Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENERAPAN MUDHARABAH

Dosen Pengampu:

Dr. Syahpawi, S. Ag, M. Sh Ec

Disusun Oleh:

Kelompok 9

Nurul Hasanah (12120521084)

Suryani (12120521291)

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami
kesempatan dan kesehatan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang Penerapan
Mudharabah. Tidak lupa pula shalawat serta salam selalu saya hadiahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW. Didalam pembuatan makalah ini, kami selaku penulis berusaha
untuk menguraikan materi tentang Penerapan Mudharabah.

Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan terima kasih
kepada dosen pengampu bapak Dr. Syahpawi, S. Ag, M. Sh Ec. selaku dosen mata kuliah
Kegiatan Usaha Bank yang telah memberikan waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini.

Demikian pengantar yang bisa kami sampaikan, kami mohon maaf apabila terdapat
banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari makalah ini bukanlah karya
sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan baik dalam isi, maupun sistematika dan
teknik penulisannya. Oleh sebab itu, kami selaku penulis mengharapkan saran dan kritik
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 04 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................... iii
BAB I ............................................................................................................................................................. iv
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................ iv
1.1. Latar Belakang................................................................................................................................... iv
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. iv
1.3. Tujuan ............................................................................................................................................... iv
BAB II ............................................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 5
2.1. Definisi Mudharabah.......................................................................................................................... 5
2.2. Landasan Hukum Mudharabah .......................................................................................................... 6
2.3. Unsur-unsur (Rukun) Akad Mudharabah ........................................................................................... 8
2.4. Keuntungan dalam Mudharabah ....................................................................................................... 9
2.5. Ketentuan Umum Mudharabah ....................................................................................................... 10
2.6. Teknis Mudharabah pada perbankan Syariah ................................................................................. 11
BAB III .......................................................................................................................................................... 14
PENUTUP ..................................................................................................................................................... 14
3.1. Kesimpulan....................................................................................................................................... 14
3.2. Saran ................................................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah. Salah satu
prinsipnya adalah Mudharabah. Lalu, apa maksud prinsip Mudharabah dalam bank syariah?
Berdasarkan Undang Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah
merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam.

Selain itu, Undang Undang Perbankan Syariah juga memberi amanah kepada bank
syariah untuk selalu menjalankan fungsi sosial sekaligus menjalankan fungsi seperti lembaga
baitul mal. Mudharabbah adalah akad kerja sama antara bank selaku pemilik dana (shahibul
maal) dengan nasabah selaku mudharib yang mempunyai keahlian atau keterampilan untuk
mengelola suatu usaha produktif dan halal.

Mudharabah digunakan bank syariah untuk mendanai kebutuhan permodalan bagi


nasabah yang ingin menjalankan usaha atau proyek, dengan cara melakukan penyertaan modal
bagi usaha atau proyek yang bersangkutan.

Dalam pembiayaan ini, LKS (lembaga keuangan syariah) sebagai shahibul maal (pemilik
dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah)
bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu Mudharabah

2. Landasan hukum Mudharabah

3. Apa saja Syarat sah nya akad Mudharabah?

4. Apa keuntungan yang di dapatkan dalam akad Mudharabah?

1.3. Tujuan
1. Agar bisa memahami lebih dalam tentang Mudharabah

2. Agar mengetahui Landasan Hukum sesuai syariat islam.

iv
3. Agar mengetahui apa saja yang harus dilaksanakan agar akad Mudharabah sah

4. Agar tau apa saja keuntungan yang di dapatkan ketika menggunakan akad Mudharabah

4
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Definisi Mudharabah
Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini
termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Di antaranya, memukul; dharaba Ahmad
al-kalba, mengalir; dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al ma', berjalan; dharaba fi al-ardh dan
lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kata tersebut bergantung pada kata
yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya. Namun di balik keluwesan kata ini dapat
ditarik benang merah yang dapat mempresentasikan keragaman makna yang ditimbulkan, yaitu
bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain.

