Anda di halaman 1dari 15

QAWAID FIQHIYAH

Disusun oleh :
Kelompok 2
1. Andesti Putri (1611140083)
2. Cici Putriani (1611140073)
3. Citra Kurnia Sari (1611140087)
4. Deka Pratama (1611140088)
5. Desti Umila Sari (1611140080)
6. Fifih Fitriani (1611140091)
7. Marlina Oktavia (1611140102)

Dosen Pembimbing :
Adi Setiawan, L.C., M.E.I

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur pemakalah ucapkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada setiap hamba-Nya. Sehingga
dengan rahmat dan hidayah-Nya pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam pemakalah mohonkan kepada Allah SWT agar senantiasa
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa umatnya dari
alam kebodohan kepada alam yang penuh ilmu pengetahuan seperti saat sekarang
ini.
Dalam makalah ini, pemakalah banyak menemukan kesulitan. Hal ini disebabkan
oleh keterbatasan yang ada pada diri pemakalah. Namum berkat rahmat dan
hidayah Allah SWT. serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya pemakalah dapat
menyelesaikan makalah ini.
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
Pemakalah mengharapkan kritikan dan masukan dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum wr.wb.

Bengkulu, Maret 2019

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ........................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Qawaid Fiqhiyah .............................................................. 2
B. Objek Kajian Qawaid Fiqhiyah ...................................................... 3
C. Manfaat Qawaid Fiqhiyah .............................................................. 3
D. Lima Kaidah Umum Qawaid Fiqhiyah .......................................... 4
E. Praktek Kaidah Fiqh di DSN-MUI ................................................ 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 10
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai peristiwa
yang sebenarnya belum pernah terjadi pada masa Rasulullah maupun pada
masa sahabat, sehingga belum memiliki pedoman dalam menghadapinya. Hal
ini membuat manusia kebingan dalam menentukan hukum atas peristiwa
tersebut.
Untuk itu perlu adanya pedoman dalam mengambil langkah hidup
berupa dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang bisa dijadilakan landasan hukum.
Dalam hal ini adalah qawaid fiqhiyah.
Pembahsan qawaid fiqhiyah sangatlah banyak dan luas, namun penulis
mencukupkan diri dengan membahas secara umum tentang qawaid fiqhiyah
dan tentang pengimplikasian dalam bidang ekonomi dan terkhusus
pengimpikasian dalam perbankan syariah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi dari qawaid fiqhiyah?
2. Apa yang menjadi objek kajian dari qawaid fiqhiyah?
3. Apa saja manfaat dari qawaid fiqhiyah?
4. Apa saja lima kaidah umum qawaid fiqhiyah?
5. Bagaimana praktek kaidah fiqh di DSN-MUI?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah berikut adalah:
1. Untuk mengetahui definisi dari qawaid fiqhiyah.
2. Untuk mengetahui objek kajian dari qawaid fiqhiyah.
3. Untuk mengetahui manfaat dari qawaid fiqhiyah.
4. Untuk mengetahui lima kaidah umum qawaid fiqhiyah.
5. Untuk mengetahui praktek kaidah fiqh di DSN-MUI.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Qawaid Fiqhiyah
Secara etimologi, qawaid fiqhiyah terdiri dari dua kata, yaitu qawaid
dan fiqhiyah. Qawaid bersalah dari bahasa Arab, jamak dari kata qaidah yang
berarti “asas” atau pondasi”. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi kaidah.1 Sedangkan kata fiqhiyah diambil dari kata fiqh
yang berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi mengandung makna
“mengerti” atau “paham”.
Menurut As-Subki, qawaid fiqhiyah adalah suatu rumusan kaidah
hukum yang bersifat global dan dapat mencakup berbagai masalah furu’iyah
untuk mengetahui ketentuan hukum pada masalah serupa.
Al-Hamawi mendifinisan qawaid fiqhiyah sebagai kerangka hukum
mayoritas (aghlabiyah) yang mencakup banyak permasalahan serta berfungsi
untuk mengetahui huku-hukumnya, dan masih terdapat pengecualian-
pengecualian.
Abdurahman Asy-Sya’lani juga mendifinisikan qawaid fiqhiyah
sebagai aturan umum dalam fiqh yanng bersifat kulliyah (universal) yang
membahas tentang cabang-cabang dari beberapa bab bahasan fiqh.
Secara umum, para ulama memberikan defeinisi qawaid fiqhiyah
terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, ulama yang mendefinisikan qawaid
fiqhiyah sebagai suatu yang bersifat universal (kulliyat). Kedua, kelompok
yang mendefinisakannya sebagai suatu kaidah yang bersifat mayoritas
(aghlabiyyah/aktsariyyah).
Terlepas dari perbedaan tersebut, istilah qawaid fiqhiyah dapat
dipahami sebagai kaidah-kaidah dasar yang bersifat global yang dapat
diaplikasikan pada kasuk-kasus fiqh lain untuk mengetahui kasus hukumnya.2

