Disusun oleh:
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat-
Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna menuntaskan tugas kelompok untuk
Mata Kuliah Studi Fikih Terapan, dengan judul makalah Studi Fikih Dengan Pendekatan
Maqoshid AL- Syariah.
Kami menyadari bahwa dalam penyususnan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Maka dari itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran dan kritik dari Dosen maupun teman-teman.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca
sekalian.
31 Oktober 2023
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
C. Tujuan...............................................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
BAB III.......................................................................................................................................................6
PENUTUP..................................................................................................................................................6
2.1 Kesimpulan................................................................................................................................6
2.1 Saran...........................................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................6
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan salah satu bidang dari studi Islam yang paling dirasakan oleh
masyarakat muslim, karena Fiqih bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari.
Contoh Fiqih secara sempit tentang ajaran wudhu, shalat, puasa dan tata cara haji atau
disebut fiqih Ibadah. Contoh Fiqih secara luas seperti tata cara jual beli, perdagangan,
sewa menyewa dapat disebut Fiqih Muamalah. Nabi Muhammad SAW merupakan aktor
pelaksana Fiqih, karena Nabi Muhammad secara langsung mendapatkan wahyu dari
Alloh SWT. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, hukum Islam mengalami stagnasi dan
bersifat kekal. Fiqih menjadi statis dan tidak mampu menjawab persoalan yang semakin
komplek. Dalam menjawab tantangan zaman Fiqih pada masa Rasul tentu kesulitan untuk
menjawab masalah kontemporer seperti saat ini. Kompleksitas masalah yang dihadapi
umat Islam sekarang ini sangat berat, Islam dianggap menjadi agama yang kaku dan
sebagian orang melabeli Islam sebagai agama garis keras, agama terorisme dan label-
label yang menyudutkan Islam lainya. Yang menjadi pertanyaan substansinya adalah,
kenapa konsep Maqashid Al Syariah dari Fiqih tidak berjalan?. Perlu adanya rekonstruksi
dan reaktualisasi Maqashid Al Syari’ah Fiqih Klasik yang bersifat abstak dan kaku
menjadi Fiqih yang bersifat konkrit dan luwes, karena menjadi sesuatu yang lazim
diketahui bahwa persoalan hukum yang muncul pada masa kini berbeda dengan
persoalan hukum zaman lampau. Perbedaan tersebut dapat berupa materi hukum atau
konteks hukumnya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat ditarik
beberapa rumusan sebagai berikut: (1) Pengertian Maqosid al syariah? (2) Bagaimana
studi fiqih dengan pendekatan maqosid al syariah?
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dari berbagai penjelasan dan definisi yang saling berkaitan di atas, setidaknya Maqasid
Al-Syari’ah dapat difahami sebagai tujuan dari seperangkat hukum Islam pada
terbentuknya keadilan dan kemaslahatan masyarakat, bukan sederet aturan yang
mengantarkan pada kerusakan tatanan sosial. Keputusan-keputusan hukum dari seorang
pemimpin pun harus demikian, dalam salah satu kaidah usul al-fiqh diungkapkan
„Tasharruf Al-Imam Manuthun Bi Al-Maslahah‟ yaitu kebijakan seorang pemimpin
(harus) mengacu pada kemaslahatan yang dipimpin (masyarakatnya). Betapapun,
mewujudkan keadilan dan kemaslahatan dari suatu produk hukum di tengah-tengah
masyarakat adalah upaya yang
tidak mudah dan harus melibatkan komponen-komponen yang saling berkaitan.2
1
Zidni Ilman Nafian and Studi Fiqih, ‘Studi Fiqih Dengan Pendekatan Maqoshid Al Syariah’, 1.2 (2022), 122–28.
2
Jurnal Al-himayah, ‘Jurnal Al-Himayah’, 1.2 (2018), 97–118.
