Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

‫االمور بمقاصدها‬
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Qawaidh Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :
Dr. Badruddin, M.HI

Disusun oleh :
Maghfirotul Mutsaniyah (210201110167)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM
MALANG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 4
KAJIAN TEORI ..................................................................................................... 4
A.Pengertian ...................................................................................................... 4
B.Sumber Hukum ................................................................................................ 5
C.Pemikiran Ulama dalam Memahami Sumber hukum. ..................................... 7
D.Sejarah kaidah muncul .................................................................................... 9
BAB III ................................................................................................................. 11
PEMBAHASAN ................................................................................................... 11
A.Qawaidh Fiqhiyyah dan implementasinya ................................................. 11
B.Cabang kaidah ........................................................................................... 16
BAB IV ................................................................................................................. 20
Kesimpulan ........................................................................................................... 20
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 21

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul "
‫"االمور بمقاصدها‬. Makalah ini disusun sebagai bagian dari tugas UAS mata pelajaran
Qawaidh Fiqhiyyah.

Dalam proses penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Badruddin, M.HI selaku dosen mata
kuliah Qawaidh Fiqhiyyah, juga kepada pihak-pihak yang turut serta membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan
dan pengembangan makalah ini di masa yang akan datang. Akhir kata, kami mohon
maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Malang, 15 Juni 2023

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qawaidh fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah yang bersifat umum yang


mengelompokkan masalah-masalah fiqh secara terperinci. Pengelompokan kaidah-
kaidah tersebut memudahkan dalam mengistinbatkan (menyimpulkan) hukum bagi
suatu masalah, dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan
suatu kaidah. Menurut para fuqaha, kaidah fiqhiyyah merupakan hukum kulli
(kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian atau cabang-cabangnya.
Maka dapat diketahui bahwa kaidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun
beberapa banyak masalah fiqh dari berbagai bab, para fuqaha juga mengembalikan
masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.
Kaidah-kaidah fiqh merupakan kaidah yang sangat penting dan menjadi
kebutuhan bagi kaum muslim. Namun, masih banyak orang yang kurang
memahamai kaidah ini, untuk itu perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari dan
mengkaji ulang ilmu ini. Seorang yang menguasai kaidah-kaidah fiqh diharapkan
benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh ini merupakan titik temu
dari masalah-masalah fiqh. Dalam mempelajari kaidah fiqh diharapkan bisa lebih
moderat dalam menyikapi suatu masalah fiqh, sehingga bisa mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masayarakat
saat ini dengan baik.
Dalam kaidah pertama yang menjelaskan tentang niat. Manusia dalam
melakukan suatu prilaku atau perbutan selalu menggunakan pikiran dan perasaan.
Dengan tujuan ingin membangun tujuna hidup dan idealismenya. Tanpa sebuah
tujuan, perbuatan yang dilakukan manusia menjadi tanpa makna. Seperti, aktivitas
makan yang awal tujuannya inigin menghilangkan lapar, akan lebih bermakna jika
tujuannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Dalam realitas, setiap perbutan yang
dikerjakan pasti didasari oleh tujuan. Jika tidak ada tujuan maka perbuatan itu tanpa
makna atau bersifat spekulasi. Misalnya, tidur untuk istirahat, makan agar kenyang,

1
minum agar tidak haus dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa niat itu
sangat penting (krusial) dalam kehidupan. Niat dianggap krusial karena menetukan
segala gerak langkah yang dilakukan, yang memiliki konsekuensi pada perbutan itu
bernilai baik atau buruk? Bernilai ibadah atau tidak? Berpahala atau tak bermakna?
Pada hal inilah kaidah al-umur bi al-maqashid ini menjadi sangat penting dipahami.
Kaidah ini dapat menyelesaikan beberapa masalah yang lalu maupun
kontemporer mengenai niat. Seperti perlunya adanya niat, waktu niat, tempat niat,
syarat-syarat niat, yang membatalkan niat, bagaimana caranya, dan lain-sebaginya.
Akan dilakukan analisis yang mendalam terhadap kaidah tentang niat, seperti
sumber dari kaidah fiqh, produk pemikiran ulama dalam kaidah ini, sejarah awal
mula kaidah ini, urgensi dari kaidah ini, contoh penerapan dari kaidah, dan
sebagainya. Dengan mengetahui semua ini, maka akan memiliki hidup yang
berkualitas, baik didunia dan akhirat.
B. Rumusan Masalah

Dari uraian pemikiran yang terdapat pada latar belakang diatas, terdapat
permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Qawaidh Fiqhiyyah ‫ االمور بمقاصدها‬dan implementasinya?


2. Bagaimana penyelesaian permasalahan fiqh berdasarkan cabang kaidah
dari ‫?االمور بمقاصدها‬
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang dirumuskan diatas, tujuannya adalah:

1. Untuk mengetahui Qawaidh Fiqhiyyah ‫بمقاصدها‬ ‫االمور‬ dan


implementasinya.
2. Untuk mengetahui penyelesaian permasalahn fiqh dan cabang kaidah
dari ‫االمور بمقاصدها‬.
D. Ruang Lingkup

Runag lingkup yang sekaligus obyek pembahasan agar dalam penulisan ini bisa
jelas. Memberi batas terhadap permasalahan yang akan dibahas di makalah ini,
yaitu:

2
1. Qawaidh Fiqhiyyah ‫ االمور بمقاصدها‬dan implementasinya.
2. Penyelesaian permasalahan fiqh berdasarkan Cabang kaidah dari ‫االمور‬
‫ بمقاصدها‬.

