Anda di halaman 1dari 27

URGENSI KAIDAH-KAIDAH FIQHI

DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH


Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok dan Presentasi Mata Kuliah Kaidah Fiqhi
Ekonomi

OLEH :

KELOMPOK 1

Resti (NIM. 90100118002)


Ainun Musfira (NIM. 90100118005)
Rismawati (NIM. 90100118032)
Azizah Nur Adilah (NIM. 90100118048)

DOSEN PENGAMPUH :

A. Zulfikar Darussalam, S. Thl, MS

JURUSAN EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiat Allah swt. Atas berkat rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat
waktu. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad saw. Semoga kita mendapatkan syafaatnya diakhirat kelak.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Kaidah Fikih. Selain itu, makalah ini dibuat untuk menambah wawasan
keilmuan kita dalam hal perkuliahan. Semoga makalah ini bisa membawa dampak
positif dan ada hikmah yang dapat kita petik di dalamnya.

Penyusun berterima kasih kepada Bapak A. Zulfikar Darussalam, S. Thl,


MS selaku Dosen Mata Kuliah Kaidah Fiqhi Ekonomi yang telah memberikan
arahan serta bimbingan, dan juga kepada semua pihak yang telah membantu baik
langsung maupun tidak langsung dalam penulisan makalah ini. Seperti pepatah
mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”. Penyusun menyadari makalah ini
masih jauh dari sempurna. Hal ini semata-mata karena keterbatasan kemampuan
penyusun sendiri. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan saran dan
kritik yang positif dan membangun dari semua pihak agar makalah ini menjadi
lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.

Bulukumba, 22 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 1-2

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................

A. Definisi Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah ............................................... 3


B. Perbedaan Qawaid Fikhiyah, Dhawabith Fikhiyah dan Nazha
riyah Fikhiyah ..................................................................................... 5
C. Perbedaan antara Kaidah Fikih dan Kaidah Ushul Fikih ...................... 11
D. Sejarah Kaidah Fikih dan Keuangan .................................................... 13

BAB III PENUTUP .......................................................................................

A. Kesimpulan ......................................................................................... 19
B. Saran ................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

ii
i
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti
sama sekali apa itu Qawaid fiqhiyah, dhawabith fikhiyah dan Nazhariyah
fikhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan
tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan
beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui dan
menguasai kaidah-kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-
masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.1

B. Rumusan masalah
1. Definisi kaidah fiqh ekonomi syariah.
2. Perbedaan dan persamaan dari qawaid fikhiyah, dhawabith fikhiyah dan
nazhariyah fikhiyah.
3. Perbedaan antara kaidah fikih dan kaidah ushul fikih.
4. Sejarah kaidah fikih dan keuangan.

C. Tujuan Penulisan

Nur Kholis, “Potret Perkembangan dan Praktik Keuangan Islam di Dunia” Jurnal Studi
1

Agama Vol. XVII, No.1 ,2017, hlm 20

1
2

1. Mengerti dan memahami definisi dan pengertian kaidah-kaidah fiqh


dalam ekonomi syariah.
2. Mengetahui dan mampu menjelaskan tentang perbedaan dan persamaan
dari qawaid fikhiyah, dhawabith fikhiyah dan nazhariyah fikhiyah.
3. Mengetahui dan memahami perbedaan antara kaidah fikih dan kaidah
ushul fikih.
4. Mampu memahami dan menjelaskan sejarah kaidah fikih dan keuangan.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah

Istilah kaidah fikih terdiri dari dua suku kata, yaitu : kaidah dan fiqih. Secara
bahasa, kaidah berasal dari bahasa arab qo’idah yang berarti pondasi atau dasar.
Kata fiqih sendiri secara bahasa berarti “faham”. Sementara secara istilah fiqh
memiliki arti hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci.

Kaidah fiqih menurut As-subki adalah suatu rumusan kaidah hukum yang
bersifat global dan dapat mencakup berbagai masalah furu’iyah untuk mengetahui
ketentuan hukum pada masalah yang serupa. 2

Tajuddin Din al Subki memberikan pengertian kaidah fiqhiyyah dengan


sesuatu perkara hukum yang bersifat kully (umum atau menyeluruh) yang dapat
diterapkan pada seluruh juz’i (bagianbagiannya) untuk mengetahui dan
memahami hukum-hukum bagian tersebut. Sementara Ali Ahmad al Nadwi
mendefinisikan kaidah fiqhiyyah dengan dasar hukum syara‟ yang bersifat umum,
dari aturan tersebut diketahui hukum-hukum sesuatu yang berada di bawah
cakupannya. Hasbi Ash-Shiddiqi menyimpulkan kaidah fiqhiyyah sebagai kaidah-
kaidah hukum yang bersifat umum yang diambil dari dalil-dalil umum yang
bersumber dari al Quran dan al Hadits, yang menjadi pokok kaidah-kaidah
kulliyah yang dapat disesuaikan dengan banyak juz‟iyyah, sebagaimana yang
dimaksudkan syara‟ dalam meletakkan mukallaf dibawah beban taklif, dan untuk
memahami rahasia tasyri‟ dan hikmah yang terkandung didalamnya.

