Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

STUDI FIKIH DENGAN PENDEKATAN MAQOSHID AL-SYARIAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi

Tugas Mata Kuliah Studi Fikih Tarapan

Dosen Pengampu : Abdullah, M.Ag.

Disusun oleh:

1. Ahmad Subkhan (2350110090)


2. Choirun Nisa’ Mutohharoh (2350110102)
3. Adinda Nayla (2350110108)
4. Vita Puji Lestari (2350110110)

PROGAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat-
Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna menuntaskan tugas kelompok untuk
Mata Kuliah Studi Fikih Terapan, dengan judul makalah Studi Fikih Dengan Pendekatan
Maqoshid AL- Syariah.

Kami menyadari bahwa dalam penyususnan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Maka dari itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran dan kritik dari Dosen maupun teman-teman.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca
sekalian.

Wassalamu’alaaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

31 Oktober 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4

C. Tujuan...............................................................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5

1.1 Pengertian Maqosid Al Syari’ah...............................................................................................5

1.2 Pendekatan Studi Fiqih Dengan Maqoshid Al Syariah..........................................................6

1.3 Aplikasi Maqashid al-Syari’ah dalam Ketetapan Hukum.....................................................6

1.4 Fungsi Maqashid Syariah Dalam Kehidupan...........................................................................6

BAB III.......................................................................................................................................................6

PENUTUP..................................................................................................................................................6

2.1 Kesimpulan................................................................................................................................6

2.1 Saran...........................................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................6

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqih merupakan salah satu bidang dari studi Islam yang paling dirasakan oleh
masyarakat muslim, karena Fiqih bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari.
Contoh Fiqih secara sempit tentang ajaran wudhu, shalat, puasa dan tata cara haji atau
disebut fiqih Ibadah. Contoh Fiqih secara luas seperti tata cara jual beli, perdagangan,
sewa menyewa dapat disebut Fiqih Muamalah. Nabi Muhammad SAW merupakan aktor
pelaksana Fiqih, karena Nabi Muhammad secara langsung mendapatkan wahyu dari
Alloh SWT. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, hukum Islam mengalami stagnasi dan
bersifat kekal. Fiqih menjadi statis dan tidak mampu menjawab persoalan yang semakin
komplek. Dalam menjawab tantangan zaman Fiqih pada masa Rasul tentu kesulitan untuk
menjawab masalah kontemporer seperti saat ini. Kompleksitas masalah yang dihadapi
umat Islam sekarang ini sangat berat, Islam dianggap menjadi agama yang kaku dan
sebagian orang melabeli Islam sebagai agama garis keras, agama terorisme dan label-
label yang menyudutkan Islam lainya. Yang menjadi pertanyaan substansinya adalah,
kenapa konsep Maqashid Al Syariah dari Fiqih tidak berjalan?. Perlu adanya rekonstruksi
dan reaktualisasi Maqashid Al Syari’ah Fiqih Klasik yang bersifat abstak dan kaku
menjadi Fiqih yang bersifat konkrit dan luwes, karena menjadi sesuatu yang lazim
diketahui bahwa persoalan hukum yang muncul pada masa kini berbeda dengan
persoalan hukum zaman lampau. Perbedaan tersebut dapat berupa materi hukum atau
konteks hukumnya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat ditarik
beberapa rumusan sebagai berikut: (1) Pengertian Maqosid al syariah? (2) Bagaimana
studi fiqih dengan pendekatan maqosid al syariah?

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Maqosid al syariah ?


2. Pendekatan studi fikih dengan Maqosid al syariah ?
3. Aplikasi Maqosid al syariah dalam ketetapan hukum?
4. Fungsi maqoshid al- syariah dalam kehidupan ?

C. Tujuan

1. Membantu Memberi pemahaman tentang Maqoshid al syariah

2. Memberi pemahaman tentang study fiqih dengan pendekatan maqoshid al syariah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Maqosid Al Syari’ah


