Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH FIQIH
Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu: Bapak Siswanto

Disusun oleh:

1. Risma Ayu Rama Wijayanti (1902036045)


2. Asep Saepul Mubarak (1902036060)
3. Nindy Tutur Fradina (1902036042)
4. Ahmad Jefri Rizky Sbhan (1902036048)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Kaidah-
kaidah Fiqih ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya dan juga kami
berterima kasih pada Bapak Siswanto selaku dosen mata kuliah Ilmu Fiqih yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Kaidah-kaidah Fiqih. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Kami mengakui makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon
kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempuraan makalah ini. Sebelumnya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.

Semarang, 24November 2019

Penyusun

i
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………………. i

Daftar Isi ……………………………………………………………………………………. ii

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………… 1

BAB II Pembahasan

1. Pengertian Qawa’idul Fiqhiyah…………………………………………...……....2


2. Sifat Qa’idah Fiqhiyah…………………………………………………….. ……..2
3. Sejarah Qawa’idul Fiqhiyah………………………………………………………5
4. Qawa’idul Khams…………………………………………………………………6
5. Arti penting Qawa’idul Fiqhiyah………………………………………………… 9

BAB III Penutup

A. Kesimpulan………………………………………………………………………...... 11
B. Saran…………………………………………………………………...……………. 12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. ..… 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dapat kita ketahui dari pengertian ilmu fiqih adalah salah satu bidang ilmu
dalam syariat islam yang secraa khusus membahas persoalan hukum yang mengatur
berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun
kehidupan manusia dengan Tuhannya. Kaidah fiqhiyyah sebagai salah satu disiplin
ilmu tidak berdiri sendiri dalam tema dan kajiannya. Sebagai derifasi dari fikih atau
hukum Islam, kaidah fiqhiyyah merupakan simpul-simpul umum dari beberapa
permasalahan hukum Islam yang dapat digunakan oleh kalangan awam maupun
fuqahâ dalam mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat
dalam berbagai tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam
kontemporer.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Qawa’idul Fiqhiyah?
2. Apa saja sifat Qa’idah Fiqhiyah?
3. Bagaimana sejarah Qawa’idul Fiqhiyah?
4. Apa pengertian dari Qawa’idul Khams?
5. Apa arti penting Qawa’idul Fiqhiyah?

1
BAB II
PENDAHULUAN

A. Pengertian Qawa’idul Fiqhiyah


Secara leksikal, kaidah fiqhiyyah berasal dari kata jama’ dari kata kaidah yang
berarti: dasar, asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu,1 baik yang kongkrit,
materi atau inderawi seperti pondasi rumah maupun yang abstrak baik yang bukan
materi dan bukan inderawi seperti dasar-dasar agama. 2 Sedangkan fiqiyah berasal dari
kata fiqih ditambah ya nisbah yang berfungsi sebagai makna penjenisan dan
pembangsaan, sehingga berarti hal-hal yang terkait dengan fikih.
Secara terminologi, kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat
umum yang mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau
totalitasnya. Adapun secara umum, fuqaha terbagi kepada dua kelompok pendapat
berdasarkan pada penggunaan kata kulli di satu sisi dan kata aghlabi atau aktsari di
sisi lain.
Pertama, fuqaha yang berpendapat bahwa kaidah fiqhiyyah adalah bersifat
kullî mendasarkan argumennya pada realitas bahwa kaidah yang terdapat
pengecualian cakupannya berjumlah sedikit dan sesuatu yang sedikit atau langka tidak
mempunyai hukum. Kedua, fuqaha berpendapat bahwa karakteristik kaidah fiqhiyyah
bersifat aghlabiyah atau aktsariyah, karena realitasnya kaidah fiqhiyyah mempunyai
keterbatasan cakupannya atau mempunyai pengecualian cakupannya sehingga
penyebutan kulli dari kaidah fiqhiyyah kurang tepat.3

B. Sifat-Sifat Qa’idah Fiqhiyah

1. Kaidah Pertama: Segala Sesuatu Tergantung Tujuan (‫)األمور بمقاصدها‬

Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: "Bahwasanya segala amal itu tergantung
niat. Bagi seseorang itu tergantung niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya pada Allah
1
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jilid III, Mesir: Mushthafa al-Babi alHalabi, 1997), h. 409.
2
‘Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2000), h. 5.
3
Abdul Haq, dkk, Formalisasi Nalar Fikih, (Surabaya: Khalista, 2009), h. 8-11.

2
dan RasulNya, maka hijrahnya pada Allah dan Rasulnya. Barangsiapa yang hijrahnya
untuk mencari dunia atau perempuan yang akan dinikahi maka hijrahnya adalah pada
apa yang dituju."
Maksud dari hadits ini adalah bahwa perbuatan seorang muslim yang mukalaf
dan berakal sehat baik dari segi perkataan atau perbuatan berbeda hasil dan hukum
syariahnya yang timbul darinya karena perbedaan maksud dan tujuan orang tersebut
di balik perbuatannya.
Sebagai contoh: Barangsiapa yang mengatakan pada yang lain "Ambillah uang
ini", maka ia bisa saja berniat sedekah maka itu menjadi pemberian; atau niat
menghutangkan, maka wajib dikembalikan; atau sebagai amanah, maka wajib
menjaga mengembalikannya.4

2. Kaidah Kedua: Kemudaratan Itu Dapat Hilang (‫)الضرر يزال‬

Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: La Darar wa La Dirar "‫رر‬YY‫الض‬
‫رار‬YY‫"والض‬. Darar adalah menimbulkan kerusakan pada orang lain secara mutlak.
Sedangkan dirar adalah membalas kerusakan dengan kerusakan lain atau menimpakan
kerusakan pada orang lain bukan karena balas dendam yang dibolehkan.
Yang dimaksud dengan tidak adanya dirar adalah membalas kerusakan (yang
ditimpakan) dengan kerusakan yang sama. Kaidah ini meniadakan ide balas dendam.
Karena hal itu akan menambah kerusakan dan memperluas cakupan dampaknya.
Contoh: Siapa yang merusak harta orang lain, maka bagi yang dirusak tidak
boleh membalas dengan merusak harta benda si perusak. Karena hal itu akan
memperluas kerusakan tanpa ada manfaatnya. Yang benar adalah si perusak
mengganti barang yang dirusaknya.5

3. Kaidah Ketiga: Tradisi Itu Dapat Menjadi Hukum (‫)العادة محكمة‬

Kaidah ini berasal dari teks (nash) Al-Quran. Kebiasaan (urf) dan tradisi (adat)
mempunyai peran besar dalam perubahan hukum berdasarkan pada perubahan
keduanya. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:228 "Dan para wanita mempunyai
4
Eko Rukmana, “5 Kaidah Pokok Fiqih Islam”, diakses dari
https://www.academia.edu/8596076/5_Kaidah_pokok_fiqih_islam, pada tanggal 25 November 2019 pukul
22.47.
5
…., pada 25 November 2019 pukul 22.49.

3
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." Nabi bersabda:
Tradisi dan cara yang berlaku di antara kalian itu boleh digunakan (‫( )سنتكم بينكم‬Ibnu
HajarAl-Asqalani dalam Fathul Bari, IV/338.
Tradisi atau adat menurut ulama fiqih adalah hal-hal yang terjadi berulang-
ulang dan masuk akal menurut akal sehat yang dilakukan oleh sejumlah individu
Adakah perbedaan antara uruf dan adat? Sebagian ulama berpendapat
keduanya dua kata dengan satu arti. Sebagian ulama yang lain menganggapnya
berbeda. Adat adalah sesuatu yang meliputi kebiasaan individu dan golongan.
Sedangkan urf itu khusus untuk kebiasaan golongan saja.6

