Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

METODE MAQASID AL-SYARIAH DALAM MENJAWAB


PROBLEMATIKA FIQH KONTEMPORER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Qawaid Al Ushuliyah


Yang diampu oleh Bapak Abdul Jalil, M.H.I

Iqbal Ayatullah Khomaini (21382811043)


Nia Nuriyanti (21382012028)
Yulia Niscaya (21382012038)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT. Yang telah
memberikan rahmat, taufiq dan juga hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Metode Maqasid Al-Syariah Dalam Menjawab Problematika
Fiqh Kontemporer yang akhirnya dapat diselesaikan tepat waktu.
Makalah ini adalah salah satu tugas mata kuliah Al-Qawaid Al-Ushuliyah.
Selanjutnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Abdul
Jalil,M.H.I. selaku dosen pembimbing mata kuliah Al-Qawaid Al-Ushuliyah dan
kepada pihak – pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelisan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa apa yang disampaikan dalam makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, untuk itu kami berharap adanya saran dan kritik yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini.
Dan juga harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca terlebih lagi kepada kami sendiri selaku penyusun dari makalah ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Pamekasan, 12 November 2022

Penulis

Kelompok 12

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
A. Pengertian Al Ijtihad Al Istislahi.............................................................................3
B. Pengertian Metode Maqasid Al-Sari’ah .................................................................3
C. Sejarah Perkembangan Dari Masa Ke Masa..........................................................
D. Maqashid Al-Syari’ah Sebagai Sebuah Pendekatan Dalam
Menjawab Problematika Fiqh Kontemporer .........................................................
BAB III
PENUTUP...............................................................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................................
B. Saran............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembicaran tentang pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah


ushul fiqh disebut ijtihad. Ijtihad berkaitan erat dengan perubahan- Pperubahan sosial
yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Secara umum, ijtihad1 itu dapat
dikatakana suatu upaya berfikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari
dalil-dalil syara secara rinci untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan
hukum yang muncul dalam masyarakat. Sebagai usaha kegiatan intelektual yang tidak
boleh lepas dari tujuan wahyu, ijtihad memerlukan seperangkat kaidah atau metode.
Metode inilah yang kemudian di kenal dengan ushul fiqh.2 Meskipun ushul fiqh
sebagai suatu disiplin ilmu baru yang tersusun secara sistematis pada abad kedua
hijriah, namun dalam prakteknya ia telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
tumbuh dan berkembangnya hukum fiqh sebagai produk ijtihad. Antara upaya ijtihad
di satu pihak, dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi.
Ijtihad, baik langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
sosial yang di akibatkan oleh antara lain, kemajuan ilmu dan teknologi, sedangkan
disadari bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum
sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia. Sebagai
suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam memiliki tujuan
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat.3
Perwujudan tujuan4 itu amat ditentukan oleh harmonisasi hubungan antara manusia
baik secara individu maupun secara kolektif, serta hubungan manusia dengan alam
sekitarnya . Semua itu di tentukan oleh adanya harmonisasi hubungan antara manusia
sebagai makhluk dan Allah sebagai khaliq. Dalam rangka mewujudkan harmonisasi
hubungan-hubungan di atas , Alquran dan Sunnah Nabi memberikan kepada kita
perintah-perintah yang jelas serta berbagai aturan untuk mengikuti ajaran-ajaran

iv
Islam dalam setiap langkah kehidupan. Hanya saja , tidak semua perintah tersebut di
jelaskan secara rinci disebabkan berbagai alasan , dan karenanya situasi mengenai
aktivitas dan tipologi dalam spektrum yang mewarnai horizon pemikiran para ulama
ushul pun dalam memahami kedua sumber ajaran Islam itu menjadi berbeda-beda
coraknya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Al Ijtihad Al Istislahi ?


2. Apa Pengertian Metode Maqasid Al-Syari’ah ?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Dari Masa Ke Masa ?
4. Bagaimana Maqashid Al-Syari’ah Sebagai Sebuah Pendekatan Dalam
Menjawab Problematika Fiqh Kontemporer ?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Al Ijtihad Al Istislahi.


