Anda di halaman 1dari 21

“HUKUM-HUKUM SYAR’IYYAH”

(Hakim, Hukum, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaihi)

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah: Ilmu Ushul Fiqh

Oleh Kelompok 6
1. Bau Siska Asrianti (30300119042)
2. Muhammad Akram Wahid (30300119044)
3. Nalwi (30300119049)

Dosen Pengampu: Dr. Zaenal Abidin, S.S., M.H.I

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

‫َّحي ِْم‬ ِ ْ‫بِس ِْم هللاِ الرَّح‬


ِ ‫من الر‬
Alhamdulillaahirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala,
Tuhan Semesta Alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada sang murabbi sejati kita, Nabiyullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi dan Rasul, yang di mana atas perjuangan
beliau sehingga nikmat Iman dan Islam dapat kita rasakan hingga saat ini.

Adapun makalah dengan topik inti “Hukum-Hukum Syar’iyyah” disusun untuk


memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Ushul Fiqh. Dalam penyusunan
makalah, kami melibatkan berbagai pihak baik dari Dosen juga referensi yang
bersumber dari buku dan jurnal ilmiah. Oleh karena itu, kami mengucapkan banyak
terima kasih atas segala dukungan yang diberikan untuk menyelesaikan makalah ini.

Meski telah disusun secara maksimal, akan tetapi kami sangat menyadari bahwa
di dalamnya masih terdapat begitu banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Karenanya, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga para pembaca dapat
mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah ini.

Makassar, 3 November 2021

(Kelompok 6)

ii
DAFTAR ISI

JUDUL......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................3
A. Hukum.......................................................................................................................3
B. Hakim.......................................................................................................................10
C. Mahkum Fih............................................................................................................11
D. Mahkum ‘Alaihi......................................................................................................14
BAB III PENUTUP...............................................................................................................17
A. Kesimpulan..............................................................................................................17
B. Implikasi..................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai sebuah agama memiliki beragam aturan yang terdiri atas hukum-
hukum. Hukum tersebut ditetapkan oleh Allah demi terbentuknya kehidupan yang
berorientasi pada kebahagiaan umat, di dunia maupun di akhirat. Karakteristik
hukum Islam yang bersendikan nash dan didukung dengan akal merupakan ciri
khas yang membedakannya dengan sistem hukum lainnya. Ijtihad memegang
peranan signifikan dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Mediator
utama dalam memecahkan masalah keagamaan adalah dengan berijtihad.
Karenanya ia juga memerlukan perangkat-perangkat agar mampu menghasilkan
solusi-solusi cerdas dan tepat bagi masalah yang ada.

Salah satu perangkat untuk melakukan aktifitas ijtihad adalah dengan


memahami metodologi ushul fiqih. Di antara sekian banyak wilayah cakupan
ushul fiqh, adapun yang penting untuk diketahui ialah konsep tentang hukum,
hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih. Sebab sebelum seseorang terjun untuk
menjawab persoalan sebuah hukum, ia diharuskan untuk mengetahui terlebih
dahulu apa itu hukum, kemudian siapa pembuatnya dan siapa objeknya.1

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hukum serta pembagiannya ke dalam Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh’iy?
2. Apa pengertian Hakim dan siapa yang dimaksud sebagai Hakim?
3. Apa pengertian Mahkum Fih, syarat dan macam-macamnya?
4. Apa pengertian Mahkum ‘Alaihi dan syarat-syaratnya?

1
Isnu Cut Ali, “Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih (Studi Pemahaman Dasar
Ilmu Hukum Islam)”, Al-Madãris: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, vol. 2 no. 1 (2021), h. 76.
http://journal.staijamitar.ac.id/index.php/almadaris/article/view/13 (Diakses 28 Oktober 2021).

1
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis untuk menambah pengetahuan pembaca seputar “Hukum
Syar’iyyah, yang terdiri dari Hukum, Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum ‘Alaih”
baik dari segi definisinya, pembagian bentuk, syarat dan macam-macamnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum
1. Pengertian Hukum
Menurut bahasa, hukum diartikan:

ُ َ‫ِإ ْثب‬
ُ‫ات َشٍئ َعلَى َشٍئ َأو َن ْفيُهُ َع ْنه‬
Artinya:
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan dari padanya”.
Menurut istilah ahli Usul Fiqh, hukum adalah:
ْ ‫ال ال ُْم َكلَّ ِف ْي َن طَلَبًا َْأو تَ ْخيِ ًرا َْأو َو‬
ِ ‫ْع‬ ِ ِ
‫ض ًعا‬ َ ‫اب اهلل ال ُْمَت َعلِّ ُق بَِأف‬
ُ َ‫خط‬
Artinya:
“Titah/ketetapan Allah (atau sabda Rasul) yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal) baik titah itu
mengandung tuntutan, suruhan, pilihan atau larangan, atau berupa
ketetapan yang menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu
sebagai: sebab, atau syarat, atau penghalang bagi suatu hukum”.

Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah akibat hukum (atau
‘efect’) dari titah Allah atau sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’ maka
yang dimaksud ialah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yakni
perbuatan zahir yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang
berpautan dengan akidah/keimanan dan akhlaq.

Setelah memperhatikan pengertian hukum sebagaimana yang dijelaskan di


atas, maka nyatalah bahwa hukum itu ada yang mengandung talabah (tuntutan
wajib/perintah larangan), ada yang mengandung takhyir (kebolehan
mengerjakan atau meninggalkan), ada yang mengandung keterangan: sebab,
syarat, mani’ (kelengkapan berlakunya hukum), sah, batal, rukhsah dan
’azimah.2

2
Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh: Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam (Surabaya: UIN Sunan
Ampel, 2013), h. 130.

3
2. Pembagian Hukum Syara’
Hukum syari’at dibagi menjadi dua bagian: Taklifiyyah (Pembebanan) dan
Wadh’iyyah (Peletakan).3

 Al-Ahkam at-Taklifiyyah
Taklifi (‫ )تكليفي‬secara bahasa berarti pembebanan dan pemberian tanggungan.

Sementara secara istilah, hukum taklifi adalah hukum yang mengandung


perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk
berbuat sesuatu atau tidak berbuat. Hal ini sebagaimana diutarakan para ahli
ushul, di antaranya ialah pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Wahbah al-
Zuhaili:
‫الحكم التكليفي هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كف عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه‬
Artinya:
“Segala sesuatu yang menetapkan tuntutan sebuah pekerjaan bagi
seorang mukallaf, atau suatu larangan terhadap suatu perbuatan, atau
pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakan.”
Dari definisi tersebut dapat dipahami, bahwa hukum taklifi merupakan
hukum yang mengandung tuntutan yang kuat untuk melakukan suatu pekerjaan
karena itu diperintahkan dalam nash; mengandung tuntutan yang kuat untuk
ditinggalkan karena dilarang oleh nash; mengandung alternatif pilihan untuk
dilakukan atau ditinggalkan karena tidak ada tuntutan yang kuat.4

Adapun bentuk-bentuk hukum taklifi menurut ulama ushul fiqih terbagi


menjadi lima, yaitu:
1) Wajib (‫ )الواجب‬secara bahasa: (‫“ )الساقط والالزم‬yang jatuh dan harus”.5

3
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul,
terj. Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih (t.t.: Tholib, t.th.), h. 7.
4
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam, Jilid 1 (DI Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama, 2019), h. 18.
5
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul,
terj. Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, h. 7.

4
Sementara secara istilah, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan sebagai
berikut:
‫ كما ٕاذا‬،‫ هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما بٔان اقتران طلبه بما يدل على تحتيم فعله‬:‫الواجب شرعا‬
‫ ٔاو ٓاية قرينة شرعية‬،‫ ٔاو دل على تحتيم فعله ترتيب العقوبة على تركه‬،‫كانت صيغة الطلب نفسها تدل على التحتيم‬
.‫ٔاخرى‬

Artinya:
“Wajib adalah apa yang diminta oleh Allah untuk dikerjakan oleh
mukallaf dengan pemintaan yang kuat dengan disertai permintaanya itu
dengan apa yang menunjukan pada pentingnya pekerjaan itu.
Sebagaimana sighat permintaan itu menunjukan pada urgensi atau
menunjukan pada urgensi pekerjaan yang mengakibatkan pada sanksi
(hukuman) karena meninggalkanya, atau penanda yang menjadi
indikator syari’at lainya.”6
Dari definisi di atas dapat dipahami, bahwa wajib merupakan sesuatu yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika
dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam
dengan dosa. Misalnya kewajiban shalat berdasarkan firman Allah QS. An-
Nūr/24: 56,
       

Terjemahnya:
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Nabi
Muhammad) agar kamu dirahmati.”

2) Mandub (‫ )المندوب‬secara bahasa: (‫)المدعو‬


ُّ “yang diseru”. Dan secara istilah:
‫الشارِعُ اَل َعلَى َو ْج ِه اِإْل ل َْز ِام‬
َّ ‫َما ََأم َر بِ ِه‬

“Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari’at tidak dalam bentuk


keharusan”7
Misalnya, anjuran dalam QS. Al-Baqarah/2: 282,
... ...       

6
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam, Jilid 1, h. 21.
7
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul,
terj. Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, h. 8.

5
Terjemahnya:
“Apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu mencatatnya...”

Lafal ‫ ف اكتبوه‬dalam ayat pada dasarnya mengandung perintah wajib, tetapi

terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb (sunnah) yang
terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut QS. Al-Baqarah/2: 283,
 ...           
... 
Terjemahnya:
“Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya”

Tuntutan wajib dalam ayat berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa
perubahan ini adalah bahwa Allah menyatakan jika ada sikap saling
mempercayai maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting.

3) Haram (‫ )المحرم‬secara bahasa: (‫“ )الممنوع‬yang dilarang”. Dan secara istilah:


‫الت ْر ِك‬
َ ِ‫الشارِعُ َعلَى َو ْج ِه اِإْل ل َْز ِام ب‬
َّ ُ‫َما َن َهى َع ْنه‬

“Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari’at dalam bentuk keharusan


untuk ditinggalkan”8

Misalnya firman Allah dalam QS. Al-An’am/6: 151,


...  ...      
Terjemahnya:
“Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali
dengan alasan yang benar.”

Khithab ayat disebut dengan tahrim, yaitu membunuh jiwa seorang manusia
hukumnya haram.
4) Makruh (‫ )المك روه‬secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci atau sesuatu
yang tidak disukai.9 Adapun secara istilah:
8
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul,
terj. Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, h. 9.
9
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam, Jilid 1, h. 29.

6
‫الشارِعُ اَل َعلَى َو ْج ِه اِإْل ل َْز ِام بِالت َّْر ِك‬
َّ ُ‫َما َن َهى َع ْنه‬

“Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari’at tidak dalam bentuk keharusan
untuk ditinggalkan”10

Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Jumu’ah/62: 9,

 ...           
...  
Terjemahnya:
“Apabila (seruan) untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat telah
dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli.”
Dalam ayat ini perkataan tinggalkanlah jual beli, sama artinya dengan
jangan kamu berjualan/berdagang. Bentuk larangan berjual-beli/berdagang di
sini sebagai faktor/sebab luar dari pekerjaan itu, maka larangan itu tidak bersifat
mengharamkan, melainkan hanya memakruhkan. Perintah semacam ini disebut
karahah, akibatnya disebut karihah, pekerjaannya disebut makruh.

5) Mubah (‫ )المب اح‬secara bahasa: (‫“ )المعلن والم أذون فيه‬yang diumumkan dan
diizinkan dengannya”.11 Secara istilah, Abdul Wahab Khallaf mendefinsikan
sebagai berikut:
‫ فلم يطلب الشارع ٔان يفعل المكلف هذا الفعل‬.‫المباح هو ما خير الشارع المكلف بين فعله وتركه‬،
‫ولم يطلب ٔان يكف عنه‬
Artinya:
“Mubah adalah apa yang dipilihkan oleh syari’ (Allah dan Rasulnya)
kepada seorang mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkanya. Dan
syari’ (Allah dan Rasulnya) tidak menuntut mukallaf untuk mengerjakan
pekerjaan tersebut, dan tidak menuntut untuk meninggalkannya.”12

Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah/5: 2,


...  ...    
Terjemahnya:
10
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul,
terj. Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, h. 10.
11
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul,
terj. Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, h. 10.
12
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam, Jilid 1, h. 30.