4. Kaidah Keempat: Kesulitan Menimbulkan Kemudahan (‫)المشقة تجلب التيسير‬

Imam As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat I/231 menyatakan: "Dalil-dalil yang


meniadakan dosa (dalam situasi darurat) bagi umat mencapai tingkat pasti." Allah
berfirman dalam QS An-Nisa' 4:28 "Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu ..." dan "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu" (QS Al-Baqarah 2:185).
Nabi bersabda dan hadits Sahih Bukhari no. 39 "Sesungguhnya agama itu
mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan
ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati
semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di
waktu pagi, petang dan sebagian malam"
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum yang
menimbulkan kesulitan dalam mengamalkannya bagi diri seorang mukalaf atau
hartanya, maka syariah meringankan hukum itu sesuai kemampuannya tanpa
kesulitan.

5. Kaidah Kelima: Yakin Tidak Hilang Karena Adanya Keraguan (‫)اليقين ال يزول بالشك‬
Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya
adalah menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan
dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering timbul dari
was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan adalah ketetapan
6
Eko Rukmana, “5 Kaidah Pokok Fiqih Islam”, diakses dari
https://www.academia.edu/8596076/5_Kaidah_pokok_fiqih_islam, pada tanggal 25 November 2019 pukul
22.50.

4
hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan
terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya.
Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap
hilang kecuali dengan dalil yang pasti dan hukumnya tidak bisa berubah oleh
keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak adanya maka tetap dianggap tidak
ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada dan tiada).
Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat merubah ada dan
tidak adanya sesuatu.
Dalil yang dipakai untuk kaidah keempat ini adalah berdasarkan pada hadits
Nabi di mana seorang lelaki bertanya pada Nabi bahwa dia berfikir apakah dia kentut
apa tidak saat shalat. Nabi menjawab: "Teruskan shalat kecuali apabila mendengar
suara atau mencium bau (kentut)." (‫)الينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا‬
Kaidah ini masuk dalam mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah,
uqubah (sanksi) dan keputusan. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini
mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu fiqih.7

C. Sejarah Qawa’idul Fiqhiyah


Menurut Ali Ahmad Al-Nadawi, perkembangan quwait fiqhiyah dapat dibagi dalam
tiga fase berikut :

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan


Masa ini pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Ketika fiqih telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqih baru dibentuk dan
ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqih yang dominan adalah Jawami Al-Kalim. Atas
dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadist yang mempunyai
ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqih. Sabda Nabi Muhammad, yang
Jawami Al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu : segi sumber dan segi
cangkupan.8

7
Eko Rukmana, “5 Kaidah Pokok Fiqih Islam”, diakses dari
https://www.academia.edu/8596076/5_Kaidah_pokok_fiqih_islam, pada tanggal 25 November 2019 pukul
22.59.
8
Usman Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persaba, 1996), h.7.

5
Pada fase kedua abad hijriah “Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan
terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak dipaksa.”

2. Fase perkembangan dan kodifikasi


Awal mulai quwait fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan
terjadi pada abad ke empat hijriah dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Bisa
dikatakan bahwa abad keempat hijriah merupakan fase kedua dari kemunculan
kaidah fiqhiyah dan asumsi pada abad inilah ditemukannya kaidah fiqhiyah
sebagai sebuah disiplin ilmu.
Fase ini ditandai dengan munculnya Al-Karkhi dan Al-Dabbusi. Para ulam
yang hidup dalam rentang waktu ini hamper dapat menyempurnakan ilmu quwait
fiqhiyah.9

3. Fase kematangan dan penyempurnaan


Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah
fiqih pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan diabad XIII
hijriah.10

D. Qawa’idul Khams.

Kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan


menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang
melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama’
menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams
(kaidah-kaidah yang lima).11
Kelima kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i
khususnya dan dikalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya
tidak selalu sama.
Kelima kaidah tersebut adalah:

1. Kaidah Pertama
9
Usman Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persaba, 1996), h.8.
10
Usman Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persaba, 1996), h.10.
11
Fathurahman Azhar. Qawaid Fiqhiyyah, (Banjarmasin: LPKU, 2015), h. 31.

