bersumber dari
sebagian sahabat. Berupa perkataan, perbuatan dan sukutnya (berdiam diri saja) dan lidak
mengingkarinya, Atau dengan menyetujuinya, dan menyatakan kebaikan-kebaikannya. Maka
diambil pelajaran dari ketetapan ini, dan menyetujui perbuatan yang bersumber dari Rasul itu
sendiri. Umpama,: Ada hadis yang berbunyi, Ada dua or^g sahabat. Kedua orang ini ke luar.
Dalam perjalanan tiba waktu sembahyang. Karena tidak mendapatkan air, maka kedua orang
ini bertayamum lalu sembahyang. Kemudian dalam waktu itu juga terdapat air. Maka salah
seorang dari kedua orang itu diulang sembahyangnya. Tapi yang seorang lagi tidak. Ketika
kedua orang itu menyampaikan peristiwanya itu kepada Nabi SAW maka kedua orang itu
diberi ketetapan oleh Nabi SAW terhadap apa yang merekakeijakan itu. Kata Nabi kepada
yang seorang, yaitu yang tidak mengulang sembahyangnya itu. Engkau tclah menjalankan
sunah. Sembahyang engkau itu akanmendapat pahala. Kata Nabi kepada orang yang
mengulang sembahyangnya itu. Untuk engkau pahala dua kali lipat.
5
Artinya: “Dan ingatlah akan hari ketika Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi
atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas
seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur‟an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri”. (Q.S. An-Nahl:89)
Kemukjizatan Al Qur‟an terlihat ketika ada tatangan dari berbagai pihak untuk
menandinginya, sehingga para ahli sastra Arab dimana pun dan kapan pun tidak isa
menandinginya. Kemukjizatan Al Qur‟an akan berlaku sepanjang zaman serta Al Qur‟an
bersifat maknawi, tidak dapat dilihat keistimewaannya dengan mata, akan tetapi dapat
dirasakan. Oleh sebab itu mukjizat akan tetap berlaku sepanjang masa, meskipun Rasulullah
telah wafat.
Pertama yaitu Nash Al Qur‟an. Seringkali Allah SWT di dalam kitab suci menyuruh
untuk taat kepada Rasul. Taat dan patuh kepada Rasul ini sama halnya taat kepada Allah
SWT. Allah menyuruh kepada orang muslimin jika ada permasalahan dikembalikan kepada
Allah dan Rasul. Semua bukti-bukti yang datangnya dari Allah itu menunjukkan bahwa
tasyri‟ Rasul itu adalah tasyri‟ ilahi yang wajib dijalankan. Allah berfirman dalam Al Qur‟an:
6
2.3 Peran Al Qur’an Dalam Pembentukan Hukum
Peran Al Qur‟an dalam membentuk atau menetapkan suatu hukum ialah sebagai berikut:
b. Menyedikitkan tuntutan
Selain itu ayat Alqur'an yang berjumlah 6342 ayat ( menurut sebagian pendapat)
hanya sekitar 500 ayat saja yang berkaitan dengan hukum, bahkan sebagian pendapat
menyebutkan kurang dari 500 ayat. Ini menunjukan bahwa Alqur'an menyedikitkan tuntutan.
Demikian juga misalnya ; perintah zakat, hanya bagi orang yang mampu saja, Ibadah haji,
juga hanya bagi orang yang istitha saja.
Hal ini dibuktikan dengan seringnya Alqur'an menyebutkan sebab atau illat hukum.
Misalnya tentang adanya pengaturan harta, disebut bahwa pengaturan tersebut dimaksudkan
agar harta itu tidak hanya berputan di antara orang yang kaya saja. Juga dalam hal tidak boleh
mencaci berhala:
7
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami…”(Q.S. Al-An‟am:108)
Dalam ayat ini telah dijelaskan adanya larangan memaki-maki berhala, karena bila kita
memaki-maki berhala, mereka pun akan memaki-maki Allah.
2.4 Peran atau Fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an Dalam Pembentukan Suatu
Hukum
Imam Malik bin Anas menyebutkan lima fungsi hadits, yaitu bayan al- taqrir, bayan al
Tafsir, bayan al tafsil, bayan al ba'ts, bayan al tasyri'. Imam Syafi‟i menyebutkan bayan al-
tafsil, bayan at takhshih, bayan al ta'yin, bayan al tasyri', bayan al nasakh. Dalam ar risalah ia
menambahkan dengan bayan al Isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi
hadits yaitu: bayan al ta'kid, bayan al tafsir, bayan al tasyri' dan bayan al takhshish.
Dr. Muthafa As Siba‟iy menjelaskan, bahwa fungsi hadits terhadap al Qur‟an, ada
3(tiga) macam, yakni: (1) Memperkuat hukum yang terkandung dalam al Qur‟an, baik yang
global maupun yang detail; (2) Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al Qur‟an
yakni mentaqyidkan yang mutlak quran, mentafsilkan yang mujmal dan mentakhsishkan
yang „am; (3) Menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al Qur‟an.
Adapun fungsi hadist terhadap al Qur‟an yang dikemukaan berfungsi sebagai
dikemukakan Muhammad Abu Zahw antara lain: (1) hadist sebagai bayan at Tafsil; (2) hadist
berfungsi sebagai bayan at ta'kid; (3) hadist berfungsi sebagai bayan al muthlaq atau bayan at
taqyid; (4) Hadist berfungsi sebagai bayan at takhsis; hadist berfungsi sebagai bayan at tasyri;
(5) hadist berfungsi sebagai bayan an nasakh.
Fungsi hadist terhadap al-Qur‟an secara umum adalah menjelaskan makna kandungan
al Al-Qur‟an atau lil bayan (menjelaskan). Hanya saja penjelasan tersebut diperinci oleh para
ulama ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan
(bayan) hadist terhadap al-Qur‟an, yaitu sebagai berikut:
8
1. Bayan at-Taqrir
Bayan at Taqrir disebut dengan bayan at-ta'kid dan bayan al- itsbat, yang dimaksud
dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al
Qur‟an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al Qur‟an. Sehingga
dalam hal ini, hadist hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan dalam al-Qur‟an. Sebagai
contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Umar, sebagai berikut:
“Apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat
(ru'yah) itu maka berbukalah”.(H.R Muslim)
Hadist ini men-taqrir juga terdapat pada ayat Q.S al Baqarah (2): 185:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaknya ia berpuasa pada bulan itu.”
Menurut sebagian ulama, bayan ta'kid atau bayan taqrir ini disebut juga dengan
bayan al muwafiq li an-nashl al Kitab. Hal ini dikarenakan munculnnya hadits-hadits itu
sesuai dengan nash al-Quran.
2. Bayan At-Tafsir
Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian
dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur‟an yang masih bersifat global(mujmal), memberikan
persyaratan/batasan(taqyid) ayat-ayat al Qur‟an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan
(takhsish) terhadap al Qur‟an yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat
al-Qur‟an yang masih mujmal, baik adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat,
disyariatkan jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan sebagainya. Ayat- ayat al Qur‟an tentang
masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-
syaratnya, atau halangan- halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui hadistnya
menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadist-hadist berikut:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang- orang yang ruku'.”
9
3. Bayan at Tasyri'
Bayan at tasyri‟ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang dapat tidak
didapati dalam al-Qur‟an atau dalam al-Qur‟an hanya terdapat pokok-pokonya saja. Dalam
hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan apa
yang ditetapka oleh Nabi hakikatnya adalah penjelasan apa yang ditetapkan atau disinggung
dalam al-Qur‟an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas.
Dalam hal ini sebagai contoh adalah sebuah hadits yang menyatakan melarang
seorang suami memadu istrinya dengan dua wanita bersaudara. Hadist ini secara dhahir
berbeda dengan Q.S an-Nisa‟ (4): 24, maka pada hakikatnya hadist tersebut adalah
penambahan atau penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah dalam firman tersebut.
Contoh lain yang adalah menghukum yang tidak bersandar kepada saksi dan sumpah apabila
tidak mempunyai dua orang saksi dan seperti radha'ah (saudara sepersusuan) mengharamkan
pernikahan keduanya, mengingat ada hadist yang menyatakan:
Haram karena radha' apa yang haram lantaran nasab (keturunan). ( H. R Ahmad
dan Abu Dawud)
Hadist Rasulullah Saw yang termasuk bayan at-tasyri', wajib diamalkan. Sebagaimana
kewajiban mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnul al Qayyim berkata, bahwa hadist-hadist
Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al Qur‟an, merupakan kewajiban atau aturan
yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul
Saw) mendahului al-Qur‟an melainkan semata-mata karena perintah- Nya.
4. Bayan al Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para ulama,
meskipn untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisi
(pengertian) nya saja. Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist hadist sebagai nasikh terhadap
sebagian hukum al Quran dan ada juga yang menolaknya.
Kata an-Nasakh dari segi bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al- ibdthal
(membatalkan), al ijalah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan), atau at- taqyir
(mengubah). Menurut Abu Hanifah bayan tabdil (nasakh) adalah mengganti sesuatu hukum
atau me-nasakh-kannya. Sedangkan Imam Syafii member definisi bayan nasakh ialah
menentukan mana yang di-nasakh-kan dan mana yang keliatan yang di-mansukh- dari ayat-
ayat al-Qur‟an yang keliatan berlawanan. Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para
ulama adalah hadits:
10
ال وصية لوارث
“Tidak ada ahli waris bagi ahli waris”
Hadist ini menurut mereka me-nasakh isi al Qur‟an surat al Baqarah ayat 180:
11
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Secara bahasa Al Qur‟an berarti “bacaan” sedangkan menurut istilah Al Qur‟an adalah
Kalamullah atau perkataan Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui
perantara Malaikat Jibril dengan bahasa Arab dan dapat benilai ibadah apabila membacanya.
Dan hadits secara bahasa memiliki arti Jadid, Qarib dan Khabar.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Al Qur‟an adalah sumber hukum dan dalil hukum
utama yang diturunkan oleh Allah swt, dan wajib diamalkan oleh manusia. Seorang mujtahid
tidak dibenarkan apabila menjadikan dalil lain sebagai hujjah (landasan hukum) sebelum ia
membahas dan meneliti ayat Al Qur‟an. Begitupula dengan hadits atau sunnah Rasul. Yang
mana banyak pula dalil-dalil atau firman Allah yang menjadi hujjah bahwa hadits menjadi
sumber hukum Islam yang hendaknya diruju‟ setelah Al Qur‟an.
Al Qur‟an dan Hadits juga memiliki peran dan fungsi dalam pembentuka suatu hukum
Islam. Sehingga umat Islam harus mengetahui dan paham mengenai dua sumber hukum
Islam yang menjadi rujukan dalam kehidupan sehari-hari.
12
DAFTAR PUSTAKA
13