Ditinjau dari segi bahasa, kata maqashid merupakan jama‟ dari kata maqshid yang berarti
kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa maqashid berasal
dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh,
dan sengaja. Dalam kamus Arab-Indonesia kata maqashid diartikan dengan menyengaja
atau bermaksud kepada (qashada ilaihi). Sedangkan kata syari’ah adalah mashdar dari
kata syara’ yang berarti sesuatu yang dibuka untuk mengambil yang ada di dalamnya, dan
syar’ah adalah tempat yang didatangi oleh manusia atau hewan untuk minum air. Selain
itu juga berasal dari akar kata syara’a, yasyri’u, syar’an yang berarti memulai
pelaksanaan suatu pekerjaan. Kemudian Abdur Rahman mengartikan syari’ah sebagai
jalan yang harus diikuti atau secara harfiah berarti jalan ke sebuah mata air. Sedangkan
menurut istilah, maqashid al-syari’ah dalam kajian tentang hukum Islam, al-Syatibi
sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum Islam berarti kesatuan dalam asal-
usulnya dan terlebih lagi kesatuan dalam tujuan hukumnya. Untuk menegakkan tujuan
hukum ini, al-Syatibi mengemukakan konsepnya tentang maqashid al syari’ah, dengan
penjelasan bahwa tujuan hukum adalah satu yakni kebaikan dan kesejahteraan umat
manusia. Maqashid al Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan
hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dan
Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi
kepada kemaslahatan umat manusia.Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa, baik
secara bahasa maupun istilah, maqashid al syari’ah erat kaitannya dengan maksud dan
tujuan Allah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum yang mempunyai tujuan
untuk kemaslahatan umat manusia (Al-Syatibi: 6) 1

Dari berbagai penjelasan dan definisi yang saling berkaitan di atas, setidaknya Maqasid
Al-Syari’ah dapat difahami sebagai tujuan dari seperangkat hukum Islam pada
terbentuknya keadilan dan kemaslahatan masyarakat, bukan sederet aturan yang
mengantarkan pada kerusakan tatanan sosial. Keputusan-keputusan hukum dari seorang
pemimpin pun harus demikian, dalam salah satu kaidah usul al-fiqh diungkapkan
„Tasharruf Al-Imam Manuthun Bi Al-Maslahah‟ yaitu kebijakan seorang pemimpin
(harus) mengacu pada kemaslahatan yang dipimpin (masyarakatnya). Betapapun,
mewujudkan keadilan dan kemaslahatan dari suatu produk hukum di tengah-tengah
masyarakat adalah upaya yang
tidak mudah dan harus melibatkan komponen-komponen yang saling berkaitan.2

1
Zidni Ilman Nafian and Studi Fiqih, ‘Studi Fiqih Dengan Pendekatan Maqoshid Al Syariah’, 1.2 (2022), 122–28.

2
Jurnal Al-himayah, ‘Jurnal Al-Himayah’, 1.2 (2018), 97–118.

5
1.2 Pendekatan Studi Fiqih Dengan Maqoshid Al Syariah

Al Syatibi membagi maqashid menjadi tiga kategori. Pembagian ini berdasarkan peran
dan fungsi suatu masalah terhadap keberlangsungan kehidupan makhluk. Tiga kategori
tersebut antara lain:

1. Dharuriyyat

Dari segi bahasa dapat diartikan sebagai kebutuhan mendesak atau darurat. Sehingga
dalam kebutuhan dharuriyyat, apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan
mengancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Maqashid
Dharuriyyat meliputi Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama), Hifdz An-Nafs(Memelihara
Jiwa), Hifdz Al‟Aql (Memelihara Akal), Hifdz An Nasb (Memelihara Keturunan), Hifdz
Al Maal (Memelihara Harta).3 Yakni dengan memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima
waktu,sebagai tanda aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Jika tidak maka terancamlah
eksistensi agama. Itu sebabnya maka kemusyrikan merupakan dosa terbesar di antara
segala dosa yang tidak terampuni.

2. Hajiyyat

Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak


terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan.
4
Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhshah
(keringanan), yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, Dengan
menggabungkan kedua kata di atas, maqashid dan syari’ah, serta mengetahui arti secara
bahasa, maka secara sederhana maqashid alsyari’ah dapat didefinisikan sebagai maksud
atau tujuan Allah dalam mensyariatkan suatu hukum. sehingga hukum dapat
dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang. Menurut Khallaf (1997), dalam lapangan
ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana
kenyatannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah perintah taklif. Misalnya,
Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu
dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang
sedang sakit. Kebolehan meng-qashar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hajiyyat ini .

3
ika yunia Fauzia, ‘URGENSI IMPLEMENTASI GREEN ECONOMY PERSPEKTIF PENDEKATAN DHARURIYAH DALAM
MAQASHID AL-SHARIAH Ika Yunia Fauzia ARTICLE HISTORY’, Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 2.1 (2016), 87–104.

4
A.Intan cahyani, ‘Hajiyyat 2’ (makassar, 2014), pp. 20–30.

6
3. Tahsiniyyat

Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan
pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak
menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti
dikemukakan oleh Al-Syatibi (1997), hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat
istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan
keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak. Dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat, dan uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat, menurut Khalaf
(1997), umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau dari hadats, 5 baik
pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika
hendak ke Masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah. Adapun mengenai
metode dalam memahami maqoshid itu Al-Syatibi menjelaskan ada tiga metode yang
digunakan oleh para ulama untuk memahami maqashid al-syari’ah,antara lain:

a) Mempertimbangkan makna dhahir lafadz

Makna dhahir adalah makna yang dipahami dari apa yang tersurat dalam lafadz-lafadz
nash keagamaan yang menjadi landasan utama dalam mengetahui maqashid al-syari’ah.
Kecenderungan untuk menggunakan metode ini bermula dari suatu asumsi bahwa
maqasid al-syari’ah adalah suatu yang abstrak dan tidak dapat diketahui kecuali melalui
petunjuk. Tuhan dalam bentuk dhahir lafadz yang jelas. Petunjuk Tuhan itu tidak
memerlukan penelitian yang pada gilirannya bertentangan dengan kehendak bahasa. (Al-
Syatibi, 1997: 297). Metode ini dipelopori oleh Dawud al-Dhahiri, seorang pendiri dari
aliran al-Dhahiriyah. Dengan kata lain, pengertian hakiki suatu nash tidak boleh
dipalingkan (ditakwilkan) kepada makna majazi, kecuali bila ada petunjuk jelas dari
pembuat syari‟at, bahwa yang dimaksudkan adalah makna tersirat.

b) Mempertimbangkan makna batin dan penalaran

Makna batin adalah makna yang tersirat dari suatu teks ajaran Islam. Makna batin
menjadi dasar pertimbangan dalam mengetahui maqashid al-syari‟ah adalah berpijak dari
suatu asumsi, bahwa maqashid al-syari’ah bukan dalam bentuk dhahir dan bukan pula
yang dipahami dari pengertian yang ditunjukkan oleh dhahir lafadz nash-nash syari‟at

5
Nilda Susilawati, ‘STRATIFIKASI AL-MAQASID AL-KHAMSAH DAN PENERAPANNYA DALAM AL-DHARURIYAT, AL-
HAJJIYAT, AL-TAHSINIYYAT Nilda Susilawati’, Mizani, 2.1 (2015).

7
Islam. Al-Syatibi (1997) menyebut kelompok yang berpegang dengan metode ini sebagai
kelompok al-Bathiniyah, yaitu kelompok ulama yang bermaksud menghancurkan Islam.

c) Menggabungkan makna dhahir, makna batin dan penalaran

Pendekatan yang sering juga disebut dengan pendekatan agregasi atau kombinasi ini
bertujuan untuk memahami maqashid al-syari’ah dengan cara meleburkan kedua
pendekatan tersebut menjadi satu, tanpa mengubah makna dhahir dan tetap menjaga
kandungan maknanya. Al-Syatibi merupakan salah satu ulama yang mengusulkan
pendekatan ini, dengan alasan bahwa makna, makna batin, dan makna inferensial dhahir
saling berkaitan secara simbiosis dalam upaya memahami maqashid al-syari'ah. Dalam
konteks ini terdapat beberapa aspek yang relevan seperti menganalisis perintah dan
larangan Tuhan, memahami kebijakan hukum Islam, dan menganalisis tujuan awal dan
turunan dari semua undang-undang yang telah diundangkan.

1.3 Aplikasi Maqashid al-Syari’ah dalam Ketetapan Hukum

Terkait dengan penerapan maqashid al-syari’ah dalam menetapkan hukum pada tiap-
tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia, hal tersebut dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu:

1. Tingkatannya beda (unsur pokok yang sama)

Apabila suatu kepentingan bertentangan dengan kepentingan-kepentingan lain yang


tingkat urgensinya berbeda-beda, maka yang diprioritaskan adalah kepentingan urutan
pertama, yaitu kepentingan daruriyyat, diikuti oleh kepentingan urutan kedua, hajiyyat,
dan kepentingan urutan ketiga, tahsiniyyat. Oleh karena itu, penting untuk memahami
prioritas kepentingan tersebut, terutama dalam pembuatan produk hukum.6.

