Anda di halaman 1dari 17

FIQH DAN USHUL FIQH

PENGERTIAN, PEMBAGIAN, DAN UNSUR-UNSUR HUKUM SYARA’

DOSEN PENGAMPU :

SUSRIANINGSIH, S.Pd.I, M.M

DISUSUN

SRI NOVITA SARI

PROGRAM STUDI TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SERDANG LUBUK PAKAM

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang sudah memberikan nikmat, hidayah, dan
inayahnya, sehingga sampai detik ini kita masih bisa dapat menghirup udara dan
dapat menjalankan rutinitas kita sebagai seorang hamba, dan dengan nikmat itu
jualah saya dapat menuntaskan makalah ini guna memenuhi tugas untuk mata
kuliah fiqh dan ushul fiqh.

Kedua kalinya sholawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan
nabi besar Muhammad saw, beliau merupakan sosok yang telah merubah
peradaban manusia dari pradaban kejahiliahan menuju peradaban keislaman yang
luar biasa.

Kemudian tentunya semua hal yang berkaitan dengan Hukum Syara’ ini akan
penulis rincikan kedalam makalah ini. Sebelumnya terima kasih kepada Dosen
Pengampu mata kuliah fiqh dan ushul fiqh yakni ibu Susrianingsih S.Pd,I, M.M
yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan makalah ini, dan tentunya
penulis menyadari sepenuhnya dalan makalah ini banyak kekurangan baik dari
segi sistematika penulisan maupun penjelasan materi, dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat menjadi refleksi pembelajaran kita dalam memahami
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Lubuk pakam, Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….……………………………………………………i

DAFTAR ISI….……………………………………………………………..……ii

BAB I. LATAR BELAKANG HUKUM SYARA’

A. Pengertian Hukum Syara’.………………………………………………..1


B. Sumber-Sumber Hukum Syara’…………………………………………..2

BAB II. PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

A. Hukum Taklifi, Pengertian dan Pembagiannya...…………………………3


B. Hukum Wadh’I, Pengertian, dan Pembagiannya...……………………….6
C. Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.……………………....…..8

BAB III. UNSUR-UNSUR HUKUM SYARA’

A. Hakim dan Hakikatnya…………………………………………………....9


B. Mahkum Fih & Mahkum Alaih serta Syarat-syaratnya.………………....10

BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan….………………….………………………………………..12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

LATAR BELAKANG HUKUM SYARA’

Kaidah-kaidah pokok pembentukan syara’ merupakan perkara penting


untuk memahami nash-nash hukum syar’i dan istinbath (metode) suatu hukum
dari hukum syara’. Kaidah-kaidah ini diambil berdasarkan penelitian terhadap
hukum-hukum syara’ , dari penelitian illat (alasan hukum, hikmah penetapannya
dan dari nash yang menetapkan dasar perundangan secara global.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa mengetahui hukum


syara’ merupakan inti dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu
ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum
syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau
dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf,baik berupa iqtidla (tuntutan perintah atau larangan),
takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’I (sebab akibat).1

A. Pengertian Hukum Syara’

Secara Etimologi perkataan hukum ( ‫) كمح‬, berarti ‫( لمنعا‬mencegah) atau


‘‘menolak’’. Mencegah ketidakadilan, kezaliman dan penganiayaan disebut al-
hukmu. Selain itu, al-ahkam adalah bentuk jamak dari hukum, secara bahasa
maknanya adalah keputusan atau ketetapan.2 Secara istilah, Para ulama Ushul
Fiqh lainnya mendefinisikn hukum syara’ adalah Kitab (firman, kalam, sabda)
Allah yang mengatur perbuatan orang mukallaf, baik berisi iqtidha’ (tuntutan
untuk dilakukan atau ditinggalkan), atau takhyit (kebolehan memilih untuk
melakukan atau meninggalkan), atau wadh’i (ketentuan yang menjadikan sebagai
sebab, syarat, dan penghalang (mani’)3