3
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian
Kaidah pertama ini merupakan kaidah induk, karena banyak kaidah-kaidah
canbang yang dapat dikembalikan pada kaidah ini. ‫ االمور بمقاصدها‬Memiliki arti
segala sesuatu tergantung kepada tujuannya. Lafal al-umur merupakan bentuk jama'
dari kata tunggal al-amru yang secara bahasa memiliki arti perubahan dan tingkah.
Maksudnya adalah seseorang apabila melakukan sesuatu perbuatan pasti terdapat
niat atau tujuan didalamnya, karena sudah menjadi kriteria yang dapat menentukan
nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan baik berhubungan
dengan peribadatan maupun adat kebiasaan. Pada intinya kaidah ini mencakup
semua hal tentang niat.

Hukum perbutan dikembalikan kepada niat apabila seseorang meninggalkan hal-


hal yang dilarang demi melaksanakan perintah, maka seseorang tersebut diberikan
pahala atas perbutannya. Sedangkan apabila seseorang meninggalkan hal-hal yang
dilarang tersebut hanya berdasarkan kebiasaan maka tidak ada pahala baginya.
Misalnya Allah melarang makan bangkai kecuali dalam keadaan darurat, apabila
seseorang meninggalkan makan bangkai karena jijik, maka tidak ada pahala
baginya. Namun apabila dia tidak makan bagkai karena ada larangan syara' maka
Allah memberi pahala baginya.

Dalam kaidah pertama ini terdapat hadist yang menjadi kandungan utamanya.
Pertama, lafadz ‫ إنَّ َما‬yang memiliki makna "hanya", yaitu menetapkan sesuatu yang
disebut. Kata "hanya" tersebut dimaksud sebagai pengecualian secara mutlak dan
pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian tersebut
dapat diketahui dari susunan kalimatnya. Pada lafadz hadist ini "segala amal hanya
tergantung niatnya". Maksudnya amal disini adalah semua amal yang dibenarkan
syari'at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari'at tanpa niat maka tidak berarti
apa-apa menurut agama. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung
niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut.

4
Sebagian memahami niat sebagai syarat, sehingga amal tidak sah tanpa niat.
Sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna, sehingga amal itu akan
sempurna apabila ada niat.

Terdapat beberapa hal yang harus dipahami dalam kaidah ini. Pertama, tujuan
niat itu merupakan pembeda antara perbuatan ibadah dari dari perbuatan yang adat
untuk menetukan spesifikasi atau kekhususan, misalnya antara mandi biasa dengan
mandi besar untuk mencuci badan dari hadast besar. Dengan adanya niat, maka
akan terbedalah antara berpuasa dengan menahan lapar untuk menghindari penyakit
atau diet. Kemudian menyembeli hewan untuk lauk dengan untuk kurban, ini dapat
dibedakan dengan niat. Sedangkan dalam sholat dan puasa ada yang wajib dan
sunnag, maka secara spesifik yang membedakan hanyalah niatnya.

Kedua, persoalan fiqh yang dapat dirujuk kepada kaidah ini adalah hukum islam
bidang ibadah dan muamalah dalam arti luas. Dalam bidang ibadah, contohnya
bersuci (wudhu, mandi, tayamum), shalat(wajib, sunnah, jama', qoshor, jama'ah,
munfarid), puasa, I'tikaf, haji, umroh dan lainya. Sedangkan bidang muamalah,
contohnya akad jual beli, qishas, melunasi hutang, luqatah, jinayat, dan lainnya.
Semua itu dapat dikembalikan kepada kaidah al-umur bi al-maqashid.

Ketiga, segala amal perbuatan manusia yang dinilai adalah niat yang
melakukannya, dan amal perbuatan itu harus yang masuk dalam kategori perbuatan
yang diperbolehkan. Segala perbuatan yang haram, sekalipun dilakukan dengan niat
baik, tetap tidak boleh dilakukan, kecuali hal-hal yang pada saat tertentu memang
dibenarkan oleh hukum. Seperti berbohong pada dasarnya dilarang, namun apabila
berbohonh untuk menghindari pertengkaran, agar tetap utuh rumah tangga maka
diperbolehkan. Kemudian, berjudi dengan niat untuk dibagikan kepada fakir miskin
jelas tidak dibenarkan. Dengan segala niat baik, melakukan perbuatn pada dasarnya
mubah, tetap harus dipertimbangkan efeknya.

B. Sumber Hukum

1. Al-Qur'an

5
Al-Qur'an merupakan sumber hukum yang dijamin oleh Allah SWT tidak dapat
dipalsukan oleh siapapun. Keharusan melakukan niat dalam ibadah, Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Bayyinah(98) ayat 5:

ِّ ُ‫ّٰللا ُم ْخ ِّل ِّص ْي َن لَه‬


‫الد ْي َن‬ َ ‫َو َما ٓ ا ُ ِّم ُر ْٓوا ا َِّّال ِّليَ ْعبُدُوا ه‬
"Mereka(orang-orang kafir) tidak diperhatikan kecuali untuk
menyembah(beribadah) kepada Allah, dengan ikhlas menaati-Nya dalam beragama
(ibadah)."

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa iklah yang termuat dalam kata "Mukhlishin",
adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan pada saat ibadah. Ikhlas adalah
perkerjaan hati yang hanya terwujud melalui perantara niat. Karena keterkaitan
yang tidak bisa dipisahkan adalah antara ibadah dan niat. Berniat merupakan hal
yang wajib, seperti diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Pembahasan mengenai
niat, ibadah, dan ikhlas merupakan hal yang saling bersinggungan, dam merupakan
kandungan dari ayat diatas, disinilah terbnagunnya kaidah al-umur bi maqashidiha.

2. Hadist

Hadist Nabi Muhammad SAW. Yang merupakan pondasi terbangunnya kaidah


ini adalah sebagai berikut:

ِّ‫ت و ِّإنَّما ِّلك ُِّل امريءٍ ما نَ َوى َف َم ْن كَا َنتْ هِّجْ َرتُهُ إلى هللا‬
ِّ ‫إنَّ َما األع َمال بالنِّيَّا‬
‫س ْو ِّل ِّه و َم ْن كَانَتْ ِّهجْ َرتُهُ ِّل ُد ْنيَا يُ ِّص ْيبُها أو‬ َ ِّ‫فهجْ َرتُهُ إلى هللا‬
ُ ‫ور‬ ِّ ‫سو ِّل ِّه‬
ُ ‫ور‬
َ
ِّ ‫امرأ ٍة يَ ْن ِّك ُح َها‬
‫فهجْ َرتُهُ إلى ما َها َج َر إلي ِّه‬
"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena

6
mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang
yang ia tuju."

Awal pemahaman hadist mungkin menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak


akan ada tanpa niat. Namun, hadist ini tidak bisa dimaknai secara sepintas karena
sebuah pekerjaan bisa ada meskipun tidak ada niat. Namun terdapat beberapa
pendapat dan analisis ulama mengenai hadist ini.

C. Pemikiran Ulama dalam Memahami Sumber hukum.


1. Sumber hukum Al-Qur'an

Surat Al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan keharusan melakukan niat dalam


beribadah. Menurut Al-Qurthubi menafsirkan sebagai ibadah, beliau menjelaskan
bahwa "ikhlas" yang termuat dalam kata "mukhlishin" merupakan perbutan hati
yang hanya dilakukan dalam beribadah. Ikhlas merupakan pekerjaan hati yang
hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena jelas bahwa ada keterkitan
antara ibadah dan niat. Berniat merupakan suatu hal yang wajib, seperti
diwajibkannya ikhlas dalam beribadah dan keduanya merupakan hal yang tidak
dapat dipisahkan.

2. Sumber hukum Hadist

Hadist tentang niat ini merupakan pondasi terbangunnya kaidah al-umur bi


maqashidiha. Menurut analisis Muhammad Yasin Al-Fadani, hadist ini adalah
penilaian terhadap predikat sebuah pekerjaan yang berkaitan erat dengan
keberadaan atau eksistensi, misalnya sah atau sempurna. Dengan adanya penilaian
tersebut, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat bergantung pada
niat pelakunya.

Namun dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan pendapat antara


ulama seputar penafsiran substansi hadist ini. Ulama yang mewakili kalangan
syafi'iyah, berpendapat bahwa titik penekanan hadist hanya tentnag keabsahan
sebuah pekerjaan. Misalnya jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan itu
tidak akan mendapat pengabsahan (legalitas) dari syariat. Dari golongan

7
Hanafiyyah menafsirkan dengan makna "kesempurnaan pekerjaan". Kesempurnaan
merupakan sebuah perbuatan menurut mareka tergantung dengan niatnya. Dari
penafsiran menurut Hanafiyyah, kemudian dapat dipahami bahwa pekerjaan yang
tidak diniati tetap sah sekalipun tidak dikatakan sempurna.

Dalam mengukur kekuatan dua pendapat diatas, Ibnu Hajar al-Haytami


berpendapat bahwa yang dikemukakan syafi'iyah lebih unggul. Karena pendapat
syafi'iyyah yang mengartikan "Innama al-a'mal" denagn terjemah keabsahan
sebuah perbuatan, lebih medekati makna hakiki daripda makna majazi yang telah
dikemukakan oleh Hanafiyyah. Dalam gramatika Arab menegaskan, bahwa suatu
kata yang bermakna mutlak akan lebih mudah dipahami apabila diarahkan pada
makna hakiki.

Dengan demikian, perbedaan pendapat Syafi'iyyah dan Hanafiyyah sebenarnya


tidak begitu tajam. Dalam beberapa persoalan, Hanafiyyah tetap sepakat dengan
Syafi'iyyah, bahwa ibadah yang berdiri sendiri. Misalnya, shalat tetap harus diniati
dan berbeda dengan ibadah yang tidak menyendiri (masih bergantung) pada ibadah
lain, seperti wudhu atau ibadah yang menjadi sarana bagi ibadah lain seperti
tayamum, menurut Hanafiyyah tidak membutuhkan niat.

