Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

AL-AHKAM, AL-HAKIM, MAHKUM FIIH

DAN MAHKUM ALAIH


(Disusun untuk memenuhi mata kuliah Ushul Fiqh)

Dosen pengampu Dr. H. Khalillurrahman, MA

Disusun oleh :

Alifah Fauziyah 222300001

Choirunisa 222300004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PIAUD

STAI AL-AQIDAH AL-HASYIMIYYAH

2022/2023
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT berkat limpahkan karunianya
kami dapat meyelesaikan penulisan makalah kami yang berjudul “Al-Ahkam, Al-Hakim,
Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih’.

Selain itu kami pun mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang tulisannya
kami kutip sebagai bahan rujukan. Taklupa kami ucapkan mohon maaf yang sebesar-
besarnya, jika dalam pembahasan makalah kami terdapat banyak kekeliruan. Kami harap
kritik dan saran. Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi pelajaran dan menambah
wawasan dalam perkuliahan mta kuliah Ushul Fiqh.

Mudah-mudahan dengan makalah yang kami buat ini dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman kita semua, kami sadar dalam penulisan kami terdapat kekurangan. Akan
tetapi, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Bekasi, November 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG....................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................
C. TUJUAN .........................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. AL-AHKAM ...................................................................................................................
B. AL-HAKIM ....................................................................................................................
C. MAHKUM FIIH ............................................................................................................
D. MAHKUM ALAIH ........................................................................................................

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ..............................................................................................................
B. SARAN ............................................................................................................................

DAFTAR PUSAKA ....................................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi
sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai
dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah
data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.1

Dalam kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber hukum islam yang mencakup
sumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Dan dalam hukum syara’
terdapat berbagai aspek yaitu Hukum, Hakim, Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Al-Ahkam?
2. Apa itu Al-Hakim?
3. Apa yang dimaksud Mahkum Fiih?
4. Apa pengertian Mahkum Alaih?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hukum islam dari sudut displin ilmu hukum islam
2. Agar dapat memahami tentang hukum, hakim, mahkum fiih dan mahkum alaih
3. Untuk mengarahkan pada kebenaran untuk mencapai kebahagian hidup manusia di
dunia maupun di akhirat

1 Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1, No. 1, maret 2018, hlm 39.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Al-Ahkam

1. Pengertian Al-Ahkam

Al-Ahkam (Hukum) secara etimologi, bermakna Al-Man’u yakni mencegah. Hukum


juga memiliki pengertian qodho yang memiliki arti putusan. Dapat pula hukum diartikan
dengan “Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.”

Menurut ahli fikih, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda
Rasulullah. Apabila disebut syara’, maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan
dengan akidah dan akhlaq. Mayoritas ulama’ membagi hukum kepada dua jenis, yaitu hukum
taklifi dan hukum wad’i. 2

a. Hukum takhlifi

Hukum takhlifi adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat
atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau hukum taklifi adalah sesuatu yang
menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan
pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Hukum taklifi dapat diartikan
pula sebagai titah Allah yang berhubungan dengan mukallaf dalam bentuk tuntutan dan
pemberian pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.

b. Hukum wad’i

Hukum wad’i adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab bagi
sesuatu yang lain atau menjadi syarat baginya atau menjadi penghalang baginya. Contohnya
adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain. Hukum
wad’i dapat diartikan pula sebagai titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang
berkaitan dengan hukum-hukum taklifi.

B. Al-Hakim

1. Pengertian Al-Hakim

Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian yaitu :

2 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2005), hlm 86.
1) Pembuat yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
2) Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.

Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah. Allah yang menurunkan peraturannya
kepada para rasulnya, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk
sunnah.

Hukum secara terminology, adalah sebagai berikut :

a. Hakim merupakan persoalan mendasar dan penting dalam ushul fiqih, karena
berkaitan dengan, “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syariat islam”, “siapa
memberikan pahala dan dosa.”
b. Semua hukum tersebut bersumber dari Allah, melalui nabi, maupun ijtihad para
mujtahid yang didasarkan kepada metode istimbath lainnya.
c. Hakim adalah Allah, dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang
dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik berkaitan dengan hukum takhlifi atau pun
hukum wad’i.

Adupun yang menjadi persoalan adalah siapa yang membuat jadi hakim terhadap
perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena
akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau
buruknya suatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.

Golongan Al-Asy’ariyyah berpendapat bahwa sebelum datangnya syara’, maka tidak


diberi suatu hukum perbuatan-perbuatan mukallaf. Titik persoalan antara golongan
Mu’tazilah dan Al-Asy’ariyyah adalah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya
pahala dan siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara’ belum menerangkannya.
Sedangkan golongan jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak diberi pahala manusia sebelum
datangnya syara’, kendati akal bisa mengetahui baik buruknya suatu perbuatan.

