Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM SYARA’

Dosen Pengampu: Faisal Amri M.Ag dan Fauzan Mas’ar

Di Susun oleh:

1. Dina Sari (0506231032)


2. Jayyid Zidan Pulungan (0506232094)
3. Melisa (0506232150)
4. Nabila Keysha Mutmainah (0506232103)

MANAJEMEN II C
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul HUKUM SYARA’. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata Ushul Fiqh, yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkam kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberi informasi dan wawasan yang lebih luas bagi masyarakat
khususnya mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Medan, 14 Maret 2024

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2

1.3. Tujuan Masalah ................................................................................................................ 2

BAB II............................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3

2.1. Pengertian Hukum Syara’ ................................................................................................ 3

2.2. Pembagian Hukum Syara’................................................................................................ 3

BAB III ......................................................................................................................................... 12

PENUTUP..................................................................................................................................... 12

3.1 Simpulan......................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hukum syara’ atau hukum islam menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan
(taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara atau hukum islam ialah efek yang
dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah . Syariat
menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan
oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan
dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah.
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah
supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan
saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya
dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.1

Di dalam Islam, semua umat muslim adalah saudara. Dan kewajiban dari seorang muslim
adalah saling mengingatkan kepada saudara seiman. Jadi bagi anda yang telah mengetahui
pengertian hukum Islam, sangat diharapkan jika anda mengingatkan dan menyebar luaskan
ilmu tersebut terhadap muslim yang lain. Selain medapat pahala karena berdakwah, anda
juga bisa bertukar pikiran dengan orang yang anda ingatkan tersebut. Jika perlu, buatlah
sebuah kelompok pengajian yang menjadi wadah untuk kita saling mengingatkan berbagai
amalan yang di lakukan.2

1
1https://studihukum.wordpress.com/2013/07/22/pengertian-hukum-islam/
2
https://pengertiandefinisi.com/pengertian-hukum-islam-dan-manfaatnya/

1
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan hukum syara’?


2. Bagaimana pembagian dari hukum syara’?

1.3. Tujuan Masalah

Adapun tujuan yang hendak kami capai dalam penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Dapat memberikan penjelasan kepada para pembaca mengenai pengertian hukum syara’
2. Dapat memberikan pengetahuan kepada para pembaca mengenai pembagian hukum
syara’

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Syara’

Menurut etimologi kata hukum (al-hukm) berarti "mencegah (al- man u)" atau
"memutuskan (al-gadha). Hukum juga berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain
(itsbat syai" 'ala syai). Menurut terminologi ushul figh hukum berarti "khitab Allah yang
mengatur amal perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk
melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), mukhyir (kebolehan bagi orang mukallaf
untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh 7 (ketentuan yang
menerapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan mani).3 Menurut Ushuliyun (Ulama ahli
Ushul Fiqih) hukum adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik
dalam bentuk tuntutan, pilihan maupun wadh'i. Sedang menurut Fuqaha' (Ulama ahli fiqih),
hukum adalah sifat yang bersifat syar'i yang merupakan pengaruh dari titah Allah. Atau
pengaruh titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk
tuntunan, pilihan, maupun wadh'i.4

2.2. Pembagian Hukum Syara’

Hukum syara’ di bagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

a. Hukum Taklifi
1. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah firman Allah SWTyang berisi tuntunan untuk dikerjakan atau
ditinggalkan atau berisi pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan.
Contoh firman Allah yang bersifat menuntut untuk di kerjakan:
‫سك َۢۡن لَّ ُه ۡۚۡم َو ه‬
‫ّٰللاُ َس ِّم ۡيع َع ِّل ۡي ۢۡم‬ َ َ‫ص ٰلوةَك‬
َ ‫ص ِّل َعلَ ۡي ِّه ۡۚۡم ا َِّّن‬ َ ُ ‫صدَقَ ۢۡة ت‬
ِّ ‫ط ِّه ُره ُۡم َوتُزَ ِّك‬
َ ‫يہم ِّب َها َو‬ َ ‫َو ُخ ۡذ ِّم ۡۢۡن ا َ ۡم َوا ِّل ِّه ۡم‬
Artinya: "Dan ambillah zakat dari sebagian harta mereka; dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka. Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya

3
Hashiyallah, Figh der Ushal Fiqh. L. IFT Ruruaja Kindakarya, Banding 2013, hlm. 29
4
sawarjin, Eshel Pipit. 1. Teras, Yogyakarta, 2012, hlm. 24

3
doamu itu (menjadi) ketenteraman bagi jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui."5

2. Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi


Terdapat dua golongan ulama yang menjelaskan mengenai bentuk-bentuk dari hukum
taklifi yaitu:
Pertama,
menurut Jumhur UlamaUshul Fiqh/Mutakallimin.Menurut mereka bentuk-bentuk
hukum taklifi ada lima macam yaitu6 :
a. Ijab yaitu titah Allah SWT untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Misal, dalam surah An-Nur ayat 56:
َ‫س ۡو َل لَ َعلَّ ُك ۡم ت ُ ۡر َح ُم ۡون‬ َّ ‫ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا‬
َّ ‫الز ٰكوةَ َوا َ ِّط ۡيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫َواَقِّ ۡي ُموا ال‬
Artinya:
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Rasul agar kamu diberi
rahmat."
b. Nadb yaitu titah ALLAH SWT yang tidak bersifat memaksa atau mengikat,
melainkan hanya sebagai anjuran, sehingga tidak ada larangan bagi seorang yang
meninggalkannya. Orang meninggalkan tidak di kenakan sanksi.
c. Tahrim yaitu titah Allah SWT yang menunjukkan adanya larangan dalam
melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa atau larangan yang
pasti. Akibat dari tuntutan ini di sebut hurmah dan perbuatan yang dilarang atau di
tuntut itu disebut haram.
d. Karahah yaitu titah Allah SWT atau tuntutan yang menunjukkan adanya larangan
mengerjakan sesuatu dengan larangan yang tidak pasti atau tidak memaksa.
Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang disini tidak di kenai sanksi.
Akibat dari tuntutan ini merupakan dari nadb.
e. Ibahah yaitu titah Allah SWT yang bersifat fakultif, yaitu memberikan kebebasan
kepada mukallaf antara melakukan perbuatan semua itu sama saja. Akibat titah
Allah ini disebut dengan ibadah, dan perbuatan yang boleh di pilih disebut mubah.
5
http://legacy.quran.com/9/103
6
Rachmat Syafi’i, ilmu fiqh, IV, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm 297

4
3. Pembagian Hukum T aklifi Menurut Fuqaha’
a. Wajib, yaitu tuntunan yang pasti agar suatu perbuatan dilaksanakan. Apabila
perbuatan tersebut dilakukan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan
mendapat dosa. Contohnya sholat dan puasa ramadhan.
Dilihat dari segi yang dibebani kewajiban, dibagi menjadi wajib ain dan wajib
kifa i (kifayah). Wajib ain dibebankan pada orang yang sudah baligh dan berakal
tanpa terkecuali, misalnya: kewajiban melaksanakan shalat fardhu, puasa di bulan
ramadhan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan sedangkan wajib kifa 'i
dibebankan kepada seluruh mukallaf tetapi dapat diwakilkan oleh sebagian umat
Islam, contoh: sholat jenazah, menjawab salam ketika berkumpul bersama orang
banyak, jihad, amar ma'ruf nahi munkar.
Dilihat dari segi kandungan perintah, wajib dibagi menjadi wajib mu 'ayyan
dan wajib mukhayyar. Wajib mu 'ayyan objeknya sudah tentu dan tidak ada
pilihan selain yang telah ditentukan. Misalnya shalat fardhu, puasa Ramadhan dan
lain sebagainya. Sedangkan wajib mukhayyar yaitu kewajiban tertentu yang boleh
dipilih oleh mukallaf.
Dilihat dari segi keterikatan waktu, wajib dibagi menjadi wajib muthlaq dan
mu'aqqat (muqayyad). Wajib muthlaq pelaksanaannya tidak terikat atau dibatasi
waktu tertentu, contoh mengqadha puasa ramadhan dan membayar kaffarat
sedangkan wajib mu'aqqat pelaksanaanya terikat atau dibatasi waktu tertentu,
tidak boleh didahulukan atau di akhirkan dari waktu yang ditentukan contoh:
shalat fardhu, puasa Ramadhan.
Wajib Mu'aqqat dibagi menjadi tiga yaitu:
i. Wajib Muwassa' yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang
sehingga dalam waktu itu bias dikerjakan amalan yang sejenis, misalnya
ketika sudah masuk waktu shalat zuhur, seseorang bisa melaksanakan
shalat zuhur dan shalat sunnah rawatib.
ii. Wajib Mudhayyaq yaitu kewajiban yang waktunya ditentukan secara
khusus (batas waktunya sempit) hanya diperuntukkan pada suatu amalan
dan waktu itu tidak bisa digunakan untuk amalan lain, misalnya puasa