6
Maksudnya adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang saat melakukan
amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal-
amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadahan
maupun adat-kebiasaan.12
Dengan demikian, setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika tidak, maka
amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu, niat memiliki posisi yang
sangat penting, sebab ia sebagai penentu segala gerak tingkah dan amaliyah yang
dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.13
Contoh penerapannya, ketika wanita dalam keadaan haid, ketika membaca
bismillah dengan:
· Diniati membaca Alqur’an, maka hukumnya haram
· Diniati berdzikir, maka tidak haram
· Diniati baca Alqur’an dan dzikir, maka hukumnya haram.

2. Kaidah Kedua

Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu


keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul
kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah
keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada
sebelumnya.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya
suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan
itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru
sekadar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu kemantapan
hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan,
sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin. Hal-hal yang
masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya, tidak dapat disejajarkan
dengan suatu yang sudah diyakini.14

· Sabda Nabi SAW:

12
Fathurahman Azhar. Qawaid Fiqhiyyah, (Banjarmasin: LPKU, 2015), h. 31.
13
…., h. 33.
14
…..,h. 34.

7
‫ َم َع‬Y‫ ِج ِد َحتَى يَ ْس‬Y‫ ُر َجنَ ِمنَ ْال َم ْس‬Y‫ ْي ٌءأَ ْم الَفَالَ يَ ْخ‬Y‫هُ َش‬Y‫ َر َج ِم ْن‬Y‫ ِه اَ َخ‬Y‫ َك َل َعلَ ْي‬Y‫آ َ ْش‬Yَ‫ ْيئًا ف‬Y‫نِ ِه َش‬Y‫ص‬
ْ َ‫ ُد ُك ْم فِي ب‬Y‫ َد أَ َح‬Y‫اِ َذا َو َج‬
)‫صوْ تًاأَوْ يَ ِج ْد ِر ْيحًا (رواه مسلم عن أبى هريرة‬ َ

Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya.


Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum.
Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara
(kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).15
Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang ragu-ragu
tentang apakah ia sudah berhadas ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran
adalah kondisi yang telah ada sebelumnya, yaitu[14]:
a. Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap batal.
b. Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka yang dianggap suci.

3. Kaidah Ketiga

Yang dimaksud taisir ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang


disebabkan karena adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah
umum. Dan yang dimaksud masyaqqat ialah suatu kesukaran yang didalamnya
mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk
didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer.
Dengan demikian, maka semua bentuk keringanan dalam syari’ah islam itu, selalu
bersumber dari kaidah komprehensip ketiga ini. 16

4. Kaidah Keempat

Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu
adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila
diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membawa manfaat
sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.17
Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid
al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan
kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
15
Fathurahman Azhar. Qawaid Fiqhiyyah, (Banjarmasin: LPKU, 2015), h. 34.
16
…, h. 35.
17
…, h. 36.

8
5. Kaidah Kelima
Kaidah ‘Adah ini, diambil dari realita social kemasyarakatan bahwa semua
cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai
norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan
kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati
bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang
selama inisudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami
pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adat-
istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Kebudayaan itu bisa dianggap sebagai
perwujudan aktivitas nilai-nilai dan hasilnya.18

E. Arti penting Qawa’idul Fiqhiyah

Pentingnya Qawaid Fiqhiyah dan Kegunaannya


Kaidah fiqih memiliki arti penting dan posisi yang tinggi dalam hukum Islam. Di
antara kegunaannya sebagai berikut:19