2. Untuk Mengetahui Pengertian Metode Maqasid Al-Syari’ah.
3. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan Dari Masa Ke Masa.
4. Untuk Mengetahui Maqashid Al-Syari’ah Sebagai Sebuah Pendekatan Dalam
Menjawab Problematika Fiqh Kontemporer.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al Ijtihad Al Istislahi
Ijtihad Istishlâhi, yaitu suatu metode penalaran hukum dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip universal untuk melindungi dan
mendatangkan kemaslahatan.Hal ini dikarenakan esensi dari penetapan syariat
(tasyrî’) adalah bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut
disusun menjadi tiga tingkatan, yaitu dlarûriyah ( kebutuhan primer ), hâjiyyah
( kebutuhan sekunder ),dan tahsîniyah ( kebutuhan tersier ). Prinsip - prinsip ini
dideduksikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Dan Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah
pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ ( Islam ) dengan
menggunakan pendekatan  kaidah - kaidah  umum (kulliyah ), yaitu   mengenai
masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah - kaidah umum tersebut, dan
tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu,
tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah
itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al - mashlahah wa daf’ al-
mafsadah ( menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan ), sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.1

B. Metode Maqasid Al-Syari’ah


Secara etimologi, maqasid al shariah adalah gabungan dari dua
kata : maqasid dan al Syariah. Kata shari’ah, secara etimologi bermakna jalan
menuju mata air. Sedangan secara terminologi, Syari’ah didefinisikan sebagai
perintah dan larangan Tuhan yang berhubungan dengan tingkah laku kehidupan
manusia. Sedangkan maqsid yang berarti tujuan. 2 Maqasid al Shariah yaitu tujuan

1 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm.201

vi
atau makna-makna yang diharapkan dan dipelihara dari adanya hukum baik dalam hal
tingkah laku mau pun dalam akidah dan aspek-aspek lain dalam kehidupan. 
Dan juga dalam kitab “al Ijtihad al Maqasidy” karya Prof. Dr. Nuruddin bin
Mukhtar al Khadimi mengatakan bahwa: secara lughawi, maqasid al syari’ah terdiri
dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud
yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju
sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan.3

Maqashid di bagi menjadi beberapa bagian :

1. Di tinjau dari cakupannya yang pertama yaitu Maqashid ‘Ammah yaitu


tujuan-tujuan yang diperhatikan dan hendak diwujudkan oleh syariat di
seluruh atau mayoritas bab-bab hukumnya. Yang kedua, Maqashid Kash-shah
yaitu, tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan oleh syariat pada bab tertentu
atau bab-bab hukum yang sejenis. Dan yang terakhir, Maqashid Jauziyah
yaitu, tujuan syariat di masing-masing hukum syar’i.
2. Di tinjau dari kebutuhannya, yang pertama yaitu Maqasid dharuriyah adalah
tujuan-tujuan dari kebutuhan manusia yang harus dipenuhi atau eksistensinya
wajib terpenuhi. Yang kedua, Maqasid Hajiyah (sekunder) Ialah tujuan-tujuan
yang disandarkan pada barometer hajat kebutuhan manusia. Yang mana jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi, hanya berimbas pada timbulnya kesulitan yang
tidak sampai fatal akibatnya.4 Yang ketiga, Maqasid Tahsiniyah (tersier)
Adalah tujuan yang dilandaskan pada barometer kebutuhan manusia yang

2 A. Halil Thahir, “Ijtihad Maqasidi (rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah)”,
(Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2015), hal. 15-16.
3 Mansour Faqih, Epistemologi Syari’ah: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Semarang: Walisongo
Press, 1994, hal.65.
4 Tentang perbedaan penafsiran ulama dalam hal fiqh, bias dilihat lebih jauh dalam, Muhammad Roy
Purwanto, “Different Qiraat and Its Implication in Differerent Opinion of Islamic Jurisprudence”,
dalam Jurnal al-Mawarid, Vol. 8. Nomor 2. 2013.

vii
bersifat sebagai pelengkap atau penyempurna. Dinamakan maqasid tahsiniyah
tidak lain karena posisinya sebagai supelmen dalam kehidupan manusia
sekaligus memperindah interaksi sosial diantara mereka.5
3. Ditinjau dari aspek sandaran Dalil Syar’i. Yang bertama Maqasid Mulghah
(tidak dianggap oleh syari’at) yang pengertiannya ialah kemaslahatan yang
tidak dibenarkan dalam perspektif syar’i, dan tidak dianggap keberadaannya
oleh Allah swt. Jika yang pertama tadi tidak di anggap oleh syar’i maka yang
kedua ini yang di anggap oleh syar’i yaitu Maqasid Mu’tabarah (dianggap
oleh syari’at) Adalah kemaslahatan yang telah diakui dan ditetapkan
keberadaannya dalam nash (teks) syar’i atau ijma’Maslahah mu’tabarah
merupakan kemaslahatan yang sah dan qath’i serta wajib bagi kita untuk
mengaplikasikannya. Dan yang terakhir adalah Maqasid Mursalah
(eksistensinya nisbi) Yaitu penetapan sebuah hukum berdasarkan pada
kemaslahatan, yang tidak ada ketentuan dianggap atau tidaknya dalam nash
(teks) syar’i maupun ijma’ (konsesus) para ulama.
C. Sejarah Perkembangan dari Masa ke Masa
Secara historis, ijtihād pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam,
yaitu sejak zaman NAbi saw. dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat
dan tabi’in serta masa-masa generasi selanjutnya dan mengalami pasang surut dan
karateristiknya masing-masing. Dari beberapa hadits Nabi saw. menunjukkan
kebolehan hukum terhadap ber-ijtihād, di antaranya riwayat Amr bin Ash ra., ia
mendengar Rasulullah saw. bersabda, “apabila seorang hakim hendak menetapkan
suatu hukum kemudian dia ber-ijtihād dan ternyata ijtihād-nya benar maka baginya
dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia ber-ijtihād dan
ijtihādnya salah maka baginya satu pahala.6

5 Ali Shodiqin , Fiqh Ushul Fiqh Sejarah, Metodologi dan implementasinya di Indonesia, Yogyakarta:
Beranda, 2012. hal. 170.
6 Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad, Suatu Kontrovensi antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1997), hal. 25

viii
Pada zaman Nabi saw, ijtihād yang dilakukan oleh para sahabat belum dapat
dianggap sebagai alat penggali hukum, Karena yang dilakukan adalah dalam taraf
memilih alternatif, sementara penentuan akhir dalam masalah-masalah hukum saat itu
masih tetap berada di tangan Rasulullah saw. Pada fase permulaan ini, ijtihād yang
dilakukan oleh nabi saw tetap bersumber dari wahyu dan terhindar dari ketetapan
hukum yang salah. ijtihād Rasulullah tersebut diberikan Allah dengan cara
membiarkan atau tanpa teguran atas tindakan nabi tanda tanda yang demikian itu
merupakan pembenaran allah terhadap tindakan beliau yang kedudukannya sama
dengan wahyu. ijtihād merupakan upaya keras seorang faqih dan konsentrasi yang
penuh dalam berusaha untuk mengambil istinbat hukum syariat yang bersumber dari
dalil syar’i.7
Pada zaman Sahabat besar terutama khulafaur rasyidin dan para sahabat terkemuka
lainya, sepeprti Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud, gairah ijtihadiyah semakin
berkembang karena sudah mulai terasa keperluannya. Pada masa sahabat, ijtihād
sudah benar-benar berfungsi sebagai alat penggali hukum dan bahkan dipandang
sebagai suatu kebutuhan yang harus dilakukan guna menyelesaikan berbagai kasus
yang ketentuan hukumnya tidak secara tegas dan jelas mereka jumpai dalam alQuran
dan Sunnah. Para sahabat seperti Ibnu Qayyim alJauziyyah, melakukan ijtihād dan
mempergunakan qiyas. Mereka mengadakan ijtihād di berbagai tempat dan
menganalogikan sebagian hukum terhadap sebagian yang lain serta membanding
bandingkan penalarannya dengan penalaran yang lain. Masalah khilafiyah juga
merupakan hal yang tak terhindarkan dalam kurun waktu perkembangan ijtihād, yang
dengan ini memberikan sumbangan intelektual yang amat berharga bagi dunia ijtihād.
Pada masa Bani Umayyah ijtihād juga berdasarkan pada al-Quran, Sunnah, Ijma dan
ra’yu, akan tetapi banyak terjadi peristiwaperistiwa baru baik politik maupun non
politik yang berpengaruh pada revolusi ijtihād. Perpecahan dan pertikaian di kalangan
umat islam sekitar permasalahan khilafah dan siapa yang berhak memegang

