Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala yang mana telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada kami sehingga dapat menyusun makalah ini dengan baik dan lancar tanpa
suatu halangan yang berarti. Shalawat serta salam tak lupa pula kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. serta para sahabat, kerabat, tabi’in
dan tabi’at serta seluruh pengikut beliau nanti ilaa yaumil qiyamah.
Tak lupa pula kami ucapkan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu kami dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, terlebih kepada
dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh yakni Ibu Noor Padillah, Lc., MH. yang
telah membantu secara moril dan materil serta memberikan panduan sistematis
kepada kami hingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Nasihat, kritik serta saran daripada pembaca sangat kami harapkan untuk
kebaikan kita semua serta evaluasi bagi kami selaku penulis daripada makalah ini
agar dapat memperbaiki makalah yang kami buat untuk kedepan nanti. Kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya kepada
khalayak umum. Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 1
C. Tujuan Makalah ...................................................................... 2
D. Manfaat Makalah .................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ijma’ ........................................................................................ 3
B. Qiyas ....................................................................................... 11
C. Contoh Aplikasi Ijma’ dan Qiyas ........................................... 20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum fiqh tumbuh dengan perkembangan Islam. Karena agama Islam
adalah kumpulan dari beberapa unsur; akidah, akhlaq dan hukum atas suatu
perbuatan. Hukum fiqh dalam periode pertama perkembangannya terdiri dari
hukum Allah dan Rasul Nya, yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Al-
Qur’an dan hadis yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinil.
Orisinilitas dan otentitas didukung oleh penggunaan bahasa aslinya yaitu
bahasa arab, karena Al Qur’an dan hadis merupakan dua petunjuk dalam
mencari sumber-sumber hukum. Dalam mencari huku-hukum Islam kita
harus mengambil dari Al Qur’an dan Al hadits, namun selain dua sumber
hukum tersebut masih ada metode-metode lain dalam pengambilan sumber
hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, dasar hukum, syarat, dan macam-macam ijma’?
2. Apa pengertian, dasar hukum, unsur, dan macam-macam qiyas?
1
3. Bagaimana contoh pengaplikasian dari ijma’ dan qiyas?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, dan macam-macam
ijma’.
2. Untuk mengetahui pengertian, unsur, dan macam-macam qiyas.
3. Untuk menjelaskan bagaimana saja contoh pengaplikasian dari ijma’
dan qiyas.
D. Manfaat Makalah
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami hal-hal apa saja yang
berhubungan dengan ijma’ dan qiyas, serta contoh pengaplikasian ijma’ dan
qiyas dalam kehidupan kita sehari-hari.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma' menurut bahasa Arab berarti: kesepakatan atau konsensus
sesuatu hal.1 Seperti perkataan seseorang: “ajma’ al-qaum kadha”,
berarti: kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang hal itu.
1
Muhammad Jawad Mughniyah, Ilm Usul al-Fiqh fi Thaubihi al- Jadid. (Beirut: Dar al-Ilm li al-
Malayin, 1975), hlm. 225.
2
Kamil Musa, al-Madkhal ila al-Tashri’ al-Islami. (Beirut: Muassasat al-Risalah), hlm. 200-201.
3
ْۚ
الر ُس ْوَل َواُ ِوِل ْاْلَ ْم ِر ِمْن ُك ْم فَاِ ْن تَنَ َاز ْعتُ ْم
َّ اّللَ َواَ ِطْي عُوا ِ ِ
ٰٓ ٓاٰيَيُّ َها الَّذيْ َن آ َمنُ ْاوا اَطْي عُوا
ِ ِۗ ٓ ْ الرسوِل اِ ْن ُكْن تم تُؤِمن و َن ِِب ّٓللِ والْي وِم ِٓ ِِف َشي ٍء فَرُّدوه اِ َِل
َ اْل ِخ ِر ٓذل
ك َْ َ ٰ ُْ ْ ُْ ْ ُ َّ اّلل َو
ٰ ُْ ُ ْ ْ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulul amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada
Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik
(bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di
akhirat).
4
ِِ ِ ْۢ ِ َّ ومن يُّشاقِ ِق
َ ْ َّي لَهُ ا ْْلُٓدى َويَتَّبِ ْع غَ ْ َْي َسبِْي ِل الْ ُم ْؤمن
َّي َ َّ َالر ُس ْوَل م ْن بَ ْعد َما تَب َ ْ ََ
ِ تم ۤ ِۗ ِ ِ ُنُولِِٰهۦ ما تَو ِٰٓل ون
ص ْ ًْيا َ ْ َ صلهۦ َج َهن ََّم َو َس
ء ا ْ َ َ َ َ
Artinya:
Siapa yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam
kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka)
Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.
3
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh. (Jakarta: Majelis Al-A’la Al Indonesy li Al-Da’wah.
1972), hlm. 47.
5
kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S.
Ali-Imran/3: 103).
b. Hadist
Para mujtahid telah melakukan Ijma’ tentang hukum
(syara’) dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu
hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan
kesepakatan untuk melakukan kesalahan, apalagi kemaksiatan,
dosa dan dusta. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
4
Ibid, hlm. 50.
6
Islam. Karena setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang
telah ditetapkan dalam berijtihad serta ketentuan hukum yang
telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia
menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui
batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya, jika dalam berijtihad ia tidak menemukan satu nash-
pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad
ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam.
Karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash,
seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah
melakukan seperti yang digariskan itu; maka hasil ijtihad yang
telah dilakukannya tidak akan menyimpang atau menyalahi Al-
Qur'an dan Al-Hadis. Hal itu semuanya dilakukan berdasarkan
petunjuk kedua sumber dalil itu. Jika seorang mujtahid telah
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapat itu dapat
diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak
persamaan (disepakati/diijma’kan) tentang hukum suatu
peristiwa lebih diutamakan untuk diamalkan.5
3. Syarat-syarat ijma’
a. Yang bersepakat adalah para Mujtahid
Para ulama berselisih pendapat mengenai istilah mujtahid,
secara umum yang disebut mujtahid yaitu ulama’ yang
mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-
dalil syara’.
5
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. (Bandung: Al-
Maarif, 1993), hlm. 62.
7
tetapi hanya satu orang, itu pun tidak bisa dikatakan ijma’ ,karena
tidak mungkin seorang bersepakat dengan dirinya. Dengan
demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma’ bila dilakukan
oleh tiga orang atau lebih. Adapun yang besepakat dilakukan oleh
dua orang, para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang mengatakan
bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma’. Akan ttetapi jumhur
ulama’ mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ijma’, karena
mewakili kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di masa itu.
6
Ibn Manzhur dalam Lisanul Arab (4/174) menjelaskan bahwa secara bahasa kata al-Jumhur
bermakna “satu bagian besar dari sesuatu”. Dengan demikian, istilah pendapat jumhur dalam
terminologi hukum Islam dipakai untuk menunjukkan satu pendapat yang disepakati oleh sejumlah
besar ulama, sedangkan pendapat yang menyelisihinya hanya dipegang oleh satu atau segelintir
ulama saja.
8
c. Para Mujtahid haruslah umat Nabi Muhammad Saw.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang arti umat
Muhammad Saw. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud
umat Muhammad Saw., adalah orang-orang mukallaf dari
golongan al-halli wa al-aqdi, ada yang berpendapat bahwa orang-
orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas arti
mukallaf disini adalah muslim, berakal, dan telah baligh.
7
Prof. Dr. Rahmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 70-71.
9
4. Macam-macam ijma’
Dalam realitas empiris, sukar membuktikan apakah ijma'
benar-benar terjadi seperti dalam persyaratan tersebut. Dalam
kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'.
Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan
tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
a. Ijma’ ditinjau dari segi cara terjadinya.
1) Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan
atau tulisan. Ijma' bayani ini disebut juga ijma' sarih, ijma'
qauli atau ijma' haqiqi.
2) Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian
mereka menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas,
tetapi sebagian mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang
telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.
Ijma' seperti ini disebut juga ijma' i’tibari.
b. Ijma ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’.
1) Ijma’ qat'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah
qat'i, diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan
pada waktu yang lain.
2) Ijma’ zanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu zanni,
masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa
atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain dengan hasil ijma' yang dilakukan
pada waktu yang lain.8
8
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. (Bandung: Al-
Maarif, 1993), hlm. 65.