2. Tingkatannya sama (unsur pokok yang beda)

Adapun penyelesaian kasus untuk yang peringkatnya sama, seperti tingkat daruriyyat
dengan daruriyyat, hajiyat dengan hajiyyat, dan tahsiniyyat dengan tahsiniyyat dengan
unsur pokok yang berbeda. Maka kemungkinan diselesaikan dengan cara:

6
A.Intan cahyani.” TEORI DAN APLIKASI PENDEKATAN MAQOSHID AL-SYARIAH” Hajiyyat 2’ (makassar, 2014), pp.
20–30

8
Menyelesaikan masalah sesuai dengan skala prioritas berdasar atas urutan yang sudah
baku, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Contohnya seseorang dibenarkan
meminum minuman keras, yang pada dasarnya merusak akal, apabila ia terancam
jiwanya karena tidak meminum minuman itu. Dalam hal ini, harus didahulukan
memelihara jiwa dari pada memelihara akal.

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain,


seperti penilaian terhadap cakupan kepentingan itu sendiri atau adanya faktor-faktor lain
yang memperkuat prioritas kepentingan tersebut. Misalnya dalam pembangunan fasilitas
umum, terkadang terjadi konflik dengan hak milik pribadi dan harus ada pengorbanan.
Dalam hal ini, lebih penting mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi. Contoh lainnya adalah larangan monopoli barang di pasar (ihtikar) yang
dilakukan untuk mengedepankan kepentingan umum yaitu konsumen, bukan kepentingan
swasta yaitu pedagang.

Dengan memahami kadar-kadar maqashid al-syari'ah dan contoh-contoh di atas,


rasanya perlu ditegaskan bahwa kepentingan jiwa (hifzh al-nafs) mempunyai peranan
penting. Perlindungan jiwa pada tataran ini merupakan unsur kedua setelah perlindungan
agama. Namun dalam praktiknya, tatanan ini tidak selalu mengikuti apa yang dianggap
sebagai tatanan baku ketika diterjemahkan ke dalam ketentuan hukum. Sebagaimana
dijelaskan Mastuhu dalam karya Fathurrahman Djamil, nampaknya urutan penerapan dari
teori maqashid al-syari'ah masih bisa diubah, karena jika unsur pokok tersebut ditelaah
lebih dalam maka perlindungan jiwa menjadi sangat penting. banyak dalam konteksnya.
Elemen inti dari manfaat duniawi.

Keadaan itupun dapat ditemukan pada contoh-contoh yang diangkat oleh Hamka
Haq dalam bukunya Falsafat Ushul Fikih,7 ia mencontohkan bagaimana menjaga jiwa
ketika berhadapan dengan menjaga agama. Jika seseorang diperhadapkan pada persoalan
memilih antara dua hal yaitu mati syahid dalam membela agama ataukah melarikan diri
guna menyelamatkan jiwanya, maka dia dianjurkan untuk mati syahid. Paling tidak, dia
dibolehkan untuk berpura-pura meninggalkan agama, guna keselamatan jiwanya. Pada
contoh yang lain, Hamka Haq menggambarkan yaitu dibolehkannya seseorang untuk
menyerahkan dirinya untuk dizinahi kalau itu untuk menyelamatkan jiwanya. Jadi
keharaman berzina (tingkat daruriyyat dari memelihara agama) itu bisa digugurkan
ketika berhadapan dengan keadaan yang mengancam jiwa seseorang.

Setelah menganalisa berbagai pandangan di atas, dapatlah penulis mengatakan


bahwa sebenarnya ketetapan hukum berdasar dari urutan-urutan dari peringkat maqashid

7
Retna Gumanti, ‘Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem Dalam Hukum Islam)’, Al-Himayah,
2.1 (2018), 109–10 <http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah>.

9
al-syari’ah tersebut bersifat kondisional. Karena itu, dalam kasus-kasus tertentu
memelihara jiwa dapat didahulukan dari pada memelihara keyakinan/agama. Hal tersebut
dapat ditemukan kemungkinannya dalam QS. al-Nahl: 106:

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

Dalam ayat di atas, jelas sekali bagaimana Allah sendiri membenarkan untuk
memelihara jiwa lebih utama dibanding dengan memelihara keyakinan. Jadi, yang ingin
penulis katakan bahwa jika keadaan tersebut sudah masuk kategori darurat, maka
memelihara jiwa bisa lebih diutamakan dibandingkan dengan memelihara kemashlahatan
yang lain.

