Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

QIYAS SEBAGAI METODE DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah
Ushul Fiqh

Disusun Oleh:

Hilma Fitri Haryanti : 3722111

Putri Rahmadani : 3722107

Sri Wahyuni : 3722104

Dosen Pembimbing:

Irwin Setiawan, S. HI., MH

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
1443 M /2022 H
KATA PENGANTAR
‫الر ِحي ِْم‬
َّ ‫من‬
ِ ْ‫الرح‬
َّ ِ‫بِس ِْم هللا‬

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul “QIYAS SEBAGAI METODE DALAM

MENETAPKAN HUKUM ISLAM ” ini tepat pada waktunya. Shalawat dan

salam penulis mohonkan kepada Allah SWT, agar senantiasa disampaikan kepada

Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada alam yang penuh

ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis

menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena

itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan dari pembaca demi

kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita

semua.

Wassalamu‟alaikum wr. Wb.

Bukittinggi, 09 Oktober 2022

Penulis,

Kelompok 04

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 4

BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................. 4

A. Pengertian Qiyas ................................................................................ 4


B. Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil Hukum ........................................... 4
C. Syarat-syarat Qiyas ............................................................................ 5
D. Pembagian Qiyas ................................................................................ 5

BAB III : PENUTUP ..................................................................................... 7

A. Kesimpulan ........................................................................................ 7
B. Saran ................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam yang dibawa oleh Nabi Saw adalah sebagai agama yang lurus,
diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan
manusia. Dialah yang memerintahkan manusia agar menyembbah beribadah
semata kepada-Nya, berhukum dengan hukum-hukum-Nya dan mengembalikan
segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya.

ٍ ٍ ْ‫ُوِل أاْل أَم ِر ِم أن ُك أم ۖ فَِإ أن تَنَ َاز أعتُ أم ِف ََ أ‬


ِ ‫ول َوأ‬
َ ‫الر ُس‬ ِ ‫اَّلل وأ‬
َّ ‫َطيعُوا‬ ِ
َ ََّ ‫آمنُوا أَطيعُوا‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬
ِ
‫س ُن ََتأ ِو ًيل‬
َ ‫َح‬ َ ِ‫َّلل َوالأيَ أوم أاْل ِخ ِر ۚ ََٰذل‬
‫ك َخ أي ٌر َوأ أ‬
َِّ ‫ول إِ أن ُك أن تم تُ أؤِمنو َن ِِب‬
ُ ‫ُأ‬ ِ ‫الر ُس‬ َِّ ‫فَ ردُّوه إِ ََل‬
َّ ‫اَّلل َو‬ ُ ُ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59)

Dengan demikian sebagai sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang


beriman melaksanakan dan mengembalikan segala urusannya kepada al-Quran
dan as-Sunah dalam seluruh aspek kehidupan yaitu baik aspek ekonomi, sosial,
pollitik, budaya dan lain sebagainya.

Rasulullah Saw. telah mengisyaratkan kepada sahabat, akan pentingnya


mengembalikan persoalan yang apabila tidak secara langsung diputuskan oleh al-
Quran maupun al-Hadits. Sebagamana ketika Rasulullah mengutus (Muadz bin
Jabal) ke Negeri Yaman.

1
2

‫ فان مل جتد ىف كتاب هللا ؟‬: ‫ قال‬.‫ مبا ىف كتاب هللا‬: ‫ مبا تقضى ؟ قال‬: ‫قال رسول هللا ملعاد‬

: ‫ فان مل جتد فيما قضى بو رسول هللا ؟ قال‬: ‫ قال‬.‫ اقضى مبا قضى بو رسول هللا‬: ‫قال‬

‫ احلمد هلل الذي وفق رسول رسولو‬: ‫ قال‬.ْ‫اجتهد براي‬


Artinya: “Beliau bertanya, “Dengan apa engkau memutuskan suatu hukum
ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu ?”. Muadz berkata,
“Aku putuskan dengan kitab Allah, al-Quran, bila tidak kutemukan
maka dengan sunnah Rasululah, bila tidak kutemukan maka aku
berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong”.
Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan
Rasulullah atas apa yang ia relakan”.(HR Tirmizi)
Setelah sumber hukum al-Qur‟an, Hadits dan Ijma sahabat maka yang
terakhir adalah Qiyas. Maka qiyas adalah salah satu yang menjadi rujukan dalam
memproduksi hukum, karena sebagai sumber hukum.
Dengan kata lain kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau
sumber hukum. Selain al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟, ada pula qiyas (analogi).
Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis
terlebih dahulu permasalahan baru yang timbul dan mengkaitkan permasalahan
tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu al-Qur‟an, sunnah dan
ijma‟. Apabila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode qiyas ini
digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nashnya
pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam „illat
hukumnya. Kajian ini menjadi penting dan akan lebih menarik ketika muncul
masalah-masalah baru (kontemporer) yang secara eksplisit tidak ditemukan
jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun oleh para ulama
terdahulu.
Maka melalui makalah ini, penulis ingin mengupas lebih mendalam lagi
mengenai qiyas sebagai metodologi penetapan hukum Islam.
3

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qiyas?
2. Bagaimana kedudukan qiyas sebagai dalil hukum?
3. Apa syarat-syarat qiyas?
4. Apa pembagian qiyas?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian qiyas
2. Untuk mengetahui kedudukan qiyas sebagai dalil hukum
3. Untuk mengetahui syarat-syarat qiyas
4. Untuk mengetahui pembagian qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
yang bisa menyamainya. Sebagai contoh adalah mengukur kain atau pakaian
dengan meteran.1
Sedangkan qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak
terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya.
Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada
sebab hukum ini.
Apabila ada nash menunjukkan hukum pada suatu peristiwa, dan diketahui
sebab hukum ini dengan salah satu jalan dari jalan-jalan yang kita lalui hal-hal
yang menerangkan sebab-sebab hukum itu. Sudah itu terdapat peristiwa lain yang
sama dengan peristiwa yang ada nashnya pada suatu sebab yang menetapkan
sebab hukum, karena dia sama dengan peristiwa yang ada nashnya dalam
hukumnya itu. Dibina di atas persamaan pada sebabnya. Karena hukum itu
terdapat di mana terdapat sebabnya. 2
B. Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil Hukum
Menurut ulama-ulama kenamaan, bahwa kias itu merupakan hujan syar‟i
terhadap hukum akal. Kias ini menduduki tingkat keempat, hujah syar‟i. Sebab
apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hukum yang berdasarkan nash, maka
peristiwa ini dikiaskan kepada peristiwa yang bersamaan sebelum sanksi hukum
itu dijatuhkan kepadanya. Diatur oleh syari‟at. Mukallaf memperluas pendirian,
mengikuti dan mengamalkan kias ini. Dibangsakan kepada peristiwa yang
berdasarkan nash. Kias ini diakui oleh hukum.
Menurut mazhab Nizamiah, Zahiriah dan ada beberapa cabang dari syari‟ah
mengatakan bahwa kias itu tidak boleh dijadikan hujjah syar‟i, terhadap hukum
Mereka ini meniadakan kias. Orang menetapkan kias itu dapat dijadikan hujjah,

1
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandar Lampung: CV: Anugrah Utama Raharja,
2019), hlm 60
2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm 58

4
5

berdalilkan dengan A-l-Qur‟an, sunnah, perkataan dan perbuatan sahabat dan


dengan logika.3
C. Syarat-syarat Qiyas
1. Maqis „alaihi (tempat meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya).
2. Maqis (Sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal).
D. Pembagian Qiyas
1. Pembagian qiyas dari segi kekuatan „illat yang terdapat pada furu‟,
dibandingkan pada „illat yang terdapat pada ashal. Terbagi menjadi tiga,
yaitu:

a. Qiyas awla, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada fara‟ lebih kuat
dari perlakuan hukum pada ashal karena kekuatan „illat pada furu‟.

b. Qiyas musaw, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ sama
keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan
„illat-nya sama.

c. Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih
lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun
qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan „illa-nya. Terbagi dua, yaitu:
a. Qiyas jali, yaitu qiyas yang „illat-nya ditetapkan dalam nash
bersamaan dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan „illat
itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu‟ dapat
dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang „illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Maksudnya, di-istinbat-kan dari hukum ashal yang memungkinkan
kedudukan „illat-nya bersifat zhanni.
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian „illat-nya dengan hukum. Terbagi
dua, yaitu:
a. Qiyas muatssir, yang diibaratkan dengan dua defenisi:

3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm 61
6

Pertama, qiyas yang „illat penghubung antara ashal dan furu‟


ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma‟.
Kedua, qiyas yang „ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan
ashal dengan furu‟ itu berpengaruh terhadap „ain hukum.
b. Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang „illat hukum ashal dalam
hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib
mulaim.
4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya „illat pada qiyas.
Terbagi tiga, yaitu:
a. Qiyas ma‟na, atau qiyas dalam makna ashal; yaitu qiyas yang
meskipun „illat-nya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal
dengan furu‟ tidk dapat dibedakan, sehingga furu‟ itu seolah-olah
ashal itu sendiri.
b. Qiyas „illat, yaitu qiyas yang „illat-nya dijelaskan dan „illat tersebut
merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
c. Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang „illat-nya bukan pendorong bagi
penetapan hukum itu sendiri; namun ia merupakan keharusan bagi
„illat yang memberi petunjuk akan adanya „illat.
5. Pembagian qiyas dari segi metode yang digunakan dalam ashal dan dalam
furu‟. Terbagi kepada empat macam, yaitu:
a. Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang „illat hukumnya ditetapkan melalui
metode munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas syabah, yaitu qiyas yang „illat hukum ashal-nya ditetapkan
melalui metode syabah.
c. Qiyas sabru, yaitu qiyas yang „illat hukum asalnya ditetapkan melalui
metode sabru wa taqsim.
d. Qiyas thard, yaitu qiyas yang „illat hukum ashal-nya ditetapkan
melalui metode thard.4

4
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm 389,390, 391, 392, 393
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
Qiyas merupakan sumber hukum islam keempat setelah Al-Qur‟an, sunnah,
dan ijma‟. Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa
kiyas dapat dijadikan dalil syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada
petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara‟ di luar apa yang
ditetapkan oleh nash. Tetapi menurut para ulama, bahwa kiyas itu merupakan
hujjah syar‟i. Orang menetapkan kiyas itu dapat dijadikan hujjah, karena
berdalilkan dengan Al-Qur‟an, sunnah, perkataan dan perbuatan sahabat, serta
dengan logika.
B. Saran
Dengan makalah yang kami buat, kami berharap dapat menambah wawasan
dan pengetahuan khususnya pada pemahaman mengenai kiyas ini, dengan
dibuatnya makalah mengenai kiyas ini bisa menjadi sumber untuk membuka
cakrawala diskusi yang penuh dengan argumentasi dari berbagai sumber.

7
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: Aura CV. Anugrah Utama
Raharja.

Khallaf, A. W. (2005). Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Syarifuddin, A. (2008). Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai