Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQIH

“AHKAM”
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Fatimah, M. Ag.

Disusun Oleh :

Kelompok XI

LUTHFIYAH (10100121086)

DEWI PUTRIANI (10100121082)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH & HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta
salam selalu tercurah kepada junjungan dan tauladan kita semua Rasulullah SAW,
juga kepada keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya. Karena jasa beliaulah
kita dapat mengenal dan merasakan indahnya islam.

Dalam penulisan makalah AHKAM ini penulis masih merasa banyak


kekurangan baik dari segi penulisan maupun materi,mengingat kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan dalam penyempurnaan makalah ini

Demikian penulisan makalah ini kami buat dengan sebenarnya, semoga


dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Kami mohon maaf bila
terdapat kesalahan dalam makalah ini atas kritik dan saran yang diberikan kami
ucapkan terimakasih.

Gowa, 18 juni 2022

penulis

i
KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN1

A. Latar Belakang ............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. Pengertian Ahkam ...................................................................... 3


B. Pembagian Ahkam ...................................................................... 3
1. Ahkam At-Takhlifiyyah ....................................................... 4
2. Ahkam Al-Wadh’iyyah ......................................................... 9

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 13

A. Kesimpulan ................................................................................. 13
B. Saran ............................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “Hukum dan Islam”. Kedua
kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum
Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab baik didalam
Alquran dan Hadis. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari
“Islamic Law”. Penyebutan hukum Islam itu sendiri bertujuan untuk
memisahkan antara hukum yang bersumber dari ajaran agama Islam, hukum
yang berasal dari adat istiadat dan hukum barat yang dibawa oleh colonial
belanda.
Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku
manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang
yang beragama Islam. Hukum Islam berawal dari dua sumber utama, yakni
wahyu (wahy) dan penalaran manusiawi („aql). Identitas ganda hukum Islam
ini tercermin dalam dua ekspresi, yakni syariah dan fiqih. Yang pertama
memiliki afinitas yang lebih kuat dengan wahyu, sementara yang kedua
terutama merupakan produk penalaran manusia.
Mukallaf atau mahkum‟alaih, yaitu orang-orang yang beban taklif atau
subjek hukum. Dalam hukum islam, orang yang terkena beban hukum adalah
orang telah balig dan berakal. Dari segi usia, mukallaf telah memiliki
kemampuan lahir dan batin untuk mengerjakan takliftaklif-Nya, dari segi
akal, mukallaf telah memiliki kemampuan membedakan yang baik dan buruk,
benar dan salah, serta memahami jenis hukum suatu objek perbuatan.
Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci diantaranya
yaitu ahkam dimana dalam pembahasan ahkam dan pembagian-
pembagiannya yaitu ahkam at-takhlifiyyah dan ahkam ai-wadh‟iyyah.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi
sebuah rumusan masalah adalah apa yang dimaksud dengan ahkam serta
pemabgiannya yaitu ahkam at-takhlifiyyah dan ahkam al-wadh‟iyyah?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahu serta memahami
apa yang dimaksud dengan ahkam serta pemabgiannya-pembagiannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahkam
Al-ahkam maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari
kata hukmun yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah
dalam ushul fiqh, yaitu

"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan


perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan
atau peletakan". Dalam hal ini yang dimaksud dengan (seruan syariat) adalah
Al Quran dan As Sunnah.
Dari pengertian di atas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-
Ahkam,

1. Tuntutan
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntutan melakukan sesuatu
(perintah) atau pun tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik
itu berupa keharusan (wajib) atau pun hanya keutamaan
2. Pilihan
Sesuatu hal yang dalam melakukan atau pun meninggalkannya tidak ada
suatu ketentuan syara‟ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan
untuk memilih melakukan atau pun tidak atau sering disebut mubah.
3. Peletakan
Wadh‟i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-
tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu
ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”
B. Pembagian Ahkam
1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah

3
Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu
perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuruh
memilih antara melakukan atau meninggalkannya.
Pembagian dan Implementasi Hukum Taklifiyyah :
a. Ijab (Wajib)
Wajib menurut syara‟ adalah artinya sesuatu yang diperintahkan
Allah Swt agar dikerjakan secara pasti. Wajib merupakan ketentuan
perintah yang harus dilakukan oleh mukallaf sesuai petunjuk yang
telah ditentukan dengan konsekuensi akan mendatangkan pahala jika
dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan.
Contoh tuntutan untuk dilaksanakan seperti shalat, puasa, membayar
zakat, menunaikan haji bagi orang mampu dan berbakti kepada kedua
orang tua.
Pembagian hukum wajib dibagi menjadi empat, yaitu
1. Dilihat dari segi waktu pelaksanaan
a. Wajib Muthlaq atau bebas, yaitu kewajiban yang tidak
ditentukan waktu pelaksanaanya, dengan arti tidak salah bila
waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia
sanggup melaksanakannya. Contoh : mengqadha puasa
Ramadhan yang tertinggal karena uzur. Ia wajib melakukannya
dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b. Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya
terikat oleh waktu, misalnya shalat lima waktu dan puasa di
bulan Ramadhan. Wajib muthlaq, yaitu kewajiban yang tidak
terikat oleh waktu, misalnya mengqadha puasa
2. Dilihat dari segi mukallaf sebagai pelaksanaan
a. Wajib „Aini, yaitu kewajiban secara pribadi. Sesuatu yang
dituntut oleh syar‟i (pembuat hukum) untuk melaksanakannya
dari setiap pribadi dari pribadi mukallaf. Kewajiban itu harus
dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh orang

4
lain atau karena perbuatan orang lain. Contoh: shalat, puasa
dan haji
b. Wajib Kifa‟i/Kifayah, yaitu kewajiban bersifat kelompok.
Sesuatu yang dituntut oelh pembuat hukum melakukannya dari
sejumlah mukallaf dan tidak dari setiap pribadi mukallaf. Hal
ini berarti bila sebagian atau beberapa orang mukallaf telah
tampil melaksanakan kewajiban itu dan telah terlaksana apa
yang dituntut, maka lepaslah orang lain dari tuntutan itu.
Tetapi bila tidak seorangpun melakukannya hingga apa yang
dituntut itu terlantar, maka berdosa semuanya. Contoh: shalat
jenazah
3. Dilihat dari segi ukuran sesuatu yang diwajibkan
a. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan
kadarnya. Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah
besarnya zakat.
b. Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum
ditentukan kadarnya. Contoh : infaq, dan shodaqoh.
4. Dilihat dari segi tuntutannya
a. Wajib Mu‟ayyan, ialah suatu kewajiban (obligation)72 yang
hanya mempunyai satu tuntutan. Contoh: membayar hutang,
memenuhi akad, membayar zakat.
b. Wajib mukhayyar (boleh memilih), yaitu kewajiban yang harus
dilakukan mukallaf dengan memilih antara beberapa pilihan.
Misalnya Allah Swt mewajibkan kepada orang yang
melanggar sumpah untuk memberi makan orang miskin atau
memberi pakaian atau memerdekakan budak. Maka seorang
mukallaf wajib memilih di antara beberapa pilihan tersebut
b. Mandub (Anjuran)
Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan
makna mandub menurut istilah dalam ushul fiqh adalah,

5
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam
bentuk keharusan”
Mandub menurut syara‟ adalah perintah dari Allah Swt untuk
dilakukan mukallaf secara tidak tegas. Dengan kata lain berupa
perintah yang tidak sampai kepada derajat wajib sehingga tidak mesti
dikerjakan
Pembagian sunah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Sunah muakkadah (sunah yang dianjurkan) adalah perbuatan yang
biasa dilakukan Rasulullah Saw dan jarang ditinggalkan. Seperti
adzan, shalat berjamaah, dan berkumur ketika berwudhu
2. Sunah ghairu muakkadah (biasa) adalah perbuatan yang dilakukan
Rasulullah Saw namun bukan menjadi kebiasaan Seperti shalat
sunah sebelum shalat lima waktu dan berpuasa senin kamis setiap
minggu
3. Sunah zaidah (sunnah tambahan) yaitu perbuatan mengikuti segala
perbuatan Rasul Saw berupa kebiasaan sehari-hari Rasul Saw
sebagai manusia biasa. Seperti cara makan dan minum Nabi Saw,
memelihara jenggot, dan mencukur kumis
4. Sunnah Nafal, yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai
tambahan bagi perbuatan wajib. Contoh: shalat tahajud
c. Haram (larangan)
Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang" dan
makna haram menurut istilah dalam ushul fiqh adalah,

"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan


untuk ditinggalkan".
Dalam istilah hukum, haram ialah sesuatu yang dituntut syari‟
(pembuat hukum) untuk tidak mengerjakannya secara tuntutan yang
pasti. Beberapa ahli ushul mengartikan haram itu dengan sesuatu yang
diberi pahala orang yang meninggalkannya dan dikenai dosa dan
ancaman orang yang melakukannya. Haram ini adalah seseorang yang

6
mengerjakannya akan mendapat dosa dan kehinaan sedangkan bagi
yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan.
Pembagian haram,
1. Dari segi pengaruhnya terhadap hukum wadh‟i
a. Haram lidzatih, bila berkaitan dengan rukun akad
mengakibatkan batalnya akad tersebut. Muharram ashalah
lidzatihi (haram secara asli menurut zatnya). Contoh: larangan
memakan babi atau bangkai dan meminum khamar,
b. Haram lighairih, yaitu keharaman yang ditetapkan oleh syari‟
yang disebabkan oleh sesuatu yang lain atau hukum yang
semulanya bukan haram maka akan menjadi haram
dikarenakan adanya sesuatu hal yang datang dari luar atau baru
Muharram li’Aridhi (haram karena sesuatu yang baru), seperti
shalat dengan pakaian hasil mencuri, jual beli yang di
dalamnya ada unsur tipuan, dan lainnya
2. Dari segi pengecualian terhadap hukum larangan
a. Sesuatu yang terlarang secara zati adalah haram dan berdosa
melakukannya. Yang dikecualikan dari hukum dosa itu
hanyalah terhadap orang-orang yang melanggar larangan
karena darurat, dalam arti akan merusak salah satu unsur daruri
yang lima bila tidak dilakukan. Lima hal yang harus dijaga (ad-
dharuriyat al-khams), yakni badan, keturunan, harta benda, akal
dan agama. Contoh: haram meminum khamar termasuk haram
zati yang berdosa orang yang melakukannya karena akan
merusak akal. Tetapi bila ia melakukannya untuk memelihara
jiwanya (obat), maka boleh ia minum khamar tersebut.
b. Sesuatu yang dilarang karena bukan zatnya atau hanya pada
hal-hal sampingan, diperkenankan penyimpangan atas larangan
karena hajat atau keperluan dan tidak harus sampai darurat.
Contoh: larangan melihat aurat yang dilakukan dokter terhadap
pasiennya.

7
d. Makruh (dibenci)
Secara bahasa adalah sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu
yang dijauhi. Dalam istilah ulama ushul, karahah adalah sesuatu yang
dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk
tuntutan yang tidak pasti. Pengaruh tuntutan ini terhadap perbuatan
yang dilarang disebut karahah dan perbuatan yang dilarang secara
tidak pasti itu disebut dengan makruh. Pada dasarnya makruh itu
adalah sesuatu yang dilarang, tetapi larangan itu disertai oleh sesuatu
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan larangan itu
bukanlah “haram” tetapi sebagai “sesuatu yang dibenci”. Menurut
para jumhur fuqaha‟, makruh adalah suatu larangan syara‟ terhadap
suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, lantaran
tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut.
1. Pembagian Makruh
a. Makruh tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil
yang melarang bersifat zhanni seperti larangan meminang wanita
yang sedang dalam pinangan orang lain. Menurut mayoritas ulama
makruh tahrim ini sama dengan hukum haram
b. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
meninggalkannya seperti memakan daging kuda dan meminum
susunya pada waktu perang.
e. Mubah (boleh)
Mubah berasal dari fi‟il madhi ”Ibah”, dengan arti menjelaskan dan
memberitahukan. Kadang-kadang muncul dengan arti melepaskan dan
mengizinkan (permission). Mubah adalah hukum asal dari segala
sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Terlarangnya suatu
perbuatan muamalah hanyalah jika ada dalil yang melarangnya
dengan jelas dan tegas. Dalam istilah hukum, mubah berarti sesuatu
yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih antara
memperbuat dan meninggalkan. Ia boleh melakukan atau tidak.
Mubah ialah suatu hukum dimana Allah SWT memberikan kebebasan