Darurat mengacu pada situasi di mana permintaan mencapai puncaknya dan


kondisinya sangat sulit, sehingga menyebabkan ancaman serius terhadap kehidupan
pribadi dan harta benda. Oleh karena itu, konsep darurat hanya sebatas pada tingkat
daruriyyat saja. Pada saat yang sama, cakupan manfaatnya lebih luas dibandingkan
darurat, mencakup tingkat daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Contoh sejarah yang
menggambarkan penggunaan ijtihad dalam situasi terdesak adalah perilaku Khalifah
Omar bin Khattab ketika seorang penduduk desa mencuri makanan saat terjadi bencana
kelaparan. Khalifah Omar dalam Gerakan Revolusi Islam memutuskan untuk tidak
menghukum pencuri dengan amputasi dengan alasan nyawa orang tersebut akan berada
dalam bahaya serius jika makanan tidak segera tersedia.8

Dari contoh ijtihad yang diberikan oleh Khalifah Umar, terlihat jelas bagaimana
hukum dasar dapat berubah karena perubahan dalam keadaan tertentu, dengan keadaan
yang dimaksud di sini adalah keterpaksaan. Tindakan mencuri, yang pada dasarnya
termasuk dalam tingkat daruriyyat dalam menjaga agama, harus dilakukan karena
keadaan yang memaksa kita untuk mencari makanan, karena ketidakmakanan dapat
mengancam eksistensi jiwa (pada tingkat daruriyyat). Namun, penting untuk memahami

8
Siti Mutholingah and others, ‘Siti Mutholingah | 90’, 2, 2018, 90–112.

10
bahwa batasan yang perlu diingat dalam konteks keadaan darurat, seperti yang dijelaskan
dalam Surah Al-Baqarah (2): 173.

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari ayat tersebut, Allah swt. menyatakan dengan jelas bagaimana keadaan
darurat memungkinkan untuk merubah hokum asal. Hanya saja sejauhmana kadar
perbuatan haram yang boleh dilakukan oleh orang yang dalam keadaan terpaksa
tersebut?. Pada tataran ini, ulama kemudian terjadi perbedaan pendapat:

Pendapat pertama mengindikasikan bahwa tindakan tersebut dianggap sah hanya dalam
situasi ketika seseorang khawatir akan mengalami kemudharatan, seperti yang
disampaikan oleh Hasan Basri, yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaily. Dalam kondisi
seperti itu, seseorang diperbolehkan untuk makan sejauh yang cukup untuk
memungkinkannya berdiri tegak.

Pendapat kedua menyatakan bahwa seseorang yang terpaksa diperbolehkan untuk


mengonsumsi makanan yang haram hingga merasa kenyang, dan dalam situasi
perjalanan, ia bahkan dapat menggunakan bahan makanan yang kurang halal, seperti
bangkai, dan sejenisnya, jika ia mengkhawatirkan kemungkinan terjebak dalam keadaan
darurat. Meskipun ada perbedaan pendapat, yang jelas adalah bahwa keterpaksaan adalah
kondisi di mana umat Islam diberi kelonggaran untuk tidak mengikuti perintah awal dari
Al-Qur'an, terutama jika itu terjadi dalam keadaan darurat yang dapat membahayakan
jiwa seseorang.9

Dari berbagai contoh yang telah digambarkan di atas terkait kemungkinan


mendahulukan memelihara jiwa terhadap agama, ada hal yang sangat krusial untuk di
paparkan dalam makalah ini, yaitu niat. Niat merupakan tolok ukur akan motivasi

9
ZAA Harahap, ‘Konsep Maqasid Al-Syariah Sebagai Dasar Penetapan Dan Penerapannya Dalam Hukum Islam
Menurut ’Izzuddin Bin ’Abd Al-Salam’, Tazkir, 9 (2014), 171–90
<http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/TZ/article/view/108>.

11
seseorang ketika ingin melakukkan suatu perbuatan. Sebagaimana dalam sebuah hadis
Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan sebagai berikut:

‫انما االعمال باالنية‬

Artinya: Sesungguhnya segala sesuatu perbuatan itu tergantung pada niatnya.

Dari hadis tersebut, Rasulullah saw. menunjukkan bahwa penilaian atas tindakan
manusia bergantung pada niat yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, dalam kasus
darurat yang telah dijelaskan di atas, jika seseorang melakukan tindakan yang
bertentangan dengan ajaran agama, namun bertentangan dengan nilai-nilai yang ada
dalam hati nuraninya, Allah swt. tidak langsung menghakiminya, karena Allah swt.
mengetahui apa yang ada dalam hati manusia. Prinsip ini mencerminkan apa yang
terdapat dalam Surah An-Nahl: 106, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

1.4 Fungsi Maqashid Syariah Dalam Kehidupan


Aturan dalam syariat Islam tidak ada untuk syariat itu sendiri, tetapi untuk mencapai
kemaslahatan. Tujuan sejati Islam adalah kemaslahatan, dan setiap aturan dalam syariat
mengandung prinsip kemaslahatan. Syariat bertujuan membawa manusia ke dalam
keadaan baik dan menjauhkannya dari keadaan buruk di dunia dan akhirat. Kata kunci
dalam pemahaman ini adalah "maslahat" atau kebaikan, yang diukur dengan pedoman
syariat. Prinsip dasar syariat Islam adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di
dunia dan akhirat, yang mencakup keadilan, kasih sayang, kesejahteraan, dan
kebijaksanaan. Ketika aturan-aturan syariat melanggar prinsip ini, itu berarti bertentangan
dengan syariat Islam, yang pada dasarnya adalah ekspresi dari keadilan, rahmat,
perlindungan, dan hikmah Allah terhadap manusia dan ciptaanNy. 10 Syariat Islam juga
berperan sebagai cahaya bagi individu yang memiliki wawasan batin, sebagai panduan
bagi mereka yang mendapat petunjuk, sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit hati,
dan sebagai penunjuk jalan yang benar bagi mereka yang tetap di jalur yang benar. Oleh
karena itu, syariat Islam merupakan sumber kebahagiaan, ketenangan jiwa, dan
kedamaian hati.

Kriteria maslahat terdiri dari dua aspek: pertama, maslahat harus bersifat mutlak, tidak
tunduk pada hawa nafsu atau bersifat relatif. Kedua, maslahat tersebut harus bersifat
universal (kulliyah), dan universalitas ini tidak bertentangan dengan aspek-aspek yang

10
SULAEMAN SULAEMAN, ‘Signifikansi Maqashid Asy-Syari’Ah Dalam Hukum Ekonomi Islam’, DIKTUM: Jurnal
Syariah Dan Hukum, 16.1 (2018), 98–117 <https://doi.org/10.35905/diktum.v16i1.524>.

12
bersifat parsial (juziyyat). Asy-Syathibi mengemukakan bahwa untuk mencapai
kemaslahatan dan mencegah kemudaratan, manusia harus mematuhi syariat, yang dalam
istilahnya disebut sebagai "Qashduhu fi Dukhul al-Mukallaf tahta Hukmiha" (maksud
Allah dalam mengapa individu harus mematuhi syariat). Dengan mematuhi syariat,
individu akan terbebas dari ikatan nafsu dan menjadi hamba yang bertindak dengan
pilihan bebas, bukan keterpaksaan.

Kemudian, maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkat hierarki: daruriyyat (primer),
hajiyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier). Daruriyyat adalah yang paling penting
karena berkaitan dengan kemaslahatan di dunia dan akhirat, seperti makanan, minuman,
shalat, dan ibadah lainnya. Hajiyat sebaiknya ada untuk kenyamanan dan kebebasan
dalam melaksanakannya, seperti dalam transaksi bisnis seperti qiradh, musaqah, dan
salam dalam muamalat. Tahsiniyyat adalah hal-hal yang meningkatkan aktivitas tetapi
tidak berkaitan dengan kategori di atas, seperti menjual barang najis dan efisiensi dalam
penggunaan air dan rumput.

Pemahaman nilai dan ide yang terkandung dalam teks otoritatif, seperti Al-Qur'an dan
As-Sunnah, adalah kunci penting dalam memahami maqashid al-syari'ah.
Menginternalisasikan maqashid al-syari'ah dalam prakteknya adalah esensial untuk
mencapai kemaslahatan dan dampak positif.11

11
SULAEMAN.

13
BAB III

PENUTUP

2.1 Kesimpulan
Maqashid al-syari'ah adalah konsep yang mencerminkan pemeliharaan pilar-pilar
kesejahteraan umat manusia, seperti yang diuraikan oleh asy-Syathibi. Ini mencakup lima
kemaslahatan yang meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan
harta benda. Tujuan utama dalam hukum ekonomi Islam adalah menciptakan kesejahteraan
bagi kehidupan manusia, sejalan dengan tujuan dasar dari syariah Islam (maqashid al-
syari'ah).

