Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 13
DOSEN PENGAMPU :
Yahya, Lc., M. P. I
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Kami sangat berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Makalah ini dibuat dalam rangka pembelajaran mata kuliah Ushul Fiqh. Pemahaman
tentang Ta’arud Al- Adillah dan penyelesaiannya dengan cara al-jami’u al-taufiq maupun
dengan cara tarjih dan nasikh yang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai bahan acuan
dalam pembelajaran dan menambah wawasan bagi para pembacanya.
Dalam menyusun makalah ini, tentunya kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan ilmu yang kami miliki. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca.
Kelompok 13
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menggali secara mendalam tentang Ta’arud Al-Adillah,
klasifikasi dan cara penyelesaiannya serta membahas mengenai perbedaan nasakh dan
takhsis sehingga dapat dikenal di kalangan mahasiswa maupun masyarakat. Selanjutnya
dapat menjadi referensi dalam dunia akademik terkhusus pada mata kuliah Ushul Fiqh.
Adapun hasil makalah ini mempunyai arti yang penting dalam rangka pengembangan
wawasan dan pengetahuan tentang Ta’arud Al-Adillah serta menjadi salah satu upaya untuk
melestarikan ilmu tersebut, baik dalam tataran teori maupun praktek.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ta'arud al-adillah merupakan istilah yang dijumpai dalam ilmu Usul Fiqh. Hal ini
dilakukan fuqaha’ berusaha mendapatkan dasar bagi penyelesaian berbagai masalah hukum.
Ini lebih dahulu mencari dasar hukumnya, menurut istilah lain disebut dalil al-hukmi atau
adillat al-ahkam dan dapat disebut dalil atau al-adillah. Istilah lain dalam buku modern
sering digunakan istilah usul al-ahkam atau masadir al-tashri' li al-ahkam.
Dari aspek dalil hukum itu dapat diketahui hukum suatu masalah dan dicarikan
jawaban hukumnya. Sedangkan di kalangan ahli usuli, tata urutan dalil sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. Al-Sunnah
3. Al-Ijma’, dan
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan
uli al-amri diantara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu;
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (al-sunnah), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa' : 59)
Ayat itu menjelaskan tata urutan dan menunjukkan skala prioritas dalam
menggunakan sumber hukum Islam, sehingga dalam mencari dasar hukum sesuatu masalah;
pertama harus dicari dalil hukum dari dalam al-Qur'an, kemudian tahap kedua mencari dalil
pada al-Sunnah, bila dalam al-Qur` an dan al- Sunnah tidak mendapatkan dalil; tahap ketiga
melalui al-Ijma`, lalu al- Qiyas dan seterusnya. Dalam masalah dalil ini, ahli usuli
menyebutkan bahwa sumber hukum Islam ialah: Al-Qur'an, al-Sunnah dan al-Ra’yu atau
al-Ijtihad yang dapat menggunakan al-ijma’, al-Qiyas dan seterusnya. Dasar klasifikasi
sumber hukum Islam tersebut berdasarkan Hadis terkenal dari Mu’adh sebagai berikut :
3
.ب ﷲ ِ :ُضاَء؟ٌ قا ل ُمعاَذ
ِ َ أقضي بكِ ُِتا َ ض لكَ َُ ق َ َُعر َ َ ضي يا َ ُمعاَذُ إ ِذا َ ك َي: َُى ﷲ علَ َي ِه َوسلَ َم
ِ َف تق ّ َالرسو ُل صل
ُ َّ ُُقا َ َل ل َه
:سو ِل ﷲ ؟ قال ُ فإ َ ِن ُْ ل ْمَُ تجَُِ دْ ف ي ِ سنُ ِةّ َر: قال.سو ِل ﷲ ُ فبَس ُِّنَُ ة َر:ب ﷲ؟ قا ل ِ َ فإ َ ِن ُْ ل ْمَُ تجَُِ دْ في ِ كِتا:قال
الحمد ا َّل ذِي:ى ﷲ علَيَ ِه َوسلَ َمَُ صدَ َرُْ هُ َوقا ل
ّ َسو ُل ﷲ صل
ُ ب َر
َ َُض َر
َ ي ُِ وْلآلو ف
ْ برَُ أ
ِ ُأجَُْ ت ِهَُ د
ُ سول َه
ُ ضى ﷲ َو َر
َ ير
َ لمَُ ِل َما
َ سَ ى ﷲ علَيَ ِه َو
ّ َسو ُل ﷲ صل
ُ ف قَ َر
َّ َو
Ijma’ sesuatu yang penting dalam penetapan hukum, dan ini hanya mungkin terjadi
pada masa sahabat, dan sebagai sumber hukum peringkat ketiga. Ijma’ sesudah sahabat
dimasukkan pada ijtihad, yang disebut dengan ijtihad jama’i dan kedudukannya lebih tinggi
dari pada ijtihad fardi.