Dari elaborasi definisi para ulama tersebut, dapat diskemakan bahwa kaidah
fikih berawal dari identifikasi beberapa fakta hukum yang mirip dan memiliki

2
Moh.Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Pendekatan Tematis
dan Praktis .(Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hlm. 9.

3
4

kesamaan motif secara induktif, lalu membuat kaidah-kaidah fiqih yang bersifat
umum yang bisa diterapkan pada masalah-masalah juz‟iyyah sejenis yang masuk
dalam ruang lingkupnya. Ini mengartikan bahwa kaidah fiqhiyyah hakekatnya
juga bersumber atau menyerap dari al Quran dan Sunnah. namun tidak secara
langsung. Karena kaidah fikih diambil dari fikih, dan fikih dihasilkan dari ushul
fikih melalui proses ijtihad yang mana bersumber dari al Quran dan Sunnah. 3

Secara sederhana, sejatinya kaidah fikih atau qawaid al-fiqhiya (fiqh legal
maxim) adalah kaidah-kaidah fikih yang berfungsi untuk memudahkan seorang
mujtahid atau faqih (ahli fikih) dalam beristimbat hukum terhadap suatu masalah
hukum dengan cara menggabungkan masalah-masalah yang serupa dibawah salah
satu kaidah yang bisa dikaitkan.

Secara etimologis, kata kaidah dalam bahasa arab qa’idah memiliki beberapa
arti, yaitu asas, pokok, tetap, dan lainnya. Menurut al-tahanawi, dalam istilah para
ulama kaidah identic dengan asl qanun, dabit, dan maqsad. kaidah menurutnya
suatu patokan bersifat umum yang sesuai dengan cabang-cabangnya yang banyak
untuk mengetahui hukum-hukum bagian yang lainnya. sementara fikih menurut
bahasa adalah pemahaman yang mendalam. Dalam bahasa agama, fikih dipahami
sebagai disiplin ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat yang bersifat
praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Fikih dalam konteks ini,
berarti suatu produk hukum yang dihasilkan dari jalan istinbat atau ijtihad oleh
para fukaha yang berkompeten dibidang hukum islam.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah fikih merupakan suatu


patokan (kaidah) yang bersifat umum yang sesuai dengan cabang-cabangnya yang
bersifat particular untuk mengetahui hukum cabang yang lainnya dalam masalah
fikih berdasarkan dalil yang melingkupinya. Dengan kata lain, kaidah yang di

3
Husnul Haq, “Penggunaan Istishab dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama”,
Jurnal Hukum Islam, Vol. 2 No. 1, 2017, hlm. 20.
5

ekstrak dari berbagai persoalan fikih yang bersifat furu’iyah karna adanya
kesamaan dalam aspek hukumnya.

Abdullah bin sa’id Muhammad ‘Abbadi al-lahji al-Hadhrami mendefinisikan


al-qawa’id al-fiqhiyyah sebagai ketentuan yang dapat digunakan untuk
mengetahui hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada aturan pastinya di dalam
Al-Qur’an, Sunnah, maupun ijmak. Definisi ini secara tegas meletakkan kaidah
fikih dalam fungsinya sebagai “pembuat fikih baru”, yaitu status hukum tentang
kasus-kasus baru yang belum disikapi dengan pasti oleh ketiga dalil (sumber)
hukum tersebut. Ini mengindikasikan bahwa al-Hadhrami memperlakukan kaidah-
kaidah dalam al-qawa’id al-fiqhiyyah sebagai semacam dalil Al-Qur’an dan Hadis
bagi kasus-kasus hukum baru yang memang telah, sedang dan akan terus muncul.

Dengan demikian, kaidah fikih ekonomi syariah merupakan kumpulan kaidah-


kaidah yang bersifat kulliah terkandung didalamnya cabang-cabang hukum fikih
dibidang muamalah atau ekonomi bisnis. Dengan kata lain, kaidah fikih yang
didesain untuk merangkum masalah-masalah ekonomi kedalam suatu kaidan yang
mudah dihafalkan dan mudah dipahami. 4

B. Qawaid fikhiyah, Dhawabith Fikhiyah dan Nazhariyah Fikhiyah


1. Pengertian
a) Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni
kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara
etimologi, kata qaidah (‫)قاعدة‬, jamaknya qawaid (‫ ) قواعد‬berarti; asas, landasan,
dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi.
seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan
non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa

4
Moh.Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Pendekatan Tematis
dan Praktis .(Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hlm. 1-3.
6

Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi Hukum; aturan yang
sudah pasti, patokan; dalil.

Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh (‫ )الفقه‬ditambah dengan ya nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti
pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan
perkataannya. Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid
fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-
dasar bagi fiqh. Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-
Taftazany, Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada
seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut
darinya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara garis besar para ulama terbagi
menjadi dua kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini
berdasarkan atas realita bahwa ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid
fiqhiyyah sebagai suatu yang bersifat universal, dan sebagian yang lain
mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah) saja.
Perbedaan ini berangkat dari perbedaan persepsi yang berpendapat bahwa qawaid
fiqhiyyah bersifat universal berpijak kepada realita bahwa pengecualian yang
terdapat dalam qawaid fiqhiyyah relatif sedikit, disamping itu mereka berpegang
kepada qaidah-qaidah bahwa pengecualian tidak mempunyai hukum, sehingga
tidak mengurangi sifat universal qawaid fiqhiyyah.5

b) Dhawabith

Kata dhawabith adalah jamak dari kata dhabith. AlDhawabith diambil dari
kata dasar al-Dhabith artinya menurut etimilogi yaitu: ِ Memelihara, mengikat,
kekuatan, dan penguatan. Secara terminologi dhawabith fiqhiyyah yaitu;
Qadhiyyah kullyyah (proposisi universal) atau ashl kullyyah (dasar universal) atau

5
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), hlm. 1.
7

mabda kully (prinsip universal) yang menghimpun furu’ dari satu bab (satu tema).
Dengan demikian, dhawabith fiqhiyyah adalah setiap juz’iyyah fiqhiyyah yang
terdapat dalam satu bab fiqh. Atau prinsip fiqh yang universal, yang bagian-
bagiannya terdapat dalam satu bab fiqh.

c) Nazhariyah fikhiyyah

Nazhariyah fikhiyah yaitu berasal dari Nazhir yang berarti mengangan-angan


sesuatu dengan mata (ta’mulus syai’ bi al ain), sedangkan nazhari adalah hasil
dari apa yang diangan-angankan tersebut. Seperti halnya mengangan-
angankannya akal yang mengatakan bahwa alam adalah sesuatu yang baru. Akan
tetapi sebagian ulama fuqaha kontemporer mengatakan: bahwa nazhariyah
sinonim dengan qawaid fiqhiyah. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
Syekh Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang dijelaskan dalam usul fiqh, atau
nadariyah fiqhiyah juga bisa di definisikan dengan “ Maudhu-maudhu fiqh atau
maudhu yang memuat masalah-masalah fiqhiyah atau qadhiyah. Hakikatnya
adalah rukun syarat, dan hukum yang menghubungkan fiqh, yang menghimpun
satu maudhu’ yang bisa digunakan sebagai hukum untuk semua unsure yang ada.
Seperti: Ndhariyah milkiyah,nadhariyah aqad, nadhariyah itsbat dan yang lainnya.
Sebagai bentuk aplikasi dari contoh nadhariyah itsbat (penetapan) dalam fiqh al-
jina’I al-islami (pidana islam) ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu: hakikat itsbat
(penetapan), syahadah (saksi), syarat-syarat saksi mekanisme saksi, pembelaan,
tanggung jawab saksi,ikrar, qarinah,khibrah (keahlian), ma’lumat qadi (informasi,
data, fakta qadhi), kitabah dan lain-lain. 6

Ketiga istilah diatas, dalam pemikiran hukum islam memiliki persamaan dan
perbedaan. Adapun persamaan dan perbedaan qawaid fikhiyah dan dhawabith
fikhiyah serta nazhariyah fikhiyah, yaitu:

6
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), hlm. 33.
8

Pertama, antara qawaid fikhiyah dan dhawabith fikhiyah keduanya memiliki


kajian yang sama berupa kaidah yang terkait dengan fikih. Yang membedakan
adalah cakupan keduanya dimana kaidah fikih lebih luas daripada dhabith fikih
yang hanya terbatas pada satu bab fikih tertentu.7

Kedua, perbedaan dan persamaan antaraqawaid fikhiyah dan nazhariyah


fikhiyah, keduanya memiliki kajian yang sama tentang berbagai permasalahan
fikih dalam berbagai bidang atau bab. Perbedaannya ialah kalaun kaidah fikih
mengandung hukum fikih dan bersifat aplikatif sehingga dapat diterapkan pada
cabangnya masing-masing, sedangkan nazhariyah fikhiyah berupa teori umum
tentang hukum islam yang dapat diaplikasikan pada sistem, tema, dan
perkembangan perundang-undangan, misalny teori harta (nazhariyah al-amwal),
teori kepemilikan (nazhariyah al-milkiyah),teori akad (nazhariyah al-uqud), dan
sebagainya.8

2. Perbedaan Qawaid Fikhiyah dengan Dhawabith fikhiyah

Qawaid fikhiyah dan dhawabith fikhiyah memiliki kesamaan dan perbedaan.


Perbedaanya terletak pada ruang lingkupnya. Qawaid fikhiyah ruang lingkupnya
tidak terbatas pada satu masalah fiqh. Sedangkan dhawabith fikhiyah terbatas
pada satu masalah fiqh. Perbedaan ini telah disyariatkan oleh al-maqqary al-
maliky (W. 758), ia menyatakan bahwa qawaid qikhiyah lebih umum dari
dhawabith fqhiyah.

Menurut Abdurrahman bin Jadilah al-Bannany (W.1198 H), kaidah tidak


khusus untuk satu bab (masalah) fiqh saja. Berbeda halnya dengan dhabith.
Tajuddin fal- Subky (W.771 H) menjelaskan perbedaan antara qawaid fikhiyah

7
Moh.Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Pendekatan Tematis
dan Praktis .(Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hlm. 3.

8
Moh.Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Pendekatan Tematis
dan Praktis .(Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hlm. 4.
9

dan dhawabith fikhiyah ia menyatakan bahwa diantara kaidah ada yang tidak
khusus untuk satu bab (masalah) seperti kaidah:
‫بالشك يزال ال اليقين‬

“keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan”. Tetapi, ada juga yang khusus untuk
satu bab (masalah) seperti kaidah;

‫اعارته جازت اجارته جازت ما‬

“sesuatu yang boleh disewakan, boleh dipinjamkan”.

Kaidah yang khusus untuk satu bab (masalah) dan tujuannya menghimpun
bentuk-bentuk yang serupa disebut dhabith. Menurut ibnu Nujaim (w.970), asal
(kaidah) menetapkan bahwa perbedaan antara kaidah dengan dhabith, yaitu kalau
kaidah menghimpun masalah-masalah cabang (furu’) dri berbagai bab (masalah)
yang berbeda-beda, sedangkan dhabith hanya menyimpun masalah-masalah
cabang (furu’) dari satu bab (masalah). 9

Istilah qawaid fiqhiyyah dan dhawabith fiqhiyyah terkadang kurang


diperhatikan oleh para penyusun kitab qawaid fiqhiyyah, sehingga keduanya
kadang-kadang bercampur baur. Abd al-Ghani al-Nabusi (w. 1143 H) berpendapat
bahwa qaidah sama dengan dhabith, karena secara realita bahwa para ulama
terkadang suka menyebut qaidah atau semakna dengannya terhadap dhabith.
Selain karena perbedaan antara keduanya sangat tipis. Orang yang pertama
mengkaji dan meneliti masalah dhawabith fiqhiyyah yaitu Abu al-Hasan Ali bin
Husein al-Sughdy (w. 461 H).dengan kitabnya berjudul al-Naftu fi al Fatawa yang
di antara isinya menerangkan tentang dhawabith. Begitu pula Ibnu Nujaim
menyusun sebuah kitab yang berjudul al-Fawai al-Zainiyyah fi alfiqh al-
Hanafiyyah berisi tentang lima ratus dhawabith, meskipun masih bercampur baur
dengan qawaid fiqhiyyah. 23 Al-Subky dalam kitabnya Asybah wa alNazhair

9
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), hlm. 19.
10

menyebut qaidah kullyyah sedangkan dhawabith disebut dengan istilah qawaid


khashah.

Ibnu Nujaim membedakan antara qawaid fiqhiyyah dengan dhawabith


fiqhiyyah.Menurutnya qawaid fiqhiyyah menghimpun beberapa furu’
(cabang/bagian) dari beberapa bab fiqh, sedangkan dhawabith fiqhiyyah hanya
mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan ashal. Menurut
alSuyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi, bahwa qawaid fiqhiyyah
mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan
dhawabith fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh saja. Pada masa
sekarang istilah qaidah dan dhabith telah menjadi populer di kalangan para ulama,
sehingga mereka membedakan ruang lingkup keduanya. Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan, bahwa qawaid fiqhiyyah lebih luas dari dhawabith fiqhiyyah, karena
qawaid fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua
masalah yang terdapat pada semua bab fiqh. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah
ruang lingkupnya terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh. Sebab itulah qawaid
fiqhiyyah disebut qaidah ammah, atau kullyyah dan dhawabith fiqhiyyah di sebut
qaidah khashah. Misalnya qaidah; ‫( المشقة تجلب التيسير‬kesulitan itu menimbulkan
adanya kemudahan). qaidah ini dinamakan qaidah fiqhiyyah, karena qaidah ini
masuk dalam semua bab fiqh, baik dalam masalah ibadah, ‫ جازت ه إجارت ت جاز ما‬:
qaidah Sedangkan. lainnya dan malah ‫ )إعارته‬Apa yang boleh menyewakannya,
maka boleh pula meminjamkannya). Qaidah tersebut dinamakan dhawabith
fiqhiyyah, karena hanya terbatas pada rukun transaksi (muamalah) dan dalam bab
‘ariyah (pinjaman),atau pinjam meminjam.

Perbedan Qawaid fikhiyah dan Nazhariyah fikhiyah

1) Cakupan kaidah fiqh sangat luas, sedangkan nazhariyah fikhiyah hanya


mencakup bab fiqh tertentu, dari segi, nazhariyah sama dengan dhawabith
fikhiyah.
2) Secara redaksional, kaidah fiqh sangat singkat dan maknanya lebuh umum
dibandingkan dengan nazhariyah fikhiyah.
3) Setiap kaidah fikhiyah mencakup nazhariyat fikhiyahdan tidak sebaliknya.
11

4) Pembahasan nazhariyat fiqh tidak memerlukan pemikiran pemikiran lebih


lanjut. Sedangkan kaidah fiqh memerlukan pembahasan yang lebih detail.
5) Kaidah fiqh tidak mencakup rukun, syarat, dan hukum. Sedamgkan nazhariya
fikhiyah tidak menetapkan hukum.
6) Kaidah fiqh menetapkan hukum dengan sendirinya, sedangkan nazhariyah
fiqhiyah tidak menetapkan hukum.
7) Nazhariyah fikhiyah merupakan pengembangan dari kaidah. 10

C. Perbedaan Kaidah Fiqhiyyah dengan Kaidah Ushuliyyah


1. Objek kaedah fiqhiyyah adalah perbuatan mukallaf, sedang objek kaidah
usuliyyah adalah dalil hukum.
2. Ketentuan kaedah fiqhiyyah berlaku pada sebagian besar hukum-hukum
furu’ (bukan semuanya), sedang kaidah usuliyyah berlaku pada semua
hukum-hukum furu’.
3. Kaedah fiqhiyyah bersifat ukuran/keadaan suatu masalah, sedang kaidah
usuliyyah bersifat kebahasaan.
4. Kaedah fiqhiyyah pada dasarnya untuk memudahkan memahami hukum
fiqih, sedang kaidah usuliyyah sebagai sarana untuk mengistinbatkan
hukum. 11

Selain beberapa point diatas dikutip dari buku “Ilmu Ushul Fiqih” karya
Drs. H. A. Basiq Djalil, beberapa perbedaan Ushul Fiqih dan Qawa’id Fiqihyah
adalah:

1. Ushul Fiqih adalah metode dan langkah-langkah yang digunakan untuk


istinbath hukum, ia berada di antara dalil dan hukum-hukum fiqih, yaitu yang
digunakan dalam meng-istinbath-kan hukum-hukum fiqih, yaitu digunakan

10
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), hlm. 20.

Enny Nazrah Pulungan, “Diklat Fikih Ushul Fikih”, Kearsipan Fakultas Ilmu Tarbiyah
11

dan Keguruan, UIN Sumatera Utara, 2017, hlm. 63


12

dalam mengistinbatkan hukum dari dalil terperinci yang objeknya senantiasa


dalil dan hukum, sedangkan qawaid fiqihiyah adalah ketentuan umum yang
mencakup sebagian besar bagiannya, yang bagiannya itu sebagian masalah
fiqih, sedangkan objeknya adalah perbuatan mukalaf.
2. Kaidah ushuliyah mencakup seluruh bagian-bagian dan objek-objeknya,
sedangkan kaidah fiqihiyah hanya mencakup sebagian besar bagian-
bagiannya.
Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbat-kan hukum
syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqihiyah adalah kumpulan hukum-hukum
yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqihiyah yang
mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il-alfiqihiyahwa tashiliha. 12

Perbedaan kaidah-kaidah fikih dan ushul fiqh diperjelas lagi oleh Ali Ahmad
al-Nadawi. Menurutnya, perbedaan qawaid al-fiqhiyyah dan qawaid ushuliyah
dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

1. Kaidah ushul memiliki kedudukan yang sangat vital dalam menjembatani


hukum dan dalil. Tugas kaidah ushul adalah mengeluarkan hukum dari dalil-
dalil yang terperinci. Ruang lingkupnya, meliputi dalil dan hukum, seperti teks
yang perintah (amr) menunjukkan kewajiban, begitu juga sebaliknya teks
larangan (nahy) menunjukkan sesuatu yang harus ditinggalkan. Berbeda
dengan kaidah-kaidah fikih yang merupakan hasil ekstrak dari masalah-
masalah fikih dan ruang lingkupnya hanya mencakup perbuatan mukalaf.
2. Kaidah ushul ruang lingkupnya sangat luas,karena dapat diaplikasikan dalam
seluruh bagian-bagian pembahasan fikih. Sementara kaidah-kaidah fikih
merupakan kaidah aghlabiyah (secara umum) yang hanya dapat diaplikasikan
dalam sebagian besar cabang-cabangnya, karena kaidah fikih ddidalmnya
masih banyak terkandung masalah-masalah yang dikecualikan (mustatsnayat).

12
A.Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.
132.
13

3. Kaidah ushul merupakan media untuk meingistinbathkan suatu hukum yang


bersifat praktis. Sementara kaidah fikih merupakan kumpulan dari hukum yang
serupa, kemudian dirangkum kedalam suatu kaidah umum
(kulliyah/aghlabiyah) agar mendekatkan pada persoalan-persoalan lain yang
melingkupinya dan mempermudah untuk mengetahuinya.
4. Keberadaan kaidah-kaidah fikih muncul pasca adanya pendapat hukum yang
sama (syabih), karena kaidah tersebut berfungsi menghimpun cabang-cabang
hukum yang memiliki kesamaan karakter, dan mengekstraknya ke dalam
sebuah kaidah yang umum. Berbeda dengan kaidah ushul yang lahir pra
produk hukum (fikih). Ushul fiqh yang melahirkan produk hukum. Ibarat
mesin, ushul fiqh yang “menetaskan” embrio suatu hukum fikih yang bersifat
partikular.
5. Kaidah ushul fiqh merupakan kaidah yang mencakup bermacam-macam dalil
yang terperinci yang dapat mengeluarkan hukum syarak. Sementara kaidah-
kaidah fikih adalah kaidah yang melingkupi hukum-hukum fikih saja. Artinya,
kaidah fikih hanya menyentuh produk hukum yang sudah jadi, sementara,
kaidah ushul menyentuh dalil untuk melahirkan suatu hukum fikih. 13

D. Sejarah Kaidah Fikih dan Keuangan

Menurut Ali Ahmad Al Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat


dibagi kedalam tiga fase, yaitu:

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)

Pada adasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fikiyyah telah dimulai sejak
tiga kurun pertama dari tahun hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW,
Shabat, dan Tabi’in. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini :

13
Moh.Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Pendekatan Tematis
dan Praktis .(Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hlm. 5.
14

a) Terdapat beberapa Ayat di Al-Qur’an yang secara inplisit telah menunjukkan


Qawaid Fiqhiyyah. Diantaranya adalah terdapat dalam Qs. Al Baqarah 228
“ …dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf…” Ayat ini kemudian hari dijadikan sebagai
landasan lahirnya kaidah “Adat kebiasaan merupakan kaidah hukum”
b) Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Diantaranya adalah
hadist “innamal a’malu binniyah…” Dan hadist “la darara wa la dirara”
c) Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan sebagai
sumber dan dalam mengambil keputusan hukum. Diantaranya Atsar Ali Bin
Abi Thalib Ra (wafat 40 H) yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq (221 H):
“orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian”.
d) Dan timbulnya kaidah-kaidah dikalangan para Tabi’in. diantaranya adalah
pernyataan Imam Syafi’i : “apabila yang besar gugur, maka yang kecil pun
gugur”.

Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa pernyataan berikut:

a) Kaidah fikih telah ada semenjak masa ulama mutaqaddimin (abad 1,2,3 H)
meskipun belum dikenal sebagai kaidah dan belum menjadi satu disiplin ilmu
tersendiri.
b) Perkembangan qawaid fiqiyyah dapat ditelusuri lewat pernyataan-pernyataan
pra ulama diatas, karena mereka adalah rujukan pertama ilmu ini.
c) Beberapa kaiadah yang dibentuk para ulama mutaqaddimin, terutama apa yang
disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambaldan Imam Syafi’i, merupakan
beberapa kaidah ulama mutakhirin.
d) Atsar dan pernyataan para ulama mutaqaddimin menjadi rujukan ulama
mutakhirin dalam membentuk, mengumpulkan, dan mengkodifikasikan qawaid
fikiyyah
2. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV XII H)

Awal mula qawaid fikiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan
terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Ulama pertama
15

yang melakukan pembukuan ilmu qawaid fikiyyah adalah ulama dari mazhab
Hanafi, yaitu Abu Hasan al Karkhi (wafat 340 H). dalam risalahnya yang berjudul
Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al Karkhi mengembangkan 17 kaidah dari Imam
Abu Tahiraldabbas menjadi 39 kaidah. Setelah karkhi ulama mazhab Hanafi yang
mengembangkan ilmu qawai fiqhiyyah adalah Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi
(wafat 430 H). Dalam kitabnya Ta’sis an nadhar.

Selanjutnya ilmu qawaid fiqhiyyah semakin mengalami perkembangan. Pada


Abad ke 7 H qawaid fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan
walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang dikatakan
menulis kitab qawaid fikhiyyah pada abad ini adalah Al-Allamah Muhammad bin
Ibrahin Al-Jurjani al Sahlaki (wafat 613 H) ia menulis kitab dengan judul “Al-
Qawa’id fi Furu’I al-Syafi’iyah”, kemudian Imam Izuddin Abd al-Salam (wafat
660 H) menulis kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat
menjadi kitab terkenal. Dalam kalangan mazhab Maliki Muhammad bin Abdullah
bin Rasyid al-Bakri al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini
menunjukkan bahwa qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang pesat
pada abad ke-7 H. qawaid fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit
demi sedikit mulai meluas.

Pada abad ke-8, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasa, ditandai
dengan banyaknya bermunculannya kitab-kitab qawaid fiqkhiyyah. Dalam hal ini,
ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang
muncul dalam abad ini, dianataranya:

a) Al-Asyabahwa an-Nadhair karya ibnu al-Wakil al-Syafi’I (wafat 716 H)


b) Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (wafat 758 H)
c) Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (wafat
761 H)
16

Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqkhiyyah yang disusun pada abad
XI H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara karya-
karya tersebut adalah:

a) Kitab al-Qawa’id karya ibnu al-Mulaqqin (wafat 840 H)


b) snal Muqashid fi Tahrir al-Qawaid karya Muhammad bin Muhammad al-
Zubairi (wafat 808 H)
c) Kitab al-Qawaid karya Taqiyuddin al-Hishni (wafat 829 H). dll

Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyyah berkembang secara berangsur-


angsur. Pada abad VIII H, perkembangan ini qawaid fiqhiyyah terbatas hanya
pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khusunya diklangan
Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kita Ibnu al-Mulaqqin dan
Taqiyuddin al-Hishni.

Pada abad ke X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah semakin berkembang.


Imam al-Suyuti (wafat 911 H) telah berusaha mengumpulkan kaidah fiqhiyyah
yang paling penting dari karya al-Alai, al-Subaki, dan al-zarkasyi. Ia
mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asbah wa al-Nadhai.
Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama gersebut masih mencakup qawaid ushuliyah
dan qawaid fiqhiyyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.

Pada abad ke XI dan ke XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang.


Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawaid fiqhiyyah adalah fase
perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi
dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII)
hamper dapat menyempurnakan qawaid fiqhiyyah. 14

3. Fase Pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)

14
Gustiani, Fiqhi Keuagan Islam, (PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2011) hlm.127-
129
17

Pengkodefikasian ilmu qawaid fiqhiyyah mencapai puncak ketika disusunnya


Al Majalla Al Ahkam Al Adliyyah pada akhir abad ke 13 H oleh komite ulama
pada masa khalifah Al Ghazi Abdul Azis dari Dinasti Ustmaniyyah. Penyusunan
dilakukan dengan melalui proses pengumpulan dan penyeleksian terhadap
berbagai kitab-kitab fiqh.

Para fuqaha memasukkan kaidah fiqhi pada qanun ini setelah terlebih dahulu
mempelajari sumber-sumber fiqhi dan beberapa karya tulis tentang ilmu kaidah
fiqhi, seprti al-ashbah wa al-Nazair karya Ibn Nujaym dan Majami’ al-Haqaiq
karya al-Khadimi. Mereka sangat selektif dalam memilih dan memilah kaidah
fiqhi yang kan dimasukkan kedalam qanun al-Majllah. Mereka menyusun al-
Majallah ini dengan menggunakan redaksi yang singkat dan padat seperti undang-
undang. Efisiensi majalah dapat mengangkat kedudukan dan popularitas kaidah
fiqhi. Majallat al-Ahkam al-Adiyyah memberikan banyak konstribusi bagi
perkembangan fiqhi dan perundang undangan. 15

Ada 3 faktor yang melatarbelakangi lahirnya keuangan islam, yaitu:

a) Relijius idiologis
Merupakan latar belakang yang bersifat Fundamental berkaitan dengan jaran
islam yaitu: keinginan ummat islam untuk mengaplikasikan konsep-konsp
keunagan islami sebagai upaya menjdikan islam sebagai way of life., konsep dan
praktik keuangan konvensional yang telah ada melanggar berbagai prinsip
syariah, misalnya mengandung unsure Riba,Gahrar,maysir.
b) Empiris pragmatis
Bahwa setelah masa kemerdekaan dari kolonialisme Barat (sekitar tahun 1940an),
di Negara-negara muslim muncul keinginan untuk juga merdeka secra ekonomi.
Sistem ekonomi konvensioanl yang ada dipandang lebih menguntungkan barat
dan merugikan Negara-negara muslim yang umumnya tergolong Negara

15
Moh Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Prenamedia Group,
Jakarta, 2019) hlm 8-9
18

berkembang (developing countries). pada saat yang bersamaan, terdapat sejumlah


besar dana milik muslim terutama Negara penghasil minyak, yang ingin di kelola
secara islami. Keingan itu terwujud dalam bentuk diantaranya : pendirian IDB
(Islamic Development Bank) yang di dirikan di Jeddah sebagai hasil agreement
menteri-menteri OIC pada Desember 1973, dan mulai beroperasi pada tahun
1975.
c) Akademik idealis
Ditemukan dari berbagai kajian akademik yang dilakukan bahwa sistem keuangan
konvensional berfungsi untuk: menimbulkan instabilitas dan krisis ekonomi,
memperlebar kesenjangan antara miskin dan kaya, dan ada alternative sistem
keuangan yang secara konseptual lebih mampu menciptakan sistem keuangan
yang lebih adil dan harmoni. 16

16
Nur Kholis, “Potret Perkembangan dan Praktik Keuangan Islam di Dunia” Jurnal
Studi Agama Vol. XVII, No.1 ,2017, hlm 8.
19

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan penjelasan yang adaa diatas, maka penulis dapat
menyimpulkan sesuai dengan makalah “Urgensi Kaidah-kaidah fiqhi dalam
ekonomi dan keuangan syariah” maka diambil kesimpulan :
1. Istilah kaidah fikih terdiri dari dua suku kata, yaitu : kaidah dan fiqih. Secara
bahasa, kaidah berasal dari bahasa arab qo’idah yang berarti pondasi atau
dasar. Kata fiqih sendiri secara bahasa berarti “faham”. Sementara secara
istilah fiqh memiliki arti hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci
2. Pengertian
a) Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata,
yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian
tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (‫)قاعدة‬, jamaknya qawaid (‫) قواعد‬
berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat
kongkret, materi, atau inderawi. seperti fondasi bangunan rumah, maupun
yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin
(dasar agama).
b) Dhawabith
Dhawabith fiqhiyyah adalah setiap juz’iyyah fiqhiyyah yang terdapat
dalam satu bab fiqh. Atau prinsip fiqh yang universal, yang bagian-
bagiannya terdapat dalam satu bab fiqh.
d) Nazhariyah fikhiyyah
Nazhariyah fikhiyah yaitu berasal dari Nazhir yang berarti mengangan-
angan sesuatu denga n mata (ta’mulus syai’ bi al ain), sedangkan nazhari
adalah hasil dari apa yang diangan-angankan tersebut. Seperti halnya
mengangan-angankannya akal yang mengatakan bahwa alam adalah
sesuatu yang baru.
3. Beberapa perbedaan Ushul Fiqih dan Qawa’id Fiqihyah adalah:

19
20

a) Ushul Fiqih adalah metode dan langkah-langkah yang digunakan untuk


istinbath hukum, ia berada di antara dalil dan hukum-hukum fiqih, yaitu yang
digunakan dalam meng-istinbath-kan hukum-hukum fiqih, yaitu digunakan
dalam mengistinbatkan hukum dari dalil terperinci yang objeknya senantiasa
dalil dan hukum, sedangkan qawaid fiqihiyah adalah ketentuan umum yang
mencakup sebagian besar bagiannya, yang bagiannya itu sebagian masalah
fiqih, sedangkan objeknya adalah perbuatan mukalaf.
b) Kaidah ushuliyah mencakup seluruh bagian-bagian dan objek-objeknya,
sedangkan kaidah fiqihiyah hanya mencakup sebagian besar bagian-
bagiannya. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbat-kan
hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqihiyah adalah kumpulan
hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqihiyah
yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il-alfiqihiyahwa tashiliha.
4. Menurut Ali Ahmad Al Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat
dibagi kedalam tiga fase, yaitu:
a) Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)
b) Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV XII H)
c) Fase Pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)

Ada 3 faktor yang melatarbelakangi lahirnya keuangan islam, yaitu:

a) Religius idiologis
Merupakan latar belakang yang bersifat Fundamental berkaitan dengan jaran
islam yaitu: keinginan ummat islam untuk mengaplikasikan konsep-konsp
keunagan islami sebagai upaya menjdikan islam sebagai way of life., konsep
dan praktik keuangan konvensional yang telah ada melanggar berbagai
prinsip syariah, misalnya mengandung unsure Riba,Gahrar,maysir.
b) Empiris pragmatis
Bahwa setelah masa kemerdekaan dari kolonialisme Barat (sekitar tahun
1940an), di Negara-negara muslim muncul keinginan untuk juga merdeka
secra ekonomi. Sistem ekonomi konvensioanl yang ada dipandang lebih
21

menguntungkan barat dan merugikan Negara-negara muslim yang umumnya


tergolong Negara berkembang (developing countries). pada saat yang
bersamaan, terdapat sejumlah besar dana milik muslim terutama Negara
penghasil minyak, yang ingin di kelola secara islami. Keingan itu terwujud
dalam bentuk diantaranya : pendirian IDB (Islamic Development Bank) yang
di dirikan di Jeddah sebagai hasil agreement menteri-menteri OIC pada
Desember 1973, dan mulai beroperasi pada tahun 1975.
c) Akademik idealis
Ditemukan dari berbagai kajian akademik yang dilakukan bahwa sistem
keuangan konvensional berfungsi untuk: menimbulkan instabilitas dan krisis
ekonomi, memperlebar kesenjangan antara miskin dan kaya, dan ada
alternative sistem keuangan yang secara konseptual lebih mampu
menciptakan sistem keuangan yang lebih adil dan harmoni.

B. Saran
Dari sumber yang diperoleh akhirnya penulis menyampaikan saran
kepada pembaca yaitu:
1. Kita harus memahami sumber terlebih dahulu agar saat menyampaikan tidak
akan keliru.
2. Adapun materi yang kami sampaikan dalam makalah ini mungkin masih jauh
dari kata kesempurnaan, maka dari itu kami mengucapkan permohonan maaf
yang sebesar-besarnya.
22

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Faturrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin :


Lembaga Pemberdayaan Kualitas.

Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.

Gustiani. 2011. Fiqh Keuangan Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra

Mufid, Moh. 2019. Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer


Pendekatan Tematis dan Praktis. Jakarta : Pramedia Group

Pulungan, Enny Nazrah. (2017). “Diktat Fikih Ushul Fikih” Kearsipan Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sumatera Utara. 63.

Haq, Husnul. 2017. “Penggunaan Istishab dan Pengaruhnya Terhadap


Perbedaan Ulama”. Jurnal Hukum Islam Vol.2 No. 1

Kholis, Nur. 2017. “Potret Perkembangan dan Praktik Keuangan Islam di


Dunia”. Jurnal Studi Agama Vol. XVII No.1
23

Anda mungkin juga menyukai