Dalam konteks ini, maqashid al-syari'ah menjadi dasar untuk pengembangan hukum ekonomi
Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pendekatan ekonomi Islam
menekankan pada aspek kesejahteraan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, dan bukan
hanya terbatas pada pertukaran ekonomi atau kepentingan sosial yang bersifat sesaat.
Kesimpulannya, hukum ekonomi Islam berupaya mencapai kemaslahatan dan kepuasan
hidup yang berkelanjutan, sejalan dengan prinsip-prinsip maqashid al-syari'ah yang
melibatkan perlindungan pilar-pilar kesejahteraan manusia

2.2 Saran

Maqashid al-syari'ah adalah konsep yang merujuk pada maksud atau tujuan Allah
dalam menetapkan hukum. Secara etimologis, "maqashid" berasal dari kata yang berarti
menyengaja atau bermaksud, sementara "syari'ah" mengacu pada jalan atau aturan yang
harus diikuti. Maqashid al-syari'ah dapat diartikan sebagai tujuan Allah dalam
menegakkan hukum. Maqashid ini dibagi menjadi tiga kategori utama: daruriyyat (yang
mendesak), hajiyyat (yang diinginkan), dan tahsiniyyat (yang menyempurnakan).
Daruriyyat mencakup pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.Untuk
memahami maqashid al-syari'ah, terdapat tiga metode, yaitu mempertimbangkan makna
dhahir lafadz, mempertimbangkan makna batin dan penalaran, dan menggabungkan
makna dhahir, makna batin, dan penalaran. Saran yang dapat diambil adalah untuk
memahami dan menerapkan konsep maqashid al-syari'ah dalam konteks pemahaman dan
pelaksanaan hukum Islam. Hal ini dapat membantu dalam mencapai keseimbangan dan
pemeliharaan kesejahteraan manusia sesuai dengan tujuan Allah dalam mensyariatkan
hukum-hukumnya

14
DAFTAR PUSTAKA

A.Intan cahyani, ‘Hajiyyat 2’ (makassar, 2014), pp. 20–30

Al-himayah, Jurnal, ‘Jurnal Al-Himayah’, 1.2 (2018), 97–118

Fauzia, ika yunia, ‘URGENSI IMPLEMENTASI GREEN ECONOMY PERSPEKTIF


PENDEKATAN DHARURIYAH DALAM MAQASHID AL-SHARIAH Ika Yunia Fauzia
ARTICLE HISTORY’, Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 2.1 (2016), 87–104

Gumanti, Retna, ‘Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem Dalam Hukum
Islam)’, Al-Himayah, 2.1 (2018), 109–10 <http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah>

Harahap, ZAA, ‘Konsep Maqasid Al-Syariah Sebagai Dasar Penetapan Dan Penerapannya
Dalam Hukum Islam Menurut ’Izzuddin Bin ’Abd Al-Salam’, Tazkir, 9 (2014), 171–90
<http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/TZ/article/view/108>

Mutholingah, Siti, Aly Al, Hikam Malang, Rodhi Zamzami, Aly Al, and Hikam Malang, ‘Siti
Mutholingah | 90’, 2, 2018, 90–112

Nafian, Zidni Ilman, and Studi Fiqih, ‘Studi Fiqih Dengan Pendekatan Maqoshid Al Syariah’,
1.2 (2022), 122–28

SULAEMAN, SULAEMAN, ‘Signifikansi Maqashid Asy-Syari’Ah Dalam Hukum Ekonomi


Islam’, DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum, 16.1 (2018), 98–117
<https://doi.org/10.35905/diktum.v16i1.524>

Susilawati, Nilda, ‘STRATIFIKASI AL-MAQASID AL-KHAMSAH DAN PENERAPANNYA


DALAM AL-DHARURIYAT, AL-HAJJIYAT, AL-TAHSINIYYAT Nilda Susilawati’,
Mizani, 2.1 (2015)

15

Anda mungkin juga menyukai