1. Sebagai pedoman berbagai kasus hukum, mempermudah mengetahui hukum dari


suatu kasus dan mudah mengingatnya.
2. Mengetahui kaidah fiqih menjadikan orang yang mengkajinya mengetahui rahasia
syariat, konsep hukum dan sumber pengambilan berbagai permasalahan hukum.
3. Memahami kaidah fiqih dapat menentukan pemahaman berbagai persoalan
sekaligus dapat mendatangkan hukumnya.
4. Mengembangkan penguasaan terhadap fiqih, karena dengan kaidah fiqih seseorang
akan mampu mengkiaskan (ilhaq) persoalan-persoalan dalam ruang lingkup
tertentu.
5. Mengkaji kasus hukum tertentu tanpa kaidah bisa menyebabkan kehilangan
konsep, namun apabila mengkaji dengan kaidah akan bisa kaya konsep.
6. Dapat menjangkau tujuan umum syariat. Dengan mengetahui kaidah umum
seseorang dapat mengetahui tujuan umum syariat, misalnya “adh-dharuratu tubihul

18
Fathurahman Azhar. Qawaid Fiqhiyyah, (Banjarmasin: LPKU, 2015), h. 37.
19
…, h. 40.

9
mahzhurat (kemudaratan membolehkan susuatu yang dilarang)”. Dari kaidah
tersebut dapat dipahami bahwa menghilangkan kesulitan dan mengdatangkan
kemudahan bagi hamba salah satu dari tujuan syariat.

BAB III

PENUTUP

10
A. Kesimpulan
Secara terminologi, kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat
umum yang mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau
totalitasnya.
Sifat-Sifat Qa’idah Fiqhiyah
1. Kaidah Pertama: Segala Sesuatu Tergantung Tujuan (‫)األمور بمقاصدها‬
2. Kaidah Kedua: Kemudaratan Itu Dapat Hilang (‫)الضرر يزال‬
3. Kaidah Ketiga: Tradisi Itu Dapat Menjadi Hukum (‫)العادة محكمة‬
4. Kaidah Keempat: Kesulitan Menimbulkan Kemudahan (‫)المشقة تجلب التيسير‬
5. Kaidah Kelima: Yakin Tidak Hilang Karena Adanya Keraguan ( ‫اليقين ال يزول‬
‫)بالشك‬

Sejarah Qawa’idul Fiqhiyah

Menurut Ali Ahmad Al-Nadawi, perkembangan quwait fiqhiyah dapat dibagi


dalam tiga fase berikut :

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan


2. Fase perkembangan dan kodifikasi
3. Fase kematangan dan penyempurnaan

Qawa’idul Khams adalah kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’


padadasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Arti penting
Qawa’idul Fiqhiyah

Pentingnya Qawaid Fiqhiyah dan Kegunaannya


Kaidah fiqih memiliki arti penting dan posisi yang tinggi dalam hukum Islam. Di
antara kegunaannya sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman berbagai kasus hukum, mempermudah mengetahui hukum dari
suatu kasus dan mudah mengingatnya.
2. Mengetahui kaidah fiqih menjadikan orang yang mengkajinya mengetahui rahasia
syariat, konsep hukum dan sumber pengambilan berbagai permasalahan hukum.
3. Memahami kaidah fiqih dapat menentukan pemahaman berbagai persoalan
sekaligus dapat mendatangkan hukumnya.

B. Saran

11
Dengan adanya pembelajaran mengenai Kaidah-Kaidah Fiqih diharapkan kita
bisa memacu semangat kita untuk lebih memperdalam dan mempelajari tentang Ilmu
Fiqih karena didalam Ilmu Fiqih bukan hanya membahas mengenai Kaidah-kaidah
Fiqih saja, namun masih banyak lagi materi-materi lain yang tidak kalah pentingnya
dengan Kaidah-Kaidah Fiqih, dan mudah-mudahan hal itu akan menjadi dorongan
untuk kita jika kita menginginkan untuk bisa mempelajari Ilmu Fiqih.

DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Fathurahman. 2015. “Qawaid Fiqhiyyah”. Banjarmasin: LPKU.

Manzhur, Ibn. 1997. “Lisan al-Arab, Jilid III”. Mesir: Mushtafa al-Babi

12
Muchlis, Usman. 2015. “Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah”. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persaba.

Haq, Abdul. 2009. “Formalisasi Nalar Fiqih”. Surabaya: Khalista.

13

Anda mungkin juga menyukai