Pendapat Ulama muta'akhirin madzhab Hanbali memiliki pandangan yang


berbeda, misalnya mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan amal perbuatan
dalam hadist ini hanyalah amal-amal syar'i. Misalnya setiap perbuatan yang
dilakukan dalam susunan hukum-hukum syariat. Dengan demikian menurut mereka
amal syar'i akan dianggap sah, diperhitungkan atau diterima bila telah melalui
perantara niat. Dengan pemahaman pendapat yang terakhir ini sebenarnya memiliki
pemahaman yang hampir selaras dengan kalangan Syafi'iyyah. Perbedaan pendapat
muta'akhiirin madzhab Hanbali ini mempunyai konsekuensi bahwa perbutan yang
tidak membutuhkan niat seperti meminjam atau mengembalikan barang pinjaman
dan lain sebaginya, sama sekali tidak diharuskan untuk diniati.

Dari pihak lain, beberapa ulama berpendapat bahwa kata "a'mal" dalam hadist
itu harus dimaknai sebagai, semua perbuatan secara umum tanpa dibatasi hanya

8
pada perbuatan-perbuatan syar'i saja. Pendapat ini erupakan pandangan imam Ibnu
Hanbal (780-855M). Pandangan ini Ibnu Hanbal mengarahkan agar setiap orang
agar mendahulukan niat saat melakukan aktifitas ibadah seperti shalat, puasa atau
beragam amal lainnya. Menurut penafsiran Ibnu Hanbal yang dimaksud dengan
"a'mal" dalam hadist ini adalah seluruh perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh
manusia (a'mal al-ikhtiyariyyah). Sebuah pekerjaan tidak akan terlaksana tanpa
adanya kesengajaan pelaku. Pada redaksi kedua "wa innama li kulli imri'in ma
nawa", menurut pendapat Ibnu Hanbal penjelasan dari perbuatan syar'I, terkandung
dalam muatan pesan bahwa hasil yang didapatkan seseorang tergantung dari
niatnya. Jika niat baik maka perbutannya akan baik dan mendapatkan pahala.
Sebaliknya apabila nitanya jelek maka akan berimbas pada perbutan yang ikut
menjadi jelek dan mendapatkan dosa.

Pada permulaan hadist ini terdapat lafadz "innama" yang berfungsi sebgai
pembatas rangkaian kalimat sesudahnya. Artinya kata "al-a'mal bi al-niyyat"
didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya
dengan niat amal perbutan seseorang akan layak diperhitungkan, misalnya
dianggap sebagai amal ibadah dan tidak selainnya.

D. Sejarah kaidah muncul

ِّ ‫ إنَّ َما األع َمال بالنِّيَّا‬yang merupakan hadist


Sejarah muncul kaidah ini adalah ‫ت‬
shahih dan masyhur yang dikelurakan oleh al-aimmah as-sittahh, yaitu Imam
Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam At-Tirmidzi, dan
Imam Ibnu Majah. Adapun periwayatan para ulama berbeda pendapat ada yang
mengatakan bahwa periwayatan ini melalui Umar Bin Al-Khattab dan ada yang
mengatakan melalui Ali Bin Abi Thalib. Namun Imam Malik tidak tercantum
dalam periwayatan hadist ini.

Hadist ini merupakan pokok penting dalam ajaran islam. Menurut Imam
Syafi'I, Ahmad, dan Al-Baihaqi, hadist tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.
Diriwayatkan dari Imam Syafi'i, hadist ini mencakup tujuh puluh bab fiqh dan
beberapa ulama mengatakan hadist ini mencakup sepertiga ajaran islam. Para ulama

9
mengutip hadist ini sebagai memulai tulisan-tulisannya. Abdurrahman Bin Mahdi
berkata "bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadist ini,
untuk mengingatkan para pembaca agar meluruskan niatnya."

Hadist tentang niat ini jika dilihat dari sumber sanadnya, hadist ini adalah
hadist ahad. Karena diriwayatkan oleh Umar bin Khattab dari Nabi Muhammad
SAW. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh Al-Qamah bin Abi Waqash, kemudian
hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi, selanjutnya
diriwayatkan oleh Yahya bin Sa'id al-Anshari, Kemudian barulah menjadi terkenal
para perawi selanjutnya. Lebih dari 200 perawi meriwayatkan dari Yahya bi Sa'id
dan kebanyakan mereka adalah para imam yang terkenal.

Hadist ini muncul karena seorang laki-laki yang ikut berhijrah dari makkah ke
Madina yang memiliki tujuan menikahi perempuan yang bernama Ummu Qais.
Laki-laki tersebut dalam hijrahnya tidak mendapatkan padahala hijrah karena
bertujuan menikahi perempuan, memiliki julukan Muhajir Ummu Qais.