8
kepada orang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu
perbuatan atau meninggalkannya,sesuatu yang dibolehkan atau
diizinkan. konsekuensi dari hukum mubah ini adalah jika dikerjakan
akan berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
2. Al-Ahkam al-Wadh’iyyah

Hukum wadh‟i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai


suatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau
sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain.

a. Pembagian dan Implementasi Hukum Wadh‟i


1. Sebab
Sebab adalah sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada
sesuatu yang lain, yang menjadi akibatnya. Para ulama mendefinisikan
sebagai “sesuatu yang jelas dan dapat diukur, yang dijadikan oleh
pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya
tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya tidak ada hukum”
Contoh masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda adanya
kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan
disebut sebab, sedangkan adanya kewajiban berpuasa disebut akibat
hukum. Masuknya bulan Ramadhan adalah sesuatu yang jelas dan
dapat diukur.
Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah (2):185

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di


bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”

Dilihat dari sumbernya, Muhammad Abu Zuhrah membagi sebab


menjadi dua:

a. Sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf. Sebab ini


merupakan sesuatu yang dijadikan Allah sebagai pertanda adanya
hukum. Contohnya masuk waktu shalat merupakan sebab
diwajibkan shalat, dharurat merupakan sebab bolehnya memakan

9
bangkai dan minum arak, kematian merupakan sebab dari
pembagian warisan
b. Sebab yang ditimbulkan dari perbuatan mukallaf. Seperti
pembunuhan yang dilakukan mukallaf dengan sengaja merupakan
sebab adanya hukum qishas dan perjalanan jauh merupakan sebab
adanya rukhsah bolehnya tidak berpuasa.
2. Syarat
Menurut para ulama, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain sebagai tanda. Ada dan tidak adanya hukum
tergantung kepada ada dan tidak adanya sesuatu (syarat tersebut).
Contoh Wudhu adalah syarat sahnya shalat, tanpa wudhu maka tidak
sah mendirikan shalat, tetapi bukan berarti adanya wudhu menetapkan
adanya shalat
Ulama ushul fiqh membagi syarat menjadi dua, yaitu:
a. Syarat syar‟i, yaitu syarat yang secara langsung didatangkan oleh
syariat. Contohnya membunuh adalah sebab diwajibkannya qishas,
dengan syarat dilakukan secara sengaja.
b. Syarat ja‟ly, yaitu syarat yang keberadaanya diciptakan oleh
mukallaf. Contohnya dalam masalah talak. Seorang suami yang
berkata kepada istrinya “Jika kamu ke rumah si fulan tanpa izin
dariku maka talakmu jatuh satu”, atau orang yang berpuasa nazar
“Saya akan berpuasa tiga hari jika saya lulus dalam ujian skripsi”
3. Mani‟ (Penghalang)
Secara bahasa mani‟ artinya penghalang. Dalam istilah ushul fiqh
mani‟ berarti sesuatu yang dengan wujudnya dapat meniadakan hukum
atau membatalkannya. Contohnya seorang anak berhak mendapatkan
warisan dari ayahnya yang sudah meninggal. Namun karena beberapa
hal bisa menjadi penghalang bagi si anak untuk mendapatkan warisan
seperti murtad dan kematian ayahnya disebabkan karena dibunuh
olehnya.
4. „Azimah