10
B. Qiyas
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur. Menurut para ulama usul fiqh, Qiyas
ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada
dasar nash-nya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian
atau peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.9
9
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh. (Jakarta: Majelis Al-A’la Al Indonesy li Al-Da’wah.
1972), hlm. 52.
11
ْۚ
وِل ْاْلَ ْم ِر ِمنْ ُك ْم فَاِ ْن
ِ ُالر ُسو َل وا ِ ٓ ٓاٰيَيُّها الَّ ِذين آمنُ اوا اَ ِطي عوا
َ ْ َّ اّللَ َواَطيْ عُوا
ٰ ُْ ْ َ َْ َ
الر ُس ْوِل اِ ْن ُكنْ تُ ْم تُ ْؤِمنُ ْو َن ِِب ّٰٓللِ َوالْيَ ْوِم
َّ اّللِ َو ِ ٍ
ْ ِ تَنَ َاز ْعتُ ْم
ٰٓ ِف َش ْيء فَ ُرُّد ْوهُ ا َِل
ِ ِۗ
ࣖ َ ْاْلٓ ِخ ِر ٓذل
ك َخ ْْيٌ َّواَ ْح َس ُن ََتْ ِويْ ًل
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulul amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman
kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik
(bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di
akhirat).
2) Q.S. Al-Hasyr/59: 2
ِ ٓ ما ظَنَ نْ تم اَ ْن ََّّيْرجوا وظَن اُّوا اَ ََّّنُم َّمانِعت هم حصو َُّنُم ِمن
ٰٓ ٓىه ُم
ُاّلل ُ اّلل فَاَت
ٰ َ ٰ ْ ْ ُ ُ ْ ُ َُ ْ ْ َ ْ ُ ُ ُْ َ
ب َُّيْ ِربُ ْو َن بُيُ ْوََتُ ْم ِِبَيْ ِديْ ِه ْم ُّ ِف قُلُ ْوِبِِ ُم
َ الر ْع ِْ فَ ث ََلْ ََيْتَ ِسبُ ْوا َوقَ َذ ُ ِْم ْن َحي
ِ ُاعتَِِب ْوا ٓاٰي َۙ ِ ِ ِ
صا ِرَ ْوِل ْاْلَب ُ ْ َف َّي
َ ْ َواَيْدى الْ ُم ْؤمن
12
Artinya:
Dialah yang mengeluarkan orang-orang yang kufur di
antara Ahlulkitab (Yahudi Bani Nadir) dari kampung
halaman mereka pada saat pengusiran yang pertama.
Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar.
Mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan
dapat menjaganya dari (azab) Allah. Maka, (azab) Allah
datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka.
Dia menanamkan rasa takut di dalam hati mereka sehingga
mereka menghancurkan rumah-rumahnya dengan
tangannya sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka,
ambillah pelajaran (dari kejadian itu), wahai orang-orang
yang mempunyai penglihatan (mata hati).
b. Hadist
ِ حدَّثَنَا ح ْفص بن عمر عن ُشعبةَ عن أَِِب عو ٍن عن ا ْْلا ِر
ث بْ ِن عَ ْم ِرو ابْ ِن َ ْ َ ْ َ ْ َ َْ ْ َ َ َ ُ ُ ْ ُ َ َ
ِ اب مع ِ َْخي الْمغِْيةِ ب ِن ُشعبةَ عن أ َُن ٍس ِمن أَه ِل ِِح
ِأ
اذ بْ ِن َجبَ ٍل َ ُ ِ َص َح
ْ ص م ْن أ
َ ْ ْ ْ َ َْ ْ َ ُ
13
ال َ َاّللُ عَلَيْ ِه َو َسلَّ َم لَ َّما أ ََر َاد أَ ْن يَبْ ع
َ َث ُمعَاذًا إِ َِل الْيَ َم ِن ق َّ صلَّى َِّ ول َّ أ
َ اّلل َ َن َر ُس
َ َاّللِ ق
ال فَإِ ْن ََلْ ََِت ْد ِِف ِ َضي بِكِت
َّ اب ِ ْال أَق
َ َضاءٌ ق
َ َك ق ِ
َ ف تَ ْقضي إِذَا عَ َر
َ َض ل َ َْكي
ال فَإِ ْن ََلْ ََِت ْد ِِف
َ َاّللُ عَلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق
َّ صلَّى َِّ ول
ِ ال فَبِسن َِّة رس َِّ اب
ِ َكِت
َ اّلل ُ َ ُ َ َاّلل ق
َجتَ ِه ُد َرأْيِي َوَْل َ َاّللِ ق
ْ ال أ ِ َاّلل عَلَيْ ِه وسلَّم وَْل ِِف كِت
َّ اب ََ ََ َُّ صلَّى
َِّ ول
َ اّلل
ِ سن َِّة رس
َُ ُ
ال ا ْْلَ ْم ُد َِّّللِ الَّ ِذي َوفَّ َق ِ َّ اّللِ صلَّى
َ اّللُ عَلَيْه َو َسلَّ َم
َ َص ْد َرهُ َوق َ َّ ول
ُ ب َر ُس
َ ض َر
َ َآلُو ف
14
Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz
untuk berijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang dia
gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an ataupun As-
Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan
untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas. 10
3. Unsur/hukum qiyas
Meskipun defenisi qiyas dari beberapa ulama berbeda-beda,
tetapi pada hakikatnya sama, dimana dari beberapa definisi tersebut
mengandung unsur-unsur atau hukum qiyas, yaitu: Al-ashl, Al-far’u,
hukum ashl, dan ‘‘illat. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
a. Ashl (Pokok)
Ashl merupakan masalah yang telah ditetapkan hukumnya
dalam Al-Quran dan sunnah. Ashl disebut juga dengan Al-Maqis
‘Alaih (tempat mengiyaskan sesuatu). Misalnya, khamar yang
ditegaskan haramya dalam Q.S. Al-Maidah/5: 90 yang berbunyi
10
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh. (Jakarta: Majelis Al-A’la Al Indonesy li Al-Da’wah.
1972), hlm. 56.
15
Al-ashl juga memiliki beberapa persyaratan, yaitu:
1) Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan
menjadi sumber pengqiyasan masih berlaku pada masa
hidup Rasulullah Saw.
2) Hukum syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak,
sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui
qiyas adalah hukum syara’ bukan ketentuan hukum yang
lain.
3) Bukan hukum yang di kecualikan. Jia al-ashl ini
merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah
qiyas.
b. Al-far’u (cabang)
Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya
dalam Al-Qur’an, sunnah atau ijma’, yang hendak ditemukan
hukumnya melalui qiyas. Misalnya minuman keras whisky.
11
Qath’i secara etimologi bermakna yang definitive (pasti). Dalil Qath’i yang dirumuskan Asy
Syatibi adalah suatu dalil yang asal usul historisnya (al wurud), penunjukkan kepada makna (ad
dalalah) atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al hujjiyah) bersifat pasti dan
meyakinkan
16
c. Hukum ashl
Hukum ashl yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashl yang
hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan
qiyas. Contoh : Misalnya dalam nash telah ditetapkan bahwa
khamar adalah haram (ashl) karena memabukkan, whisky (far’u)
dalam nash kita tidak menemukan hukum neminumnya,
kemudian kita mengetahui bahwa whisky itu memabukkan (‘illat)
dalam nash telah ditentukan bahwa hukum minuman haram itu
memebukkan (hukm al-ashl) kemudian kita qiyaskan bahwa
khamar itu memebukkan dan wiski jaga memebukkan jadi hukum
wiski itu haram karna sama-sama minuman yang memebukkan.
d. ‘Illat
‘Illat yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum,
dengan persamaan sebab inilah baru dapat di qiyaskan masalah
kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya
suatu sebab yang dapat dikompromikan antara ashl dengan furu’.
‘Illat juga sifat yang ada pada hukum ashl yang digunakan
menjadi dasar hukum, yang dengan ‘illat itu dapat diketahui
hukum didalam cabang.
17
b. Dengan ijma’. Apabila ijma’ itu qath’i dan datangnya
kepada kita juga qath’i, dan adanya illat itu dalam cabang
juga demikian serta tidak ada dalil yang menentangnya,
maka hukumnya qath’i.
c. Dengan istinbath/penelitian dengan cara ini dapat ditempuh
melalui beberapa bentuk:
1) Al-Munasabah. Yaitu mencari persesuaian antara
suatu sifat dengan perintah atau larangan yang
membawa kemanfaatan atau menolak kemadharatan
bagi manusia.
2) Al-Sabru wa al-Taqsim. Yaitu dengan cara meneliti
dan mencari illat, melalui menghitung-hitung dan
memisah-misahkan sifat pada pokok,
diambil illat hukumnya dan dipisahkan yang bukan
illat hukumnya. Untuk ini tentu diperlukan
pemahaman yang mendalam.
3) Takhrijul Manath (menggali sifat yang menjadi
sandaran hukum). Yaitu usaha menemukan sifat yang
pantas menjadi ‘illat hikum, atau mencari dan
mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila illatnya
tidak diketahui baik dengan nash maupun dengan
Ijma. Hal ini dilakukan apabila nash hukum tidak
menjelaskan ‘illat baik secara ungkapan langsung.
4) Tanqihu Manath (menyeleksi sifat yang menjadi
sandaran hukum). Yaitu mengenali sifat-sifat yang
terkandung dalam hukum, lalu memilih salah satu
sifat yang paling tepat dan patut dijadikan ‘illat
hukum, sementara sifat-sifat yang kurang korelatif
dengan hukum disingkirkan. Dengan demikian
mujtahid menetapkan satu sifat saja sebagai ‘illat
hukum.
18
5) Tahqiqul manath (mengukuhkan sifat yang menjadi
sandaran hukum). Yaitu meneliti apakah sifat yang
sudah diketahui unsur-unsurnya itu terdapat dalan
kasus-kasus yang sesuai dan tercakup dalam
keumuman pengertiannya. 12
4. Macam-macam qiyas
a. Qiyas aula, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya itulah yang
mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatu qiyas hukum
yang diberikan kepada pokok lebih patut diberikan kepada
cabang. Contoh qiyas tidak boleh memukul orang tua, kepada
tidak bolenya kita mengucapkan perkataan yang menyakitkan
hatinya, kepada orang tua. Hukum “tidak boleh” ini lebih patut
diberikan kepaada memukul.daripada dihukumkan kepada
mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya.
12
Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah), hlm. 56.
19
d. Qiyas al-aksi, yaitu qiyas yang timbul karena tidak adanya
hukum/karena tidak adanya ‘illat atau menetapkan lawan hukum
sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan
tentang hal ‘illat.
20
a. Diadakannya adzan dan iqomah dua kali di sholat Jumat, dan
mulai diterapkan pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan.
b. Diputuskannya untuk membukukan Al Quran dan dilakukan pada
masa kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq.
c. Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi.
d. Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al Quran.13
2. Contoh qiyas
Minuman alkohol dan narkotika adalah suatu perbuatan yang
perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada satu nash-pun yang dapat
dijadikan sebagai hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat
ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
13
Ridwan Karim, “Ijma Dan Qiyas: Pengertian, Jenis, Dan Contoh”.
https://penerbitbukudeepublish.com/materi/ijma-dan-qiyas/, 14/10/2021.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ijma' menurut bahasa Arab berarti: kesepakatan atau konsensus sesuatu
hal. Menurut istilah, ijma' ialah kesepakatan mujtahid umat Islam
tentang hukum syara' dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Nabi
Saw. meninggal dunia.
b. Qiyas
Minuman alkohol dan narkotika adalah suatu perbuatan yang perlu
ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada satu nash-pun yang dapat
dijadikan sebagai hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat
22
ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan yakni perlu adanya diskusi lanjutan
untuk membahas makalah yang kami tulis. Karena kami sebagai penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan serta jauh dari kata
sempurna. Kami berharap saran dan kritik dari pembaca untuk evaluasi
makalah kami ke depannya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh. Jakarta: Majelis Al-A’la Al Indonesy li
Al-Da’wah, 1972.
Huri, Ahmad Zaman dan Abd. Rafid, “Qiyas”. Makalah. Banda Aceh: Academia,
2015.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Ilm Usul al-Fiqh fi Thaubihi al- Jadid. Beirut: Dar
al-Ilm li al-Malayin, 1975.
P., Ayusta Maulana dan Moh. Ulul Azmi, “Metode Ijma’”. Makalah. Malang:
Academia, 2013.
Yasin, Achmad, Ilmu Usul Diqh (Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam). Surabaya:
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.
24