5
ramadhan harus dilaksanakan sebulan penuh sehingga pada waktu itu
tidak bisa diselingi puasa sunnah.
iii. "Wajib dzu asy-syibhain yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang
lapang namun tidak bisa digunakan untuk amalan yang sejenis secara
berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu cukup lapang. seseorang bisa
melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, namun
amalan yang berulang itu tidak diperhitungkan syara' sebagai suatu
kewajiban. Akan tetapi, Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa waktu
untuk ibadah haji termasuk waktu Wajib al-muthlaq, karena seseorang
boleh melaksanakan ibadah haji itu kapan saja ia mau selama ia masih
hidup7.
Para Ulama Ushul Fiqh juga mengemukakan bahwa dalam persoalan
wajib Mu'aqqat juga dibahas tentang8:
i. 'Ada', menurut Ibnu Al-Hajib yaitu melaksanakan suatu amalan
untuk pertama kalinya dengan waktu yang ditentukan syara'.
ii. l'adah yaitu amalan yang dilakukan untuk kedua kalinya dengan
waktu yang ditentukan karena amalan yang pertama mengandung
uzur.
iii. Qadha yaitu amalan yang dikerjakan di luar waktu yang
ditentukan sifatnya sebagai pengganti.
Hukum wajib dari segi ukuran yang diwajibkan:
i. Wajib al-muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukan oleh
syara' dengan ukuran tertentu dan tidak boleh ditambahi
atau dikurangi. Misalnya jumlah harta yang wajib
dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
ii. Wajib ghairu al-muhaddad yaitu kewajiban yang ukuran
dan jumlahnya tidak ditentukan oleh syara' akan tetapi
diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat islam.
Misalnya: penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak

7
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, IV, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 303
8
Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih, IV, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 304

6
pidana di luar hudud dan qishash) diserahkan kepada
qadhi' (hakim).
b. Mandub atau sunnah, yaitu khitab syari yang menuntut suatu perbuatan untuk
dilakukan atau tidak harus dilakukan. Orang yang melakukan mendapat pahala
sedangkan yang tidak melakukan tidak berdosa.
Hukum sunnah menurut Abdul Karim Zaidan:
i. Sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang biasanya
dilakukan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkan. Misalnya: shalat fajar
ii. Sunnah ghairumuakkadah (sunnah biasa), yaitu perbuatan yang dilakukan
Rasulullah, namun bukan menjadi kebiasaannya. Misalnya: shalat sunnah
dua rakaat sebanyak dua kali sebelum shalat zuhur.
iii. Sunnah al-Zawait (sunnah tambahan), yaitu meliputi kebiasaan sehari-hari
Rasululla sebagai manusia biasa. Misalnya adab adab yang dicontohkan
Rasulullah sebelum makan, sebelum tidur maupun ketika berpakaian.
c. Haram yaitu khitab syari' yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tegas. Orang yang melakukan akan mendapat dosa sedang
yang meninggalkan akan mendapat pahala. Haram terbagi menjadi dua yaitu:
i. Haram lidzatih, yaitu sesuatu yang keharaman melakukannya telah
ditetapkan, karena mengandung kemudharatan. Contoh larangan berzina
dalam QS. Al-Isra: 32.
ii. Haram lighairih, yaitu sesuatu yang keharamannya tidak ditetapkan, tapi
ada sesuatu yang menyebabkannya haram. Contoh jual beli pada waktu
adzan sholat Jum'at, mentalak istri di waktu haid, jual beli dengan menipu.
d. Makruh. Menurut bahasa makruh berarti sesuatu yang dibenci. Sedangkan
menurut istilah makruh yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak tegas. Orang yang melakukan tidak mendapat dosa,
sedangkan yang meninggalkan mendapat pahala.
Menurut ulama Hanafiyah makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
i. Makruh tahrim, yaitu tuntutan syar'i untuk meninggalkan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang pasti tetapi didasarkan pada dalil yang zhanni.
Menurut mayoritas ulama, makruh ini sama dengan haram dari segi sama

7
sama diancam dengan siksaan. Misalnya: larangan meminang wanita yang
sedang dalam pinangan orang lain, larangan memakai sutera dan perhiasan
emas bagi kaum laki - laki, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Keduanya ini (emas dan sutra) haram bagi umatku yang laki laki dan
halal bagi wanita. (H.R. Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah dan Ahmad Ibn
Hanbal)
ii. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan untuk meninggalkannya.
Contoh memakan daging kuda disaat sangat membutuhkannya ketika
perang, sebagian kalangan hanafiyah, berpendapat bahwa pada dasamya
memakan daging kuda hukumnya haram, karena sangat butuh dalam
perang, maka hukumnya makruh.
e. Mubah, secara bahasa berarti sesuatu yang diizinkan. Kata ini bersinonim dengan
kata halal. Menurut istilah mubah yaitu khitab syari yang mengandung pilihan
antara mengerjakan atau meninggalkannya. Orang yang mengerjakan maupun
meninggalkan. tidak mendapat pahala maupun dosa. Abu Ishaq dalam bukunya
membagi mubah menjadi tiga yaitu:
i. Mubah yang menjadikan seseorang wajib untuk melakukannya, seperti
makan dan minum hukumnya mubah akan tetapi menjadi wajib karena
untuk memperoleh energi untuk beribadah kepada Allah SWT.
ii. Sesuatu dianggap hukumnya mubah apabila dilakukan sekali-kali bukan
setiap waktu seperti bermain dan mendengarkan nyayian akan tetapi
menjadi haram hukumnya jika menghabiskan waktu seharian hanya untuk
bermain dan mendengarkan nyanyian.
iii. Mubah yang berfungsi untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Seperti
membeli perabotan rumah tangga untuk kesenangan. Hidup senang
hukumnya mubah, untuk mencapai kesenangan itu harus dengan cara yang
mubah pula bukan dengan jalan yang haram untuk dilakukan.
b. Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lainnya.

8
Contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab:
َ‫ت ۚۡ ََٰٰلََِّ َِّٰ ْك َر ٰٰ ِّللذَّا ِّك ِّرين‬
ِّ ‫ت يُذْ ِّهبْنَ ٱلس َِّّيـَٔا‬ َ ‫ار َو ُزلَ ًۭفا ِّمنَ ٱلَّ ْي ِّل ۚۡ ِِّ َّن ٱ ْل َح‬
ِّ ‫سنَ ٰـ‬ َّ ‫َوأ َ ِّق ِّم ٱل‬
َ َ ‫صلَ ٰوة‬
ِّ ‫ط َرفَ ِّى ٱلنَّ َه‬

