االمور بمقاصدها
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Qawaidh Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :
Dr. Badruddin, M.HI
Disusun oleh :
Maghfirotul Mutsaniyah (210201110167)
ii
KATA PENGANTAR
Dalam proses penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Badruddin, M.HI selaku dosen mata
kuliah Qawaidh Fiqhiyyah, juga kepada pihak-pihak yang turut serta membantu
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan
dan pengembangan makalah ini di masa yang akan datang. Akhir kata, kami mohon
maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
minum agar tidak haus dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa niat itu
sangat penting (krusial) dalam kehidupan. Niat dianggap krusial karena menetukan
segala gerak langkah yang dilakukan, yang memiliki konsekuensi pada perbutan itu
bernilai baik atau buruk? Bernilai ibadah atau tidak? Berpahala atau tak bermakna?
Pada hal inilah kaidah al-umur bi al-maqashid ini menjadi sangat penting dipahami.
Kaidah ini dapat menyelesaikan beberapa masalah yang lalu maupun
kontemporer mengenai niat. Seperti perlunya adanya niat, waktu niat, tempat niat,
syarat-syarat niat, yang membatalkan niat, bagaimana caranya, dan lain-sebaginya.
Akan dilakukan analisis yang mendalam terhadap kaidah tentang niat, seperti
sumber dari kaidah fiqh, produk pemikiran ulama dalam kaidah ini, sejarah awal
mula kaidah ini, urgensi dari kaidah ini, contoh penerapan dari kaidah, dan
sebagainya. Dengan mengetahui semua ini, maka akan memiliki hidup yang
berkualitas, baik didunia dan akhirat.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian pemikiran yang terdapat pada latar belakang diatas, terdapat
permasalahan sebagai berikut:
Runag lingkup yang sekaligus obyek pembahasan agar dalam penulisan ini bisa
jelas. Memberi batas terhadap permasalahan yang akan dibahas di makalah ini,
yaitu:
2
1. Qawaidh Fiqhiyyah االمور بمقاصدهاdan implementasinya.
2. Penyelesaian permasalahan fiqh berdasarkan Cabang kaidah dari االمور
بمقاصدها.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian
Kaidah pertama ini merupakan kaidah induk, karena banyak kaidah-kaidah
canbang yang dapat dikembalikan pada kaidah ini. االمور بمقاصدهاMemiliki arti
segala sesuatu tergantung kepada tujuannya. Lafal al-umur merupakan bentuk jama'
dari kata tunggal al-amru yang secara bahasa memiliki arti perubahan dan tingkah.
Maksudnya adalah seseorang apabila melakukan sesuatu perbuatan pasti terdapat
niat atau tujuan didalamnya, karena sudah menjadi kriteria yang dapat menentukan
nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan baik berhubungan
dengan peribadatan maupun adat kebiasaan. Pada intinya kaidah ini mencakup
semua hal tentang niat.
Dalam kaidah pertama ini terdapat hadist yang menjadi kandungan utamanya.
Pertama, lafadz إنَّ َماyang memiliki makna "hanya", yaitu menetapkan sesuatu yang
disebut. Kata "hanya" tersebut dimaksud sebagai pengecualian secara mutlak dan
pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian tersebut
dapat diketahui dari susunan kalimatnya. Pada lafadz hadist ini "segala amal hanya
tergantung niatnya". Maksudnya amal disini adalah semua amal yang dibenarkan
syari'at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari'at tanpa niat maka tidak berarti
apa-apa menurut agama. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung
niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut.
4
Sebagian memahami niat sebagai syarat, sehingga amal tidak sah tanpa niat.
Sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna, sehingga amal itu akan
sempurna apabila ada niat.
Terdapat beberapa hal yang harus dipahami dalam kaidah ini. Pertama, tujuan
niat itu merupakan pembeda antara perbuatan ibadah dari dari perbuatan yang adat
untuk menetukan spesifikasi atau kekhususan, misalnya antara mandi biasa dengan
mandi besar untuk mencuci badan dari hadast besar. Dengan adanya niat, maka
akan terbedalah antara berpuasa dengan menahan lapar untuk menghindari penyakit
atau diet. Kemudian menyembeli hewan untuk lauk dengan untuk kurban, ini dapat
dibedakan dengan niat. Sedangkan dalam sholat dan puasa ada yang wajib dan
sunnag, maka secara spesifik yang membedakan hanyalah niatnya.
Kedua, persoalan fiqh yang dapat dirujuk kepada kaidah ini adalah hukum islam
bidang ibadah dan muamalah dalam arti luas. Dalam bidang ibadah, contohnya
bersuci (wudhu, mandi, tayamum), shalat(wajib, sunnah, jama', qoshor, jama'ah,
munfarid), puasa, I'tikaf, haji, umroh dan lainya. Sedangkan bidang muamalah,
contohnya akad jual beli, qishas, melunasi hutang, luqatah, jinayat, dan lainnya.
Semua itu dapat dikembalikan kepada kaidah al-umur bi al-maqashid.
Ketiga, segala amal perbuatan manusia yang dinilai adalah niat yang
melakukannya, dan amal perbuatan itu harus yang masuk dalam kategori perbuatan
yang diperbolehkan. Segala perbuatan yang haram, sekalipun dilakukan dengan niat
baik, tetap tidak boleh dilakukan, kecuali hal-hal yang pada saat tertentu memang
dibenarkan oleh hukum. Seperti berbohong pada dasarnya dilarang, namun apabila
berbohonh untuk menghindari pertengkaran, agar tetap utuh rumah tangga maka
diperbolehkan. Kemudian, berjudi dengan niat untuk dibagikan kepada fakir miskin
jelas tidak dibenarkan. Dengan segala niat baik, melakukan perbuatn pada dasarnya
mubah, tetap harus dipertimbangkan efeknya.
B. Sumber Hukum
1. Al-Qur'an
5
Al-Qur'an merupakan sumber hukum yang dijamin oleh Allah SWT tidak dapat
dipalsukan oleh siapapun. Keharusan melakukan niat dalam ibadah, Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Bayyinah(98) ayat 5:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa iklah yang termuat dalam kata "Mukhlishin",
adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan pada saat ibadah. Ikhlas adalah
perkerjaan hati yang hanya terwujud melalui perantara niat. Karena keterkaitan
yang tidak bisa dipisahkan adalah antara ibadah dan niat. Berniat merupakan hal
yang wajib, seperti diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Pembahasan mengenai
niat, ibadah, dan ikhlas merupakan hal yang saling bersinggungan, dam merupakan
kandungan dari ayat diatas, disinilah terbnagunnya kaidah al-umur bi maqashidiha.
2. Hadist
ِّت و ِّإنَّما ِّلك ُِّل امريءٍ ما نَ َوى َف َم ْن كَا َنتْ هِّجْ َرتُهُ إلى هللا
ِّ إنَّ َما األع َمال بالنِّيَّا
س ْو ِّل ِّه و َم ْن كَانَتْ ِّهجْ َرتُهُ ِّل ُد ْنيَا يُ ِّص ْيبُها أو َ ِّفهجْ َرتُهُ إلى هللا
ُ ور ِّ سو ِّل ِّه
ُ ور
َ
ِّ امرأ ٍة يَ ْن ِّك ُح َها
فهجْ َرتُهُ إلى ما َها َج َر إلي ِّه
"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena
6
mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang
yang ia tuju."
7
Hanafiyyah menafsirkan dengan makna "kesempurnaan pekerjaan". Kesempurnaan
merupakan sebuah perbuatan menurut mareka tergantung dengan niatnya. Dari
penafsiran menurut Hanafiyyah, kemudian dapat dipahami bahwa pekerjaan yang
tidak diniati tetap sah sekalipun tidak dikatakan sempurna.
Dari pihak lain, beberapa ulama berpendapat bahwa kata "a'mal" dalam hadist
itu harus dimaknai sebagai, semua perbuatan secara umum tanpa dibatasi hanya
8
pada perbuatan-perbuatan syar'i saja. Pendapat ini erupakan pandangan imam Ibnu
Hanbal (780-855M). Pandangan ini Ibnu Hanbal mengarahkan agar setiap orang
agar mendahulukan niat saat melakukan aktifitas ibadah seperti shalat, puasa atau
beragam amal lainnya. Menurut penafsiran Ibnu Hanbal yang dimaksud dengan
"a'mal" dalam hadist ini adalah seluruh perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh
manusia (a'mal al-ikhtiyariyyah). Sebuah pekerjaan tidak akan terlaksana tanpa
adanya kesengajaan pelaku. Pada redaksi kedua "wa innama li kulli imri'in ma
nawa", menurut pendapat Ibnu Hanbal penjelasan dari perbuatan syar'I, terkandung
dalam muatan pesan bahwa hasil yang didapatkan seseorang tergantung dari
niatnya. Jika niat baik maka perbutannya akan baik dan mendapatkan pahala.
Sebaliknya apabila nitanya jelek maka akan berimbas pada perbutan yang ikut
menjadi jelek dan mendapatkan dosa.
Pada permulaan hadist ini terdapat lafadz "innama" yang berfungsi sebgai
pembatas rangkaian kalimat sesudahnya. Artinya kata "al-a'mal bi al-niyyat"
didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya
dengan niat amal perbutan seseorang akan layak diperhitungkan, misalnya
dianggap sebagai amal ibadah dan tidak selainnya.
Hadist ini merupakan pokok penting dalam ajaran islam. Menurut Imam
Syafi'I, Ahmad, dan Al-Baihaqi, hadist tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.
Diriwayatkan dari Imam Syafi'i, hadist ini mencakup tujuh puluh bab fiqh dan
beberapa ulama mengatakan hadist ini mencakup sepertiga ajaran islam. Para ulama
9
mengutip hadist ini sebagai memulai tulisan-tulisannya. Abdurrahman Bin Mahdi
berkata "bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadist ini,
untuk mengingatkan para pembaca agar meluruskan niatnya."
Hadist tentang niat ini jika dilihat dari sumber sanadnya, hadist ini adalah
hadist ahad. Karena diriwayatkan oleh Umar bin Khattab dari Nabi Muhammad
SAW. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh Al-Qamah bin Abi Waqash, kemudian
hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi, selanjutnya
diriwayatkan oleh Yahya bin Sa'id al-Anshari, Kemudian barulah menjadi terkenal
para perawi selanjutnya. Lebih dari 200 perawi meriwayatkan dari Yahya bi Sa'id
dan kebanyakan mereka adalah para imam yang terkenal.
Hadist ini muncul karena seorang laki-laki yang ikut berhijrah dari makkah ke
Madina yang memiliki tujuan menikahi perempuan yang bernama Ummu Qais.
Laki-laki tersebut dalam hijrahnya tidak mendapatkan padahala hijrah karena
bertujuan menikahi perempuan, memiliki julukan Muhajir Ummu Qais.
10
BAB III
PEMBAHASAN
1. Substansi niat
Niat secara etimologi adalah tujuan. Niat dalam pengertian syariat adalah
ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Niat adalah kesenjangan melakukan
suatu perbuatan secara bersamaan dengan pelaksanaannya seperti pendapat Al
Mawardi dan Ibnu Hajar. Hal ini dapat memunculkan asumsi bahwa niat harus
dilakukan pada awal ibadah tidak boleh sebelum atau sesudah pelaksanaan ibadah.
Namun menurut pendapat Ibrahim Al Kurdi definisi ini belum bisa mencakup niat
dalam ibadah puasa yang tidak bersamaan dengan puasa itu sendiri. Dan definisi ini
memiliki kelemahan karena tidak bisa mencakup niat sebuah pekerjaan yang tidak
sampai atau tidak sempat terlaksana. Seperti orang yang yang memiliki tujuan
melakukan kebajikan dan tidak sampai terlaksana, dalam syariat tetap memberi
penghargaan padanya dengan adanya pahala.
2. Status niat
11
a. Segolongan ulama, menurut mereka niat adalah rukun karena niat
termasuk dalam ibadah.
b. Al qadli abu Tayyib dan ibnu shabbagh, menurut mereka niat adalah
syarat karena apabila tidak dikatakan syarat tentu niat akan
membutuhkan niat lagi dan begitu seterusnya sehingga akan menjadi
mata rantai dan tidak ada selesainya.
c. Al rofi'i dan Al Nawawi, menurut mereka niat adalah rukun dalam salat
sedangkan dalam puasa niat adalah syarat.
d. Menurut Al Ghazali dalam puasa niat adalah rukun sedangkan dalam
salat adalah syarat.