1
Pudjihardjo & Nur Faizin Muhitn, Kaidah-Kaidah Fiqh untuk Ekonomi Islam, (Malang:
UB Press, 2017) hlm. 1-2
2
Moh. Muhdi, Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah, (Makasar: ebookuid, 2017), hlm. 9-10

2
B. Objek Kajian Qawaid Fiqhiyah
Objek kajian kaidah-kaidah fiqh adalah perbuatan mukallaf itu sendiri,
sedangkan materi fiqh dikeluarkan dari kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan
yang tidak ditemukan nash-nashnya secara khusus di dalam Alquran dan al-
Sunnah al-Sahihah.3
C. Manfaat Qawaid Fiqhiyah
Beberapa manfaat dari qawaid fiqhiyah antara lain sebagai berikut:
1. Dengan mempelajari kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-
prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai
fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan
adat yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan
oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya
mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak
langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami)
bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.

3
https://www.academia.edu/15295145/KAIDAH-KAIDAH_FIQIH_QAWAID_FIQHIYAH,
diakses pada tanggal 31 Maret 2019

3
D. Lima Kaidah Umum Qawaid Fiqhiyah
ِ َ‫)األ ُ ُم ْو ُربِ َمق‬
1. Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Niat ( ‫اص ِد َها‬
Mayoritas ulama sepakat mengenai kaidah ini bahwa yang menjadi
pegangan adalah substansi bukan bangunan kata. Implikasinya bila ada
transaksi yang diungkapkan dengan kalimat yang tidak umum seperti “aku
hibahkan mobilku padamu dengan 20 juta”, atau “ aku berikan manfaat
rumahaku ini setahun dengan lima ribu dinar” atau akad saat pembiayaan
di bank “aku serahkan uang sejumlah Rp 50.000.000 untuk diperggunakan
dalam mengembangkan usaha”. Maka masing-masing memiliki bangunan
kata yang berbeda dengan makna hakikatnya, tetapi para ulama sepakat
mengambil makna hakekat atau substansinya dibandingkan redaksi
kalimatnya.
ِ َ‫)األ ُ ُم ْو ُربِ َمق‬. Dalam fatwa
Segala sesuatu tergantung pada niatnya (‫اص ِد َها‬
DSN-MUI ketentuan kaidah ini secara tekstual di implementasikan hanya
pada fatwa 83/DSN-MUI/VI/2012 penjualan langsung berjenjang syariah
jasa perjalanan umrah.4
2. Sesuatu Yang Sudah Yakin Tidak Dapat Dihilangkan Dengan
ِِ ‫)اليَ ِق ْينُالَيُ َزالُبِِالش‬
Keraguan (‫َّك‬
Dengan kaidah kedua ini, maka seseorang memperbuat sesuatu
(beramal) harus dilakukan berdasarkan dengan keyakinan. Maka apapun
keraguan untuk menghilangkan keyakinan tidak akan diterima. Juga dapat
difahami dengan redaksi yang lain yaitu, setiap perkara yang tetap, tidak
akan berubah dengan sebab kedatangan bukti yang terdapat syak padanya.
Keyakinan merupakan suatu perkara yang bersifat tetap dan bersifat
berlawanan terhadap syak.
Lazimnya, sesuatu yang benar-benar diyakini sudah pasti tidak akan
dirubah oleh syak kerana kedua-duanya adalah sangat berbeda. Sesuatu
perkara itu hanya akan dikatakan sebagai yakin setelah terdapat bukti dan
penelitian yang dapat menetapkan adanya perkara tersebut. Di bidang fiqh