7 Muhammad ali as saayis, Pertumbuhan dan perkembangan hukum fiqh, syeikh hasil refleksi ijtihad,
(Jakarta: rajawali pers, 1995), hal. 5-6

ix
pemerintahan yang hal ini melahirkan kelompok-kelompok seperti khawarij, syiah
dan jumhur yang menentang kedua kelompok tersebut. Masing-masing kelompok
tersebut berpendirian pada prinsip disiplin ilmu yang berbeda, pokok-pokok dan
kaidan-kaidah sendiri serta pendapat-pendapat subjektif mereka.
Masa khilafah Bani Abbasiyah mencapai masa yang pantas disebut sebagai masa
aktivitas atau masa kematangan dalam berfikir. Pada periode ini lahir 13 orang
mujtahid yang mana pendapat-pendapat mereka dibukukan dan dipanuti banyak
orang dan juga diakui oleh jumhur ulama Islam. Para ulama fiqh, jauh sebelum terjadi
kasus kasus baru, telah memperisapkan perangkat hukum bagi usaha ijtihād di
kemudian hari agar masyarakat ddapat menghadapi perubahan zaman dengan tetap
berlandaskan syariat.
Dalam memecahkan masalah-masalah umumnya para mujtahid enggan
mengistinbathkan hukumnya langsung merujuk pada al-Quran dan Hadits melalui
beberapa metode ijtihād yang seperti dicontohkan oleh para mujtahid yang terdahulu,
akan tetapi lebih condong untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihadiyah
para mujtahid sebelumnya meskipun sebagiannya sudah tidak sesuai dengan masalah
yang dihadapi ketika itu. Sikap toleransi juga sudah minim ditunjukkan antar sesama
pengikut mazhab,bahkan timbulnya persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari
fanatisme mazhab yang berlebihan. Masa kemunduran fiqh Islam yang berlangsung
sejak pertengahan abad keempat sampai akhir abad ke-13 hijriah ini disebut dan
dijuluki sebagai periode taklid dan penutupan pintu ijtihād’, tindakan ini dipandang
benar pada masa itu, bahkan ada berita bahwa terdapat fuqaha yang merasa tidak
keberatan pintu ijtihād ditutup rapat.