3. Tempat niat
Tempat setiap ibadah terletak di hati karena hakikatnya niat sendiri adalah
Alqashdu(keinginan). Menurut imam Al Baidowi, niat dengan dorongan hati untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ia lihat atau rasakan guna mendapatkan
manfaat dan mencegah bahaya baik saat ini atau yang akan datang. Dalam syariat
mengkhususkan keinginan itu agar mendapatkan ridho dari Allah dan untuk
melaksanakan hukum-hukum-Nya. Hal ini membuat pemaknaan niat terdapat dua
kesimpulan:
a. Niat tidak cukup dengan lisan saja tanpa adanya keinginan dalam hati,
seperti apabila seseorang berniat di dalam hati dan lisan maka yang sah yaitu
niat dalam hati. Contohnya seseorang yang bersumpah namun tidak
12
diniatkan dalam hati maka ketika melanggar sumpah tersebut tidak terkena
kafaroh.
b. Niat cukup dengan hati saja tanpa harus ada lafaf atau pengucapan.
Contohnya apabila seseorang niat dalam hati ingin membangun masjid maka
tanah itu dapat menjadi masjid tanpa harus adanya pengucapan niat.
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah menurut ulama huruf ba
yang terdapat dalam kata "bi al niyyat" mempunyai kata membersamakan. Hal ini
memberi pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal dan niat tidak boleh
diakhirkan dari amal yang akan dikerjakan dan didahulukan. Dalam ibadah niat
berada di awal ibadah namun ada beberapa yang diperbolehkan mendahulukan niat
sebelum ibadah. Terdapat beberapa contoh niat yang boleh didahulukan karena
faktor kesulitan kebersamaan dalam permulaan ibadah:
a. Puasa wajib, niat puasa wajib harus dilakukan pada awal pelaksanaan yaitu
tepat pada saat munculnya fajar Shodiq. Namun karena sangat sulit
mengetahui munculnya fajar Shodiq maka syariat memberi kebijakan
bahwa niat puasa bisa dimajukan waktunya yaitu sebelum waktu subuh tiba.
Sedangkan niat pada puasa sunnah boleh dilaksanakan walaupun setelah
terbitnya fajar Shodiq yang penting tidak melewati masa tergelincirnya
matahari keringanan ini dilatarbelakangi adanya hadis yang menceritakan
bahwa pada saat berpuasa sunnah nabi Muhammad SAW tidak memiliki
makanan dan Nabi Muhammad puasa. Hadis ini adalah dalil yang
menunjukkan bahwa niat puasa sunnah dapat dilaksanakan pada siang hari.
b. Pembagian zakat, pelaksanaan niat dalam pembagian zakat pada fakir
miskin menurut beberapa pendapat boleh didahulukan karena
mempertimbangkan faktor kesulitan dalam pelaksanaannya.
c. Kafarah
d. Menyembelih qurban
13
Ibadah dalam Islam mempunyai dua permulaan yang dikenal dengan istilah
awal hakiki dan awal nisbi. Awal hakiki adalah permulaan suatu pekerjaan yang
tidak didahului oleh apapun. Sedangkan awal nisbi adalah permulaan yang masih
didahului perkara lain. Contoh pada saat tayamum pertama kali harus dilakukan
adalah niat yang bersamaan dengan memindahkan debu dan ini merupakan awal
hakiki. Dan pada saat waktu memindahkan debu niat tayamum juga harus dilakukan
berbarengan dengan awal nisbi yaitu pada saat mengusap debu pada wajah.
a) ridho atau murtad yaitu terputusnya agama Islam seseorang baik yang
ditimbulkan dari niat ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekufuran.
b) berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan
misalnya orang yang sedang melakukan salat kemudian berniat memutuskan
salatnya maka salatnya menjadi batal.
c) niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain,
contohnya mengganti sebuah sholat fardhu dengan salat fardhu yang lain
maka keduanya tidak sah dan apabila mengganti salat Sunnah menjadi salat
fardhu maka salatnya tidak sah keduanya.
d) merubah salat Sunnah rawatib menjadi salat Sunnah rawatib yang lain maka
salatnya tidak sah seperti salat Sunnah witir berubah menjadi salat sunnah
fajar maka tidak sah.
e) ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang
diniati. Contohnya berwudhu dengan niat untuk mendirikan salat sekaligus
tidak mendirikan salat secara bersamaan, berwudhu dengan niat untuk
melaksanakan salat di tempat yang najis, dan orang yang berwudhu di bulan
Muharram untuk melaksanakan salat hari raya pada waktu Syawal dengan
rentang waktu antara wudhu dan pelaksanaan salat mencapai 10 bulan.
14
Dalam pelaksanaan niat adalah suatu yang kondisional tergantung pada
objek yang diniati. Contohnya pada saat wudhu maka yang diniati adalah
menghilangkan penghalang salat seperti hadats. Dan pada saat salat dalam salat
yang diniati adalah melaksanakan beberapa pekerjaan dengan ucapan tertentu yang
dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam.
7. Syarat-syarat niat.
a. Islam
b. Tamyiz
Tamyiz yang dimaksud adalah potensi yang terdapat pada otak seseorang
yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang menjadikan
kebutuhan vitalnya dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Contohnya
ibadah seorang anak kecil yang belum mumayyiz dan orang gila maka ibadahnya
tidak sah.
Maksud dari syarat ini adalah pengetahuan seseorang terhadap status hukum
ibadah yang diniati apakah tergolong ibadah fardhu sunnah atau yang lainnya.
Apabila seseorang yang tidak mengetahui fardhu wudhu dan salat atau mengetahui
fardhunya namun tidak mengetahui rukunnya maka wudhu dan salatnya tidak sah.
15
Pada syarat keempat ini yang yang dimaksudkan bertujuan untuk menjaga
niat dari hal-hal yang merusak seperti ragu-ragu dalam niat. Apabila seseorang
ketika salat masih ragu-ragu maka salatnya menjadi batal karena dia telah
melakukan sesuatu yang merusaknya.
Niat mempunyai posisi yang sangat penting apabila berkaitan dengan berbagai
macam aktivitas manusia. Seperti pada saat ibadah salat puasa haji dan lainnya.
Seperti dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia sebagai individu
maupun makhluk sosial contohnya makan minum tidur dan lainnya. Secara garis
besar fungsi niat ada dua, antara lain sebagai berikut:
Contoh: wudhu dengan cuci muka dan mandi biasa dengan mandi suci, yang
membedakan antara thaharah dan penyejuk badan adalah niatnya.
Contoh: sholat dhuhur, sholat ashar dan sholat isya', ibadah ini sama empat
rakaatnya yang membedakan antara keduanya adalah niat. Sholat sunnah qobliyah
subuh dengan sholat subuh, sama-sama dua rakaat yang membedakan antara
keduanya adalah niat.
B. Cabang kaidah
َ الَث َ َو
ِّ اب ا َِّّال ِّب
1. النيَّ ِّة
Kaidah berkaitan dengan perbuatan yang dianggap baik atau buruk apabila
tidak ada niat pelakunya. Dalam hal ini, perbuatan tidak akan mendapatkan pahala
selama tidak diniatkan dengan niat yang baik. Seperti a shalat dan tayamum; ada
juga yang masih dipeselisihkan umpamanya niat wudhu'. Dalam hal ini ulama
16
Syafi‟iyah dan Malikiyah menganggapnya wajib (rukun), sedangkan ulama
Hanafiyah menganggapnya sunnah mu'akkadah. Ini berarti, ada niat maka
berwudhu mendapat pahala, tetapi bila tanpa niat maka ber-whudu‟ tidak berpahala
sekalipun shalat yang dilakukan adalah sah. Ulama Hanabilah menganggapnya
syarat sah.
ِّ ط فِّ ْي ِّه الت َ ْع ِّي ْينُ فَاال َخ َطأ ْ فِّ ْي ِّه ُمب
2. ْطل ُ شت َ َر
ْ َُماي
Artinya: " Dalam perbuatan yang disyaratkan menyatakan niat (ta'yin) maka
kesalahan pernyataan dapat membatalkan perbuatan tersebut."