1
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Metode Kajian Hukum Islam, (Kuningan: Hidayatul Qur’an, 2019),
hlm. 21
2
Hamka Haq, Falsafah Ushul Fiqh, (Makassar: Yayasan Al-Hakam, 1998), hlm. 9
3
Imron Rosyadi, Hukum Ekonomi Syariah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,2020)

1
B. Sumber-Sumber Hukum Syara’

1. Al-Qur’an
Dalam kajian ushul fiqh merupakan objek pertama dan utama pada
kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Karena
kedudukan al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama bagi
penetapan hukum dan merupakan sumber dari segala hukum. Karena
itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an,
maka harus sesuai petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa
sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-
apa yang telah ditetapkan al-Qur’an.
2. Sunnah
Dalam istilah ulama fiqh adalah ‘‘sifat hukum bagi suatu perbuatan
yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti’’
dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
berdosa orang yang tidak melakukannya.
3. Ijma’
Ijma secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu
persoalan atau kesepakatan tentang suatu masalah. Menurut istilah
ialah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang
hukum syara’ pada satu masa setelah rasulullah wafat.
4. Qiyas
Al-Ghazali mendefinisikan qiyas ialah menghubungkan sesuatu
yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduannya., dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Qiyas dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai argumentasi4.

BAB II
4
Nurhayati, Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2018), hlm. 21-32

2
PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

Secara garis besar para ulama ushul fiqh mebagi hukum kepada dua macam,
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Berikut penjabarannya:

A. Hukum Takhlifi

Adalah firman Allah swt yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan. Hukum
Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang tuntutan atau perintah, larangan,
dan pilihan (takhyir) untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Misalnya
hukum yang menunjukkan perintah untuk mendirikan shalat, perintah untuk
membayar zakat, dan perintah untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Sedangkan hukum yang menunjukkan larangan seperti larangan untuk memakan
harta benda anak yatim, larangan untuk meminum minuman keras, dsb.

Jika perintah ini berbentuk pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti maka
disebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan, jika bentuknya pasti,
maka disebut haram, jika tidak pasti disebut makruh. Sedangkan pilihan (takhyir)
bisa disebut dengan mubah. Oleh karena itu, menurut jumhur para ulama, hukum
taklifi terbagi kepada lima bagian, yaitu: Wajib, Mandub (sunnah), Haram,
Makruh, dan Mubah.

1) Wajib
Pengertian wajib secara bahasa berarti saqith (jatuh, gugur) dan lazim
(tetap). Secara istilah berarti: Wajib adalah suatu perintah yang harus
dikerjakan, dimana orang yang meninggalkannya berdosa.
Hukum wajib terbagi atas 4 bagian, yaitu:
1. Kewajiban dari waktu pelaksanaanya
a. Wajib Muthlaq, kewajiban yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaannya, misalnya mengQadha puasa ramadhan yang
tertinggal atau membayar kafarah sumpah.

3
b. Wajib Muaqqad, ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah
dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan. Misalnya Ibadah
Haji.
2. Kewajiban bagi orang yang melaksanakannya
a. Wajib Aini, kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin
dilakukan oleh orang lain atau diwakilkan kepada orang lain,
misalnya puasa dan shalat.
b. Wajib Kifayah, kewajiban bersifat kelompok yang apabila tidak
seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika
beberapa orang yang melakukannya maka gugur kewajibannya,
misalnya shalat jenazah.
3. Kewajiban berdasarkan ukuran/kadar pelaksanaannya
a. Wajib Muhaddad, kewajiban yang harus sesuai kadar yang
sudah ada ketentuannya, misalnya zakat.
b. Wajib Ghairu Muhaddad, kewajiban yang tidak ditentukan
kadarnya, missal menafkahi kerabat.
4. Dari segi kandungan kewajiban perintahnya
a. Wajib Mu’ayyan, kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada
pilihan lain. Misalnya membayar zakat, shalat lima waktu
b. Wajib Mukhayyar, kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara
beberapa alternatif.

2) Mandub (Sunnah)

Secara bahasa berarti mad’u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Secara
istilah berarti merupakan tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan, karena
perbuatan yang dilakukan itu dipandang baik dan sangat disarankan untuk
dilakukan. Terhadap orang yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan
kepatuhannya, tetapi bila tuntutan tersebut tidak dilakukan atau ditinggalkan maka
tidak apa-apa. Hukum sunnah atau mandub, jika dilihat dari tuntutan untuk
melakukannya terbagi kepada dua bagian, yaitu sunnah muakkad dan sunnah
ghairu muakkad.

4
a. Sunnah Mu’akkad

Yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping ada keterangan
yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu, misalnya
shalat witir, dua raka’at fajar sebelum sholat subuh. Sebagian ulama menyatakan
bahwa orang yang meninggalkannya dicela, tetapi tidak berdosa, karena orang
yang meninggalkan secara sengaja berarti menyalahi sunnah yang biasa dilakukan
nabi.

b. Sunnah Ghairu Mu’akkad

Yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tetapi nabi tidak melazimkan
dirinya untuk berbuat demikian, seperti shalat sunnah 4 rakaat sebelum dzuhur
dan sebelum ashar. Ada yang mengartikan bahwa sunnah ini tidak dikerjakan oleh
rasul secara kontinyu.

3) Haram

Muharram, secara bahasa berarti mamnu’ (yang dihalangi, dilarang). Secara


terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam
dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah diberi
pahala.

4) Makruh

Secara bahasa berarti mubghadh ( yang dibenci ). Secara istilah berarti sesuatu
yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya,dan jika ditinggalkan akan
mendapat pujian dan jika dilanggar tidak berdosa.

5) Mubah

Secara bahasa berarti mu’lan (yang diumumkan) dan yang tidak diizinkan.
Titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan
atau meninggalkan. Bila seseorang mengerjakannya, ia tidak diberi ganjaran dan

5
tidak pula diancam atas perbuatan itu dan ia juga tidak dilarang untuk melakukan
perbuatan tersebut.

B. Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i adalah firman Allah Swt yang menuntut manusia untuk
mengetahui sebab yang mewajibkan, syarat yang mesti dipenuhi dan penghalang-
penghalang untuk melakukan hukum taklifi. Oleh sebab itu, hukum wadh’I terbagi
kepada beberapa bagian, antara lain: sebab, syarat, dan mani’ (penghalang), sah,
fasad, batal, azimah, rukhsah.

1. Sebab

Sebab secara bahasa dapat diartikan sesuatu yang dapat menyampaikan


kepada tujuan yang dimaksud. Secara istilah, sebab yaitu sesuatu yang jelas dapat
diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum. Seperti
masuknya bulan ramadhan menjadi datangnya bulan ramadhan, dan kewajiban
puasa harus dijalankan setiap umat muslim.

2. Syarat

Secara etimologi syarat ialah alamah (pertanda). Secara terminologi ialah


sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada diluar
hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada. Contohnya wali
dalam perkawinan. Dengan tidak adanya wali, perkawinan menjadi tidak sah,
tatapi dengan adanya wali pernikahan belum tentu sah bila syarat-syarat yang
lainnya belum terpenuhi, seperti harus ada saksi, akad, dan lainnya.

3. Mani’ (Penghalang)

Secara etimologi mani’ berarti halangan, sedangkan secara terminologi adalah


sifat dzahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya
hukum atau ketidakadaan sebab. Contoh : hutang menyebabkan batalnya
kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu nisab lagi (sebab)

6
4. Sah, Fasad, dan Batal

Secara etimologi sah atau shahih berarti salim (selamat dari penyakit) atau
pekerjaan yang sesuai dengan syara’. Secara terminologi, sah yaitu tercapainya
sesuatu pekerjaan yang telah memiliki sebab, memenuhi berbagai rukun dan
persyaratan yang diharapkan secara syara’.

Secara etimologi Fasad berarti dzahib (yang hilang) dengan sia-sia lagi
merugi. Sedangkan menurut jumhur ulama, fasad sama dengan batal. Sedangkan
menurut ulama hanafiyah adalah kerusakan yang tertuju kepada salah satu sifat,
dan hukum asal perbuatan itu disyariatkan.