4
Hammam, Urgensi Kaidah Fiqhiyyah dalam Perumusan Hukum dan Implemetasinya
dalam Fatwa DSN-MUI, (Et-Tijarie Volume 4 Nomor 1, 2017), hlm. 55

4
misalnya, indikator yakin ini begitu dititik beratkan terhadap perkara
apapun yang dilakukan. Karena, ia adalah asas Islam yang menjadi dasar
pijakan bagi membina sesuatu hukum. Menurut al-Nawawi bahwa
qaidahini merupakan sebuah qaidahyang penting dalam qawaid fiqhiyyah.
Begitu pula menurut Syarif Hidayatullah, al-Qarafi menyatakan bahwa
para ulama menyepakati qaidahitu, yaitu qaidahyang menjelaskan bahwa
setiap sesuatu yang diragukan seperti sesuatu yang telah pasti
ketidakpastiannya. Menurut al-Sarakhsi dalam kitabnya Ushul al-Sarakhsi,
berpegang kepada keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan
dasar dalam syariat Islam.5
Contoh dari kaidah kedua ini adalah seorang nasabah melakukan
penarikan melalui teller pada sebuah bank sejumlah Rp 5.000.000, seteleh
sampai di rumah nasabah tersebut baru menghitung uang yang telah
diterimanya dari teller bank tadi. Ternyata uangnya hanya sejumlah Rp
4.900.000, kemudian nasabah melakukan klaim ke bank dan bank menolak
untuk memberikan kekurangan uang yang di klaim oleh nasabah. Dalam
kasus ini yang dibenarkan adalah teller, sebab saat transaksi mereka telah
sama-sama menyakini bawah uang yang diterima nasabah sejumlah Rp
5.000.000.
ِ ‫شقَّ ِةُ تَجْ ِلبُالتَّي‬
3. Kesukaran Itu Mendatangkan Kemudahan (‫سيْر‬ َ ‫)ال َم‬
Bahwa Allah menurunkan segala ketentuan pada manusia di bumi ini
tak lain untuk kemaslahatan manusia, maka disyariatkannya rukhsah
(kemudahan) adalah sebagai bagian dari mewujudkan misi maslahah
tersebut. Banyak sekali ketentuan hukum yang diambil dari kaidah ini
berdasarkan istiqra’ atau analisa induksi, seperti saat kondisi sakit,
bepergian, takut, hujan, lemah, terpaksa, salah, lupa dan lain sebagainya.
Kaidah ini disarikan dari banyak ayat al Quran di antaranya Q.S. al-Hajj:
78

5
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU,2015), hlm
72-73

5
  ...
   