Di dalam Al-Qur'an kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas. Al-Qur'an hanya
mengungkapkan mustaq dari kata dharaba sebanyak 58 kali. Di antara jumlah itu, terdapat kata
yang dijadikan oleh sebagian besar ulama fiqh sebagai akar kata dari mudharabah, yaitu kata
dharaba fi al ardh yang artinya berjalan di muka bumi.' Mereka menganggap bahwa dimaksud
berjalan di muka bumi ini adalah bepergian berjalan ke suatu wilayah untuk sebuah perdagangan.

Sementara dalam hadis, akar kata mudharabah (dharabah) juga banyak disebutkan,
namun memiliki arti yang bermacam-macam, misalnya; hatta nudhaariba al qaum, sehingga
kami memerangi kaum tersebut. Dharaba di sini berarti perang atau jihad. Kana yaqdhi fi al
mudharib illa biqadha'ain. kata dharaba di sini pun tidak menunjukkan arti mudharabah yang kita
kenal sekarang.

Para ulama dalam mencari rujukan bagi keabsahan mudharabah ini. secara umum
mengacu pada aspek latar belakang sosio-historisnya. Mereka menganalisis wacana-wacana
kegiatan muamalah Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya yang terjadi pada waktu itu.
Seperti, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa bapaknya al-Abbas telah mempraktikkan
mudharabah ketika ia memberi uang kepada temannya di mana dia mempersyaratkan agar
mitranya tidak digunakannya dengan jalan mengarungi lautan, menuruni lembah atau
membelikan sesuatu yang hidup. Jika dia melakukan salah satunya, maka dia akan menjadi
tanggungan. Peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi dan beliau pun menyetujuinya. 1

Diceritakan pula bahwa dua anak Umar r.a., Abdullah dan Ubaidillah menemui Abu
Musa al Asy'ari di Basra pada saat pulang dari peperangan Nawahand di Persia. Abu Musa al
Asy'ari memberikan uang kepada kedua orang tersebut agar mereka memberikannya kepada
bapaknya, Umar di Madinah. Dalam perjalanannya menuju Madinah, mereka membelikan
sesuatu dari uang tersebut. Setelah sampai di Madinah mereka menjual barang tersebut dan
mendapatkan beberapa keuntungan, kemudian mereka memberikan uang modal saja kepada

1
Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag, Hukum Perabankan Syariah, hal. 68.

5
Umar. Umar menolak uang itu dan mengharap agar disertakan keuntungan. Mereka menolak dan
menjelaskan bahwa jika uang ini hilang, mereka akan menanggungnya. Akhir riwayat Umar
menerima keputusan itu dan menyetujui bagi hasil yang telah didapatkan.

Beberapa peristiwa di atas oleh mereka dijadikan landasan keabsahan mudharabah.


Menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan dan dibiarkan oleh Nabi merupakan sunnah
taqririyah yang menjadi sumber hukum Islam. Bahkan ada beberapa pendapat mengatakan
bahwa praktik mudharabah pun telah dilakukan oleh Nabi ketika bermitra dengan khadijah pada
masa pra-kenabian.

Dalam fiqh muamalah, definisi terminologi mudharabah diungkapkan secara bermacam-


macam oleh beberapa ulama mazhab, di antaranya:

1. Mazhab Hanafi, yaitu: suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam keuntungan dengan modal
dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.

2. Mazhab Maliki, yaitu: penyerahan uang di muka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang
ditentukan kepada seorang yang usaha d uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungan.

3. Mazhab Syafi'i, yaitu: bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha
untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara
keduanya.

4. Mazhab Hambali, yaitu: penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan
tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari
keuntungannya.

Satu hal yang barangkali terlupakan oleh keempat mazhab ini dalam mendefinisikan
mudharabah adalah bahwa kegiatan kerja sama mudharabah merupakan jenis usaha yang tidak
secara otomatis mendatangkan hasil. Oleh karena itu, penjabaran mengenai untung dan rugi perlu
untuk diselipkan sebagai bagian yang integral dari sebuah definisi yang baik.2

2.2. Landasan Hukum Mudharabah


Ulama fiqih sepakat bahwa mudarabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur‟an,
Hadis, Ijma‟ dan Qiyas.

a. Al-Qur‟an

Di dalam al-Qur'an ayat-ayat yang mengatur secara tegas menerangkan tentang


mudarabah tidak ada, tetapi berbagai ayat tentang muamalah, dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk kerjasama mudarabah dibolehkan,66) sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur`an Surah
Al-Muzammil ayat 20 dan Surah Al-Baqarah: 198, sebagai berikut:

2
Ibid, hal. 69.

6
Surah Al-Muzammil ayat 20: 67)

“…Dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…”

Surah Al-Baqarah ayat 198: 68)

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.

Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara
bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Berdasarkan hal tersebut, kaum
muslim sepakat bahwa mudharabah itu adalah salah satu bentuk kerja sama dalam lapangan
muamalah yang dibolehkan karena membawa kemaslahatan dan bahkan bisa dipandang sebagai
suatu bentuk kerja sama yang perlu dilakukan. Pada zaman sekarang keperluan akan sistem
mudharabah semakin terasa urgensinya untuk menjaga kesenjangan antara si kaya dan si miskin
atau untuk menghindari kecemburuan sosial.

b. Hadits

Selain al-Qur'an, Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam juga memberikan
landasan tentang mudarabah yaitu sebagai berikut:

Dari Solih bin Suhaib ra:

Bahwa Rasulullah saw bersabda tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan jual beli
secara tangguh muqorodah (mudarabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah bukan untuk dijual.

Diantara ijma‟ dalam mudarabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa Jemaah dari
sahabat menggunakan harta anak yatim untuk dimudarabahkan. Hal ini berdasarkan pada ijtihad
Umar Bin Khattab. Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya menegaskan sebagaimana
diriwayatkan oleh Abdillah bin Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa Abdullah dan Ubaidilah
putra-putra Umar bin Khattab ra. keluar bersama pasukan Irak.

Ketika mereka kembali mereka singgah pada bawahan Umar yaitu Musa al-Asyari,
Gubernur Bashrah ia menerima mereka dengan senang hati dan berkata sekiranya aku dapat
memberikan pekerjaan kepada kalian yang bermanfaat, aku akan melakukannya. Kemudian ia
berkata, sebetulnya begini, ini adalah sebagian dari harta Allah yang aku ingin kirimkan kepada
Amirul. Aku pinjamkan kalian untuk dipakai membeli barang yang ada di Irak. Kemudian jual di
Madinah.

Kalian kembalikan modal pokoknya kepada Amirul, dengan demikian kalian


mendapatkan keuntungan. Keduanya, bekata: Kami senang melakukannya. Kemudian Abu Musa
melakukannya dan menulis surat kepada shahabat Umar agar beliau mengambil harta dari
keduanya. Setelah mereka tiba mereka menjual barang tersebut dan mendapatkan keuntungan.

7
Umar berkata: Adakah semua pasukan telah di pinjamkan uang seperti kamu? Mereka
menjawab. Tidak. Kemudian Umar berkata:

“Dua anak Amirulmukminin, karenanya mereka meminjamkan kepada keduanya


serahkanlah harta dan labanya. Abdullah diam saja, tetapi Ubaidillah menjawab: wahai amirul
mukminin, kalau harta itu binasa (habis) kami menjaminnya. Umar terus berkata: Serahkanlah.
Abdullah diam saja dan Ubaidillah tetap mendebatnya. Salah seorang yang hadir di majelis Umar
tersebut berkata: Wahai Amirulmukminin, bagaimana harta itu anda anggap qirad? Umar lantas
menyetujui pendapat ini dan mengambil modal berikut setengah dari labanya.