Artinya: "Dan dirikanlah shalat pada dua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian
malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang mengingat (Allah)."(Q.S
Al-Isra:78)

Contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:


‫س ُحوا بِّ ُر ُءو ِّس ُك ْم َوأَ ْر ُجلَ ُك ْم ِِّلَى‬ ِّ ِّ‫ص ََلةِّ فَا ْغ ِّسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِّديَ ُك ْم ِِّلَى ْال َم َراف‬
َ ‫ق َوا ْم‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُوا ََِِّٰا قُ ْمت ُ ْم ِِّلَى ال‬
َ ِّ‫سفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أ َ َحد ِّمن ُكم ِّمنَ ْالغَائِّ ِّط أ َ ْو ََل َم ْست ُ ُم الن‬
‫سا َء فَلَ ْم‬ َ ‫ض ٰى أَ ْو َعلَ ٰى‬ َّ ‫ْال َك ْعبَي ِّْن ۚۡ َو ِِّن ُكنت ُ ْم ُجنُبا فَا‬
َ ‫ط َّه ُروا ۚۡ َو ِِّن ُكنتُم َّم ْر‬
ُ‫ّٰللاُ ِّليَجْ َع َل َع َل ْي ُكم ِّم ْن َح َرٍٍ َو َل ٰـ ِّكن ي ُِّريد‬َّ ُ‫س ُحوا ِّب ُو ُجو ِّه ُك ْم َوأ َ ْيدِّي ُكم ِّم ْنهُ ۚۡ َما ي ُِّريد‬ َ ‫ص ِّعيدا‬
َ ‫ط ِّيبا فَا ْم‬ َ ‫ت َِّجد ُوا َماء فَت َ َي َّم ُموا‬
َ‫ط ِّه َر ُك ْم َو ِّليُتِّ َّم نِّ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرون‬
َ ُ‫ِّلي‬

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu
sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu junub (karena bersetubuh), maka mandilah. Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air, atau
kamu telah menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapati air, maka
bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur."(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Khitab Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang terdapat dalam suatu
hadist yang artinya:
"Pembunuh tidak mendapat waris." (HR. Nasai dalam Sunan Al-Kubra dan Al-Baihaqi
dalam Sunan Al-Kubra).
Hukum wadh'i dibagi menjadi :
1. Sebab, menurut bahasa berarti "sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada
sesuatu yang lain". Contoh terbenamya matahari menjadi sebab bagi seorang muslim

9
wajib melaksanakan sholat maghrib. Ulama ushul figh membagi sebab menjadi dua,
yaitu:
a. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar
kemampuannya. Contoh datangnya hilal ramadhan menjadi sebab kewajiban
berpuasa, kekerabatan menjadi sebab adanya hak saling mewarisi.
b. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya.
Contoh perjalanan jauh menjadi sebab bolehnya berbuka puasa disiang hari pada
bulan ramadhan, pembunuhan menjadi sebab adanya qishash, akad nikah menjadi
sebab halalnya hubungan suami istri.
2. Syarat, menurut bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain
atau sebagai tanda.
9
Para ulama ushu/membagi syarat menjadi dua, yaitu:
a. Syarat syar'i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat itu sendiri (ditetapkan
oleh Allah SWT). Contoh keadaan suci merupakan syarat sahnya shalat seperti
pada QS. Al-Maidah ayat 6, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur
pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubadzir) bagi seorang anak yatim,
dijadikan oleh syariat sebagai syarat wajib menyerahkan harta miliknya
sebagaimana terdapat pada QS. An-Nisa ayat 6.
b. Syarat Ja'ly (syarat buatan), yaitu syarat yang datang dari kemauan mukallaf itu
sendiri. Contoh: syarat antara penjual dan pembeli untuk mengantarkan barang
sampai tujuan tanpa tambahan biaya, seorang suami berkata kepada istrinya "jika
engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talak mu 1", dan seperti pada
pernyataan seseorang bahwa ia bersedia menjamin membayarkan utang si fulan
dengan syarat si fulan tidak mampu membayar utangnya.
3. Mani, secara etimologi berarti "penghalang dari sesuatu" maksudnya sesuatu yang
karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum. Mani 'ada dua
macam, yaitu:
a. Mani terhadap hukum. Contoh perbedaan agama dalam hal waris mewarisi
adalah suatu penghalang (mani').