10
BAB III

PEMBAHASAN

A. Qawaidh Fiqhiyyah dan implementasinya

1. Substansi niat

Niat secara etimologi adalah tujuan. Niat dalam pengertian syariat adalah
ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Niat adalah kesenjangan melakukan
suatu perbuatan secara bersamaan dengan pelaksanaannya seperti pendapat Al
Mawardi dan Ibnu Hajar. Hal ini dapat memunculkan asumsi bahwa niat harus
dilakukan pada awal ibadah tidak boleh sebelum atau sesudah pelaksanaan ibadah.
Namun menurut pendapat Ibrahim Al Kurdi definisi ini belum bisa mencakup niat
dalam ibadah puasa yang tidak bersamaan dengan puasa itu sendiri. Dan definisi ini
memiliki kelemahan karena tidak bisa mencakup niat sebuah pekerjaan yang tidak
sampai atau tidak sempat terlaksana. Seperti orang yang yang memiliki tujuan
melakukan kebajikan dan tidak sampai terlaksana, dalam syariat tetap memberi
penghargaan padanya dengan adanya pahala.

Menurut Al Baidowi definisi niat adalah sebagai kehendak yang mendorong


seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan motif mencari ridho Allah
SWT. Definisi ini mungkin dapat mencakup semua hukum-hukum cabang fiqih
walaupun belum menyentuh pada tataran hukum formal yang sangat berkaitan
dengan keabsahan suatu ibadah.

2. Status niat

Pendapat fuqaha mengenai status niat dalam beribadah memiliki pendapat


yang berbeda-beda, apakah itu termasuk rukun atau syarat. Perbedaan ini berawal
dari berbagai macam latar belakang masalah yang mereka hadapi. Ulama yang
melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah dan niat
itu merupakan rukun. Sedangkan fuqaha yang memandang bahwa niat harus tetap
ada, maka status niat sebagai syarat. Menurut pendapat ulama mengenai status ada
beberapa, antara lain sebagai berikut:

11
a. Segolongan ulama, menurut mereka niat adalah rukun karena niat
termasuk dalam ibadah.
b. Al qadli abu Tayyib dan ibnu shabbagh, menurut mereka niat adalah
syarat karena apabila tidak dikatakan syarat tentu niat akan
membutuhkan niat lagi dan begitu seterusnya sehingga akan menjadi
mata rantai dan tidak ada selesainya.
c. Al rofi'i dan Al Nawawi, menurut mereka niat adalah rukun dalam salat
sedangkan dalam puasa niat adalah syarat.
d. Menurut Al Ghazali dalam puasa niat adalah rukun sedangkan dalam
salat adalah syarat.

Dengan adanya perbedaan pendapat mengenai status niat. Menurut


taqiyuddin Al- Hishni, status niat setiap pekerjaan yang keabsahannya tergantung
pada niat maka ia dinamakan rukun dalam pekerjaan itu. Misalnya salat yang tidak
sah apabila didirikan tanpa niat. Sedangkan satu pekerjaan yang bisa sah tanpa niat,
tetapi apabila ingin mendapatkan pahala pekerjaan itu masih bergantung pada niat.
Contohnya apabila meninggalkan maksiat yang tujuannya untuk beribadah maka
niatnya dinamakan syarat dalam hal ini maka bisa mendapatkan pahala.

3. Tempat niat

Tempat setiap ibadah terletak di hati karena hakikatnya niat sendiri adalah
Alqashdu(keinginan). Menurut imam Al Baidowi, niat dengan dorongan hati untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ia lihat atau rasakan guna mendapatkan
manfaat dan mencegah bahaya baik saat ini atau yang akan datang. Dalam syariat
mengkhususkan keinginan itu agar mendapatkan ridho dari Allah dan untuk
melaksanakan hukum-hukum-Nya. Hal ini membuat pemaknaan niat terdapat dua
kesimpulan:

a. Niat tidak cukup dengan lisan saja tanpa adanya keinginan dalam hati,
seperti apabila seseorang berniat di dalam hati dan lisan maka yang sah yaitu
niat dalam hati. Contohnya seseorang yang bersumpah namun tidak

12
diniatkan dalam hati maka ketika melanggar sumpah tersebut tidak terkena
kafaroh.
b. Niat cukup dengan hati saja tanpa harus ada lafaf atau pengucapan.
Contohnya apabila seseorang niat dalam hati ingin membangun masjid maka
tanah itu dapat menjadi masjid tanpa harus adanya pengucapan niat.

4. Waktu pelaksanaan niat

Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah menurut ulama huruf ba
yang terdapat dalam kata "bi al niyyat" mempunyai kata membersamakan. Hal ini
memberi pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal dan niat tidak boleh
diakhirkan dari amal yang akan dikerjakan dan didahulukan. Dalam ibadah niat
berada di awal ibadah namun ada beberapa yang diperbolehkan mendahulukan niat
sebelum ibadah. Terdapat beberapa contoh niat yang boleh didahulukan karena
faktor kesulitan kebersamaan dalam permulaan ibadah:

a. Puasa wajib, niat puasa wajib harus dilakukan pada awal pelaksanaan yaitu
tepat pada saat munculnya fajar Shodiq. Namun karena sangat sulit
mengetahui munculnya fajar Shodiq maka syariat memberi kebijakan
bahwa niat puasa bisa dimajukan waktunya yaitu sebelum waktu subuh tiba.
Sedangkan niat pada puasa sunnah boleh dilaksanakan walaupun setelah
terbitnya fajar Shodiq yang penting tidak melewati masa tergelincirnya
matahari keringanan ini dilatarbelakangi adanya hadis yang menceritakan
bahwa pada saat berpuasa sunnah nabi Muhammad SAW tidak memiliki
makanan dan Nabi Muhammad puasa. Hadis ini adalah dalil yang
menunjukkan bahwa niat puasa sunnah dapat dilaksanakan pada siang hari.
b. Pembagian zakat, pelaksanaan niat dalam pembagian zakat pada fakir
miskin menurut beberapa pendapat boleh didahulukan karena
mempertimbangkan faktor kesulitan dalam pelaksanaannya.
c. Kafarah
d. Menyembelih qurban