D. Maqashid Al-Syari’ah Sebagai Sebuah Pendekatan Dalam Menjawab


Problematika Fiqh Kontemporer

x
Al-Syāṭibi menyatakan bahwa tujuan (maqṣad) dalam syariat ada dua: tujuan
Tuhan, dan tujuan untuk mukallaf8. Al-Syāṭibi juga memaparkan bahwa Allah SWT
sebagai Syāri‟ (Pembuat Syari‟at) meletakkan tujuan-tujuan di dalam syari‟at adalah
untuk mewujudkan kemashlahatan bagi para manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Ahmad Ar-Raysuni menyatakan arti maqāṣid al-syarîah adalah tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan oleh syariah untuk dicapai demi kemaslahatan para hamba
(manusia).
Jasser Auda memberikan perincian tentang penggunaan terma maqāṣid
bahwasannya terma 'maqāṣid' merupakan bentuk jamak kata (maqṣad), yang
bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, maupun tujuan akhir. Maqāṣid
hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik hukum tersebut.
Bagi sejumlah teoritikus hukum Islam, maqāṣid adalah kata lain dari pernyataan
„kemaslahatan-kemaslahatan‟ (masalih). Salah satu contohnya adalah Abdul Malik al
Juwaini (w. 411/1185 M) sebagai salah seorang kontributor paling awal terhadap
teori maqāṣid yang menggunakan istilah al-masalih ad-din dan almasalih al-ammah
(kemaslahatan-kemaslahatan agama dan umum) secara bergantian.9
Pada perkembangan era kontemporer, Jasser Auda mengembangkan teori maqāṣid
al-syarī„ah sebagai landasan filosofis dalam penerapan hukum Islam. 10 Jasser Auda
menggunakan maqāṣid al-syarī„ah sebagai basis pangkal tolak filosofis berpikirinya
dengan menggunakan pendekatan sistem sebagai metode berpikir dan pisau
analisisnya. Sebuah pendekatan baru yang belum pernah
terpikirkan untuk digunakan dalam diskusi tentang hukum Islam dan ushul fikih. Ada
enam fitur sistem yang digunakan oleh Jasser Auda sebagai pisau analisis dalam
membedah hukum Islam. Keenam fitur tersebut adalah: dimensi kognisi dari
pemikiran keagamaan (cognition), menyeluruh (wholeness), keterbukaan (openess),

8 asy-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fi Uṣul al-Syarī„ah, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2004), hlm. 219.
9 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid Syariah, (Bandung: Mizan, 2009), hlm.
31.
10 Seperti yang dikembangkan dalam karyanya, Al-Maqāṣid asy-Syarī„ah as The Philosophy of
Islamic Law.

xi
hierarki atau runtutan berpikir yang saling mempengaruhi (interelated hierarchy),
cakupan yang meliputi multidimensi (multidimentionality), dan tujuan-tujuan
(purposefullness).
Keenam fitur ini saling erat berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang
lain sehingga membentuk keutuhan sistem berpikir. Namun, satu fitur yang
menjangkau semua fitur yang lain dan mempresentasikan inti metodologi analisis
sistem adalah fitur tujuan (purposefullness - maqāṣid). Hal ini yang menjadikan
Jasser Auda menempatkan maqāṣid al-syarī„ah sebagai prinsip dan metodologi dasar
dalam reformasi hukum Islam kontemporer. Mengingat efektivitas suatu sistem
diukur berdasarkan tingkat pencapaian tujuannya, maka efektifitas sistem hukum
Islam dinilai berdasarkan tingkat pencapaian maqāṣid al-syarī„ah.11 Hal ini berarti,
efektifitas hukum Islam sebagai sebuah sistem bukan hanya diukur dari kesesuaian
dan tingkat pencapaian maqāṣid al-syarī„ah secara normatif saja, tetapi juga sejauh
mana penerapan maqāṣid al-syarī„ah pada tataran problem solving terhadap
permasalahan tertentu. Aplikasi teori maqāṣid al-syarī„ah ini yang akan mengukur
tentang hadirnya penetapan hukum apakah hukum tersebut lebih efektif, lebih
berdaya guna, dan lebih membawa manfaat yang besar bagi umat dan kemanusiaan.
Jasser Auda mengusulkan tiga konsep reformasi maqāṣid al-syarī„ah dalam
perspektif kontemporer. Pertama, reformasi dari maqāṣid al-syarī„ah yang pada
awalnya bernuansa penjagaan dan pelestarian menuju maqāṣid al-syarī„ah yang
bercita pengembangan dan pemuliaan hak-hak asasi manusia bahkan Jasser Auda
menyarankan agar pengembangan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu
tema utama bagi kemaslahatan umat masa kini. Implikasi dari konsep reformasi ini
adalah dengan mengadopsi konsep pengembangan SDM, sehingga tingkat realisasi
maqāṣid al-syarī„ah dapat diukur secara empiris dengan mengambil ukuran dari
berbagai target pengembangan SDM versi kesepatakan (ijma‟) Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB).

11 Amin Abdullah, kata pengantar Membumikan Hukum Islam Maqāṣid Syarîah. Hlm. 11.

xii
Kedua, Jasser Auda menawarkan tingkatan otoritas dalil dan sumber hukum Islam
terkini, di antaranya hak-hak asasi manusia sebagai landasan dalam barubeberapa
teori hukum Islam sebagai pendekatan reformasi hukum Islam kontemporer. Ketiga,
Jasser Auda mengusulkan sistem hukum Islam yang berbasis pada maqāṣid al-
syarī„ah.
Jasser Auda memberikan penyederhanaan teori maqāṣid al-syarī„ah dengan
menyatakan bahwa maqāṣid al-syarī„ah adalah cabang ilmu keislaman yang
menjawab segenap pertanyaan yang sulit, dan diwakili oleh sebuah kata yang tampak
sederhana, yaitu mengapa?" Berikut beberapa contoh penggunaan kata ini:12
“Mengapa seorang Muslim shalat?”
“Mengapa zakat merupakan salah satu rukun Islam?”
“Mengapa puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam?”
“Mengapa seorang muslim selalu berzikir?”
“Mengapa hukuman mati ditetapkan bagi orang yang memperkosa atau
membunuh secara sengaja?”
Maqāṣid al-syarī„ah bukan hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tetapi
juga menjelaskan hikmah di balik aturan syariat Islam. Sebagai contoh, salah satu
hikmah di balik zakat adalah untuk „memperkokoh bangunan sosial‟.Hikmah yang
pada awalnya hanya sebagai „nilai plus‟ terhadap adanya sebuah ketetapan hukum
pada pengembangan maqāṣid al-syarī„ah, hikmah bertransformasi menjadi maqāṣid
(tujuan) dan menjadi hal yang qath‟i (pasti), sebagaimana dikemukakan oleh asy-
Syatibi. Secara ringkas, maqāṣid al-syarī„ah adalah sebuah cara guna mencapai
alasan tertinggi (tujuan) dalam penetapan dan penerapan hukum Islam.
Maqāṣid al-syarī„ah juga merupakan sejumlah tujuan yang diusahakan oleh
ketetapan hukum Islam dengan memperbolehkan atau melarang sesuatu. Sebagai
contoh, menjaga dan melestarikan akal adalah tujuan dari syariat, maka dalam berakal
kita menemukan hal-hal yang dapat menghilangkan akal sebagai sebuah hal yang
dilarang oleh syariat. Seperti halnya pelarangan terhadap penyalahgunaan narkotika
12 Jasser Auda, Maqāṣid Al-Shariah An Introductory Guide, (Cairo: IIIT, 2008), hlm. 3.

xiii
yang dapat merusak akal. Adapun tujuan syariat untuk menjaga dan melestarikan
harta benda manusia serta kehormatannya dapat menjelaskan sanksi hukuman mati
bagi pencurian dengan paksa dan pemerkosaan, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah (21):178 dan al-Maidah (51):33
Maqāṣid al-syarī„ah dapat dianggap juga sebagai sejumlah tujuan Ilahi dan konsep
akhlak yang melandasi proses al-Tasyrī‟ al-Islāmiy, seperti prinsip keadilan,
kehormatan manusia, kebebasan kehendak, kesucian, dan kemudahan. Tujuan-tujuan
dan konsep-konsep itulah yang membentuk sebuah jembatan antara al-Tasyrī‟ al-
Islāmiy dan konsep-konsep yang berjalan pada era masa kini seperti halnya konsepsi
tentang HAM, pembangunan dan keadilan sosial.
Menurut Jasser Auda, pendekatan maqāṣid al-syarī„ah membahas
persoalanpersoalan yuridis pada tataran filosofis yang lebih tinggi, dan oleh karena
itu,penggunaan pendekatan maqāṣid al-syarī„ah mampu melampaui perbedaan
(historis) terkait politik antara mażhab fikih. Penggunaan maqāṣid al-syarī„ah sebagai
pendekatan juga mendorong kepada adanya konsiliasi antar perbedaan mażhab fikih,
dan budaya hidup bersama dalam kedamaian. Lebih dari itu, realisasi maqāṣid al-
syarī„ah harus menjadi sasaran inti semua metodologi ijtihad linguistik dan rasional
yang bersifat fundamental, dengan mengesampingkan variasi nama dan pendekatan.
Oleh karena itu, validitas ijtihad apapun seharusnya ditentukan berdasarkan tingkat
keberhasilannya dalam merealisasikan fitur tujuanatau merealisasikan maqāṣid al-
syarī„ah.13

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
13 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid Syariah...hlm. 56.

xiv
Ijtihad Istishlâhi, yaitu suatu metode penalaran hukum dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip universal untuk melindungi dan
mendatangkan kemaslahatan.
Secara etimologi, maqasid al shariah adalah gabungan dari dua kata : maqasid dan
al Syariah. Kata shari’ah, secara etimologi bermakna jalan menuju mata air.
Secara historis, ijtihād pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam,
yaitu sejak zaman NAbi saw. dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat
dan tabi’in serta masa-masa generasi selanjutnya dan mengalami pasang surut dan
karateristiknya masing-masing. Dari beberapa hadits Nabi saw. menunjukkan
kebolehan hukum terhadap ber-ijtihād, di antaranya riwayat Amr bin Ash ra., ia
mendengar Rasulullah saw. bersabda, “apabila seorang hakim hendak menetapkan
suatu hukum kemudian dia ber-ijtihād dan ternyata ijtihād-nya benar maka baginya
dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia ber-ijtihād dan
ijtihādnya salah maka baginya satu pahala.
B. SARAN
Diharapkan dengan adanya makalah ini mahasiswa atau pembaca mampu
mengetahui apa itu pengertian al ijtihad al istislahi, metode maqhasid al-syariah dan
sejarah perkembangan dari al ijtihad al istislahi.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm.201

xv
Halil Thahir, “Ijtihad Maqasidi (rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksita Maslahah)”,
(Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2015), hal. 15-16.

Mansour Faqih, Epistemologi Syari’ah: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Semarang: Walisongo
Press, 1994, hal.65.
Tentang perbedaan penafsiran ulama dalam hal fiqh, bias dilihat lebih jauh dalam, Muhammad Roy
Purwanto, “Different Qiraat and Its Implication in Differerent Opinion of Islamic Jurisprudence”,
dalam Jurnal al-Mawarid, Vol. 8. Nomor 2. 2013.

Ali Shodiqin , Fiqh Ushul Fiqh Sejarah, Metodologi dan implementasinya di Indonesia, Yogyakarta:
Beranda, 2012. hal. 170.

Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad, Suatu Kontrovensi antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1997), hal. 25

Muhammad ali as saayis, Pertumbuhan dan perkembangan hukum fiqh, syeikh hasil refleksi ijtihad,
(Jakarta: rajawali pers, 1995), hal. 5-6

asy-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fi Uṣul al-Syarī„ah, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2004), hlm. 219.

Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid Syariah, (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 31.

Seperti yang dikembangkan dalam karyanya, Al-Maqāṣid asy-Syarī„ah as The Philosophy of Islamic
Law.

Amin Abdullah, kata pengantar Membumikan Hukum Islam Maqāṣid Syarîah. Hlm. 11.

Jasser Auda, Maqāṣid Al-Shariah An Introductory Guide, (Cairo: IIIT, 2008), hlm. 3.

Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid Syariah...hlm. 56.

xvi
xvii

Anda mungkin juga menyukai