C. Mahkum Fiih

1. Pengertian Mahkum Fiih

Yang dimaksud sebagai objek hukum atau mahkum fiih adalah sesuatu yang
dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia atau
dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama’ ushul fiqh,
yang disebut mahkum fiih atau objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu
berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babi itu
berlaku haram, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada
“memakan daging babi”, yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.

Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk perbuatan sebagai objek
hukum, yaitu :

a. Perbuatan itu sah dan benar adanya, tidak mungkin memberatkan seorang melakukan
sesuatu yang tidak mungkin di lakukan seperti “mencat langit”.
b. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan
serta dapat di bedakan dengan perbuatan lainnya.
c. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya untuk melakukannya.

Allah tidak menginginkan manusia dalam kesulitan. Selanjutnya menjadi pembahasan


pula “kesulitan” atau musyaqqah dalam hubungannya dengan objek hukum. Dalam hal ini
ulama’ membagi kesulitan atau musyaqqah itu pada dua tingkatan, yaitu :

a. Musyaqqah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya.


b. Musyaqqah yang tidak mungkin seorang melakukannya secara berketerusan atau
tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengarahan tenaga yang maksimal.

Sehubungan dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang jelas
keberadaannya, para ulama’ ushul memperbincangkan kemungkinan berlakunya taklif
terhadap sesuatu yang mustahil adanya. Dalam hal ini ulama’ ashul membagi mustahil
menjadi lima angkatan :

a. Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri.


b. Mustahil menurut adat.
c. Mustahil karena adanya halangan beruat.
d. Mustahil karena tidak mampu beruat saat berlakunya taklif meskipun saat
melaksanakan ada kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
e. Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi orang yang
jelas kafirnya.

Orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini
objek hukum terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif
umpamanya salah dan puasa.
2. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif
umpamanya kewajiban zakat.
3. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku taklif
umpamanya kewajiban haji. 3

D. Mahkum Alaih

1. Pengertian Mahkum Alaih

Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah berbuat,
dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dalam istilah
Ushul Fiqh, subjek hukum itu disebut Mukkalaf atau orang-orang yang dibebani hukum, atau
mahkum’ alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum. 4

Syarat taklif atau subjek hukum, penjelasannya sebagai berikut :

a. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena
tuntutan dari Allah. Paham itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah
alat untuk mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai dengan sabda nabi : Alladzina
uwalaqlu laa diina liman laa’aqlulahu (“Agama itu berdasarkn pada akal; tidak ada
arti agama bagi orang yang tidak berakal.”)
b. Ia telah mampu menerima beban taklif dan beban hukum yang dalam istilah ushul
disebut ahlul al-taklif. Kecakapan menerima aklif adalah kepantasan untuk menerima
taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan
kepantasan untuk menjalankan hukum.
c. Kepantasan dikenai hukum (ahliyah al-wujub) dibagi menjadi tiga, yaitu :
1) Ahliyah al-wujub naqish (kecakapan dikenai hukum secara lemah) yaitu,
kecakapan seorang manusia untukmenerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban
atau kebalikannya. Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan karena hanya salah
satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada padanya.
2) Ahliyah al-wujub kamilah (kecakapan dikenai hukum secara sempurna) yaitu,
kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakpan
ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.

3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1,...., hlm 417-423


4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1,...., hlm 424
3) Ahliyah al-ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu, kepantasan
seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal
ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan
telat mempunyai akibat hukum. Ahliyah al-ada terdiri dari tiga tingkat, yaitu:
a. ‘Adim al-ahliyah atau tidak cakp sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir
sampai mencaai umur 7 tahun.
b. Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat secara lemah, yaitu manusia yang
telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
c. Ahliyah al-ada kamilah atau berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia
yang telah mencapai umur dewasa. 5

5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1,...., hlm 425.


BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Al-Ahkam (Hukum) secara etimologi, bermakna Al-Man’u yakni mencegah.
b. Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu
hukum (perbuatan hukum).
c. Mahkum Alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-
syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam,
yakni:
1. Sanggup memahami kitab-kitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang
terkandung dalam al-qur’an dan as-sunnah baik secara langsung maupun melalui
orang lain.
2. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah kami ini masih jauh dari kata sempurna, maka
kami mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
Daftar Pusaka
Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1, No. 1,
maret 2018, hlm 3

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2005),
hlm 86.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1,....., hlm 417-425

Hanafi Sulaiman, 2020 academia.edu/42867134/ushul_fiqh_full_materi, diakses 9 November


2022

Anda mungkin juga menyukai