7
“Apabila kamu telah bertahalul (menyelesaikan ihram), berburulah (jika
mau).”
Ayat ini juga menggunakan lafal perintah yang mengandung makna ibahah
(mubah) karena ada indikasi yang memalingkannya.

 Al-Ahkam al-Wadh’iyyah
Hukum wadh’i (‫ )الحكم الوض عي‬adalah ketentuan-ketentuan hukum yang

mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
‫ما اقتضى وضع شيء سببا لشيئ او شرطا له او مانعا منه‬

“Segala sesuatu yang menetapkan keberadaan sesuatu menjadi sebab sesuatu


yang lain, atau menjadi syarat terhadapnya, atau penghalang terhadapnya.”13

Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam menerangkan bahwa hukum wadh’iy itu


ada tujuh macam, sebagai berikut:14
1. Sebab (‫)الس بب‬. Titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebagai

sebab adanya kewajiban untuk dikerjakan oleh subjek hukum, misalnya


firman Allah QS. Al-Baqarah/2: 185,
...  ...      
Terjemahnya:
“Maka barang siapa diantara kamu menyaksikan (melihat) bulan, maka
hendaklah ia berpuasa”

2. Syarat (‫)الشرط‬. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebagai

syarat bagi sesuatu, misalnya sabda Rasulullah ‫ﷺ‬.


ِ َ‫اَل ي ْقبل اهلل صاّل ة‬
‫ث َحتَّى َيَت َو ضََّأ‬ ْ َ‫َأحد ُك ْم ِإذ‬
َ ‫اَأح َد‬ َ َ ُ َُ َ
Artinya:
“Allah tiada menerima shalat salah seorang diantara kamu, bila dia
berhadas sehingga dia berwudhu.” (HR. Bukhari)

13
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam, Jilid 1, h. 34.
14
Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh: Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam, h. 133-134.

8
Berdasarkan hadits tersebut mensyaratkan bahwa suci dari hadas
ditetapkan sebagai syarat bagi diterimanya shalat seseorang.

3. Mani’ (‫)الم انع‬. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi

berlakunya (sahnya) sesuatu hukum, misalnya sabda Rasulullah ‫ﷺ‬.


‫حرٍم‬ ٍ ٍ‫اَل ي ْخلُو َّن رجل ب‬
َ ُ‫امرَأة ِإالَّ َو َم َع َها ذ‬
َ ‫وم‬ َ ٌَُ َ َ
Artinya:
”Janganlah seorang laki-laki itu menyepi dengan seorang wanita
kecuali ada mahram yang menyertainya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa tidak adanya mahram menjadi
penghalang bagi kebolehan laki-laki ber-khalwat (berduaan) dengan wanita.

4. Sah (‫)الص حة‬. Titah yang menerangkan sahnya suatu pekerjaan, yaitu apabila

kita diperintah untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan yang telah memenuhi


syaratnya serta terlepas dari penghalangnya, yakinlah kita bahwa pekerjaan
itu telah menjadi sah, hal ini bagi diri kita dapat melepaskan dari tugas
pelaksanaannya.

5. Batal secara bahasa adalah lawan dari shahih (‫)م ا يقاب ل مع نى الص حة‬. Titah yang

menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandang sah. Hal itu
menjadikan kita dihukumi belum terlepas dari melaksanakan tugas itu.

6. Azimah (‫)العزيمة‬. Titah yang menetapkan bagi para mukallaf, dituntut


melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan sebagai tuntutan hukum yang
umum, bukan karena suatu pengecualian. Dengan demikian, azimah
merupakan hukum asal (bawaan); hukum yang belum adanya perubahan
oleh faktor lain.
7. Rukhsoh (‫)الرخصة‬. Titah yang memberikan pengertian bahwa hukum yang

dimaksudkan itu sebagai ganti atau dispensasi dari hukum azimah yakni hal
yang dikerjakan dan sulit direalisasikan. Dari definisi tersebut bahwa

9
rukhsoh adalah keringan yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala
karena adanya alasan syar’iy, yaitu berupa dua keadaan: (1) karena faktor
darurat dan (2) untuk menghilangkan masyaqah (kesempitan) atau
kesulitan.15

B. Hakim
Hakim dalam ushul fikih disebut juga Syari’ (‫)شارع‬.16 Menurut para ahli usul fiqh,

bahwa pihak yang menetapkan hukum itu ialah Allah subhanahu wata’ala. Bila
ditinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti yaitu:
1. Pembuat hukum yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.
2. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.

Dari pengertian pertama dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah subhanahu
wata’ala. Dia-lah pembuat hukum dan sumber hukum. Sedangkan dari pengertian
kedua, ulama usul fikih membedakannya sebagai berikut:

1. Sebelum Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. diangkat sebagai Rasul. Terjadi perbedaan


pendapat ulama usul fikih tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan,
dan menjelaskan hukum sebelum Nabi Muhammad diutus. Ulama ahlussunnah
waljamaah berpendapat bahwa tidak ada hakim dan hukum syara’ saat itu serta
akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, Hakim adalah Allah subhanahu
wata’ala dan yang menyingkap hukum dari Hakim itu adalah syara’, namun
syara’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Hakim adalah Allah subhanahu
wata’ala, namun akal mampu menemukan hukum-hukum Allah dan
menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’. Sebaliknya,
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datangnya syara’ maka
15
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam, Jilid 1, h. 45.
16
Imam Yazid, Ilmu Fikih dan Ilmu Usul Fikih (Medan: Perpustakaan UIN Sumatera Utara,
2016), h. 9.

10
tidak diberikan sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan
mukallaf.
2. Setelah Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. diangkat sebagai Rasul. Para ulama usul fikih
sepakat bahwa Hakim adalah syari’at yang turun dari Allah subhanahu wata’ala
yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬. Apa yang dihalalkan oleh Allah hukumnya
adalah halal, begitu pula apa yang diharamkan-Nya adalah haram.

Seluruh kaum muslimin sepakat, bahwa tidak ada hakim/legislator kecuali Allah,
sesesuai dengan firman-Nya QS. Al-An’am/6: 57,
…  …     
Terjemahnya:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”

C. Mahkum Fih
1. Pengertian Mahkum Fih
Mahkum fih adalah objek hukum atau perbuatan mukallaf yang berkaitan
dengan hukum syar’i, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan, ataupun tuntutan memilih suatu pekerjaan.17

Para ulama sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah
suatu hukum. Misalnya firman Allah QS. Al-Ma’idah/5: 1,

…       


Terjemahnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu!

Ayat di atas menunjukkan perbuatan seorang mukallaf, yakni tuntutan


memenuhi janji, atau wajib memenuhi janji.
 …         

Terjemahnya:
17
Khisni, Epistemologi Hukum Islam: Sumber dan Dalil Hukum Islam, Metode Istimbath
dan Ijtihad Dalam Kajian Epistemologi Usul Fikih (Cet. I; Semarang: Unissula Press, 2012), h. 29.

11
“Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisā’/4: 29)
Ayat di atas menunjukkan perbuatan seorang mukallaf, yakni larangan
membunuh diri sendiri, atau haram membunuh diri sendiri. Dengan beberapa
contoh tersebut, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan
mukallaf.

2. Syarat-syarat Mahkum Fih


Ada beberapa persyaratan bagi sahnya suatu perbuatan hukum, yaitu:

1) Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh mukallaf sehingga
dengan demkian suatu perintah misalnya dapat dilaksanakan secara lengkap
seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, seperti
dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan
dari Rasul-Nya. Misalnya, ayat al-Qur’an yang mewajibkan shalat secara
global tanpa merinci syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah
ada penjelasan secara rinci dari Rasulullah. Demikan pula ayat yang
memerintahkan untuk melaksanakan haji, puasa, dan zakat.

2) Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah/tuntutan itu datang dari
pihak yang berwenang membuat perintah, dalam hal ini adalah Allah dan
Rasul-Nya. Sehingga mukallaf melaksanakan perintah/tuntutan itu dengan
tujuan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah semata. Olehnya tidak ada
keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu
peraturan yang jelas. Itulah sebabnya maka setiap upaya mencari pemecahan
hukum, hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai
tuntutan syara’.

3) Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang


dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.

12
Hal itu disebabkan karena tujuan dari suatu perintah atau larangan adalah
untuk ditaati. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada dalam al-Qur’an dan
Sunnah sebuah perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh
manusia. Misalnya, perintah untuk terbang tanpa memakai alat.18

3. Macam-macam Mahkum Fih


Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi
menjadi empat macam:

1. Semata-mata hak Allah, yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan


kemaslahatan. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan
pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak ini
semata-mata hak Allah, dalam hal ini ada delapan macam:
a. Ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b. Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan
seperti zakat fitrah, karena disyaratkan niat dalam zakat fitrah
c. Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah seperti: zakat yang
dikeluarkan dari bumi
d. Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti khoroj (pajak
bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti
hukuman orang yang berbuat zina
f. Hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,
karena membunuh pemilik harta tersebut
g. Hukuman yang mengandung makna ibadah seperti kafarat orang yang
melakukan senggama di siang hari pada bulan Ramadhan
h. Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti: kewajiban mengeluarkan
seperlima harta terpendam dan harta rampasan.

18
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Usul Fikh, terj. Halimuddin, Ilmu Usul Fikih (Jakarta:
Rineka Cipta, 2005), h. 156.

13
2. Hak hamba yang berkaitan dengan kepentingan pribadi seseorang seperti
ganti rugi harta seseorang yang di rusak.

3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di
dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana.
4. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih
dominan, seperti masalah qishos.19

D. Mahkum ‘Alaihi
1. Pengertian Mahkum ‘Alaihi
Mahkum ‘alaihi (‫ )ال َْم ْح ُك ْو ُم َعلَْي ِه‬adalah seseorang yang perbuatannya dikenai

khitab Allah, yang disebut dengan mukallaf. Atau suatu perbuatan mukallaf
yang dengan perbuatannyalah hukum syar’i berkaitan, atau mukallaf yang
dibebani hukum.20 Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
dengan larangan-Nya.21

2. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih


Ulama usul fikih sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dibebani hukum
apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Bahwa ia harus mampu memahami dalil pen-taklif-an, sebagaimana ia
mampu untuk memahami nash perundang-undangan yang di-taklif-kan
padanya dalam al-Qur'an dan sunnah, baik dengan sendirinya atau dengan
perantara. Berdasarkan persyaratan ini, maka orang gila tidak terkena taklif.
Demikian pula anak kecil, karena ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk

19
Kamilus Zaman, “Mahkum Fih”, Pengetahuan,
http://kamiluszaman.blogspot.com/2015/09/mahkum-fih.html (Diakses 30 Oktober 2021).
20
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (t.t.: Amzah, t.th.), h.
184.
21
Imam Yazid, Ilmu Fikih dan Ilmu Usul Fikih, h. 10.

14
memahami dalil taklif. Orang yang ghafil (lalai), orang yang tidur, dan orang
yang mabuk juga tidak terkena taklif, karena sesungguhnya mereka dalam
keadaan lalai, tidur, atau mabuk yang tidak mampu untuk memahami. Hal
ini didasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
‫ َو َع ِن ال َْم ْج ُن ْو ِن َحتَّى َي ْع ِق َل‬،‫الصبِ ِّي َحتَّى يَ ْحتَلِ َم‬ َ ‫ َع ِن النَّاِئ ِم َحتَّى يَ ْسَت ْي ِق‬:‫رفِ َع الْ َقلَ ُم َع ْن ثَاَل ثَ ٍة‬.
َّ ‫ َو َع ِن‬،‫ظ‬ ُ
“Qalam (pena pencatat amal) diangkat dari tiga orang, yaitu dari orang
tidur hingga ia terjaga, dari anak kecil hingga ia dewasa dan dari orang
gila hingga ia berakal (sehat).”22

Khitab itu baik dari Al-Qur’an maupun Al-Sunnah bersumber dari bahasa
Arab; padahal banyak dari mereka yang tidak paham bahasa Arab, maka
cara untuk mengatasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu:23
a. Menterjemahkan Al-Qur'an dan Al-Sunnah ke dalam bahasa Indonesia,
atau ke dalam bahasa mereka yang dipakai dalam hidup mereka,
b. Menyerukan kepada orang (beriman) yang tidak mengetahui bahasa Arab
untuk mempelajari bahasa Arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah,
c. Kita wajib mengadakan upaya untuk ummat kita mempelajari bahasa
asing dengan sempurna, untuk menyampaikan kandungan Al-Qur'an dan
Al-Sunnah kepada orang asing itu.

2) Seseorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi/cakap atas perbuatan yang
ditaklifkan kepadanya. Adapun secara bahasa ahlan bermakna
Shalahiyah/kecakapan. Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa terwujud
dengan akal. Terkait dengan hal ini, Al-Amidi sebagaimana dikutip oleh az-
Zuhaili mengatakan bahwa para cendikiawan Muslim sepakat bahwa syarat
untuk bisa disebut sebagai seorang mukallaf adalah berakal dan paham
22
Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 24173 dan masih ada riwayat lainnya dengan redaksi yang
berbeda.
23
Achmad Yasin, Ilmu Usul Fiqh: Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam, h. 149-150.

15
terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif adalah khitab dan khitabnya
orang yang tidak berakal adalah mustahil, layaknya batu padat dan hewan. 24
Adapun ahliyyah menurut kajian ushul fikih, terbagi menjadi dua macam,
yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.25

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah akibat hukum (atau ‘efect’)
dari titah Allah atau sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’ maka yang
dimaksud ialah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yakni
perbuatan zahir yang dibicarakan dalam ilmu fiqh. Hukum itu ada yang
mengandung talabah (tuntutan wajib/perintah larangan), takhyir (kebolehan
mengerjakan atau meninggalkan), serta sebab, syarat, mani’ (kelengkapan
berlakunya hukum), sah, batal, rukhsah dan ’azimah.
24
Isnu Cut Ali, “Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih (Studi Pemahaman
Dasar Ilmu Hukum Islam)”, h. 86. http://journal.staijamitar.ac.id/index.php/almadaris/article/view/13
(Diakses 28 Oktober 2021).
25
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, h. 185.

16
 Hakim dalam ushul fikih disebut juga Syari’ (‫)شارع‬. Menurut para ahli usul fiqh,
bahwa pihak yang menetapkan hukum itu ialah Allah subhanahu wata’ala
 Mahkum fih adalah objek hukum atau perbuatan mukallaf yang berkaitan
dengan hukum syar’i, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan, ataupun tuntutan memilih suatu pekerjaan.
 Mahkum ‘alaihi (‫ْم ْح ُك ْو ُم َعلَْي ِه‬
َ ‫ )ال‬adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab
Allah, yang disebut dengan mukallaf. Atau suatu perbuatan mukallaf yang
dengan perbuatannyalah hukum syar’i berkaitan, atau mukallaf yang dibebani
hukum.

B. Implikasi
Demikianlah makalah yang telah kelompok kami susun. Kami menyadari
bahwasanya makalah ini memiliki banyak kekurangan, maka dari itu kami
meminta kesediaan pembaca untuk memberikan kritik dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Isnu Cut. “Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih (Studi Pemahaman
Dasar Ilmu Hukum Islam)”. Al-Madãris: Jurnal Pendidikan dan Studi
Keislaman, vol. 2 no. 1 (2021)
http://journal.staijamitar.ac.id/index.php/almadaris/article/view/13 (Diakses
28 Oktober 2021).
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. t.t.: Amzah,
t.th.
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. Ilmu ‘Usul Fikh. Terj. Halimuddin, Ilmu Usul Fikih.
Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Khisni. Epistemologi Hukum Islam: Sumber dan Dalil Hukum Islam, Metode
Istimbath dan Ijtihad dalam Kajian Epistemologi Usul Fikih. Cet. I;
Semarang: Unissula Press, 2012.

17
Miswanto, Agus. Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam, Jilid 1. DI Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama, 2019.
al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh. Al-Ushul Min ‘Ilmil
Ushul. Terj. Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh. t.t.:
Tholib, t.th.
Yasin, Achmad. Ilmu Usul Fiqh: Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam. Surabaya: UIN
Sunan Ampel, 2013.
Yazid, Imam. Ilmu Fikih dan Ilmu Usul Fikih. Medan: Perpustakaan UIN Sumatera
Utara, 2016.
Zaman, Kamilus. “Mahkum Fih”. Pengetahuan. 2021.
http://kamiluszaman.blogspot.com/2015/09/mahkum-fih.html (Diakses 30
Oktober 2021).

18

Anda mungkin juga menyukai