10
„Azimah adalah hukum yang berlaku secara umum yang telah
disyariatkan Allah Swt sejak semula tidak ada kekhususan lantaran
suatu kondisi. “Berlaku secara umum” bermakna berlaku untuk semua
mukallaf dan “disyariatkan oleh Allah Swt sejak semula” bermakna
bahwa pada awalnya pembuat hukum bermaksud untuk menetapkan
hukum taklif kepada hambanya
Contohnya shalat lima waktu yang diwajibkan kepada semua mukallaf
dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat, puasa,
dan lainnya. Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan
tidak ada hukum yang mendahului hukum wajib tersebut.
5. Rukhsah
Rukhsah Rukhsah adalah keringanan hukum yang disyariatkan Allah
Swt kepada mukallaf dalam kondisi tertentu yang menghendaki
keringanan. Rukhsah dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Menggugurkan kewajiban ketika mendapatkan uzur (kesulitan
untuk menunaikan). Contoh seperti orang yang sakit atau dalam
perjalanan di siang hari pada bulan Ramadhan maka dibolehkan
berbuka. Begitu juga bagi musafir boleh mengqashar shalat. Orang
yang dalam keadaan dharurat boleh makan bangkai.
b. Pengecualian. Contohnya jual beli saham yang sah dilakukan
karena telah menjadi „urf. Orang yang dipaksa (kalau tidak
melakukan akan dibunuh) mengucapkan kata-kata kafir.
c. Penghapusan (nasakh), yaitu hukum Allah Swt yang berlaku bagi
umat sebelum kita tetapi tidak berlaku lagi bagi kita. Contoh
memotong sebagian pakaian yang terkena najis, membayar
seperempat harta dalam zakat, membunuh diri dalam rangka
bertaubat dan tidak boleh melakukan shalat selain di masjid
6. Sah (Al-Sahihah) dan Batal (Al-Buuthlan
Setiap perbuatan mukallaf dapat dihukum sah atau batal. Perbuatan
yang dilakukan oleh mukallaf bisa dikatakan sah apabila telah
memenuhi dengan sempurna rukun dan syarat serta terlepas dari

11
penghalangnya. Sebaliknya, jika perbuatan itu tidak sesuai dengan
tuntutan syariat dan tidak sempurna rukun dan syaratnya makan
perbuatan tersebut batal oleh syariat. Contohnya dalam jual beli yang
dilakukan sesuai dengan hukum syara‟ dan telah terpenuhi semua
rukun dan syaratnya maka jual beli tersebut sah. Namun jika dalam
akad jual beli mengandung unsur gharar dan lainnya maka jual beli
tersebut gugur dan batal.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

12
Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata hukm.
Menurut istilah fikih yaitu Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari
tuntutan atau pilihan atau peletakan.
Ahkam terbagi menjadi dua yauitu ahkam at-takhlifiyyah dan ahkam al-
wadh‟iyyah. Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya
suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuruh
memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Sedangkan ahkam al-
wadh‟iyyah adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai suatu sebab
adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang
bagi sesuatu yang lain.
B. Saran
Melalui makalah ini penulis berharap pembaca dapat memahami apa maksud
dari kata ahkam itu sendiri serta apa saja pembagian-pembagiannya sehingga
pembaca dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam hal ibadah dan muamalah.

DAFTAR PUSTAKA

13
Fitriani, Dhaifina. Al-Ahkam: Kategori dan Implementasi, Tawazun: Journal of
Sharia Economic Law P-ISSN: 2655-9021, E-ISSN: 2502-8316 Volume
4, Nomor 2, 2021

Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003

Djazuli, H.A.. Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum


Islam. Jakarta: Kencana, 2013.

Faruki, Kemal. Al-Ahkam Al-Khamsah : The Five Values. Islamic Studies, vol. 5,
No. 1 (March 1966), pp. 43. www.jstor.org/stable/20832827- Diakses
pada 19 juni 2022

Amsori, al - ahkam al - khams sebagai klasifikasi dan kerangka nalar normatif


hukum islam: teori dan perbandingan, Pakuan Law Review Volume 3,
Nomor 1, Januari-Juni 2017

14

Anda mungkin juga menyukai