13
Ibadah dalam Islam mempunyai dua permulaan yang dikenal dengan istilah
awal hakiki dan awal nisbi. Awal hakiki adalah permulaan suatu pekerjaan yang
tidak didahului oleh apapun. Sedangkan awal nisbi adalah permulaan yang masih
didahului perkara lain. Contoh pada saat tayamum pertama kali harus dilakukan
adalah niat yang bersamaan dengan memindahkan debu dan ini merupakan awal
hakiki. Dan pada saat waktu memindahkan debu niat tayamum juga harus dilakukan
berbarengan dengan awal nisbi yaitu pada saat mengusap debu pada wajah.

5. Hal yang membatalkan niat

Hal-hal yang membatalkan niat antara lain sebagai berikut:

a) ridho atau murtad yaitu terputusnya agama Islam seseorang baik yang
ditimbulkan dari niat ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekufuran.
b) berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan
misalnya orang yang sedang melakukan salat kemudian berniat memutuskan
salatnya maka salatnya menjadi batal.
c) niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain,
contohnya mengganti sebuah sholat fardhu dengan salat fardhu yang lain
maka keduanya tidak sah dan apabila mengganti salat Sunnah menjadi salat
fardhu maka salatnya tidak sah keduanya.
d) merubah salat Sunnah rawatib menjadi salat Sunnah rawatib yang lain maka
salatnya tidak sah seperti salat Sunnah witir berubah menjadi salat sunnah
fajar maka tidak sah.
e) ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang
diniati. Contohnya berwudhu dengan niat untuk mendirikan salat sekaligus
tidak mendirikan salat secara bersamaan, berwudhu dengan niat untuk
melaksanakan salat di tempat yang najis, dan orang yang berwudhu di bulan
Muharram untuk melaksanakan salat hari raya pada waktu Syawal dengan
rentang waktu antara wudhu dan pelaksanaan salat mencapai 10 bulan.

6. Tata cara melakukan niat

14
Dalam pelaksanaan niat adalah suatu yang kondisional tergantung pada
objek yang diniati. Contohnya pada saat wudhu maka yang diniati adalah
menghilangkan penghalang salat seperti hadats. Dan pada saat salat dalam salat
yang diniati adalah melaksanakan beberapa pekerjaan dengan ucapan tertentu yang
dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam.

7. Syarat-syarat niat.

Niat seperti dalam penjelasan sebelumnya pada dasarnya adalah ibadah


yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu. Tanpa syarat-syarat itu seseorang
tidak dapat disebut berniat baik dipandang dari tinjauan syara maupun akal. Syarat
niat ada 4 antara lain sebagai berikut:

a. Islam

Orang yang melaksanakan niat haruslah orang muslim. Contohnya Zakat


yang dikeluarkan oleh seseorang yang murtad adalah sah dan puasanya seorang
kafir yang masuk Islam ketika terbitnya fajar maka puasanya sah.

b. Tamyiz

Tamyiz yang dimaksud adalah potensi yang terdapat pada otak seseorang
yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang menjadikan
kebutuhan vitalnya dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Contohnya
ibadah seorang anak kecil yang belum mumayyiz dan orang gila maka ibadahnya
tidak sah.

c. Mengetahui status ibadah yang diniati

Maksud dari syarat ini adalah pengetahuan seseorang terhadap status hukum
ibadah yang diniati apakah tergolong ibadah fardhu sunnah atau yang lainnya.
Apabila seseorang yang tidak mengetahui fardhu wudhu dan salat atau mengetahui
fardhunya namun tidak mengetahui rukunnya maka wudhu dan salatnya tidak sah.

d. Tidak melakukan sesuatu yang bisa membatalkan niat tersebut

15
Pada syarat keempat ini yang yang dimaksudkan bertujuan untuk menjaga
niat dari hal-hal yang merusak seperti ragu-ragu dalam niat. Apabila seseorang
ketika salat masih ragu-ragu maka salatnya menjadi batal karena dia telah
melakukan sesuatu yang merusaknya.

8. Fungsi disyari'atkan niat

Niat mempunyai posisi yang sangat penting apabila berkaitan dengan berbagai
macam aktivitas manusia. Seperti pada saat ibadah salat puasa haji dan lainnya.
Seperti dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia sebagai individu
maupun makhluk sosial contohnya makan minum tidur dan lainnya. Secara garis
besar fungsi niat ada dua, antara lain sebagai berikut:

a. Sebagai pembeda antara ibadah dan adat kebiasaan.

Contoh: wudhu dengan cuci muka dan mandi biasa dengan mandi suci, yang
membedakan antara thaharah dan penyejuk badan adalah niatnya.

b. Sebagai pembeda tingkatan ibadah

Contoh: sholat dhuhur, sholat ashar dan sholat isya', ibadah ini sama empat
rakaatnya yang membedakan antara keduanya adalah niat. Sholat sunnah qobliyah
subuh dengan sholat subuh, sama-sama dua rakaat yang membedakan antara
keduanya adalah niat.

B. Cabang kaidah

Kaidah ‫ االمور بمقاصدها‬merupakan kaidah induk, kemudian muncul kaidah lain:

َ ‫الَث َ َو‬
ِّ ‫اب ا َِّّال ِّب‬
1. ‫النيَّ ِّة‬

Artinya: "tidak ada pahala kecuali niat."

Kaidah berkaitan dengan perbuatan yang dianggap baik atau buruk apabila
tidak ada niat pelakunya. Dalam hal ini, perbuatan tidak akan mendapatkan pahala
selama tidak diniatkan dengan niat yang baik. Seperti a shalat dan tayamum; ada
juga yang masih dipeselisihkan umpamanya niat wudhu'. Dalam hal ini ulama

16
Syafi‟iyah dan Malikiyah menganggapnya wajib (rukun), sedangkan ulama
Hanafiyah menganggapnya sunnah mu'akkadah. Ini berarti, ada niat maka
berwudhu mendapat pahala, tetapi bila tanpa niat maka ber-whudu‟ tidak berpahala
sekalipun shalat yang dilakukan adalah sah. Ulama Hanabilah menganggapnya
syarat sah.

ِّ ‫ط فِّ ْي ِّه الت َ ْع ِّي ْينُ فَاال َخ َطأ ْ فِّ ْي ِّه ُمب‬
2. ‫ْطل‬ ُ ‫شت َ َر‬
ْ ُ‫َماي‬

Artinya: " Dalam perbuatan yang disyaratkan menyatakan niat (ta'yin) maka
kesalahan pernyataan dapat membatalkan perbuatan tersebut."

Dalam kaidah ini, contohnya seseorang yang menunaikan sholat dhuhr,


tetapi dengan ta'yin sholat ashar. Seseorang menunaikan puasa qadha' dengan ta'yin
niat puasa sunnah. Maka kesalahan semacam ini membuat tidak sahnya shalat atau
puasa yang dilakukannya. Karena menurut hukum Islam, ada tuntutan ta'yin niat
yang fungsinya membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain

3. ‫طأ ْ ض ََّر‬
َ ‫عيَّنَهُ َوأ َ ْخ‬
َ ‫ط ت َ ْع ِّي ْينُهُ ت َ ْف ِّص ْيالً اِّذَا‬ ْ ُ‫ض لَهُ ُج ْملَةً َوالَ ي‬
ُ ‫شت َ َر‬ ُ ‫شت َ َر‬
ُ ‫ط التَّعَ ُّر‬ ْ ُ‫َماي‬

Artinya: "Perbuatan disyaratkan ta'arrudh niat secara global dan tidak disyaratkan
ta'yin niat secara rinci, bila ta'yin niatnya salah maka berbahaya."

Dalam kaidah ini, misalnya seseorang shalat di rumah sendiri, padahal dia
shalat di rumah orang lain maka shalat seseorang tersebut adalah sah. Sebab niat
shalat telah dilakukan sedangkan yang keliru hanya pernyataan tempat. Pernyataan
tempat ini tidak ada kaitannya dengan niat shalat baik secara global maupun
terperinci.

4. ‫طألَ ْم َيض َُّر‬ َ ‫ض لَهُ ُج ْملَةً َو َال ت َ ْف ِّص ْيالً ِّإذَا‬


َ ‫عيَّنَهُ َو أ َ ْخ‬ ُ ‫شت َ َر‬
ُ ‫ط الت َّ َع ُّر‬ ْ ُ‫ما َال ي‬

Artinya: "Suatu perbuatan yang, baik secara keseluruhan atau secara terperinci,
tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata keliru,
maka tidak berbahaya."

Pada kaidah ini dapat dipahami bahwa, apabila seseorang meniatkan sholat
itu pada hari sabtu, padahal sholat hari itu hari jum'at. Maka sholatnya tetap sah

17
karena meniatkan hari sholat tidaklah disyaratkan dalam solat. Demikian seseorang
imam yang sholat meniatkan bahwa makmumnya adalah hasan, padalah
makmumnya adalah husen. Maka sholatnya tetap sah, karena meniatkan siapa yang
menjadi makmum itu tidak disyaratkan dalam sholat.

5. ‫اضي فَ ِّإنَّ َها‬


ِّ َ‫الال فِّ ِّظ إِّ َّال فِّي َم ْو ِّضعٍ َوا ِّح ٍد َو ُه َو اليَ ِّمينُ ِّع ْن َد الق‬ َ ‫اص ُد اللَّ ْف ِّظ‬
َّ ‫ع َل نِّيَّ ِّة‬ ِّ َ‫َمق‬
ِّ َ‫علَى نِّيَّ ِّة الق‬
‫اضي‬ َ

Artinya: "Tujuan ucapan tergantung pada niat orang yang mengucapkan, kecuali
dalam satu tempat, yaitu sumpah di hadapan Qadhi. Dalam kondisi ini, maksud
lafadz adalah menurut niat qadhi."

Pada kaidah ini dapat dipahami bahwa, apabila seorang suami memanggil
dengan panggilan thaliq (orang yang ditalaq) kepada istrinya, maka apabila niat
penggilan itu adalah untuk menceraikan istrinya maka jatuhlah talaq. Tapi, apabila
diucapkan hanya semata-mata bermaksud memanggil bukan naita talaq maka tidak
jatuh talaq. Seperti dalam keadaan bersumpah dihadapan qadhi pada sebuah
persidangan, maka niat yang dipakai adalah niat qadhi, baik antara orang yang
bersangkutan dengan qadhi satu keyakinan madzhab atau tidak.

ِّ َ‫قاص ِّد َوا ْل َمعَانِّي َال ِّل ْْلَلف‬


6. ‫اظ َوا ْل َمبَانِّي‬ ِّ ‫ال ِّعب َْرةُ فِّي العُقُو ِّد ِّل ْل َم‬

Artinya: "yang dipertimbangkan dalam transaksi adalah maksud dan makna, bukan
lafal dan bentuk ucapan."

Kaidah ini memiliki pengertian bahwa dalam transaksi yang didahulukan


adalah tujuan dan niat, yang bukan hanya lafal dan ucapan. Tidak sah apabila hanya
berpedoman pada ucapan saja, apabila jelas berbeda antara tujuan dan niat
seseorang. Contoh penjelas dari kaidah ini adalah:

a) Suatu ungkapan yang diucapkan seseorang tanpa niat dan tidak sadar,
contohnya orang yang sedang tidur, orang gila dan orang mabuk.
Ungkapan seperti ini menurut ulama harus diabaikan dan tidak
diperhatikan.

18
b) Suatu ungkapan seseorang yang diucapkan lafalnya saja, bukan tujuan
makna lafanya. Contohnya ucapan anak kecil yang belum mumayiz, dan
lain sebagainya.
c) Suatu ungkapan seseorang dengan tujuan pengucapan, mengetahui
makna, namun hanya secara zahir dan tidak secara batin. Contohnya
ungkapan seseorang yang dipaksa dan ungkapan seseorang yang main-
main.
d) Suatu ungkapan seseorang dengan tujuan melafalkannya dan
mengetahui maknanya.

7. َّ ‫ص الل ْف َظ العَا َّم َوالَ تُعَ ِّم ُم اللَّ ْف َظ ال َخ‬


‫اص‬ ِّ ‫النيَّةُ في اليَ ِّم‬
ُ ‫ين ت ُ َخ ِّص‬

Artinya: "Niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'amm, tidak meng-umum-kan


lafaz yang khash."

Kaidah ini memiliki pengertian bahwa niat pada sumpah yang mengkhusukan
lafdz umum dan tidak mengumumkan lafadz yang khusus. Seperti apabila
seseorang bersumpah tidak akan berkata kepada siapapun, akan tetapi dalam
hatinya berniat hanya berkata kepada zaid maka ia harus membayar kafarah.
Sedangkan, apabila seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah kecuali dalam
keadaan haus maka tidak wajib membayar kafarah apabila ia makan atau memakai
baju dalam rumah.

19
BAB IV

Kesimpulan

Dalam kehidupan sehari-hari manusia memiliki permasalahan-


permasalahan yang beragam dan berkembang. Tentunya diperlukannya suatu jalan
keluar agar terdapat penyelesaian pada masalah tersebut. Maka dengan adanya
suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara mendetail terkait
masalah yang sesuai dengan kaidah yang ada. Kaidah-kaidah fiqh dapat membantu
dan memudahkan dalam penyelesaian permasalahn yang terdapat ditengah-tengah
kehidupan masyarakat. Dalam qawaidh fiqhiyyah memiliki banyak kaidah-kaidah
yang dinilai sebagai standar hukum fiqh. Pada kaidah petama, disebut sebagai
kaidah pokok yang ini menjelaskan tentang ibadah dan muamalah. Kaidah Al-
'Umur bi Al-Maqashidiha merupakan kaidah tentang segala sesuatu tegantung
niatnya yang terdapat dalam hadist Nabi Muhammad SAW. Niat memiliki fungsi
sebagai pembeda antara ibadah dengan kebiasaan (adat) dan sebagai pembeda
tingakatan ibadah. Niat ini memiliki banyak hal yang bergantung, seperti waktu,
tempat, yang membatalkan, tujuan dan lain sebagainya.

20
Daftar Pustaka

Dr. H. Fathurrahman Azhari, M.H.I. April 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah.


Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU).
Ibrahim, Duski. Januari 2019. Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah Fiqih).
Palembang: CV. Al-Amanah.
Zubair, KH. Maimoen. 2006. Formulasi Nalar Fiqih (Telaah kaidah Fiqh
Konseptual). Surabaya : Khalista dan Kaki Lima.

21

Anda mungkin juga menyukai