Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

AL-MUDAYANAT

Disajikan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu Dr. Zulkifli Nasution, M.A

Disusun Oleh : Kelompok 11

Khairil Agusrian (0201232142)

Abdul Rosad Nasution (0201233177)

Zabdan Hafiz Arifin Hasibuan (0201233146)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan segala Rahmat dan
Karunia-Nya kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini tentang ”Al-
Mudayanat”. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Dosen dan teman-teman yang telah
memberi dukungan dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini disusun sebagai bentuk proses belajar mengembangkan kemampuan


mahasiswa. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
agar bisa menjadi bekal dalam pembuatan makalah kami di kemudian hari dengan lebih baik
lagi.

Kami berharap semoga dengan selesainya makalah ini, dapat bermanfaat bagi pembaca
dan teman-teman, khususnya dalam memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan tentang ” Al-
Mudayanat”

Atas perhatian dan kerja sama teman-teman beserta para pembimbing kami ucapkan
terima kasih.

Sumatera Utara, Maret 2024

Penyusun

Kelompok 11
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................................5
1.3. Tujuan..........................................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
2.1. Al-Qiradh..........................................................................................................................................6
2.2. As-Suftajatu......................................................................................................................................7
2.3. Al-Muqassatu....................................................................................................................................7
2.4. Al-Hiwalatu.......................................................................................................................................8
2.5. Al-Kafalatu........................................................................................................................................9
2.6. Ar-Rahnu.........................................................................................................................................10
2.7. Al-Ibra’u..........................................................................................................................................12
2.8. Al-Iflasu...........................................................................................................................................13
BAB III........................................................................................................................................................15
PENUTUP...................................................................................................................................................15
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara ciptaan-NYA dan juga sebagai
pemimpin dimuka bumi ini. Dari pengertian ini biasanya disalah artikan oleh manusia itu sendiri,
dengan cara bertindak

Semaunya sendiri/seenaknya sendiri tanpa melihat apa ada yang dirugikan disekeliling
mereka. Artinya hanya peduli dengan kepentingannya sendiri tanpa peduli pada kepentingan
orang lain. Seperti contoh bermasyarakat khususnya dengan tetangga, jika kita menyalakan radio
selayaknya sesuai aturan jangan sampai mengganggu tetangga kita, yang mana dari itu
ketahuanlah bahwa kita punya rasa tenggang rasa atau tidak. Jadi secara tidak lain kita sebagai
warga Negara yang baik harus taat pada aturan tertulis maupun yang tidak tertulis seperti aturan
dalam masyarakat. Khususnya bagi umat muslim selain harus taat pada aturan-aturan tertulis
maupun yang tidak tertulis, kita juga mempunyai aturan agama yang memang wajib kita
laksanakan jika ingin benar-benar menjadi seorang muslim yang haqiqi yaitu fiqh.

Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik


perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya. Para ulama mujtahid dari
kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua
yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul
syariat dan kaidah-kaidahnya.

Berangkat dari sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim dalam kehidupannya untuk
mengenal dan mengamalkan hukum-hukum syariat terkait dengan amalan tersebut. Seperti yang
akan ditulis oleh pemakalah yaitu tentang kaidah-kaidah fiqh bermuamalah yang bertujuan
sebagai acuan/sandaran kita dalam hubungan kepentingan antar sesama manusia.
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa itu Al-Qiradh ( ‫? )القرض‬