9
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh I, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, hlm. 38-39

10
b. Mani terhadap sebab hukum. Contoh: seseorang berkewajiban membayar zakat
tetapi hartanya belum memenuhi nishab maka ia menjadi tidak wajib zakat.
4. Shihhah (sah) yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani' (penghalang).
Misalnya mengerjakan shalat Zuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab), sudah
dalam keadaan berwudhu (syarat), tidak sedang haid, nifas dan sebagainya (mani').
5. Bathil (tidak sah) yaitu tidak terpenuhinya syarat dan rukun pada perbuatan mukallaf
sehingga tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya shalat yang tidak
sah tidak dapat membebaskan seseorang dari kewajibannya untuk melaksanakan
shalat, jual beli yang tidak sah mengakibatkan tidak berpindahnya kepemilikan
barang pada pembeli dan kepemilikan harga pada penjual.
6. Azimah adalah hukum hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-
Nya sejak semula, sehingga seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misalnya: jumlah
rakaat shalat zuhur empat rakaat.
7. Ruhsah (keringanan) yaitu hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada
karena terdapat uzur (halangan). Misalnya: seseorang yang melaksanakan perjalanan
jauh dapat mengqashar shalat zuhur menjadi dua rakaat.10

10
Rachmat Syafe,i, ilmu Ushul Fiqh IV, CV Pustaka Setia, Bandung , 2010, hlm. 315

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan makalah yang telah kami susun dapat kami simpulkan bahwa :
1. Hukum Syara' adalah sifat yang bersifat syar'i, merupakan pengaruh dari titah Allah
SWT terhadap perbuatan mukallaf yang bisa berupa tuntutan, pilihan ataupun wadh'i.
2. Hukum Syara' secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu:
a. Hukum Taklifi adalah firman Allah SWT yang berisi tuntunan untuk dikerjakan
atau ditinggalkan atau berisi pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan. Terbagi
menjadi:
Pertama Menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin. Hukum taklifi terbagi
menjadi Ijab, Nadb, Tahrim, Karahah. Ibahah.
Kedua, menurut ulama Hanafiyyah hukum taklifi terbagi menjadi Iftiradh, Ijab,
Nadb, Ibahah, Karahah Tanzihiyyah, Karahah Tahrimiyyah, Tahrim. Bentuk-
bentuk hukum taklifi menurut Fuqaha' yaitu:
1. Wajib terbagi menjadi
a. Dari segi yang dibebani kewajiban wajib ain dan wajib kifa'i (kifayah).
b. Dari segi kandungan perintah: wajib mu ayyan dan wajib mukhayyar.
c. Dari segi keterikatan terhadap waktu wajib muthlag dan mu'aqqat
(muqayyad). Wajib Mu'aqqat Wajib Muwassa', Wajib Mudhayyaq, Wajib
dzu asy-syibhain. Dalam persoalan wajib Mu'aqqat juga dibahas tentang:
"Ada', l'adah, Qadha.
d. Dari segi ukuran: Wajib al-muhaddad, Wajib ghairu al-muhaddad.
2. Mandub atau sunnah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), Sunnah
ghairumuakkadah (sunnah biasa), Sunnah al-Zawait (sunnah tambahan).
3. Haram: Haram lidzatih dan Haram lighairih.
4. Makruh: makruh tahrim. makruh tanzih.
5. Mubah
b. Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lainnya. Terdiri

12
dari: sebab, syarat, mani’(penghalang), shihhah (sah), Bathil (tidak sah), azimah,
ruhsah (keringanan).

13
DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah. 2013. Figh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Syafe'i Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

iii

Anda mungkin juga menyukai