Sedangkan batal adalah ibadat yang menyalahi ketetapan syara’ yang


mengakibatkan tidak berlakunya efek syari’ kepada akad mu’amalah atau kepada
ibadah yang dilakukan, atau ibadah yang tidak memadai dari melepaskan
tanggung jawab serta belum mengugurkan kewajiban qadha. Seperti dalam
pernikahan jika akad nikah diucapkan laki-laki secara sempurna, lantang dan
lancer tidak ada jeda maka sah dia dalam mengucapkannya sehingga sah dalam
prosesi pernikahan itu, jika sebaliknya maka akan batal dan harus mengulang
lagi.5

5. Azimah dan Rukhsah

Menurut Wahbah Zuhaili, selain tiga macam (sebab,syarat, dan mani) di atas,
yang termasuk hukum wadh’I adalah rukhsah, azimah, sah, fasad, dan batal.

Hukum apabila dilihat dari segi berat atau ringannya, terbagi menjadi dua:
Azimah dan Rukhsah.

Azimah, ialah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh
mukalaf dan dalam semua keadaan dan waktu. Azimah yaitu peraturan syara’
yang asli yang berlaku umum. Artinya ia disyariatkan agar menjadi peraturan
umum bagi seluruh orang mukalaf dalam keadaan yang biasa.

5
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam, (Kuningan: Hidayatul Qur’an, 2019), hlm.21-
44

7
Misalnya:

1. Shalat Fardhu lima waktu


2. Puasa pada bulan ramadhan

Sedangkan Rukhsah ialah peraturan tambahan yang dijalankan berhubung


dengan hal-hal yang memberikan (masyaqat) sebagai pengecualian dari hukum-
hukum yang pokok.

Misalnya:

1. Boleh berbuka puasa pada bulan ramdhan bagi orang musafir


2. Dalam keadaan terpaksa , bangkai boleh dimakan asal tidak bermaksud
menentang hukum syara’
Rukhsah yaitu ketentuan yang di syariatkan oleh Allah sebagai
peringan terhadap seorang mukalaf dalam hal-hal yang khusus.6

C. Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i

1. Hukum Taklifi menuntut orang mukalaf untuk melakukan suatu perbuatan,


meninggalkan, atau boleh memilih antara melakukan dan
meninggalkannya, sedangkan hukum Wadh’I tidak bersifat menuntut
orang mukalaf untuk melakukan suatu perbuatan, meninggalkannya, atau
memilih antara melakukan atau meninggalkan, tetapi hanya bersifat
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’(penghalang) bagi
sesuatu hukum.
2. Hukum taklifi senantiasa dalam kesanggupan orang mukalaf, baik untuk
melakukannya maupun meninggalkannya, sedangkan hukum wadh’I,
adakalanya dapat dilakukan dalam kesanggupan orang mukalaf, seringkali
tidak7.

6
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014), hlm. 47-48
7
Harjan Syuhada, Fikih MA, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001), hlm. 89.

8
BAB III

UNSUR-UNSUR HUKUM SYARA’

A. Hakim: Pengertian dan Hakikatnya

Kata Hakim berasal dari bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda pelaku
(fa’il) dari kata kerja (fi’il), hakama-yahkumu-hukman-haakiman yang
maknannya menghakimi atau memutuskan satu perkara. Hakim adalah Dzat yang
menetapkan hukum yaitu Allah Ta’ala, adapun yang menyampaikan hukum-
hukumNya adalah para RasulNya, kemudian setelah seruannya sampai kepada
yang dituju, maka syari’ahlah yang menjadi hakim.

Siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukalaf sebelum Rasul


diangkat? Ada dua pendapat dalamhal ini yaitu:

Pertama, Golongan Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari


(874M) berpendapat bahwa sebelum datang syara’ tiada hukum bagi perbuatan
mukalaf artinya pada masa itu tidak wajib iman, dan tidak haram kufur.

Kedua, Golongan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha, berpendapat
bahwa sebelum rasul diangkat akal-lah yang member tahukan hukum-hukum
Allah. Dengan akal lah dapat diketahui sesuatu yang baik dan buruk perbuatan
atau sifat-sifatnya. Karena akal-lah setiap mukalaf dapat melaksanakan sesuatu
yang baik, dan meninggalkan yang buruk8.

B. Mahkum Fih

Adalah perbuatan manusia mukalaf yang mempunyai kaitan langsung dengan


hukum syara’. Contohnya kewajiban memenuhi janji.

Syarat-syarat perbuatan yang ditaklifkan (dibebankan) agar bisa dilaksanakan


dengan sempurna oleh mukalaf harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

8
Abdurrahman Misno, Nurhadi, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Media Sains Indonesia, 2020), hlm.
61-62.

9
1. Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukalaf sehingga ia dapat
melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Maka berdasarkan syarat
ini nas-nas al-Qur’an yang bersifat global (belum jelas), maka tidak wajib
untuk mengamalkan hukumnys sebelum ada penjelasan dari rasul.
Contohnya, perintah haji dalam al-Qur’an yang masih sangat global.
Maka tidak wajib mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari
rasul.
2. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki
wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-
hukumnya oleh mukalaf.
3. Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau
ditinggalkan oleh mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya.
Mengingat tujuan hukum adalah agar hukum itu dapat ditaati. Oleh
karena itu, tidak ada beban yang diperintahkan oleh al-Qur’an untuk
dikerjakan atau ditinggalkan yang melewati batas kemampuan manusia.
Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah memberikan beban yang mustahil
(diluar kemampuan) mukalaf.Contohnya perintah untuk terbang seperti
burung.

C. Mahkum Alaih

Yang dimaksud mahkum alaih adalah mukalaf yang layak mendapatkankhitab


dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.

Seseorang dikatakan mukalaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1. Mukalaf dapat memahami dalil taklif baik itu beupa nas-nas al-Qur’an atau
sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak
mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar
apa yangdiperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu
hanyalah akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan
mukalaf.

10
2. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli disini ialah layak atau wajar untuk
menerima perintah9.

9
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm.147-148.

11
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum syara’ berarti khitab ALLAH SWT yang bersangkutan dengan


perbuatan mukalaf baik berupa tuntunan (perintah maupun larangan) ataupun
anjuran untuk meninggalkan dan melakukan, dan juga berupa kebebasan memilih
takhyir.

Hukum syara’ dibagi menjadi dua yaitu Taklifi dan Wadh’i. Hukum taklifi
ialah hukum yang menghendaki dilakukan perbuatannya atau meninggalkan suatu
perbuatan dan disuruh memilih antara melakukan atau meninggalkannya.
Pembagian hukum taklifi yaitu wajib, sunnah, mubah, dan haram.

Yang kedua Hukum Wadh’i ialah kitab yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab adanya yang lain (musahab) atau sebagai syarat yang lain. Kemudian
pembagian hukumn wadh’i yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah, dan azimah.

Hakim adalah pembuat hukum jelas bahwa hakim disini ialah Allah Swt.
Kemudian Mahkum fih ialah objek hukum atau sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah untuk dikerjakan maupun ditinggalkan, kemudian Mahkum Alaih, adalah
mukalaf yang dikenai khitab namun ada sesuatu yang menjadi pengalang yaitu
(awarid). Awarid adalah keadaan dimana mukalaf tidak dapat melaksanakan hak
dan kewajiban yang ditetapkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, Iwan. 2019. Ushul Fiqh Metode Kajian Hukum Islam,


Kuningan: Hidayatul Qur’an
Haq, Hamka. 1998. Falsafah Ushul Fiqh,
Makassar: Yayasan Al-Hakam
Rosyadi, Imron. 2020. Hukum Ekonomi Syariah,
Surakarta: Muhammadiyah University Press
Nurhayati, Ali Imran Sinaga. 2018. Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana
Djalil, Basiq. 2014. Ilmu Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana Prenada Group
Syuhada, Harjan . 2001. Fikih MA,
Jakarta: PT. Bumi Aksara
Misno, Abdurrahman Misno, Nurhadi. 2020. Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung: Media Sains Indonesia
Shidiq, Sapiudin. 2017. Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana

13
14

Anda mungkin juga menyukai