2. Apa itu As-Suftajatu ( ‫? )السفتجة‬

3. Apa itu Al-Muqassatu (‫? )المقاصة‬

4. Apa itu Al-Hiwalatu (‫? )الحوالة‬

5. Apa itu Al-Kafalatu ( ‫? )الكفالة‬

6. Apa itu Ar-Rahnu (‫? )الرهن‬

7. Apa itu Al-Ibra’u (‫? )االبرأ‬

8. Apa itu Al-Iflasu (‫? )االفالس‬

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui Al-Qiradh ( ‫)القرض‬

2. Untuk mengetahui As-Suftajatu ( ‫)السفتجة‬

3. Untuk mengetahui Al-Muqassatu (‫)المقاصة‬

4. Untuk mengetahui Al-Hiwalatu (‫)الحوالة‬

5. Untuk mengetahui Al-Kafalatu ( ‫)الكفالة‬

6. Untuk mengetahui Ar-Rahnu (‫)الرهن‬

7. Untuk mengetahui Al-Ibra’u (‫)االبرأ‬

8. Untuk mengetahui Al-Iflasu (‫)االفالس‬


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Al-Qiradh

Al-Qiradh dalam fiqih muamalah adalah sebuah bentuk akad di mana seseorang (yang
disebut sebagai shahibul maal) memberikan modal kepada orang lain (yang disebut sebagai
mudharib) untuk dijadikan modal usaha. Shahibul maal dan mudharib kemudian bersepakat
untuk membagi keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati.

Dalam hal ini, shahibul maal bertanggung jawab atas modal yang diberikan, sementara
mudharib bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Jika usaha menghasilkan keuntungan,
keuntungan tersebut akan dibagi sesuai dengan perjanjian. Namun, jika usaha tersebut
mengalami kerugian, risiko kerugian akan ditanggung oleh shahibul maal, kecuali jika kerugian
tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan dari mudharib.

Istilah qiradh juga dikenal dengan mudharabah, namun biasa digunakan di kalangan
Syafi’iyah dan Malikiyah. Dalam buku "Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 2"
oleh Ibnu Rusyd, dijelaskan bahwa qiradh terjadi ketika seseorang memberikan hartanya kepada
orang kedua untuk diperdagangkan, kemudian laba dari penjualan itu dipotong untuk dibagikan
kepada orang kedua.1

1
Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah, Rajawali, Jakarta, hlm. 275
2.2. As-Suftajatu

Suftajah dalam fiqih muamalah mengacu pada praktik atau akad yang dilakukan dalam
transaksi keuangan untuk menghindari risiko kehilangan uang atau harta ketika dalam
perjalanan. Praktik ini biasanya terkait dengan transaksi utang piutang atau peminjaman.

Menurut pandangan ulama Mazhab Hambali, seperti Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim,
dan Ibnu Qudamah, suftajah dianggap sah dan diperbolehkan karena memberikan manfaat bagi
kedua belah pihak, baik kreditor (pihak yang memberikan pinjaman) maupun debitor (pihak
yang menerima pinjaman).

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua mazhab atau pendapat ulama sepakat
mengenai suftajah. Terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab dalam hal ini.

Sumber yang saya temukan tidak memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai
suftajah dalam fiqih muamalah. Oleh karena itu, jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut
tentang suftajah, disarankan untuk merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau berkonsultasi dengan
seorang ahli fiqih untuk penjelasan yang lebih mendalam dan akurat.2

2.3. Al-Muqassatu

Muqassah dalam fiqih muamalah merujuk pada praktik atau konsep yang melibatkan
pertukaran atau kompensasi dalam bentuk yang sama atau sebanding. Dalam konteks muamalah,
muqassah dapat terjadi dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang atau jasa.

Contoh umum dari muqassah adalah pertukaran barang dengan barang yang sebanding
dalam nilai atau pertukaran jasa dengan jasa yang sebanding dalam nilai. Misalnya, seseorang
dapat menukar sejumlah uang dengan barang tertentu yang memiliki nilai setara, atau seseorang
dapat memberikan jasa pembersihan rumah dalam pertukaran untuk jasa perbaikan elektronik.

2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Pustaka Percetakan Offset, bandung, hlm. 129
Praktik muqassah ini didasarkan pada prinsip saling menguntungkan dan adil dalam
transaksi. Dalam Islam, transaksi yang dilakukan haruslah adil dan tidak merugikan salah satu
pihak. Oleh karena itu, dalam muqassah, kedua pihak harus sepakat dan memiliki kesepakatan
yang jelas mengenai nilai dan jenis barang atau jasa yang akan ditukar.

Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam fiqih muamalah, terdapat aturan dan prinsip
yang lebih spesifik yang mengatur transaksi dan muamalah secara keseluruhan. Oleh karena itu,
jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang muqassah dan aspek-aspek terkait dalam fiqih
muamalah, disarankan untuk merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau berkonsultasi dengan seorang
ahli fiqih untuk penjelasan yang lebih mendalam dan akurat.3

2.4. Al-Hiwalatu

Hiwalah dalam fiqih muamalah adalah istilah yang merujuk pada pemindahan utang atau
tanggungan dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam konteks ini, hiwalah terjadi ketika
seseorang yang memiliki utang atau kewajiban finansial memindahkan tanggungannya kepada
orang lain.

Ada beberapa jenis hiwalah yang dikenal dalam fiqih muamalah, antara lain:

1. Hiwalah al-Mutlaqah: Hiwalah ini terjadi ketika pemindahan utang dilakukan tanpa disertai
dengan pembayaran atau kompensasi yang jelas dari pihak yang menerima tanggungan. Dalam
hiwalah ini, pihak yang memindahkan utang tetap bertanggung jawab untuk melunasi utang
tersebut.

2. Hiwalah al-Muqayyadah: Hiwalah ini terjadi ketika pemindahan utang dilakukan dengan
disertai pembayaran atau kompensasi yang telah disepakati sebelumnya antara pihak yang

3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah, Amzah, Jakarta, hlm. 245
memindahkan utang dan pihak yang menerima tanggungan. Dalam hiwalah ini, pihak yang
menerima tanggungan juga bertanggung jawab untuk melunasi utang tersebut.

Syarat-syarat dan rukun hiwalah dapat berbeda-beda tergantung pada mazhab dan
pendapat ulama. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau
berkonsultasi dengan seorang ahli fiqih untuk memahami secara rinci dan spesifik mengenai
hiwalah dalam fiqih muamalah.4

2.5. Al-Kafalatu

Kafalah dalam fiqih muamalah mengacu pada konsep penjaminan atau jaminan dalam
transaksi atau kesepakatan hukum. Dalam kafalah, seorang pihak (penjamin atau kafil) menjamin
atau bertanggung jawab atas kewajiban atau tanggung jawab finansial dari pihak lain (yang
dijamin atau makful 'alaih). Kafalah dapat melibatkan penjaminan terhadap orang (kafalah bin-
nafs) atau penjaminan terhadap harta (kafalah bil-maal).

Berikut adalah beberapa poin penting terkait kafalah dalam fiqih muamalah:

1. Jenis Kafalah: Kafalah dapat dibagi menjadi dua bagian utama: kafalah dengan jiwa
(kafalah bin-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bil-maal). Kafalah dengan jiwa melibatkan
penjaminan terhadap seseorang, seperti memberikan jaminan untuk kehadiran seseorang dalam
suatu transaksi. Kafalah dengan harta melibatkan penjaminan terhadap harta atau kewajiban
finansial, seperti memberikan jaminan atas utang atau pembayaran.

2. Bentuk-bentuk Kafalah: Kafalah dapat dilaksanakan dalam beberapa bentuk, antara lain:

- Kafalah Al-Mu'allaqah: Penjaminan yang dilakukan dengan syarat tertentu atau terbatas.

- Kafalah Al-Munjazah: Penjaminan yang dilakukan tanpa syarat atau terbatas.

4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamala,. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 135-138
- Kafalah Bi At-Taslim: Penjaminan yang dilakukan melalui penyerahan tanggungan kepada
pihak penjamin.

- Kafalah Bi An-Nafs: Penjaminan yang melibatkan penjaminan terhadap seseorang.

- Kafalah Bi Al-Mal: Penjaminan yang melibatkan penjaminan terhadap harta atau kewajiban
finansial.

3. Landasan Hukum: Kafalah didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan saling membantu
dalam Islam. Praktik kafalah diatur oleh hukum syariah dan memiliki landasan hukum dalam Al-
Quran dan Hadis.