...  
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesulitan”
Ayat di atas sekiranya cukup menunjukkan agama Islam sangat
mengakomodir kemudahan bagi manusia dalam menjalankan agamanya.
Jika dalil-dalil diatas berkaitan dengan aspek ibadah, maka apatah lagi
dalam aspek muamalah. Dalam aspek muamalah praktis, jika kita melihat
produk fatwa DSN-MUI, maka ada beberapa materi fatwa yang dibangun
dengan kaidah ini, diantaranya pembiayaan pengurusan haji LKS,
pengalihan utang, obligasi syariah, L/C impor dan ekspor syariah,
pembiayaan multi jasa dan lain sebagainya.
4. Kemadharatan Itu Harus Dihilangkan (ِ‫)الض ََّر ُريُ َزا ُل‬
Kemadharatan harus dihilangkan, baik bagi diri sendiri atau orang
lain. Ini adalah ketentuan syariat Islam secara umum karena syariat datang
membawa kemaslahatan baik di dunia dan akherat.
Dalam kajian fikih ada beberapa tipologi transaksi seperti jual beli
najasy, talaqi Rukban, Mulamasah, Munabdzah, Hashoh, riba, dan lain
sebagainya adalah transaksi yang dilarang Allah karena di dalamnya ada
unsur madharat. Secara rinci jenis transaksi tersebut dilarang karena ada
unsur ghoror (penipuan), jahalah (tidak diketahui sifat dan jenisnya),
ghobn (penimbunan), ghisy ( curang), maysir (judi), riba (tambahan dalam
pinjaman).6
5. Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan Sebagai Hukum (ِ‫)العَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬
Prof. A. Dzajuli mendefinifikan adat dengan apa yang dianggap baik
dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-
ulang sehingga menjadi kebiasaan dan tradisi. Sesungguhnya jual beli atau
bisnis secara umum adalah termasuk bagian dari adat atau kebiasaan

6
Hammam, Urgensi Kaidah Fiqhiyyah....., hlm. 56-58

6
manusia, sebagaimana kaidah syara‟ mengatakan “hukum dasar dalam
beribadah adalah dilarang, sebaliknya hukum dasar dalam muamalah
diperbolehkan”. Karena dimensi adat adalah maslahah duniawi, sebaliknya
dalam ibadah dimensinya dominan pada maslahah akhirat. Maka
pertimbangan adat dan kebiasaan menjadi sangat signifikan perannya
dalam mengkontruksi hukum muamalah selama tidak mengandung dlarar
atau bertentangan dengan syara’.7
Dalam dunia perbankan syariah, dikenal fasilitas Hak Memesan Efek
Terlebih dahulu (HMETD) Syariah. Hak ini merupakan hak yang melekat
pada saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
memungkinkan para pemegang saham yang ada untuk membeli Efek baru;
termasuk saham, efek yang dapat dikonversasikan menjadi saham dan
waran sebelum ditawarkan kepada pihak lain. Harga pelaksaan HMETD
Syariah adalah harga yang telah ditetapkan oleh Emiten bagi pemegang
HMETD syariah untuk membeli efek yang baru diterbitkan selama periode
yang ditetapkan.
Oleh karenanya, Emiten boleh menerbitkan HMETD sebagaimana
pemegang HMETD syariah juga boleh mengalikan yang dimilikinya
kepada pihak lain dengan memperoleh imbalan. Harga pelaksaan yang
ditawarkan dalam HMETD syariah didasarkan atas prinsip wa’d (janji)
yang dinyatakan bersifat mengikat bagi emiten serta harus mencerminkan
kondisi yang sesungguhnya dari asset yang menjadi dasar penerbitan efek
tersebut dan atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar, dan
efesien serta tidak direkayasa.8
E. Praktek Kaidah Fiqh di DSN-MUI
DSN-MUI merupakan manifestasi mode ijtihad jama’iy (kolektif)
kemudian dari produk ijtihad itu direkomendasikan dalam bentuk fatwa yang
kapasitasnya sebagai taujih (guidance) dan tabyin (keterangan). Pada
hakikatnya, fungsi fatwa hanya mengikat bagi orang yang memberi fatwa dan

7
Hammam, Urgensi Kaidah Fiqhiyyah....., hlm. 59
8
Moh. Muhdi, Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah....., hlm 103