d. Qiyas

Mudarabah juga dapat diqiyaskan sebagai bentuk interaksi antar sesama manusia
sehingga makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial kebutuhan akan kerja sama antara satu pihak
dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup atau keperluan
keperluan lain tidak bisa diabaikan. Sebab pada kenyataannya, ada yang miskin dan ada pula
yang kaya. Di satu sisi orang kaya atau memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudarabah
ditunjukkan antara lain untuk kemaslahatan umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
mereka. Yakni pemenuhan kebutuhan kedua golongan di atas.3

2.3. Unsur-unsur (Rukun) Akad Mudharabah


Unsur-unsur akad mudharabah yang harus ada di dalamnya dan menjadi prasyarat sahnya
transaksi mudharabah itu, 16 adalah:

1. Ijab Qabul.

Pernyataan kehendak yang berupa ijab qabul antara kedua belah pihak memiliki syarat-syarat,
yaitu:

a. Ijab dan qabul itu harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah.

b. Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh
pihak kedua. Artinya ijab yang diucapkan pihak pertama harus diterima dan disetujui oleh pihak
kedua sebagai ungkapan kesediaannya bekerja sama. Ungkapan kesediaan tersebut bisa
diungkapkan dengan kata-kata atau gerakan tubuh (isyarat) lain yang menunjukkan kesediaan.

c. Ijab dan qabul harus sesuai maksud pihak pertama cocok dengan keinginan pihak kedua,
artinya kedua belah pihak sepakat dan ketika kesepakatan itu disetujui maka terjadilah hukum.

2. Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha).

3
Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, hal. 116.

8
Syarat-syarat kedua belah pihak, yaitu:

a. cakap bertindak hukum secara syari. Artinya Shahib al-maal memiliki kapasitas untuk menjadi
pemodal dan mudharib memiliki kapasitas menjadi pengelola.

b. Memiliki kewenangan/memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa, karena penyerahan


modal oleh pihak pemberi modal kepada pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian
kuasa untuk mengelola modal tersebut.

3. Adanya modal.

Syarat-syarat modal adalah sebagai berikut:

a. Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu
dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak menimbulkan dalam pembagian laba karena
ketidakjelasan jumlahnya.

c. Harus berupa uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang dan tidak boleh
barang adalah pendapat mayoritas ulama. Uang bersifat tunai (bukan utang), jadi dana itu dapat
dijalankan dalam suatu usaha.

d. Modal harus diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung, karena dikhawatirkan
akan terjadi kerusakan pada modal penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerjanya
dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara maksimal.

4. Adanya usaha (al-a'mal).

Mengenai jenis usaha pengelolaan ini sebagian ulama, khususnya Syafi'i dan Maliki,
mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dagang. Tetapi Abu Hanifah membolehkan
usaha apa saja selain berdagang, termasuk kerajinan dan industri. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa jenis usaha yang dibolehkan adalah semua jenis usaha dan tentu saja tidak
hanya menguntungkan tetapi juga harus sesuai dengan ketentuan syariah sehingga merupakan
usaha yang halal.4

2.4. Keuntungan dalam Mudharabah


Mengenai keuntungan disyaratkan bahwa:

a. Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentase dari jumlah modal yang
diinvestasikan, melainkan hanya keuntungannya setelah dipotong besarnya modal. Dalam hal ini
perhitungan harus dilakukan secara cermat.