Perlu diingat bahwa terdapat perbedaan dalam pendapat dan pendekatan antara mazhab-
mazhab dalam hal kafalah. Oleh karena itu, jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang
kafalah dalam fiqih muamalah, disarankan untuk merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau
berkonsultasi dengan seorang ahli fiqih untuk penjelasan yang lebih mendalam dan akurat.5

2.6. Ar-Rahnu

Ar-Rahnu dalam fiqih muamalah mengacu pada konsep gadai atau jaminan dalam
transaksi keuangan. Dalam ar-rahnu, seorang individu (yang disebut sebagai pemberi gadai atau
rahin) memberikan barang berharga sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman uang dari
lembaga keuangan atau pihak lain (yang disebut sebagai penerima gadai atau mustahik). Barang
yang digadaikan dapat berupa emas, perhiasan, atau barang berharga lainnya.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait ar-rahnu dalam fiqih muamalah:
5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, AMZAH, Jakarta, hlm. 273-274
1. Pengertian Ar-Rahnu: Ar-Rahnu secara syar'i adalah harta yang dijadikan jaminan utang
agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya jika dia gagal
menunaikannya. Ar-Rahnu disyariatkan dalam Islam.

2. Hukum Ar-Rahnu: Ar-Rahnu diperbolehkan dalam Islam dan dianggap sebagai salah satu
alternatif dalam memenuhi kebutuhan dana dengan menggunakan barang berharga sebagai
jaminan.

3. Rukun Ar-Rahnu: Terdapat beberapa rukun dalam ar-rahnu, antara lain:

- Barang yang digadaikan harus memiliki nilai dan kegunaan yang jelas.

- Pemberi gadai dan penerima gadai harus memiliki kesepakatan dan persetujuan yang sah.

- Penerima gadai harus memberikan pinjaman kepada pemberi gadai.

4. Ketentuan Ar-Rahnu: Terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur ar-rahnu, seperti


penentuan nilai barang gadai, perhitungan bunga atau biaya layanan, jangka waktu gadai, dan
prosedur pengambilan barang gadai.

Perlu diingat bahwa dalam praktek ar-rahnu, terdapat perbedaan dalam implementasi dan
ketentuan antara lembaga keuangan dan negara-negara tertentu. Oleh karena itu, jika Anda ingin
mempelajari lebih lanjut tentang ar-rahnu dalam fiqih muamalah, disarankan untuk merujuk
kepada kitab-kitab fiqih, peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau berkonsultasi dengan
ahli fiqih atau lembaga keuangan yang berwenang.6

6
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op.Cot. hlm. 246
2.7. Al-Ibra’u

Al-Ibra'u dalam fiqih muamalah mengacu pada konsep perubahan atau penyesuaian
dalam transaksi atau kesepakatan hukum. Dalam konteks ini, al-ibra'u berarti bahwa pihak yang
terlibat dalam suatu transaksi dapat mengubah atau menyesuaikan syarat-syarat atau ketentuan
yang telah disepakati sebelumnya, jika terdapat perubahan kondisi atau keadaan yang
mempengaruhi transaksi tersebut.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait al-ibra'u dalam fiqih muamalah:

1. Pengertian Al-Ibra'u: Al-Ibra'u secara harfiah berarti "perubahan" atau "penyesuaian".


Dalam konteks fiqih muamalah, al-ibra'u mengacu pada kemampuan pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksi untuk mengubah atau menyesuaikan ketentuan atau syarat-syarat transaksi jika
terdapat perubahan yang signifikan dalam kondisi atau keadaan yang mempengaruhi transaksi
tersebut.

2. Landasan Hukum: Konsep al-ibra'u didasarkan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan
dalam Islam. Prinsip ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam transaksi agar dapat
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.

3. Syarat-syarat Al-Ibra'u: Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan al-
ibra'u, antara lain:

- Perubahan yang terjadi harus signifikan dan berpengaruh pada transaksi.

- Perubahan tersebut harus di luar kendali pihak yang terlibat dalam transaksi.

- Perubahan tersebut harus dapat dibuktikan secara objektif.


4. Penerapan Al-Ibra'u: Al-ibra'u dapat diterapkan dalam berbagai jenis transaksi, seperti jual
beli, sewa-menyewa, atau kontrak lainnya. Namun, penerapan al-ibra'u harus dilakukan dengan
itikad baik dan kejujuran dari pihak-pihak yang terlibat.

