Anda di halaman 1dari 20

KAIDAH KULLIYAH SUGHRA (LANJUTAN)

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qowaid Fiqiyah)

Dosen Pengampu: Dr. Moch.Bukhori Muslim,Lc,MA

Disusun oleh:
Kelompok 11 IH 3A

Sophia Jasmine (11220480000006)


Kimiyais Sa’adah (11220480000013)
Najwa Salsabila (11220480000018)
Difa Zacky Fadhilah (11220480000035)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1445 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.


Puji dan syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang
“Kaidah Kuliyah Sughra Lanjutan” dengan tepat waktu.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh Dr. Moch. Bukhori Muslim,Lc,M.A selaku dosen mata kuliah Qowaid Fiqiyyah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai kaidah-
kaidah apa saja yang ada dalam kaidah kulliyah sughra yang berguna bagi penulis dan
pembaca.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Dr. Moch. Bukhori
Muslim,Lc,M.A karena telah memberikan tugas makalah yang bermanfaat bagi
pengetahuan serta menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang sedang ditekuni.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang ikut serta membagi ilmu
pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Maka dari itu, kami membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini agar menjadi lebih baik kedepannya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, 30 November 2023

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I ....................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1. 1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1. 2 Rumusan Masalah........................................................................................................... 2
1. 3 Tujuan Makalah.............................................................................................................. 2
BAB II ...................................................................................................................................... 3
ISI............................................................................................................................................. 3
2.1 Kaidah Keduabelas .......................................................................................................... 3
2.2 Kaidah Ketigabelas ..........................................................................................................4
2.3 Kaidah Keempatbelas ...................................................................................................... 6
2.4 Kaidah Kelimabelas ........................................................................................................ 7
2.5 Kaidah Keenambelas ....................................................................................................... 8
2.6 Kaidah Ketujuhbelas ....................................................................................................... 8
2.7 Kaidah Kedelapanbelas ................................................................................................... 9
2.8 Kaidah Kesembilambelas ............................................................................................... 10
2.9 Kaidah Keduapuluh ....................................................................................................... 10
2.10 Kaidah Keduapuluh Satu.............................................................................................. 11
2.11 Kaidah Keduapuluh Dua .............................................................................................. 12
BAB III.................................................................................................................................... 13
PENUTUP ............................................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 13
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat
Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh- tidaknya
sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama
untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku
mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran
agama maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan
dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kita
diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari
keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali- Imran ayat
32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta’atiah Allah dan Rasul-Nya.
Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat
Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai
umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua
sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian berbagai
masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah hukum.1

Menurut bahasa kaidah fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan dengan


masalah hukum. Menurut istilah kaidah fiqhiyyah ialah kaidah yang termasuk dalam
kategori ketentuan-ketentuan hukum fiqh, bukan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh.
Sebab, meski bersifat umum, obyek kajian kaidah fiqh adalah perbuatan manusia yang
menjadi subyek hukum (mukallaf). Misalnya, kaidah “tidak ada pahala kecuali dengan
niat” adalah ketentuan hukum atas perbuatan manusia bahwa ia tidak memperoleh
pahala kecuali jika ia meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini
berbeda dengan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh yang diketahui berdasarka
kaidah-kaidah ushul, sebab obyek materialnya adalah dalil syar’i dengan segala
kondisinya dan hukum beserta berbagai kondisinya.2

1
Duski Ibrahim, Al-Qawaid Al- Fiqhiyah (Kaidah-Kidah Fiqih) (Palembang: Noerfikri, 2019), hlm 1.
Mif Rohim, BUKU AJAR QAWA’ID FIQHIYYAH (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum) (Jombang: LPPM
2

UNHASY TEBUIRENG JOMBANG, 2019), hlm 4.


1
1. 2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illa bihî fahuwa wâjib?
2. Apa yang dimaksud dengan Mâ hurrima isti’mâluhu hurrima it-tikhâdzuhu, Mâ
hurrima akhdzuhu hurrima i’thâuhu?
3. Apa yang dimaksud dengan Al-masyghûlu lâ yusghâlu?
4. Apa yang dimaksud dengan Al-maysûr lâ yusqithu bi al-ma’sur?

5. Apa yang dimaksud dengan An-ni’mah bi qadri a- niqmah. Wa niqmah bi


qadri an-ni’mah?
6. Apa yang dimaksud dengan ‘Lâ masâgha li al-ijtihâd fî murîdi nash?

7. Apa yang dimaksud dengan Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan?


8. Apa yang dimaksud dengan Yadkhulu al-qawiy ‘ala ad-dha’îf, lâ ‘aksuhu?
9. Apa yang dimaksud dengan Al-haqqâni al-mukhtalfifâni la yutadkhalâni?
10. Apa yang dimaksud dengan Al-khurûj min al-khilâf mustahabb?
11. Apa yang dimaksud dengan Al-muhâfadzah ‘alâ al-qadîm as-shâlih wal
akhdzu bi al-jadid al-ashlah?

1. 3 Tujuan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok
pada mata kuliah Qowaid Fiqhiyah serta untuk mengetahui makna dan contoh kaidah
Kulliyah Sughro Lanjutan 12-22, juga untuk memberikan bahan pemahaman bagi kami
para penulis dan para pembaca mengenai kaidah Kulliyah Sughro Lanjutan 12-22.

2
BAB II
ISI

2.1 Kaidah Keduabelas : Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illa bihî fahuwa wâjib

Maksud dari qaidah fiqih “Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa
Wajib” (Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga
wajib) adalah Segala perkara yang menjadikan suatu amal kewajiban tak dapat
dikerjakan sama sekali atau bisa dikerjakan namun tidak sempurna kecuali dengan
juga mengerjakan perkara tersebut, maka perkara tersebut yang asalnya tidak wajib,
dihukumi wajib pula.
Implementasi dalam kehidupan sehari-hari, contohnya pusar dan lutut
bukanlah termasuk aurat yang wajib ditutupi bagi laki - laki saat shalat, karena
batasan aurat bagi laki - laki adalah bagian tubuh di antara pusar dan lutut yang
berarti tidak mencakup keduanya. Tapi karena menutup aurat tak bisa dilakukan
dengan sempurna kecuali dengan juga menutup bagian dari pusar dan lutut, maka
menutup bagian dari pusar dan lutut untuk menyempurnakan menutup aurat
dihukumi wajib.
Menurut asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani perkara yang termasuk dalam
cakupan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” atau “sesuatu yang tidak sempurna kewajiban
kecuali dengan sesuatu itu” ada dua jenis:
1. Kewajiban itu merupakan suatu yang tergantung pada syarat tertentu atau
disebut masyrûth.
Contohnya shalat adalah masyrûth yang menghajatkan thaharah sebagai
syarat. Maka thaharah misalnya wudhu bagi yang berhadas kecil merupakan “mâ lâ
yatimmu al-wâjib” untuk pelaksanaan shalat (ada’u ash- shalah). Hanya saja
kewajiban wudhu sebagai syarat ini tidak ditetapkan berdasarkan wajibnya seruan
(khithab) shalat. Namun harus ada dalil tersendiri (munfasil) yang mewajibkannya.
Jadi wajibnya wudhu tidak mengikut pada dalil perintah shalat.
2. Kewajiban itu merupakan suatu yang tidak tergantung pada syarat tertentu atau
disebut ghairu masyrûth, artinya kewajiban tersebut bersifat mutlak, tanpa
dibatasi oleh syarat atau sebab tertentu.
Jenis ini dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu: kewajiban yang dalam kadar
kesanggupan mukallaf dan kewajiban yang berada di luar kesanggupan

3
mukallaf. Untuk kewajiban yang berada dalam ranah kesanggupan mukallaf
maka keadaan atau “mâ lâ yatimmu al-wâjib” yang bergantung padanya
sempurnanya kewajiban ditetapkan berdasarkan khithâb/seruan yang ada pada
kewajiban itu sendiri. Sebagai contoh, membasuh kedua siku saat berwudhu,
tidak sempurna pembasuhan siku kecuali dengan membasuh bagian dari kedua
siku tersebut. Dalam kondisi ini maka membasuh bagian siku adalah wajib
karena membasuh siku hukumnya wajib berdasarkan nash (QS. al-Maidah: 6).
Dalam konteks ini wajibnya membasuh bagian siku tidak memerlukan dalil
khusus, namun ia tercakup dalam dalâlah al-iltizâm yang ada pada nash (QS. al-
Maidah:6)3

Kesimpulannya, kaidah “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib”


berlaku pada dua keadaan. Pada kewajiban mutlak (kewajiban yang tidak
memerlukan syarat atau sebab), maka berlaku berdasarkan dalâlah al- iltizâm
(berdasarkan khithab itu sendiri).

2.2 Kaidah Ketigabelas : Maa hurrima isti’mâluhu hurrima it-tikhâdzuhu, Mâ


hurrima akhdzuhu hurrima i’thâuhu
Arti dari kaidah Maa hurrima isti’mâluhu hurrima it-tikhâdzuhu adalah “apa
yang haram digunakan, haram pula didapatkannya”
1. Dasar Qaidah Hadis Rasulullah SAW. :
a. Hadis Rasulullah Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh imam Bukhari
dari Abdurrahman bin Abi Layli: “Nabi Bersabda: Kamu sekalian jangan
memakai sutera dan jangan minum dengan tempat dari emas atau perak.
b. Hadis Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Mas’ud al-
Anshari ra: Bahwasanya Rasulullah SAW. melarang harga penjualan anjing,
maskawin pelacur, dan manisan dukun.

Qaidah tersebut di atas, maksudnya adalah terhadap segala yang diharamkan


penggunaannya baik untuk dimakan, diminum, dipakai ataupun lainnya, maka haram
juga mengusahakan untuk mendapatkannya. Bermuamalah untuk memperoleh uang dan
harta benda disuruh yang hukumnya wajib bagi orang Islam.Namun bermuamalah itu
harus sesuai dengan syariat Islam, yaitu bermuamalah dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh syariat Islam, begitu pula objek usaha yang halal. Oleh karena itu, para

3
Wahyudi Ibnu Yusuf, “MENGUPAS KAIDAH ‘MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI
FAHUWA WÂJIB’” (Banjarmasin, 2021).
4
ulama sepakat bahwa tidak halal menjual daging babi, khamar dan kotoran karena najis,
dan anjing.

Dalam berjual beli atau utang piutang tidak boleh dengan mengandung unsur
riba, tipuan dan berlaku zalim. Diharamkan bayaran pelacuran, dan segala benda yang
dijadikan sarana oleh dukun. Begitu pula memiliki harta kekayaan, syariat melarang
kalau harta kekayaan seperti emas dan perak dijadikan sebagai bijana atau tempat
makan dan minum. Karena emas dan perak digunakan sebagai benda perhiasan yang
lebih dari benda yang lain. Oleh karena itu, apabila harta benda itu diharamkan oleh
syariat untuk memakainya, maka syariat melarang pula untuk menyimpannya. Al-
Syafi’i dalam kitab al-Umm misalnya, merumuskan bahwa terdapat persoalan tentang
status hukum harga anjing. Syafi’i meriwayatkan beberapa Hadis yang seluruhnya
berbicara tentang larangan memiliki anjing kecuali untuk keperluan mengendalikan
ternak atau anjing penjaga harta.

Berdasarkan Hadis yang dikemukakan, al-Syafi’i berpendapat bahwa haramnya


harga anjing, dan konsekuensinya adalah haram memelihara anjing. Apa yang ingin
disampaikan dalam kasus ini adalah bahwa sesuatu yang diharamkan karena
substansinya akan membawa kepada keharaman hal-hal lain yang berkaitan. Keharaman
hal-hal lain seputar penggunaan barang-barang haram. Dalam al-asbah wa al-nazhair,
al-Suyuthi memberikan contoh lain, misalnya tentang alat-alat musik, alat-alat rumah
tangga yang terdiri dari emas dan perak, babi, hewan berbisa, minuman keras, sutra dan
perhiasan emas bagi laki-laki. Anjing diharamkan memeliharanya kecuali bagi
keperluan berburu. Maka berdasarkan kaidah tersebut di atas, apa saja yang diharamkan
menggunakannya, maka haram pula mengusahakan, mengadakan atau menyimpannya. 4

Apabila sesuatu diharamkan mengambilnya, maka haram pula memberikannya.


Oleh karena itu, seseorang yang memperoleh harta dengan riba, maka harta itu
diharamkan pula diberikan kepada orang lain, sekalipun untuk kepentingan sosial
keagamaan. Begitu pula seseorang yang memperoleh uang dengan cara korupsi atau
suap, maka diharamkan pula mendermakannya untuk kepentingan baik untuk keluarga,
sosial keagamaan dan sosial kemsyarakatan. Memperoleh uang dengan cara menjual
kehormatan dirinya (penjaja seks komersial) adalah haram, maka haram pula uang
tersebut digunakan atau diberikan untuk kepentingan keluarga atau sosial keagamaan
dan lainnya.

4
Duski Ibrahim, Al-Qawaid Al- Fiqhiyah (Kaidah-Kidah Fiqih) (Palembang: Noerfikri, 2019), hlm 140.
5
Mâ hurrima akhdzuhu hurrima i’thâuhu, memiliki arti “Sesuatu yang
diharamkan mengambilnya diharamkan memberikan”. Kaidah ini memberikan
pengertian kepada kita bahwa mengambil sesuatu yang haram, memberikannya kepada
orang lain juga diharamkan. Atas dasar kaidah ini, maka: 1). Memberikan harta yang
didapatkan dengan riba kepada orang lain hukumnya haram, sebagaimana haram
mendapatkan harta melalui riba tersebut untuk dirinya sendiri, 2). Mendapatkan harta
dengan cara korupsi adalah haram, demikian juga memberikan harta hasil korupsi
kepada orang lain juga haram, 3). Mendapatkan uang dari hasil menjual kehormatan
adalah haram, sebagaimana juga haram menyedekahkan kepada orang lain atau badan-
badan sosial, 4). Mengambil uang suap adalah haram, demikian juga halnya
memberikan uang suap itu kepada orang lain.

Kendatipun demikian seandainya ada upaya seseorang yang mendapatkan harta


atau uang di jalan haram, maka pada prinsipnya tetap tidak dibenarkan. Tetapi, demi
kepentingan dan kebutuhan masyarakat umum, maka pemilik harta tersebut segera
bertaubat dan harta atau uang tersebut dapat digunakan untuk hal- hal tersebut, tetapi
tidak berkaitan langsung dengan ibadah dan rumah ibadah, seperti membangun jalan
umum, reboisasi hutan, dll.
2.3 Kaidah Keempatbelas : Al-Masyghul La Yusyghal

Kaidah ini memiliki arti bahwa yang telah terisi tidak bisa diisi kembali, atau
yang telah sibuk tak dapat diisi dengan kesibukan yang lain. Setiap yang masyghul
(sedang terpakai) tidak boleh dipakai untuk perkara yang lain yang menggugurkan
pemakaian yang pertama.
Dalam fiqh contohnya:
1. Barang yang sudah digadaikan untuk jaminan hutang itu tidak boleh dijadikan
jaminan lagi pada hutang lain.

2. Air yang hanya cukup untuk diminum manusia atau binatang tidak boleh dibuat
wudhu. Kalaupun mau shalat maka harus bertayamum. 5

Dalam tashawwuf contohnya;

1. Jiwa yang disibukkan dengan kesenangan bersama Tuhannya maka tidak akan
terisi dengan keinginan-keinginan syahwat dan nafsunya.

2. Seseorang yang disibukkan dengan memperbaiki kekurangan dan aib dirinya


5
QOWAIDUL FIQIYAH Kaidah "al Masygul La Yusghol " - YouTube,” accessed November 28, 2023,
https://www.youtube.com/watch?v=kz6X99vdaD8.
6
maka tidak ada waktu untuk melihat dan membicarakan kekurangan dan aib
orang lain.

2.4 Kaidah Kelimabelas : Al-maysûr lâ yusqithu bi al-ma’sur


Kaidah ini memiliki arti “Yang mudah dilakukan tidak gugur dengan ada yang
susah dilaksanakan”. Yang mana didasarkan pada sebuah hadist “Apabila aku
memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu.” Dari hadits
tersebut, dipahami bahwa apapun yang diperintahkan oleh Asy-syari‟ (Allah dan
Rasul) untuk dikerjakan, disesuaikan dengan kemampuan yang ada pada manusia
mukallaf. Mereka tidak dipaksakan melakukan suatu perbuatan yang tidak mampu
melakukannya.

Tidaklah apa yang mudah dicapai/dilaksanakan menjadi gugur karena adanya


sesuatu yang benar-benar sukar untuk dicapai/dilakukan. Atau dengan kata lain apa
yang dicapai menurut batas maksimal kemampuannya dipandang sebagai
perbuatan hukum yang sah. Kaidah-kaidah Fiqih Berdasarkan kaidah di atas,
ulama Syafi’iyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa
orang yang tidak dapat menutup auratnya, maka gugurlah kewajibanshalat dengan
sendirinya. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak dapat menutup aurat tidak
mengugurkan kewajiban shalat dengan sendirinya. Dia wajib menutup yang
mungkin baginya, atau sekemampuannya.6

Demikian juga orang yang hanya dapat membaca bagian dari bacaan shalat,
tidak menjadi gugur kewajiban shalatnya. Dia harus mengejarkan shalat dengan
bacaan sekedar apa yang dia telah bisa.

Contoh lainnya adalah orang yang terpotong ujung jarinya, wajib membasuh
jari-jari yang masih ada. Orang yang tidak mampu mengangkat kedua tangannya
secara sempurna waktu shalat, wajib mengangkatnya menurut kemampuannya.

6
“KAIDAH FIKIH: AL-MAISUR LA YASQUTHU BI AL-MA’SUR - IRTAQI | ‫وحده ل عبدا كن‬,”
accessed November 28, 2023, https://irtaqi.net/2020/06/06/kaidah-fikih-al-maisur-la-yasquthu-bi-al-
masur/?noamp=available.
7
2.5 Kaidah Keenambelas : An-ni’mah bi qadri a- niqmah. Wa niqmah bi qadri an-
ni’mah

Artinya : “Kenikmatan diukur dengan kadar kesusahan dan kesusahan juga di


ukur dengan kadar kenikmatan.”
Dua kaidah yang lalu semata-mata berbicara soal pertukaran dua kutub
manfaat dan mafsadah tanpa melihat kadar masing-masing secara proporsi onal.
Sementara kaidah ini menarasikan kadar yang sebanding antara manfaat da n
mafsadah. Penafsiran tentang “kadar sebanding” dapat dipahami dari pengguna an
kata biqadri.7
Contoh kaidah ini adalah biaya renovasi hotel yang dimiliki oleh dua orang
yang sama-sama berinvestasi di dalamnya dibebankan terhadap mereka berdua ses
uai kadar saham yang mereka investasikan. Manisnya laba yang mereka nikmati dari
hasil omset hotel tersebut berbanding lurus dengan biaya renovasi yang mere ka
keluarkan. Dengan demikian, penafsiran yang kedua ini layak diunggulkan.
Berdasarkan penafsiran ini, maka setiap kenikmatan yang menyapa manusia akan
berbanding lurus dengan kesulitan dan masyakah yang ditempuhnya.

2.6 Kaidah Ketujuhbelas : Lâ masâgha li al-ijtihâd fî murîdi nash

Kaidah La Masaga li al-Ijtihad fi Maurid al-Nas memiliki pengertian bahwa


tidak diperbolehkan berijitihad selama ada nas. Namun, sekilas kaidah ini seakan
bertentangan dengan fungsi kaidah fikih yang berperan sebagai media untuk
menafsirkan nas, tentu jika berbicara penafsiran, maka ada titik ijtihad disana.
Tetapi, titik temu dari kontradiksi tersebut adalah fungsi kaidah fikih terkhusus pada
kaidah fikih ini, yaitu menjelaskan bahwa kaidah fikih fungsinya memberikan
penafsiran dari nas bahwa tidak diperbolehkannya berijtihad atau mencari hukum
suatu masalah selama masalah tersebut masih dijelaskan hukumnya dalam nas.
Ijtihad terlarang atau yang tidak diperbolehkan dalam hal ini yaitu keberadaan suatu
nas, bahwa apabila sebuah ijtihad menabrak atau kontradiksi dengan nas yang benar
dan jelas secara dalam hal makna yang disebutkan didalam nas tersebut yang tidak
melegitimasi adanya takwil dan kemungkinan akan hal tersebut.
Impelementasi kaidah La Masaga li al-Inhad fi Maurid al-Nas dapat dilihat
dari contoh-contoh yang ada dalam literatur-literatur yang membahas tentang al-
Qawa'idul al-Fiqhiyyah. Kaidah La Masaga li al-Inhad fi Maurid al-Nas tidak

7
“Kaidah Fikih: Hasil Tak Mendustai Proses | Islam Kaffah,” accessed November 28, 2023,
8
diperbolehkan berijtihad selama ada nas, yaitu:
1. (Misalnya) jika seorang mujtahid berijtihad dan berkata bahwa istri yang ditala k
raj'i bahwa dipersyaratkan keridaan seorang istri terhadap keabsahan rujuknya.
Maka sesungguhnya ijtihad ini adalah tidak benar, diharamkan dan tertolak, kare
na ijtihad tersebut menyelisihi atau menabrak nas syarak yang jelas dari segi pen
unjukannya/dalalah, yaitu firman Allah: (Dan suami mereka lebih berhak kembali
kepada mereka dalam (masa) itu).
2. (Misalnya) jika seorang mujtahid berijtihad dan berkata bahwa bukti itu diminta
dari yang tertuduh atau dituntut atau meminta sumpah dari penuduh atau penuntut
awalnya. Maka ijtihadnya ini adalah tidak benar, diharamkan/tidak diperbolehkan
dan tertolak, karena menyelisihi atau menabrak nas syarak yang telah jelas dari
segi penunjukannya/dalalah, yaitu sabda Nabi: (bukti itu harus ditegakkan oleh
penuntut/orang yang menuntut dan sumpah itu wajib diberikan oleh tertuduh atau
yang dituntut).8

2.7 Kaidah Kedelapanbelas : Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan


Artinya: “Ungkapan (penjelasan) seorang penerjemah dapat diterima secara umum.”
Maksud kaidah ini bahwa penjelasan dari seorang penerjemah yang
menguasai bahasa tertentu dapat dijadikan pijakan dalam mengambil sebuah
keputusan hukum yang menyangkut soal persaksian dan dakwaan.
Maksud muthlaq (umum) dalam kaidah ini artinya dapat diterima dalam semua
kasus dakwaan dan persaksian, baik laki-laki ataupun perempuan. Selanjutnya,
penjelasan penerjemah dapat diterima dengan memenuhi kriteria berikut: Pertama,
terkait kasus tindak pidana qishas dan hadd lebih diutamakan orang laki- laki.
Kedua, penerjemah harus netral, bersifat adil, tidak fasik, terpercaya, memiliki latar
belakang yang jelas. Ketiga, menguasai dua bahasa, bahasa terjemah dan yang
diterjemahkan. Keempat, pihak hakim tidak paham terhadap bahasa yang digunakan
oleh pihak yang bersengketa atau saksi-saksi yang dibutuhkan dalam kasus tersebut.
Kelima, penerjemah tidak tunanetra.
Implementasi kaidah ini secara umum adalah seorang hakim dapat menerima
penjelasan penerjemah yang kompeten dalam memahami keterangan para pihak
yang bersengketa atau para saksi dalam kasus tersebut. Dalam kondisi normal

8
Jahada Mangka, Muh. Taqiyyudin, and Muh. Isra, “IMPLEMENTASI KAIDAH ‘LĀ MASĀGA LI AL-
IJTIHĀD FĪ MAURID AL-NAS’ṭ DALAM FIKIH ISLAM,” Jurnal Bidang Hukum Islam 2, no. 1 (2021), hlm
34.
9
seharusnya hakim berkomunikasi langsung dengan para pihak yang bersengketa,
namun pada situasi tertentu dimana hakim tidak mampu memahami bahasa yang
digunakan oleh mereka dibutuhkan seorang mediator penerjemah guna menangkap
dan memahami persoalan yang sedang dihadapi dalam persidangan.
Hikmah yang dapat diambil dari kaidah ini adalah di era globalisasi seperti
sekarang ini penting untuk menguasai berbagai bahasa. Tuntutan zaman yang sudah
tidak mengenal batas teritorial menggiring manusia untuk berkomunikasi secara luas
tanpa batas. Maka bahasa menjadi kunci dalam menguasai cakrawala dunia. Saatnya
generasi muda belajar multi bahasa agar dunia dalam genggaman. 9

2.8 Kaidah Kesembilanbelas : Yadkhulu al-qawiy ‘ala ad-dha’îf, lâ ‘aksuhu


Artinya: “Yang kuat mencakup yang lemah, tidak sebaliknya.”
Suatu perintah atau larangan yang nilainya lebih kuat dapat atau boleh menca
kup perkara sejenis yang nilainya lebih lemah, tetapi tidak sebaliknya, yakni peri
ntah atau larangan lebih lemah tidak dapat mencakup Kaidah-kaidah Fiqih yang
lebih kuat. Dari kaidah ini dapat diambil pemahaman bahwa:
1. Seseorang boleh menunaikan ibadah haji sekaligus umrah. Tetapi,
seseorang tidak boleh menunaikan ibadah umrah sekaligus ibadah haji.
2. Seseorang boleh mandi wajib sekaligus mengambil air wudhu`.
Tetapi, seseora ng tidak boleh berwudhu` sekaligus mandi wajib. 10

2.9 Kaidah Keduapuluh : Al-haqqâni al-mukhtalfifâni la yutadkhalâni

"Dua hak yang berbeda tidak saling menyerap"


Seperti diketahui bahwa di kalangan ulama dikenal adanya hak Allah dan
hak Adami, serta hak campuran di antara keduanya. Maka berdasar kaidah tadi, Hak
Allah tidak bisa menyerap hak Adami, demikian pula sebaliknya. Contohnya:
Apabila seseorang membunuh karena kesalahan, maka dia wajib membayar diat dan
wajib pula membayar kafarat. Diat adalah hak Adami, sedangkan kafarat adalah hal
Allah. Maka dia wajib melaksanakan kedua-duanya, karena kedua hak tersebut
berbeda.

9
“Kaidah Fikih: Peran Seorang Penerjemah | Islam Kaffah,” accessed November 28, 2023,
https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-peran-seorang-penerjemah/.
10
Syamsul Hilal, “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam,” Al-’Adalah XI, no. 2 (2013).

10
2.10 Kaidah Keduapuluh Satu : Al-khurûj min al-khilâf
mustahab
Artinya: “Dianjurkan keluar dari perkara yang diperselisihkan”

Fikih memiliki arti pemahaman. Pemahaman seringkali bersifat subyektif


dan tidak terkecuali dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan aturan agama.
Jika dalam pembahasan ilmu fikih yang memiliki tingkat tinggi, perbedaan pendapat
sangat mudah ditemukan dan hampir tidak terjadinya pendapat tunggal, oleh karena
itu para ulama fikih harus memiliki kemampuan dalam menyikapi perbedaan dan
perbedaan tidak boleh sampai mengakitbatkan perpecahan. Oleh karena itu, mereka
berupaya mencari sikap yang tepat dalam merespon perbedaan pendapat dalam
memahami agama di kalangan umat Islam. 11
Di antara sikap yang ditekankan para ulama adalah sikap berhati-hati
(ihtiyâth). Kehati-hatian dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan umat ini
penting, agar umat tidak terpecah belah atau bahkan berujung konflik. Prinsip
(ihtiyâth) diterapkan, salah satunya dengan memperkenalkan kaidah "al-khurûj
minal khiláf mustahabb" atau anjuran keluar dari persoalan yang diperselisihkan.
Salah satu contohnya adalah Ketika para ahli fikih mencontohkan mengusap
keseluruhan rambut kepala ketika berwudu. Sebagaimana diketahui, rukun ketiga
dalam beradu adalah mengusap kepala. Allah berfirman, “Wahai orang yang
beriman, ketika kalian hendak melaksanakan shalat, basuhlah wajah kalian, tangan
sampai siku-siku, usaplah (rambut) kepala kalian, dan kaki-kaki kalian sampai mata
kaki”. (QS. Al-Mâ idah [5]: 6).
Para ulama memiliki perberbedaan pendapat mengenai bagian rambut kepala
yang harus dibasuh, dan terdapat tiga pendapat. Pendapat pertama, pendapat yang
mengatakan hukunya wajib membasuh seluruh rambut kepala, pendapat ini
diutarakan oleh imam Malik bin Anas (179 H.) dan imam Ahmad bin Hanbal (241
H). Pendapat kedua, pendapat yang mengatakan wajib dibasuh minimal seperempat
rambut kepala. Pendapat ini dinisbatkan kepada imam Abu Hanifah (150 H).
Sedangkan pada pendapat yang ketiga, minimal diusap satu rambut atau kulit kepala
yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Yang terakhir ini adalah pendapat imam
as-Syafi'i (204 H.).12

11
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangsel:
Harakah Book, 2018), hlm 54.
12
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangsel:
Harakah Book, 2018), hlm 55.
11
Dalam mazhab Syafi'i, sekalipun pendiri mazhab menyatakan untuk wajib
dibasuh minimal satu rambut atau kulit kepala, namun disunahkan untuk mengusap
keseluruhan bagian rambut kepala. Hal ini adalah bentuk langkah keluar dari
perbedaan pendapat. Sikap ini dinilai lebih mencerminkan kehati-hatian, karena
dengan mengusap keseluruhan, maka kita akan keluar dari khilafiah ulama
mengenai kadar minimal rambut kepala yang harus diusap dalam wudhu. Dengan
melakukan pengusapan ke seluruh bagian rambut kepala, maka kita dapat
mengamalkan seluruh pendapat tentang kewajiban mengusap rambut kepala. Di sini,
perbedaan pendapat diselesaikan dalam pengamalan atau tindakan nyata.

2.11 Kaidah Keduapuluh Dua : Al-muhâfadzah ‘alâ al-qadîm as-shâlih wal


akhdzu bial-jadid al-ashlah
Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang
lebih baik”
Pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 238 sebagaimana tercantum, kata al-muhâfadzah
diartikan dengan “senantiasa menjalankannya dengan terus-menerus, menjaganya
agar tidak terlewatkan atau ditinggalkan. Al-muhâfadzah merupakan tahap
lanjutan dari proses penjagaan agama.13 Sedangkan kalimat “al-muhâfadzah ‘alâ
al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah”. memiliki arti, tetap
memelihara tradisi lama yang baik, dan bersamaan dengan membuka diri
merespon atau mengadopsi) tradisi baru sejauh itu baik menurut Islam.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya kita membangun budaya dan
peradaban di mana terdapat nilai-nilai baik yang harus dipertahankan, terlebih lagi
nilai-nilai kebaikan itu selaras dengan ajaran agama Islam dan selaras dengan
kondisi yang ada. Dalam setiap masyarakat, lembaga, maupun negara, pastilah
terdapat tradisi atau hal-hal lama yang terus dipertahankan.
Mengenai masalah pengembangan tentunya terkait erat dengan lanjutan dari
kaidah kita ini, yakni mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Tidak hanya baik
tetapi yang lebih baik atau terbaik. Dalam mengambil hal-hal yang lebih baik ini,
ada dua hal yang perlu dimengerti yakni, mengambil pokok baru yang lebih baik
dan tetap mempertahankan pokok lama yang baik, dan mengambil hal-hal baru
pengembangan dari pokok lama yang baik. 14

13
Al-’Arabi A. B. M. B, Ahkam Al-Qur’an (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001).
14
Abdul Wadud Nafis, “Islam, Masa Peradaban,” Jurnal Al -Hikmah 18, no. 2 (2020), hlm 131.
12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kaidah-kaidah fiqih yang telah dijelaskan dalam makalah ini menggambarkan


prinsip-prinsip dasar dalam menentukan hukum dalam Islam. Dengan memahami kaidah-
kaidah tersebut, umat Islam diharapkan dapat menjalani kehidupan sehari-hari sesuai
dengan ajaran agama dan prinsip-prinsip keadilan. Dalam kaidah-kaidah tersebut,
tergambar pentingnya menghormati hak-hak individu, memelihara nilai-nilai baik,
mencari perdamaian dalam penyelesaian konflik, dan bersikap fleksibel terhadap
perubahan yang membawa kebaikan.

Kaidah-kaidah fiqih juga memberikan pedoman dalam melakukan ijtihad dan


menentukan hukum dalam situasi yang kompleks. Dengan memahami kaidah-kaidah ini,
umat Islam dapat menjaga keseimbangan antara mematuhi nilai-nilai tradisional dan
menerima inovasi yang membawa manfaat. Dengan demikian, pemahaman terhadap
kaidah-kaidah fiqih tidak hanya membantu individu dalam menjalani kehidupan
beragama, tetapi juga dalam menghadapi perubahan zaman dengan bijak dan sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Ini merupakan langkah menuju kehidupan yang seimbang,
adil, dan harmonis dalam kerangka ajaran agama Islam.

Kaidah ini menegaskan bahwa hak-hak yang berbeda antar-individu atau antara
individu dengan hak Allah tidak dapat saling menyerap. Artinya, hak individu tidak boleh
melanggar hak Allah, dan sebaliknya. Contoh implementasi kaidah ini dapat dilihat pada
hak Allah untuk disembah dan ditaati, sementara individu memiliki hak untuk dihormati
dan dilindungi hak-haknya.

13
DAFTAR PUSTAKA
“40 Kaidah Ushul Fiqih Beserta Contohnya ( 4 ) - Pondok Pesantren Sunan
Bejagung.” Accessed November 28, 2023.
https://sunanbejagung.ponpes.id/blog/2020/03/20/qowaid-al-fiqh-31-40/.
Al-’Arabi A. B. M. B. Ahkam Al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001.
Ali, Syaikhul Islam. “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik
Kebangsaan Ulama. Tangerang Selatan: Harakah Book, 2018.
Dkk, Ibrahim Madkur. Mu’jam Al-Wasīt.ṭ Kairo: al-Maktabah al-Syurūq al-
Dauliyyah, 2004.
“Hasil Pencarian - KBBI Daring.” Accessed November 28, 2023.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nas.
“Hasil Pencarian - KBBI Daring.” Accessed November 28, 2023.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ijtihad.
Hilal, Syamsul. “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam.”
Al-’Adalah XI, no. 2 (2013).
Ibrahim, Duski. Al-Qawaid Al- Fiqhiyah (Kaidah-Kidah Fiqih). Palembang:
Noerfikri, 2019.
“KAIDAH FIKIH: AL-MAISUR LA YASQUTHU BI AL-MA’SUR - IRTAQI | ‫كن‬
‫عبدا ل وحده‬.” Accessed November 28, 2023.
https://irtaqi.net/2020/06/06/kaidah-fikih-al-maisur-la-yasquthu-bi-al-
masur/?noamp=available.
“Kaidah Fikih: Hasil Tak Mendustai Proses | Islam Kaffah.” Accessed November 28,
2023. https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-hasil-tak-mendustai-proses/.
“Kaidah Fikih: Peran Seorang Penerjemah | Islam Kaffah.” Accessed November 28,
2023. https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-peran-seorang-penerjemah/.

Mangka, Jahada, Muh. Taqiyyudin, and Muh. Isra. “IMPLEMENTASI KAIDAH‘LĀ


MASĀGA LI AL-IJTIHĀD FĪ MAURID AL-NAS’DALAM FIKIH
ISLAM.” Jurnal Bidang Hukum Islam 2, no. 1 (2021).
Nafis, abdul Wadud. “Islam, Masa Peradaban.” Jurnal Al -Hikmah 18, no. 2
(2020).

“QOWAIDUL FIQIYAH Kaidah "al Masygul La Yusghol " - YouTube.” Accessed November 28,

14
2023. https://www.youtube.com/watch?v=kz6X99vdaD8.

Rohim, Mif. BUKU AJAR QAWA’ID FIQHIYYAH (Inspirasi Dan Dasar Penetapan
Hukum). Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG, 2019.

Sidqi, Muhammad. Al-Wajīz Fī Īdāhal-Fiqh Al-Kulliyyah. Beirut: Muassasah ar- Risālah,


2002.

15
16
Yusuf, Wahyudi Ibnu. “MENGUPAS KAIDAH ‘MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ
BIHI FAHUWA WÂJIB.’” Banjarmasin, 2021.

17

Anda mungkin juga menyukai