4
Arti Ta’arud al- Adillah :
ُ لى َحي
ْث َوجْه َ ىَُ نا َ حِ يت َه َوج َهت ُهُُ ف َي ْمَُ ن َع ُهُُ مِ نَ النفُ ُو ِذ ِإ
ْ ع َرض ب ْعَُ ض ا
َ ِ ض ُه في
ُ َُفَُ ب ْع َ َكأنَ َُ ْال َكلَ َم ال ُمت َعا َ ِر
ُ َض يق
بیُْ ِل ال ُم َمانعَة
ِ سَ َلى ْ تقَاَبلُُُ ال َدل
َ ِیلیَُ ِن ع
Ahli Usuli Ali Hasaballah, mengemukakan ta’arud al- adillah sebagai berikut :
تضَُ یْھ
ِ ُْ َنقَُ یض َما یق
ِ تِ ُُیی ُْن فِي َم ْرتبَةَ الثبُ ْو
َ تسَُ ا ِو
َ ْلیَُ ِن ال ُم
ْ ي احََُ ُد َُُ الد ِلی
َ َُتض ْ ض
ِ َُْانَُ یق ُ التعَا َ ُر
خَُ ُرَ اال
Artinya: “Ta'arud itu menjadikan satu dalil dari dua dalil yang sama kualitasnya/
tingkatannya mengandung ketentuan hukum yang bertentangan dengan ketentuan dalil yang
lain”.
Dari pengertian itu dapat dikemukakan bahwa ta'arud mengandung ketentuan- ketentuan
sebagai berikut:
Ada (empat) macam ta'arud al- adillah yang bisa dikemukakan disini:
5
2. Ta’arud antara Al-Sunnah dengan Al-Sunnah,
Artinya:”Dan Dia telah menciptakan kuda, bighal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan”. (Q.S.An-Nahl : 8)
Dalam ayat ini kuda dan bighal hanya diperuntukkan untuk kendaraan dan perhiasan
saja, sedang ayat berikut ini mengandung ketentuan yang lain.
َام ِلت َْر َكب ُْوا مِ ْن َها َومِ ْن َها ت َأْ ُكلُ ْون ْ ّٰللاُ الَّ ِذ
َ ْ ى َجعَ َل لَ ُك ُم
َ َاْل ْنع َ ه
Artinya :”Allah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu
Pengertian al-An’am pada ayat di atas, meliputi kuda dan bighal, sehingga disamping
kuda dan bighal itu dapat dikendarai dan juga dapat untuk dimakan.
َّطعَ ُم ٰۤه ا َّ ِْٰۤل ا َ ْن يَّ ُك ْونَ َم ْيتَةً اَ ْو دَ ًما َّم ْسفُ ْو ًحا َ ع ٰلى
ْ طاع ٍِم ي َ ِقُ ْل َّ ْٰۤل ا َ ِجدُ فِ ْى َم ٰۤا ا ُ ْوح
َّ َى اِل
َ ى ُم َح َّر ًما
6
2. Ta’arud antara Al-Sunnah dengan Al-Sunnah
Artinya: “Dari ‘Aisyah dan Ummi Salamah R.A bahwa Nabi pada waktu subuh dalam
keadaan junub karena melakukan coitus, kemudian Beliau mandi dan menjalankan puasa”.
(HR. Bukhari-Muslim)
Artinya:” Bila telah dipanggil untuk shalat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam
keadaan junub, maka janganlah berpuasa di hari itu”. (H.R.Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban).
Ta’arud kedua dalil ini dapat dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam
menetapkan hukum diperbolehkan bagaimana seorang mengadakan jual-beli unta atau
kambing yang diikat putik susunya. Hal ini agar kelihatan besar, sedangkan setelah dibeli
dan diperah susunya terbukti adanya gharar/penipuan. Sabda Nabi Muhammad Saw:
َ َُأنَُ يَ ْحلب َهَُ ا إِ ْن شَا َء أ ْم
َس ك َ َع َها ب ْعدَ ذ ِلَُ كَ ف ُهَُ َو بِ َخي َْر الن
ْ َظ َريْنَ ب ْعد َ ََُفمَُ ْن ابْتا
َ تصر ْواا َ ِِلبِ َل َوالغن ََم
ُ َُ ََُْل
تمَُ رَ صاعًا مِ ن َ َو ِإ ْن شَا َء َر ُّ دهَا َو
Artinya:”Janganlah kamu mengikat putik susu unta ataupun kambing (agar kelihatan
besar), barangsiapa membelinya sesudah terjadi demikian, maka ia boleh memilih dua
pandangan yang dianggap baik; bila ia menghendaki dapat melangsungkan jual-beli itu,
atau mengembalikan dengan membayar satu sha' dari tamar”. (H.R.Bukhari-Muslim dari
Abi Hurairah).