5
1.2 Pendekatan Studi Fiqih Dengan Maqoshid Al Syariah
Al Syatibi membagi maqashid menjadi tiga kategori. Pembagian ini berdasarkan peran
dan fungsi suatu masalah terhadap keberlangsungan kehidupan makhluk. Tiga kategori
tersebut antara lain:
1. Dharuriyyat
Dari segi bahasa dapat diartikan sebagai kebutuhan mendesak atau darurat. Sehingga
dalam kebutuhan dharuriyyat, apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan
mengancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Maqashid
Dharuriyyat meliputi Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama), Hifdz An-Nafs(Memelihara
Jiwa), Hifdz Al‟Aql (Memelihara Akal), Hifdz An Nasb (Memelihara Keturunan), Hifdz
Al Maal (Memelihara Harta).3 Yakni dengan memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima
waktu,sebagai tanda aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Jika tidak maka terancamlah
eksistensi agama. Itu sebabnya maka kemusyrikan merupakan dosa terbesar di antara
segala dosa yang tidak terampuni.
2. Hajiyyat
3
ika yunia Fauzia, ‘URGENSI IMPLEMENTASI GREEN ECONOMY PERSPEKTIF PENDEKATAN DHARURIYAH DALAM
MAQASHID AL-SHARIAH Ika Yunia Fauzia ARTICLE HISTORY’, Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 2.1 (2016), 87–104.
4
A.Intan cahyani, ‘Hajiyyat 2’ (makassar, 2014), pp. 20–30.
6
3. Tahsiniyyat
Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan
pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak
menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti
dikemukakan oleh Al-Syatibi (1997), hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat
istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan
keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak. Dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat, dan uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat, menurut Khalaf
(1997), umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau dari hadats, 5 baik
pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika
hendak ke Masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah. Adapun mengenai
metode dalam memahami maqoshid itu Al-Syatibi menjelaskan ada tiga metode yang
digunakan oleh para ulama untuk memahami maqashid al-syari’ah,antara lain:
Makna dhahir adalah makna yang dipahami dari apa yang tersurat dalam lafadz-lafadz
nash keagamaan yang menjadi landasan utama dalam mengetahui maqashid al-syari’ah.
Kecenderungan untuk menggunakan metode ini bermula dari suatu asumsi bahwa
maqasid al-syari’ah adalah suatu yang abstrak dan tidak dapat diketahui kecuali melalui
petunjuk. Tuhan dalam bentuk dhahir lafadz yang jelas. Petunjuk Tuhan itu tidak
memerlukan penelitian yang pada gilirannya bertentangan dengan kehendak bahasa. (Al-
Syatibi, 1997: 297). Metode ini dipelopori oleh Dawud al-Dhahiri, seorang pendiri dari
aliran al-Dhahiriyah. Dengan kata lain, pengertian hakiki suatu nash tidak boleh
dipalingkan (ditakwilkan) kepada makna majazi, kecuali bila ada petunjuk jelas dari
pembuat syari‟at, bahwa yang dimaksudkan adalah makna tersirat.
Makna batin adalah makna yang tersirat dari suatu teks ajaran Islam. Makna batin
menjadi dasar pertimbangan dalam mengetahui maqashid al-syari‟ah adalah berpijak dari
suatu asumsi, bahwa maqashid al-syari’ah bukan dalam bentuk dhahir dan bukan pula
yang dipahami dari pengertian yang ditunjukkan oleh dhahir lafadz nash-nash syari‟at
5
Nilda Susilawati, ‘STRATIFIKASI AL-MAQASID AL-KHAMSAH DAN PENERAPANNYA DALAM AL-DHARURIYAT, AL-
HAJJIYAT, AL-TAHSINIYYAT Nilda Susilawati’, Mizani, 2.1 (2015).
7
Islam. Al-Syatibi (1997) menyebut kelompok yang berpegang dengan metode ini sebagai
kelompok al-Bathiniyah, yaitu kelompok ulama yang bermaksud menghancurkan Islam.
Pendekatan yang sering juga disebut dengan pendekatan agregasi atau kombinasi ini
bertujuan untuk memahami maqashid al-syari’ah dengan cara meleburkan kedua
pendekatan tersebut menjadi satu, tanpa mengubah makna dhahir dan tetap menjaga
kandungan maknanya. Al-Syatibi merupakan salah satu ulama yang mengusulkan
pendekatan ini, dengan alasan bahwa makna, makna batin, dan makna inferensial dhahir
saling berkaitan secara simbiosis dalam upaya memahami maqashid al-syari'ah. Dalam
konteks ini terdapat beberapa aspek yang relevan seperti menganalisis perintah dan
larangan Tuhan, memahami kebijakan hukum Islam, dan menganalisis tujuan awal dan
turunan dari semua undang-undang yang telah diundangkan.
Terkait dengan penerapan maqashid al-syari’ah dalam menetapkan hukum pada tiap-
tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia, hal tersebut dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu:
Adapun penyelesaian kasus untuk yang peringkatnya sama, seperti tingkat daruriyyat
dengan daruriyyat, hajiyat dengan hajiyyat, dan tahsiniyyat dengan tahsiniyyat dengan
unsur pokok yang berbeda. Maka kemungkinan diselesaikan dengan cara:
6
A.Intan cahyani.” TEORI DAN APLIKASI PENDEKATAN MAQOSHID AL-SYARIAH” Hajiyyat 2’ (makassar, 2014), pp.
20–30
8
Menyelesaikan masalah sesuai dengan skala prioritas berdasar atas urutan yang sudah
baku, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Contohnya seseorang dibenarkan
meminum minuman keras, yang pada dasarnya merusak akal, apabila ia terancam
jiwanya karena tidak meminum minuman itu. Dalam hal ini, harus didahulukan
memelihara jiwa dari pada memelihara akal.
Keadaan itupun dapat ditemukan pada contoh-contoh yang diangkat oleh Hamka
Haq dalam bukunya Falsafat Ushul Fikih,7 ia mencontohkan bagaimana menjaga jiwa
ketika berhadapan dengan menjaga agama. Jika seseorang diperhadapkan pada persoalan
memilih antara dua hal yaitu mati syahid dalam membela agama ataukah melarikan diri
guna menyelamatkan jiwanya, maka dia dianjurkan untuk mati syahid. Paling tidak, dia
dibolehkan untuk berpura-pura meninggalkan agama, guna keselamatan jiwanya. Pada
contoh yang lain, Hamka Haq menggambarkan yaitu dibolehkannya seseorang untuk
menyerahkan dirinya untuk dizinahi kalau itu untuk menyelamatkan jiwanya. Jadi
keharaman berzina (tingkat daruriyyat dari memelihara agama) itu bisa digugurkan
ketika berhadapan dengan keadaan yang mengancam jiwa seseorang.
7
Retna Gumanti, ‘Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem Dalam Hukum Islam)’, Al-Himayah,
2.1 (2018), 109–10 <http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah>.
9
al-syari’ah tersebut bersifat kondisional. Karena itu, dalam kasus-kasus tertentu
memelihara jiwa dapat didahulukan dari pada memelihara keyakinan/agama. Hal tersebut
dapat ditemukan kemungkinannya dalam QS. al-Nahl: 106:
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Dalam ayat di atas, jelas sekali bagaimana Allah sendiri membenarkan untuk
memelihara jiwa lebih utama dibanding dengan memelihara keyakinan. Jadi, yang ingin
penulis katakan bahwa jika keadaan tersebut sudah masuk kategori darurat, maka
memelihara jiwa bisa lebih diutamakan dibandingkan dengan memelihara kemashlahatan
yang lain.
Dari contoh ijtihad yang diberikan oleh Khalifah Umar, terlihat jelas bagaimana
hukum dasar dapat berubah karena perubahan dalam keadaan tertentu, dengan keadaan
yang dimaksud di sini adalah keterpaksaan. Tindakan mencuri, yang pada dasarnya
termasuk dalam tingkat daruriyyat dalam menjaga agama, harus dilakukan karena
keadaan yang memaksa kita untuk mencari makanan, karena ketidakmakanan dapat
mengancam eksistensi jiwa (pada tingkat daruriyyat). Namun, penting untuk memahami
8
Siti Mutholingah and others, ‘Siti Mutholingah | 90’, 2, 2018, 90–112.
10
bahwa batasan yang perlu diingat dalam konteks keadaan darurat, seperti yang dijelaskan
dalam Surah Al-Baqarah (2): 173.
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat tersebut, Allah swt. menyatakan dengan jelas bagaimana keadaan
darurat memungkinkan untuk merubah hokum asal. Hanya saja sejauhmana kadar
perbuatan haram yang boleh dilakukan oleh orang yang dalam keadaan terpaksa
tersebut?. Pada tataran ini, ulama kemudian terjadi perbedaan pendapat:
Pendapat pertama mengindikasikan bahwa tindakan tersebut dianggap sah hanya dalam
situasi ketika seseorang khawatir akan mengalami kemudharatan, seperti yang
disampaikan oleh Hasan Basri, yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaily. Dalam kondisi
seperti itu, seseorang diperbolehkan untuk makan sejauh yang cukup untuk
memungkinkannya berdiri tegak.
9
ZAA Harahap, ‘Konsep Maqasid Al-Syariah Sebagai Dasar Penetapan Dan Penerapannya Dalam Hukum Islam
Menurut ’Izzuddin Bin ’Abd Al-Salam’, Tazkir, 9 (2014), 171–90
<http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/TZ/article/view/108>.
11
seseorang ketika ingin melakukkan suatu perbuatan. Sebagaimana dalam sebuah hadis
Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan sebagai berikut:
Dari hadis tersebut, Rasulullah saw. menunjukkan bahwa penilaian atas tindakan
manusia bergantung pada niat yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, dalam kasus
darurat yang telah dijelaskan di atas, jika seseorang melakukan tindakan yang
bertentangan dengan ajaran agama, namun bertentangan dengan nilai-nilai yang ada
dalam hati nuraninya, Allah swt. tidak langsung menghakiminya, karena Allah swt.
mengetahui apa yang ada dalam hati manusia. Prinsip ini mencerminkan apa yang
terdapat dalam Surah An-Nahl: 106, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
Kriteria maslahat terdiri dari dua aspek: pertama, maslahat harus bersifat mutlak, tidak
tunduk pada hawa nafsu atau bersifat relatif. Kedua, maslahat tersebut harus bersifat
universal (kulliyah), dan universalitas ini tidak bertentangan dengan aspek-aspek yang
10
SULAEMAN SULAEMAN, ‘Signifikansi Maqashid Asy-Syari’Ah Dalam Hukum Ekonomi Islam’, DIKTUM: Jurnal
Syariah Dan Hukum, 16.1 (2018), 98–117 <https://doi.org/10.35905/diktum.v16i1.524>.
12
bersifat parsial (juziyyat). Asy-Syathibi mengemukakan bahwa untuk mencapai
kemaslahatan dan mencegah kemudaratan, manusia harus mematuhi syariat, yang dalam
istilahnya disebut sebagai "Qashduhu fi Dukhul al-Mukallaf tahta Hukmiha" (maksud
Allah dalam mengapa individu harus mematuhi syariat). Dengan mematuhi syariat,
individu akan terbebas dari ikatan nafsu dan menjadi hamba yang bertindak dengan
pilihan bebas, bukan keterpaksaan.
Kemudian, maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkat hierarki: daruriyyat (primer),
hajiyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier). Daruriyyat adalah yang paling penting
karena berkaitan dengan kemaslahatan di dunia dan akhirat, seperti makanan, minuman,
shalat, dan ibadah lainnya. Hajiyat sebaiknya ada untuk kenyamanan dan kebebasan
dalam melaksanakannya, seperti dalam transaksi bisnis seperti qiradh, musaqah, dan
salam dalam muamalat. Tahsiniyyat adalah hal-hal yang meningkatkan aktivitas tetapi
tidak berkaitan dengan kategori di atas, seperti menjual barang najis dan efisiensi dalam
penggunaan air dan rumput.
Pemahaman nilai dan ide yang terkandung dalam teks otoritatif, seperti Al-Qur'an dan
As-Sunnah, adalah kunci penting dalam memahami maqashid al-syari'ah.
Menginternalisasikan maqashid al-syari'ah dalam prakteknya adalah esensial untuk
mencapai kemaslahatan dan dampak positif.11
11
SULAEMAN.
13
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Maqashid al-syari'ah adalah konsep yang mencerminkan pemeliharaan pilar-pilar
kesejahteraan umat manusia, seperti yang diuraikan oleh asy-Syathibi. Ini mencakup lima
kemaslahatan yang meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan
harta benda. Tujuan utama dalam hukum ekonomi Islam adalah menciptakan kesejahteraan
bagi kehidupan manusia, sejalan dengan tujuan dasar dari syariah Islam (maqashid al-
syari'ah).
Dalam konteks ini, maqashid al-syari'ah menjadi dasar untuk pengembangan hukum ekonomi
Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pendekatan ekonomi Islam
menekankan pada aspek kesejahteraan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, dan bukan
hanya terbatas pada pertukaran ekonomi atau kepentingan sosial yang bersifat sesaat.
Kesimpulannya, hukum ekonomi Islam berupaya mencapai kemaslahatan dan kepuasan
hidup yang berkelanjutan, sejalan dengan prinsip-prinsip maqashid al-syari'ah yang
melibatkan perlindungan pilar-pilar kesejahteraan manusia
2.2 Saran
Maqashid al-syari'ah adalah konsep yang merujuk pada maksud atau tujuan Allah
dalam menetapkan hukum. Secara etimologis, "maqashid" berasal dari kata yang berarti
menyengaja atau bermaksud, sementara "syari'ah" mengacu pada jalan atau aturan yang
harus diikuti. Maqashid al-syari'ah dapat diartikan sebagai tujuan Allah dalam
menegakkan hukum. Maqashid ini dibagi menjadi tiga kategori utama: daruriyyat (yang
mendesak), hajiyyat (yang diinginkan), dan tahsiniyyat (yang menyempurnakan).
Daruriyyat mencakup pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.Untuk
memahami maqashid al-syari'ah, terdapat tiga metode, yaitu mempertimbangkan makna
dhahir lafadz, mempertimbangkan makna batin dan penalaran, dan menggabungkan
makna dhahir, makna batin, dan penalaran. Saran yang dapat diambil adalah untuk
memahami dan menerapkan konsep maqashid al-syari'ah dalam konteks pemahaman dan
pelaksanaan hukum Islam. Hal ini dapat membantu dalam mencapai keseimbangan dan
pemeliharaan kesejahteraan manusia sesuai dengan tujuan Allah dalam mensyariatkan
hukum-hukumnya
14
DAFTAR PUSTAKA
Gumanti, Retna, ‘Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem Dalam Hukum
Islam)’, Al-Himayah, 2.1 (2018), 109–10 <http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah>
Harahap, ZAA, ‘Konsep Maqasid Al-Syariah Sebagai Dasar Penetapan Dan Penerapannya
Dalam Hukum Islam Menurut ’Izzuddin Bin ’Abd Al-Salam’, Tazkir, 9 (2014), 171–90
<http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/TZ/article/view/108>
Mutholingah, Siti, Aly Al, Hikam Malang, Rodhi Zamzami, Aly Al, and Hikam Malang, ‘Siti
Mutholingah | 90’, 2, 2018, 90–112
Nafian, Zidni Ilman, and Studi Fiqih, ‘Studi Fiqih Dengan Pendekatan Maqoshid Al Syariah’,
1.2 (2022), 122–28
15