4
Ibid, hal. 118.

9
b. Keuntungan untuk masing-masing pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal, karena jika
ditentukan demikian berarti shahibul al-maal telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha
yang belum jelas untung dan ruginya dan ini akan membawa kepada perbuatan riba.

c. Nisbah pembagian ditentukan dengan persentase, misalnya 60:40%, 50:50% dan seterusnya.
Penentuan persentase tidak harus terikat pada bilangan tertentu. Artinya jika nisbah bagi hasil
tidak ditentukan pada saat akad, maka masing-masing pihak memahami bahwa keuntungan itu
akan dibagi secara sama, karena aturan umum dalam perhitungan adalah kesamaan.5

2.5. Ketentuan Umum Mudharabah


Komposisi suatu perjanjian pembiayaan Mudharabah yang disusun oleh Bank Syariah
harus terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu: Judul, Komparisi, Isi, dan Penutup. Isi perjanjian
pembiayaan Mudharabah harus didasarkan pada asas konsesualisme, yaitu kesepakatan para
pihak. Kesepakatan para pihak ini merupakan wujud atas keridhoan (ar radhaiyyah) yang
dinyatakan dalam bentuk ijab kabul (sighatul akad) saat pengikatan perjanjian.

Dalam proses mencapai kesepakatan dalam perjanjian tersebut, pihak Bank Syariah
menjelaskan isi perjanjian yang akan ditandatangani dan memberikan kesempatan bagi Calon
Nasabah untuk memahami dan memberikan pendapat terkait seluruh klausul standar perjanjian
pembiayaan Mudharabah yang dibuat oleh Bank Syariah.

Hukum Perjanjian sesuai Pasal 27 dan 28 KHES terbagi dalam 3 kategori yaitu:

1. Akad yang sah, yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya;

2. Akad yang fasad, yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syarat syaratnya, tetapi terdapat hal lain
yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat;

3. Akad yang batal, yaitu akad yang kurang rukun dan syarat-syaratnya.

Perjanjian atau akad pembiayaan Mudharabah harus memenuhi rukun dan syarat sah
sebagaimana telah diatur dalam pasal 187-188 KHES dan 1320 KUH Perdata. Akad perjanjian
yang telah memenuhi rukun dan syarat sah disebut sebagai akad yang sah atau shahih. Akad
perjanjian yang sah atau shahih akan memunculkan hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak serta seluruh akibat hukum yang timbul mengikat kedua belah pihak.

Syarat Mudharabah terdiri dari:

a. Pemilik modal

5
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, hal. 79.

10
Wajib menyerahkan dana dan atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk
melakukan kerjasama dalam usaha, Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang
disepakati, dan Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad.

Rukun kerjasama dalam akad Mudharabah terdiri dari; pemiliki modal (shahibul maal),
pelaku usaha (mudharib) dan perjanjian (akad). Dalam kontrak akad Mudharabah, kesepakatan
bidang usaha yang akan dilakukan dapat bersifat bebas (mutlak) dan terbatas (muqayyad) pada
bidang usaha tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu. Pihak Nasabah yang melakukan
kontrak akad Mudharabah harus memiliki keterampilan yang diperlukan.

2.6. Teknis Mudharabah pada perbankan Syariah


Sejarah berdirinya perbankan dengan sistem bagi hasil didasarkan pada 2 (dua) alasan
utama, yaitu: (1) adanya pandangan bahwa bunga (interest) pada bank konvensional hukumnya
haram karena termasuk dalam kategori riba yang dilarang dalam agama, bukan saja pada agama
Islam, melainkan juga oleh agama samawi lainnya. (2) dari aspek ekonomi, penyerahan risiko
usaha terhadap salah satu pihak dinilai melanggar norma keadilan. Dalam jangka panjang sistem
perbankan konvensional akan menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang yang
memiliki kapital besar.

Lembaga keuangan syariah menerapkan sistem bagi hasil sebagai landasan


operasionalnya dengan mekanisme pendapatan bagi hasil berlaku untuk produk-produk
penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian sebagai bentuk bisinis koorporasi
(kerjasama). Pihak-pihak yang terlibat dalam ke-pentingan bisnis, harus melakukan transparansi
dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang
berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan proyek.