Dalam hadis ini disebutkan bahwa bila memilih mengembalikan unta atau kambing
itu pembeli dapat membayar satu sha’ dari tamar. Ini pendapat jumhur ulama. Ulama
Hadawiyah, berpendapat lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu jika masih
ada dan bila telah habis, dengan mengganti harga air susu itu. Hal ini diqiyaskan kepada
pertanggungan, bila menghabiskan atau merusak barang; maka pihak yang menggunakan
barang orang lain itu mengganti sejumlah harga yang telah dipergunakan.
7
Pertentangan antara qiyas dengan sunnah ini dapat ditemukan. Misalnya ukuran
hewan untuk 'aqiqah berdasarkan sunnah, satu kambing untuk anak putri dan dua kambing
untuk putra. Ini didasarkan pada hadis:
ٌ العَقَ ْیقَةُ َح
ِ ق ع َْن الغَالَ ِم شَاتا َ ِن ُمكافِئتَا َ ِن َوع َْن الج
ٌ َاریَة شَاة
Artinya: ”Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing
dan untuk anak perempuan seekor kambing”. (H.R.Asma binti Yazid)
Bagi yang berpegang kepada qiyas, maka untuk aqiqah ini boleh hewan yang lebih
besar, unta lebih besar dari sapi dan sapi lebih besar dari kambing. Hal ini hampir pendapat
sebagian besar fuqaha’. Sedangkan yang berpegang pada bunyi hadis di atas, Imam Malik,
bahwa aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih kambing.
Bentuk terakhir dari pertentangan dalil ini ialah ta'arud antara qiyas dengan qiyas.
Peristiwa yang dapat dibuat contoh, perihal mengqiyaskan masalah perkawinan Nabi
Muhammad Saw. dengan 'Aishah. Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Artinya :”Dari 'Aishah, beliau berkata: Rasulullah menikahi saya ketika saya
berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah
berumur sembilan tahun”. (H.R. Muslim dari 'Aishah).
Atas dasar hadis ini, diambil hukum kebolehan orang tua mengawinkan terhadap
anaknya yang belum dewasa tanpa izin yang bersangkutan karena masih di bawah umur,
demikian pendapat Hanafiyah. Sedang ulama Shafi'iyah menganggap karena masih gadis.
Dengan demikian, kalau ia telah janda sekalipun masih belum dewasa orang tua tidak
mempunyai hak ijbari kepada anak perempuan.
Demikianlah macam-macam ta'arud al- adillah, kalau terjadi ta'arud harus dicarikan
jalan keluarnya. Menjadi pertanyaan kita, bagaimana cara untuk menghindarkan dari ta’arud
itu? Jawaban untuk pertanyaan ini telah dikemukakan oleh ulama ahli usul yang berbeda
dalam penyelesaiannya. Sebagian ulama memberi jawaban sebagai berikut:
8
Bila dua dalil yang bertentangan itu keduanya qat'i, seperti ayat dengan ayat, atau
sunnah mutawatirah dengan sunnah mutawatirah yang lain, tidak mungkin ditarjihkan,
maka dicarilah manakah yang lebih dahulu dan keadaan wurudnya. Hal yang terakhir
dinyatakan nasikh dan yang dahulu dinyatakan mansukh. Kalau tidak bisa dicari manakah
yang lebih dahulu, maka dicari jalan keluarnya dengan mengadakan jama' wa al-taufiq
diantara keduanya yang dinamakan amalan bishabhaini, artinya mempergunakan kedua
persamaannya, dan bila tidak bisa di jama’kan, maka ditinggalkan kedua dalil tersebut.
Keterangan Ali Hasaballah, bila dua dalil itu yang satu qat'i dan yang lain zanni atau
keduanya zanni, maka pertama dicarikan manakah yang dahulu dan mana yang kemudian
wurud-nya untuk dinyatakan nasikh-mansukh seperti yang disebutkan di atas. Sedang bila
tidak dapat maka dilakukan tarjih, barulah diusahakan jama' antara keduanya.
Sebenarnya berdasar ta'rif ta'arud, dua dalil yang satu dan dalil lain zanni, seperti
dikemukakan dimuka, tidak perlu dikemukakan karena hal itu tidak termasuk dalam
pengertian ta'arud sebagaimana telah dikemukakan bahwa ta'arud itu harus sama derajat
keduanya.
Abd al- Wahhab Khallaf, memberikan jalan keluar bila terdapat ta'arud demikian:
a. Bila terjadi ta'arud wajiblah diadakan ijtihad dengan mengadakan jama' dan taufiq
diantara keduanya.
b. Bila tidak bisa dilakukan demikian, dilaksanakan tarjih menurut tatacara yang telah
ditetapkan.
c. Bila tidak juga bisa dilakukan tarjih, maka dicari mana yang dahulu dan yang
kemudian wurud-nya, untuk ini dinyatakan nasikh - mansukh.
d. Bila tidak bisa dicarikan mana yang dinyatakan nasikh mansukh maka ditawaqufkan
keduanya.
Sesuai dengan pendirian baru bahwa nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an tidak ada,
karena semua yang dinyatakan ayat-ayat nasikh dan mansukh sebenarnya dapat
dijama'taufiqkan, maka urut-urutan jalan ke luar itu demikian:
a. Bila yang ta'arud itu ayat dengan ayat, maka yang diprioritaskan adalah mengadakan
jama' dan taufiq (memadukan dua dalil).
9
b. Bila yang ber- ta'arud itu antara sunnah dengan sunnah, dilakukan jama’ dan taufiq
kemudian tarjih. Bila tidak dapat dilakukan tarjih, dicari manakah yang lebih dahulu
wurudnya dan manakah yang kemudian. Data yang kemudian dinyatakan sebagai
c. Bila yang ta'arud itu antara sunnah dengan qiyas, maka dibedakan :
1.) Bila hal itu urusan ibadah, maka dinyatakan ta'arud tidak ada, karena qiyas tidak
dipergunakan dalam ibadah, dengan kata lain kita tinggalkan qiyas dan kita pakai
sunnah.
2.) Bila ta'arud bukan urusan ibadah, maka kita lakukan jama' dan taufiq, dalam arti
kita taqwil-kan arti pads Sunnah itu sehingga sesuai dengan qiyas.
d. Bila yang ber-ta'arud itu antara qiyas dengan qiyas; maka langsung kita tarjihkan dan
rajih kita pakai, yang marjuh kita tinggalkan
10
Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili, cara yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai berikut:
1. Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan. Alasannya
karena mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan membiarkan salah
satunya. Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah dengan
ayat 4 surat At-Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang masing-
masing berbicara tentang masa iddah wanita yang dicerai oleh suaminya.
2. Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara selanjutnya
yang ditempuh adalah dengan tarjih.
3. Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka caranya
meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil yang datang
terdahulu dapat di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.
4. Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan keluarnya
adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat mengguanakan dalil
yang lebih rendah kualitasnya.
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah
sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya
terletak pada urutannya.
1. Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut
2. Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut.1
1 Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hlm 234-236
11
bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap
wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah sampai
melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu terdapat
pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami. Namun
perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat
dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat
tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah
perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk
iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya, jika
perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak
suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika
sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.2
12
3. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih
Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum
untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut
berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-
Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam
dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan
baik. Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam
tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung
makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah
tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan
masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang menjelaskan:
13
من صلى خلف اِلمام فإن قراءة اِلمام له قراءة
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam menjadi
baginya”. (HR.Jama’ah).3
1. Takhsis menjelaskan bahwa apa yang keluar dari keumuman suatu lafaz tidak
dimaksudkan untuk memberi petunjuk dengan lafaz itu. Sedangkan naskh menjelaskan
bahwa apa yang keluar dari keumuman suatu lafaz tidak bermaksud menciptakan beban
hukum meskipun dari segi lafaznya menunjukkan demikian.
2. Takhsis tidak berlaku pada perintah yang hanya mengandung satu perintah, sedangkan
nasakh berlaku terhadap perintah yang mengandung satu perintah.
3. Nasakh tidak dapat terjadi kecuali dengan khitab dari pembuat hukum, sedangkan takhsis
bisa dilakukan dengan dalil aqli dan naqli
4. Nasikh datangnya kemudian dari mansukh berbeda halnya dengan takhsis datang boleh
dahulu atau kemudian dari yang ditakhsiskan.
5. Takhsis tidak mengeluarkan dalil umum dari kebolehan berhujjah dengannya dalam masa
kemudian, karena dalil umum itu diamalkan dan berdaya hukum diluar apa yang telah
ditetapkan secara khusus. Sedangkan pada nasakh terkadang mengeluarkan hukum dari
dalil yang telah dinasakhkan itu dalam hal penggunaannya untuk masa kemudian secara
keseluruhan yaitu pada saat datangnya nasakh.
6. Takhsis boleh dengan qiyas, sedangkan nasakh tidak boleh
7. Nasakh mengangkatkan hukum setelah ditetapkan sedangkan yang
dikeluarkan pada takhsis dan tidak diberlakukan lagi dari lafaz umum
adalah hukum yang belum pernah berlaku sama sekali.5
3 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
4 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 946
5 Saif al-Din abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid
II, h. 77-78
14
Bab III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16