3. طأ ْ ض ََّر
َ عيَّنَهُ َوأ َ ْخ
َ ط ت َ ْع ِّي ْينُهُ ت َ ْف ِّص ْيالً اِّذَا ْ ُض لَهُ ُج ْملَةً َوالَ ي
ُ شت َ َر ُ شت َ َر
ُ ط التَّعَ ُّر ْ َُماي
Artinya: "Perbuatan disyaratkan ta'arrudh niat secara global dan tidak disyaratkan
ta'yin niat secara rinci, bila ta'yin niatnya salah maka berbahaya."
Dalam kaidah ini, misalnya seseorang shalat di rumah sendiri, padahal dia
shalat di rumah orang lain maka shalat seseorang tersebut adalah sah. Sebab niat
shalat telah dilakukan sedangkan yang keliru hanya pernyataan tempat. Pernyataan
tempat ini tidak ada kaitannya dengan niat shalat baik secara global maupun
terperinci.
Artinya: "Suatu perbuatan yang, baik secara keseluruhan atau secara terperinci,
tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata keliru,
maka tidak berbahaya."
Pada kaidah ini dapat dipahami bahwa, apabila seseorang meniatkan sholat
itu pada hari sabtu, padahal sholat hari itu hari jum'at. Maka sholatnya tetap sah
17
karena meniatkan hari sholat tidaklah disyaratkan dalam solat. Demikian seseorang
imam yang sholat meniatkan bahwa makmumnya adalah hasan, padalah
makmumnya adalah husen. Maka sholatnya tetap sah, karena meniatkan siapa yang
menjadi makmum itu tidak disyaratkan dalam sholat.
Artinya: "Tujuan ucapan tergantung pada niat orang yang mengucapkan, kecuali
dalam satu tempat, yaitu sumpah di hadapan Qadhi. Dalam kondisi ini, maksud
lafadz adalah menurut niat qadhi."
Pada kaidah ini dapat dipahami bahwa, apabila seorang suami memanggil
dengan panggilan thaliq (orang yang ditalaq) kepada istrinya, maka apabila niat
penggilan itu adalah untuk menceraikan istrinya maka jatuhlah talaq. Tapi, apabila
diucapkan hanya semata-mata bermaksud memanggil bukan naita talaq maka tidak
jatuh talaq. Seperti dalam keadaan bersumpah dihadapan qadhi pada sebuah
persidangan, maka niat yang dipakai adalah niat qadhi, baik antara orang yang
bersangkutan dengan qadhi satu keyakinan madzhab atau tidak.
Artinya: "yang dipertimbangkan dalam transaksi adalah maksud dan makna, bukan
lafal dan bentuk ucapan."
a) Suatu ungkapan yang diucapkan seseorang tanpa niat dan tidak sadar,
contohnya orang yang sedang tidur, orang gila dan orang mabuk.
Ungkapan seperti ini menurut ulama harus diabaikan dan tidak
diperhatikan.
18
b) Suatu ungkapan seseorang yang diucapkan lafalnya saja, bukan tujuan
makna lafanya. Contohnya ucapan anak kecil yang belum mumayiz, dan
lain sebagainya.
c) Suatu ungkapan seseorang dengan tujuan pengucapan, mengetahui
makna, namun hanya secara zahir dan tidak secara batin. Contohnya
ungkapan seseorang yang dipaksa dan ungkapan seseorang yang main-
main.
d) Suatu ungkapan seseorang dengan tujuan melafalkannya dan
mengetahui maknanya.
Kaidah ini memiliki pengertian bahwa niat pada sumpah yang mengkhusukan
lafdz umum dan tidak mengumumkan lafadz yang khusus. Seperti apabila
seseorang bersumpah tidak akan berkata kepada siapapun, akan tetapi dalam
hatinya berniat hanya berkata kepada zaid maka ia harus membayar kafarah.
Sedangkan, apabila seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah kecuali dalam
keadaan haus maka tidak wajib membayar kafarah apabila ia makan atau memakai
baju dalam rumah.
19
BAB IV
Kesimpulan
20
Daftar Pustaka
21