(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qowaid Fiqiyah)
Disusun oleh:
Kelompok 11 IH 3A
Kelompok 11
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat
Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh- tidaknya
sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama
untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku
mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran
agama maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan
dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kita
diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari
keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali- Imran ayat
32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta’atiah Allah dan Rasul-Nya.
Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat
Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai
umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua
sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian berbagai
masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah hukum.1
1
Duski Ibrahim, Al-Qawaid Al- Fiqhiyah (Kaidah-Kidah Fiqih) (Palembang: Noerfikri, 2019), hlm 1.
Mif Rohim, BUKU AJAR QAWA’ID FIQHIYYAH (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum) (Jombang: LPPM
2
1. 3 Tujuan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok
pada mata kuliah Qowaid Fiqhiyah serta untuk mengetahui makna dan contoh kaidah
Kulliyah Sughro Lanjutan 12-22, juga untuk memberikan bahan pemahaman bagi kami
para penulis dan para pembaca mengenai kaidah Kulliyah Sughro Lanjutan 12-22.
2
BAB II
ISI
Maksud dari qaidah fiqih “Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa
Wajib” (Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga
wajib) adalah Segala perkara yang menjadikan suatu amal kewajiban tak dapat
dikerjakan sama sekali atau bisa dikerjakan namun tidak sempurna kecuali dengan
juga mengerjakan perkara tersebut, maka perkara tersebut yang asalnya tidak wajib,
dihukumi wajib pula.
Implementasi dalam kehidupan sehari-hari, contohnya pusar dan lutut
bukanlah termasuk aurat yang wajib ditutupi bagi laki - laki saat shalat, karena
batasan aurat bagi laki - laki adalah bagian tubuh di antara pusar dan lutut yang
berarti tidak mencakup keduanya. Tapi karena menutup aurat tak bisa dilakukan
dengan sempurna kecuali dengan juga menutup bagian dari pusar dan lutut, maka
menutup bagian dari pusar dan lutut untuk menyempurnakan menutup aurat
dihukumi wajib.
Menurut asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani perkara yang termasuk dalam
cakupan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” atau “sesuatu yang tidak sempurna kewajiban
kecuali dengan sesuatu itu” ada dua jenis:
1. Kewajiban itu merupakan suatu yang tergantung pada syarat tertentu atau
disebut masyrûth.
Contohnya shalat adalah masyrûth yang menghajatkan thaharah sebagai
syarat. Maka thaharah misalnya wudhu bagi yang berhadas kecil merupakan “mâ lâ
yatimmu al-wâjib” untuk pelaksanaan shalat (ada’u ash- shalah). Hanya saja
kewajiban wudhu sebagai syarat ini tidak ditetapkan berdasarkan wajibnya seruan
(khithab) shalat. Namun harus ada dalil tersendiri (munfasil) yang mewajibkannya.
Jadi wajibnya wudhu tidak mengikut pada dalil perintah shalat.
2. Kewajiban itu merupakan suatu yang tidak tergantung pada syarat tertentu atau
disebut ghairu masyrûth, artinya kewajiban tersebut bersifat mutlak, tanpa
dibatasi oleh syarat atau sebab tertentu.
Jenis ini dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu: kewajiban yang dalam kadar
kesanggupan mukallaf dan kewajiban yang berada di luar kesanggupan
3
mukallaf. Untuk kewajiban yang berada dalam ranah kesanggupan mukallaf
maka keadaan atau “mâ lâ yatimmu al-wâjib” yang bergantung padanya
sempurnanya kewajiban ditetapkan berdasarkan khithâb/seruan yang ada pada
kewajiban itu sendiri. Sebagai contoh, membasuh kedua siku saat berwudhu,
tidak sempurna pembasuhan siku kecuali dengan membasuh bagian dari kedua
siku tersebut. Dalam kondisi ini maka membasuh bagian siku adalah wajib
karena membasuh siku hukumnya wajib berdasarkan nash (QS. al-Maidah: 6).
Dalam konteks ini wajibnya membasuh bagian siku tidak memerlukan dalil
khusus, namun ia tercakup dalam dalâlah al-iltizâm yang ada pada nash (QS. al-
Maidah:6)3
3
Wahyudi Ibnu Yusuf, “MENGUPAS KAIDAH ‘MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI
FAHUWA WÂJIB’” (Banjarmasin, 2021).
4
ulama sepakat bahwa tidak halal menjual daging babi, khamar dan kotoran karena najis,
dan anjing.
Dalam berjual beli atau utang piutang tidak boleh dengan mengandung unsur
riba, tipuan dan berlaku zalim. Diharamkan bayaran pelacuran, dan segala benda yang
dijadikan sarana oleh dukun. Begitu pula memiliki harta kekayaan, syariat melarang
kalau harta kekayaan seperti emas dan perak dijadikan sebagai bijana atau tempat
makan dan minum. Karena emas dan perak digunakan sebagai benda perhiasan yang
lebih dari benda yang lain. Oleh karena itu, apabila harta benda itu diharamkan oleh
syariat untuk memakainya, maka syariat melarang pula untuk menyimpannya. Al-
Syafi’i dalam kitab al-Umm misalnya, merumuskan bahwa terdapat persoalan tentang
status hukum harga anjing. Syafi’i meriwayatkan beberapa Hadis yang seluruhnya
berbicara tentang larangan memiliki anjing kecuali untuk keperluan mengendalikan
ternak atau anjing penjaga harta.
4
Duski Ibrahim, Al-Qawaid Al- Fiqhiyah (Kaidah-Kidah Fiqih) (Palembang: Noerfikri, 2019), hlm 140.
5
Mâ hurrima akhdzuhu hurrima i’thâuhu, memiliki arti “Sesuatu yang
diharamkan mengambilnya diharamkan memberikan”. Kaidah ini memberikan
pengertian kepada kita bahwa mengambil sesuatu yang haram, memberikannya kepada
orang lain juga diharamkan. Atas dasar kaidah ini, maka: 1). Memberikan harta yang
didapatkan dengan riba kepada orang lain hukumnya haram, sebagaimana haram
mendapatkan harta melalui riba tersebut untuk dirinya sendiri, 2). Mendapatkan harta
dengan cara korupsi adalah haram, demikian juga memberikan harta hasil korupsi
kepada orang lain juga haram, 3). Mendapatkan uang dari hasil menjual kehormatan
adalah haram, sebagaimana juga haram menyedekahkan kepada orang lain atau badan-
badan sosial, 4). Mengambil uang suap adalah haram, demikian juga halnya
memberikan uang suap itu kepada orang lain.
Kaidah ini memiliki arti bahwa yang telah terisi tidak bisa diisi kembali, atau
yang telah sibuk tak dapat diisi dengan kesibukan yang lain. Setiap yang masyghul
(sedang terpakai) tidak boleh dipakai untuk perkara yang lain yang menggugurkan
pemakaian yang pertama.
Dalam fiqh contohnya:
1. Barang yang sudah digadaikan untuk jaminan hutang itu tidak boleh dijadikan
jaminan lagi pada hutang lain.
2. Air yang hanya cukup untuk diminum manusia atau binatang tidak boleh dibuat
wudhu. Kalaupun mau shalat maka harus bertayamum. 5
1. Jiwa yang disibukkan dengan kesenangan bersama Tuhannya maka tidak akan
terisi dengan keinginan-keinginan syahwat dan nafsunya.
Demikian juga orang yang hanya dapat membaca bagian dari bacaan shalat,
tidak menjadi gugur kewajiban shalatnya. Dia harus mengejarkan shalat dengan
bacaan sekedar apa yang dia telah bisa.
Contoh lainnya adalah orang yang terpotong ujung jarinya, wajib membasuh
jari-jari yang masih ada. Orang yang tidak mampu mengangkat kedua tangannya
secara sempurna waktu shalat, wajib mengangkatnya menurut kemampuannya.
6
“KAIDAH FIKIH: AL-MAISUR LA YASQUTHU BI AL-MA’SUR - IRTAQI | وحده ل عبدا كن,”
accessed November 28, 2023, https://irtaqi.net/2020/06/06/kaidah-fikih-al-maisur-la-yasquthu-bi-al-
masur/?noamp=available.
7
2.5 Kaidah Keenambelas : An-ni’mah bi qadri a- niqmah. Wa niqmah bi qadri an-
ni’mah
7
“Kaidah Fikih: Hasil Tak Mendustai Proses | Islam Kaffah,” accessed November 28, 2023,
8
diperbolehkan berijtihad selama ada nas, yaitu:
1. (Misalnya) jika seorang mujtahid berijtihad dan berkata bahwa istri yang ditala k
raj'i bahwa dipersyaratkan keridaan seorang istri terhadap keabsahan rujuknya.
Maka sesungguhnya ijtihad ini adalah tidak benar, diharamkan dan tertolak, kare
na ijtihad tersebut menyelisihi atau menabrak nas syarak yang jelas dari segi pen
unjukannya/dalalah, yaitu firman Allah: (Dan suami mereka lebih berhak kembali
kepada mereka dalam (masa) itu).
2. (Misalnya) jika seorang mujtahid berijtihad dan berkata bahwa bukti itu diminta
dari yang tertuduh atau dituntut atau meminta sumpah dari penuduh atau penuntut
awalnya. Maka ijtihadnya ini adalah tidak benar, diharamkan/tidak diperbolehkan
dan tertolak, karena menyelisihi atau menabrak nas syarak yang telah jelas dari
segi penunjukannya/dalalah, yaitu sabda Nabi: (bukti itu harus ditegakkan oleh
penuntut/orang yang menuntut dan sumpah itu wajib diberikan oleh tertuduh atau
yang dituntut).8
8
Jahada Mangka, Muh. Taqiyyudin, and Muh. Isra, “IMPLEMENTASI KAIDAH ‘LĀ MASĀGA LI AL-
IJTIHĀD FĪ MAURID AL-NAS’ṭ DALAM FIKIH ISLAM,” Jurnal Bidang Hukum Islam 2, no. 1 (2021), hlm
34.
9
seharusnya hakim berkomunikasi langsung dengan para pihak yang bersengketa,
namun pada situasi tertentu dimana hakim tidak mampu memahami bahasa yang
digunakan oleh mereka dibutuhkan seorang mediator penerjemah guna menangkap
dan memahami persoalan yang sedang dihadapi dalam persidangan.
Hikmah yang dapat diambil dari kaidah ini adalah di era globalisasi seperti
sekarang ini penting untuk menguasai berbagai bahasa. Tuntutan zaman yang sudah
tidak mengenal batas teritorial menggiring manusia untuk berkomunikasi secara luas
tanpa batas. Maka bahasa menjadi kunci dalam menguasai cakrawala dunia. Saatnya
generasi muda belajar multi bahasa agar dunia dalam genggaman. 9
9
“Kaidah Fikih: Peran Seorang Penerjemah | Islam Kaffah,” accessed November 28, 2023,
https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-peran-seorang-penerjemah/.
10
Syamsul Hilal, “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam,” Al-’Adalah XI, no. 2 (2013).
10
2.10 Kaidah Keduapuluh Satu : Al-khurûj min al-khilâf
mustahab
Artinya: “Dianjurkan keluar dari perkara yang diperselisihkan”
11
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangsel:
Harakah Book, 2018), hlm 54.
12
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangsel:
Harakah Book, 2018), hlm 55.
11
Dalam mazhab Syafi'i, sekalipun pendiri mazhab menyatakan untuk wajib
dibasuh minimal satu rambut atau kulit kepala, namun disunahkan untuk mengusap
keseluruhan bagian rambut kepala. Hal ini adalah bentuk langkah keluar dari
perbedaan pendapat. Sikap ini dinilai lebih mencerminkan kehati-hatian, karena
dengan mengusap keseluruhan, maka kita akan keluar dari khilafiah ulama
mengenai kadar minimal rambut kepala yang harus diusap dalam wudhu. Dengan
melakukan pengusapan ke seluruh bagian rambut kepala, maka kita dapat
mengamalkan seluruh pendapat tentang kewajiban mengusap rambut kepala. Di sini,
perbedaan pendapat diselesaikan dalam pengamalan atau tindakan nyata.
13
Al-’Arabi A. B. M. B, Ahkam Al-Qur’an (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001).
14
Abdul Wadud Nafis, “Islam, Masa Peradaban,” Jurnal Al -Hikmah 18, no. 2 (2020), hlm 131.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kaidah ini menegaskan bahwa hak-hak yang berbeda antar-individu atau antara
individu dengan hak Allah tidak dapat saling menyerap. Artinya, hak individu tidak boleh
melanggar hak Allah, dan sebaliknya. Contoh implementasi kaidah ini dapat dilihat pada
hak Allah untuk disembah dan ditaati, sementara individu memiliki hak untuk dihormati
dan dilindungi hak-haknya.
13
DAFTAR PUSTAKA
“40 Kaidah Ushul Fiqih Beserta Contohnya ( 4 ) - Pondok Pesantren Sunan
Bejagung.” Accessed November 28, 2023.
https://sunanbejagung.ponpes.id/blog/2020/03/20/qowaid-al-fiqh-31-40/.
Al-’Arabi A. B. M. B. Ahkam Al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001.
Ali, Syaikhul Islam. “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik
Kebangsaan Ulama. Tangerang Selatan: Harakah Book, 2018.
Dkk, Ibrahim Madkur. Mu’jam Al-Wasīt.ṭ Kairo: al-Maktabah al-Syurūq al-
Dauliyyah, 2004.
“Hasil Pencarian - KBBI Daring.” Accessed November 28, 2023.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nas.
“Hasil Pencarian - KBBI Daring.” Accessed November 28, 2023.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ijtihad.
Hilal, Syamsul. “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam.”
Al-’Adalah XI, no. 2 (2013).
Ibrahim, Duski. Al-Qawaid Al- Fiqhiyah (Kaidah-Kidah Fiqih). Palembang:
Noerfikri, 2019.
“KAIDAH FIKIH: AL-MAISUR LA YASQUTHU BI AL-MA’SUR - IRTAQI | كن
عبدا ل وحده.” Accessed November 28, 2023.
https://irtaqi.net/2020/06/06/kaidah-fikih-al-maisur-la-yasquthu-bi-al-
masur/?noamp=available.
“Kaidah Fikih: Hasil Tak Mendustai Proses | Islam Kaffah.” Accessed November 28,
2023. https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-hasil-tak-mendustai-proses/.
“Kaidah Fikih: Peran Seorang Penerjemah | Islam Kaffah.” Accessed November 28,
2023. https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-peran-seorang-penerjemah/.
“QOWAIDUL FIQIYAH Kaidah "al Masygul La Yusghol " - YouTube.” Accessed November 28,
14
2023. https://www.youtube.com/watch?v=kz6X99vdaD8.
Rohim, Mif. BUKU AJAR QAWA’ID FIQHIYYAH (Inspirasi Dan Dasar Penetapan
Hukum). Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG, 2019.
15
16
Yusuf, Wahyudi Ibnu. “MENGUPAS KAIDAH ‘MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ
BIHI FAHUWA WÂJIB.’” Banjarmasin, 2021.
17