7
yang meminta fatwa. Namun dalam konteks negara, ketika fatwa
keberadaanya sudah dilegitimasi lewat peraturan perundang-undangan oleh
lembaga negara sebagaimana OJK yang mendapatkan rekomendasi fatwa
resmi dari DSN-MUI, maka masyarakat atau lembaga keuangan yang berada
di bawahnya secara otomatis harus mematuhinya. Sebagaimana hal itu
berlaku kaidah “segala hal ketentuan yang ditetapkan oleh imam untuk
rakyatnya adalah harus mempertimbangkan kemaslahatan”. Maka dari pada
itu DSN-MUI sebagai mandataris negara merupakan manifestasi dari
pemimpin atau ulil amri yang harus dipatuhi perintahnya setelah perintah
Allah dan Rasulnya.
Di antara tugas dan fungsi DSN-MUI adalah mengeluarkan fatwa
tentang ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator
dan menerbitkan rekomendasi, sertifikasi, dan syariah approval bagi lembaga
keuangan dan bisnis syariah. Dengan tugas dan fungsi demikian, DSN
memiliki wewenang untuk mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan
Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing lembaga keuangan syariah dan
memberikan rekomendasi dan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang
akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga
keuangan dan bisnis syariah.9
Praktek kaidah fiqh DSN salah satunya berkenaan dengan masalah
istishna’, Dewan Syariah Nasional MUI telah menetapkan ketentuan tentang
pembayaran, ketentuan tentang barang dan lain-lain yang terkait dengan akad
istishna’ tersebut dalam fatwanya Nomor 06/DSN MUI /IV/2000. Bai istishna
juga ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/ pasal tentang
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan
penyalurannya. Dalam dunia perbankan syariah, dikenal fasilitas Hak
Memesan Efek Terlebih dahulu (HMETD) Syariah. Hak ini merupakan hak
yang melekat pada saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES)
yang memungkinkan para pemegang saham yang ada untuk membeli Efek
baru; termasuk saham, efek yang dapat dikonversasikan menjadi saham dan

9
Hammam, Urgensi Kaidah Fiqhiyyah ...., hlm. 61-62

8
waran sebelum ditawarkan kepada pihak lain. Harga pelaksaan HMETD
Syariah adalah harga yang telah ditetapkan oleh Emiten bagi pemegang
HMETD syariah untuk membeli efek yang baru diterbitkan selama periode
yang ditetapkan. Hal itu berdasarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Nomor 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu Syariah.10

10
Moh. Muhdi, Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah.....,hlm 56-102

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qawaid fiqhiyah dapat dipahami sebagai kaidah-kaidah dasar yang
bersifat global yang dapat diaplikasikan pada kasuk-kasus fiqh lain untuk
mengetahui kasus hukumnya.
Yang menjadi objek kajian kaidah-kaidah fiqh adalah perbuatan
mukallaf itu sendiri. Dan ada beberapa manfaat dari Objek kajian kaidah-
kaidah fiqh adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, diantaranya adalah:
1. Dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan pokok masalah yang
mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh.
2. mempermudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
5. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
6. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
7. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami)
bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
Ada lima kaidah umum dari qawaid fiqhiyah yaitu, (1) Segala sesuatu
itu tergantung pada niat, (2) Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan, (3) Kesukaran itu mendatangkan kemudahan,
(4) Kemudharatan itu harus dihilangkan, dan (5) Adat kebiasaan itu
ditetapkan sebagai hukum.
Praktek kaidah fiqh DSN salah satunya berkenaan dengan masalah
istishna’, Dewan Syariah Nasional MUI telah menetapkan ketentuan tentang

10
pembayaran, ketentuan tentang barang dan lain-lain yang terkait dengan akad
istishna’ tersebut dalam fatwanya Nomor 06/DSN MUI /IV/2000.

11
DAFTAR PUSTAKA
Pudjihardjo & Nur Faizin Muhitn. Kaidah-Kaidah Fiqh untuk Ekonomi Islam.
Malang: UB Press. 2017
Muhdi, Moh. Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah. Makasar: ebookuid. 2017
https://www.academia.edu/15295145/KAIDAH-
KAIDAH_FIQIH_QAWAID_FIQHIYAH, diakses pada tanggal 31 Maret
2019
Hammam. Urgensi Kaidah Fiqhiyyah dalam Perumusan Hukum dan
Implemetasinya dalam Fatwa DSN-MUI. Et-Tijarie Volume 4 Nomor 1.
2017
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: LPKU. 2015

Anda mungkin juga menyukai