Itulah sebabnya, sebagian besar pembiayaan bisnis dalam suatu per-ekonomian Islam
akan berbentuk penyertaan modal di mana penyedia dana (financier/finance provider) akan
berbagi hasil rugi atau untung dari aktivitas bisnis yang dibiayainya. Pembiayaan demikian tidak
saja akan mendistribusikan ke-untungan pada investasi total antara penyedia dana dan pelaku
bisnis (enterpreneur/ finance user) secara adil, tetapi juga akan mentransfer saham risiko
investasi yang fair kepada penyedia dana dan bukan meletakkan keseluruhan beban pada pundak
pelaku bisnis.

Adapun bentuk-bentuk usaha mudharabah pada bank syari‟ah berupa:

a. Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah:

- Menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito, atau
bentuk lainnya yang berbentuk mudharabah.

- Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan usaha.

11
- Melakukan kegiatan usaha lain yanglazim bagi bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syari‟ah
Nasional

b. Pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Berdasarkan Prinsip Syari‟ah:

- Menghimpun dana dari masya-rakat dalam bentuk tabungan atau deposito atau bentuk lain
yang menggunakan bentuk mudharabah

- Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bagi hasil.

- Melakukan kegiatan atau usaha lain yang lazim bagi BPR sepanjang disetujui oleh Dewan
Syari‟ah Nasional.

Teori mudharabah seperti yang tertuang dalam kajian fiqh telah mengalami perubahan
dan modifikasi ketika diterapkan pada sistem keuangan syariah. Posisi mudharib (pengusaha)
bertindak sebagai nasabah dan mitra bank, sehingga sedikit banyaknya bank akan ikut campur
dalam manajemen usaha, mudharib tidak memiliki kebebasan penuh dalam menjalankan
usahanya, tetapi tetap mendapat pengawasan dari pihak bank, meskipun kontrak mudharabahnya
adalah mudharabah mutlaqah. Modal usaha yang diberikan juga dikucurkan secara bertahap
dengan tujuan agar pihak bank dengan mudah mengawasi dan mengontrol manajemen usaha.
Penetapan berbagi resiko tidak di- terapkan oleh bank, sehingga terkesan kerugian sepenuhnya
ditanggung oleh mudharib (pengusaha), sebab bank telah ikut serta mengontrol dan mengawasi
usaha, yang apabila usaha itu macet atau rugi, maka sepenuhnya adalah kesalahan pengusaha

Kontrak mudharabah umumnya digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek


(short-term commercial) yang dapat dengan mudah menentukan masa berlakunya kontrak.
Dengan mengetahui batas berakhirnya kontrak, tingkat keuntungan dapat dihitung dan diketahui
hasilnya. Bank syariah dalam melaksanakan kontrak mudharabah membuat kesepakatan dengan
nasabah mengenai tingkat perbandingan ke- untungan (profitratio) yang ditentukan dalam
kontrak. Perbandingan keuntungan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
kesepakatan dari nasabah (mudharib), prediksi keuntungan yang akan diperoleh, respon pasar,
kemam-puan memasarkan barang, dan juga masa berlakunya kontrak.

Bentuk kontrak mudharabah yang diterapkan perbankan syariah memakai dua bentuk
aqad, yaitu mudharabah muqayyadah on balance-sheet dan mudharabah muqayyadah of balance-
sheet. Pada bentuk pertama, aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke sekelompok
pelaksana usaha dalam beberapa sector terbatas, seperti pertanian dan manufaktur. Pada bentuk
kedua, aliran dana berasal dari nasabah investor kepada satu nasabah pem- biayaan. Bank syariah
hanya bertindak sebagai Iarranger saja dan tran-saksinya melalui mekanisme off balancesheet,
yaitu transaksi yang tidak tercatat dalam neraca bank.

Ciri akad mudharabah adalah menuntut adanya saling kepercayaan antara nasabah
dengan bank, sehingga pembiayaan dengan skim mudharabah dianggap sebagai pembiayaan

12
yang berisiko tinggi, karena bank akan menghadapi permasalahan asymmetric information,
dimana pihak pengelola (mudharib) mengetahui informasi-informasi yang tidak diketahui oleh
bank. Pada saat yang sama juga timbul moral hazard dari pihak mudharib, yaitu pihak mudharib
akan melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan mudharib dan merugikan shahib al-mal.
(bank syariah).

Untuk itu, tugas mudharib dalam menjalankan usaha meliputi pengelo- laan,
penyimpanan, dan pemasaran, sehingga mudharib harus memanajerial dengan baik dan teliti atas
modal yang dipercayakan kepadanya.Mudharib menjamin dalam mengelola barang tersebut
sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam pembiayaan mudharabah. Ia bertanggung-
jawab untuk menanggung segala kerugian yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri yang
menyimpang dari prosedur penentuan kontrak. Pihak bank tidak menanggung kerugian yang
disebakan oleh kesalahan pihak mudharib. Singkatnya, mudharib harus tunduk terhadap segala
persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak yang berkaitan dengan pengelolaan usaha.
Pelaksanaan tersebut umumnya diawasi oleh pihak bank.

Kontrak mudharabah yang tidak menghasilkan keuntungan, maka pihak mudharib tidak
mendapatkan upah dari pekerjaannya. Dan pihak bank menanggung kerugian tersebut sepanjang
tidak terbukti bahwa mudharib tidak menyelewengkan dana dan bukan karena kesalahan dalam
memanejerial. Namun jika terbukti akibat kecerobohan dari pihak mudharib, maka ia harus
menanggung kerugian itu. Dalam kasus tersebut, barang jaminan yang dijadikan sarana
pertanggungjawaban harus diberikan kepada bank.

Kenyataan menunjukkan bahwa proses tawar menawar dan negosiasi pembagian nisbah
hanya dilakukan terhadap deposan/investor dengan jumlah dana besar, karena mereka memiliki
daya tawar yang relatif tinggi, sehingga dapat diberikan spesial nisbah. Sedangkan terhadap
deposan kecil, biasanya tawar-menawar tidak terjadi, akan tetapi pihak bank yang menawarkan
nisbah yang telah jadi, sehingga deposan boleh setuju atau tidak.

Sedangkan penerapan akad mudharabah pada perbankan memakai modus indirect


financing, dalam hal ini bank akan bertindak sebagai pihak ketiga yang menjadi sebagai
intermediary antara shahibul maal dengan mudharib. Proses kerjanya, yaitu bank menerima
dana-dana dari pihak deposan (shahibul maal) sebagai sumber dana. Dana-dana tersebut dikemas
dalam bentuk tabungan dan deposito dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya dana-
dana tersebut disalurkan kembali kepada mudharib dalam bentuk pembiayaan yang
menghasilkan (earning assets). Keuntungan dari pemanfaatan penyaluran dana inilah yang akan
dibagi hasilkan antara bank dengan shahibul maal.6

6
Muhammad, Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. hal. 134.

13
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Mudharabah yang terjadi di perbankan syariah cendrung pada si penabung/ investor ke
bank, bukan pada peminjam/ pengusaha ke bank. Karena uang yang ada diperbankkan
merupakan wadi‟ah (titipan). Jadi berat menerapkan sistem mudharabah, karena dikawatirkan
dengan resiko yang terjadi. Sebab Mudharabah itu ketentuannya keuntungan usaha dibagi
menurut kesepakatan dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian si pengelola.

3.2. Saran
Kami selaku penulis sangat berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca
pada umumnya dan pada kami selaku penulis khususnya. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kami mohon kepada para pembaca agar dapat
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun terhadap makalah kami agar kami bisa
lebih baik ke depannya. Amin ya Rabbal „alamin.

14
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad. 2005. Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. Yogyakarta: Anggota IKAPI.

Mujahidin,H. Akhmad. 2016. Hukum Perbankan Syariah. Depok: PT Raja Grafindo Persada.

Naf‟an. 2014. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2007. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Usaha Pratama Grafiti

15

Anda mungkin juga menyukai