Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing:
salam penulis mohonkan kepada Allah SWT, agar senantiasa disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada alam yang penuh
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis,
Kelompok 04
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ........................................................................................ 7
B. Saran ................................................................................................... 7
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam yang dibawa oleh Nabi Saw adalah sebagai agama yang lurus,
diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan
manusia. Dialah yang memerintahkan manusia agar menyembbah beribadah
semata kepada-Nya, berhukum dengan hukum-hukum-Nya dan mengembalikan
segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59)
1
2
فان مل جتد ىف كتاب هللا ؟: قال. مبا ىف كتاب هللا: مبا تقضى ؟ قال: قال رسول هللا ملعاد
: فان مل جتد فيما قضى بو رسول هللا ؟ قال: قال. اقضى مبا قضى بو رسول هللا: قال
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qiyas?
2. Bagaimana kedudukan qiyas sebagai dalil hukum?
3. Apa syarat-syarat qiyas?
4. Apa pembagian qiyas?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian qiyas
2. Untuk mengetahui kedudukan qiyas sebagai dalil hukum
3. Untuk mengetahui syarat-syarat qiyas
4. Untuk mengetahui pembagian qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
yang bisa menyamainya. Sebagai contoh adalah mengukur kain atau pakaian
dengan meteran.1
Sedangkan qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak
terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya.
Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada
sebab hukum ini.
Apabila ada nash menunjukkan hukum pada suatu peristiwa, dan diketahui
sebab hukum ini dengan salah satu jalan dari jalan-jalan yang kita lalui hal-hal
yang menerangkan sebab-sebab hukum itu. Sudah itu terdapat peristiwa lain yang
sama dengan peristiwa yang ada nashnya pada suatu sebab yang menetapkan
sebab hukum, karena dia sama dengan peristiwa yang ada nashnya dalam
hukumnya itu. Dibina di atas persamaan pada sebabnya. Karena hukum itu
terdapat di mana terdapat sebabnya. 2
B. Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil Hukum
Menurut ulama-ulama kenamaan, bahwa kias itu merupakan hujan syar‟i
terhadap hukum akal. Kias ini menduduki tingkat keempat, hujah syar‟i. Sebab
apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hukum yang berdasarkan nash, maka
peristiwa ini dikiaskan kepada peristiwa yang bersamaan sebelum sanksi hukum
itu dijatuhkan kepadanya. Diatur oleh syari‟at. Mukallaf memperluas pendirian,
mengikuti dan mengamalkan kias ini. Dibangsakan kepada peristiwa yang
berdasarkan nash. Kias ini diakui oleh hukum.
Menurut mazhab Nizamiah, Zahiriah dan ada beberapa cabang dari syari‟ah
mengatakan bahwa kias itu tidak boleh dijadikan hujjah syar‟i, terhadap hukum
Mereka ini meniadakan kias. Orang menetapkan kias itu dapat dijadikan hujjah,
1
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandar Lampung: CV: Anugrah Utama Raharja,
2019), hlm 60
2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm 58
4
5
a. Qiyas awla, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada fara‟ lebih kuat
dari perlakuan hukum pada ashal karena kekuatan „illat pada furu‟.
b. Qiyas musaw, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ sama
keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan
„illat-nya sama.
c. Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih
lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun
qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan „illa-nya. Terbagi dua, yaitu:
a. Qiyas jali, yaitu qiyas yang „illat-nya ditetapkan dalam nash
bersamaan dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan „illat
itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu‟ dapat
dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang „illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Maksudnya, di-istinbat-kan dari hukum ashal yang memungkinkan
kedudukan „illat-nya bersifat zhanni.
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian „illat-nya dengan hukum. Terbagi
dua, yaitu:
a. Qiyas muatssir, yang diibaratkan dengan dua defenisi:
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm 61
6
4
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm 389,390, 391, 392, 393
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qiyas merupakan sumber hukum islam keempat setelah Al-Qur‟an, sunnah,
dan ijma‟. Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa
kiyas dapat dijadikan dalil syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada
petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara‟ di luar apa yang
ditetapkan oleh nash. Tetapi menurut para ulama, bahwa kiyas itu merupakan
hujjah syar‟i. Orang menetapkan kiyas itu dapat dijadikan hujjah, karena
berdalilkan dengan Al-Qur‟an, sunnah, perkataan dan perbuatan sahabat, serta
dengan logika.
B. Saran
Dengan makalah yang kami buat, kami berharap dapat menambah wawasan
dan pengetahuan khususnya pada pemahaman mengenai kiyas ini, dengan
dibuatnya makalah mengenai kiyas ini bisa menjadi sumber untuk membuka
cakrawala diskusi yang penuh dengan argumentasi dari berbagai sumber.
7
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: Aura CV. Anugrah Utama
Raharja.