Perlu diingat bahwa dalam praktiknya, terdapat perbedaan dalam pendapat dan
pendekatan antara mazhab-mazhab dalam menerapkan al-ibra'u. Oleh karena itu, jika Anda ingin
mempelajari lebih lanjut tentang al-ibra'u dalam fiqih muamalah, disarankan untuk merujuk
kepada kitab-kitab fiqih atau berkonsultasi dengan seorang ahli fiqih untuk penjelasan yang lebih
mendalam dan akurat.7

2.8. Al-Iflasu

Al-Iflas dalam fiqih muamalah merujuk pada kebangkrutan atau ketidakmampuan


seseorang atau perusahaan untuk melunasi utang atau kewajiban finansial mereka. Dalam
konteks ini, al-iflas menyoroti masalah keuangan yang serius dan mempengaruhi hubungan
muamalah.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait al-iflas dalam fiqih muamalah:

1. Pengertian Al-Iflas: Al-Iflas berarti kebangkrutan atau ketidakmampuan untuk membayar


utang atau kewajiban finansial. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang atau perusahaan tidak
memiliki sumber daya yang cukup untuk melunasi utang mereka.

2. Hukum Al-Iflas: Dalam hukum Islam, al-iflas memiliki implikasi hukum dan dapat
mempengaruhi transaksi dan hubungan muamalah. Hukum dan prosedur yang terkait dengan al-
iflas dapat berbeda-beda tergantung pada mazhab dan peraturan yang berlaku di suatu negara.

3. Konsekuensi Al-Iflas: Konsekuensi al-iflas dapat melibatkan likuidasi aset atau properti
untuk melunasi utang, pembagian aset kepada para kreditur, atau pengaturan pembayaran utang
7
Rahmat Syafe’i. MA, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 155
yang sesuai. Tujuan utama dari proses al-iflas adalah untuk mencapai keadilan dalam
pembayaran utang dan perlindungan bagi para pihak yang terlibat.

4. Prosedur dan Perlindungan: Terdapat prosedur dan perlindungan yang diatur dalam hukum
Islam untuk mengatasi situasi al-iflas. Hal ini dapat mencakup pengadilan khusus, penunjukan
pengurus atau kurator, dan pembagian aset yang adil kepada para kreditur.

Perlu diingat bahwa tata cara dan ketentuan terkait al-iflas dapat bervariasi tergantung
pada peraturan hukum dan praktik yang berlaku di suatu negara atau yurisdiksi. Oleh karena itu,
jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang al-iflas dalam fiqih muamalah, disarankan
untuk merujuk kepada kitab-kitab fiqih, peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau
berkonsultasi dengan ahli fiqih atau ahli hukum yang berwenang.8

8
Abdullah Bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. Ensiklopedi Fiqh Muamalah, Maktabah Al-Hanif,
Yogyakarta, hlm. 157-158
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang
lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum
jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum
pemerintahan
Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan
hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti
wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang
menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan
Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Ruang linkup fiqh muamalah terdiri dari
dua yaitu fiqh muamalah yang bersifat adabiyah dan adiniyah
Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu
ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang
tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an
maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang
menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa
yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya
sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah

Ath-Thayyar, Abdullah Bin Muhammad dkk. 2009. Ensiklopedi Fiqh Muamalah.

Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif.

Galis. 2010. Qirad (online), (http://galisbangkalan.blogspot.com/2010/08/qirad.html. diunduh 07


April 2015 pukul 15.30 WIB)

Muslich, Wardi Ahmad. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta : Amzah.

Ridwan. 2011. Makalah Pinjam Meminjam Qiradh (online),


(http://ridwansimpasai.blogspot.com/2011/11/makalah-pinjam-meminjam-qiradh.html. diunduh
07 April 2015 pukul 14.55 WIB)

Sabiq, Sayyid. 1993. Fiqh Sunnah. Bandung: Pustaka Percetakan Offset.

Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali.

Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syafe’I, Rahmat. 2000. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai