Anda di halaman 1dari 12

HomeMUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH

MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH


zilfaroniOctober 26, 2020

MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH

      A.    Pengertian dan Hukum Musaqah

            Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah


disebut dengan al- mu’amalah. Secara terminologi, musaqah didefenisikan oleh para
ulama fiqh sebagai berikut:

            Menurut Abdurrahman al-Jaziri[1], musaqah ialah:

            “Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang     lainnya dengan
syarat-syarat tertentu”.

            Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen[2], musaqah adalah:

“Penyerahan sebidang kebun kepada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan
bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.

            Ulama Syafi’i mendefenisikan:

“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan
cara mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara
pemilik dan petani yang menggarap”.
            Dengan demikian, akad  musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan
petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil
yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak
bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

            Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk
merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan
dari hasilnya yang belum tentu[3].

            Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda
Rasulullah saw:

            “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan kebun beliau             kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian:        mereka akan memperoleh
dari penghasilannya, baik dari bauh-buahan        maupun hasil tanamannya” (HR. Muslim).

B.     Rukun, Syarat, dan Berakhirnya Akad Musaqah

1.      Rukun Musaqah

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab
dari pemilik tanah perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak penggarap [4].
Adapun Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian
bahwa rukun musaqah ada lima yaitu:

a.       Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.

b.      Tanah yang dijadikan objek musaqah.

c.       Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.

d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah.

e.       Shighat (ungkapan) ijab dan kabul[5].

2.      Syarat Musaqah

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:

a.       Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap
bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.

b.      Objek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang  mempunyai buah. Dalam
menentukan objek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut
ulama Hanafiyah, yang boleh menjadi objek musaqah adalah pepohonan yang
berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur dan terong. Akann tetapi, ulama
Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan
yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama
Malikiyah, menyatakan bahwa yang menjadi objek musaqah itu adalah tanaman
keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel dan anggur dengan syarat bahwa:

1)      Akad musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.

2)      Tenggang waktu yang ditentukan jelas.

3)      Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.

4)      Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman


itu.

            Menurut ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan objek musaqah adalah terhadap tanaman


yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu, musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang
tidak memiliki buah.

            Adapun ulama Syafi’i berpendapat bahwa yang boleh dijadikan objek akad musaqah  adalah
kurma dan anggur saja, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Rasulullah saw.menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan


ketentuan sebagian dari hasilnya, baik buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi milik
orang Yahudi itu”.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad


berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.

d.      Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama,
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan
sebagainya. Menurut Imam Syafi’i yang terkuat, sah melakukan peerjanjian
musaqah pada kebun yang telah mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat
dipastikan akan baik (belum matang).

e.       Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa-
menyewa agar terhindar dari ketidak pastian[6].

3.      Berakhirnya Akad Musaqah

Menurut para ulama fiqh,akad musaqah berakhir apabila:

a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.

b.      Salah satu pihak meninggal dunia.


c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

            Uzur yang mereka maksud dalam hal ini diantaranya adalah petani penggarap itu terkenal
sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak memungkinkan dai
untuk bekerja.

            Jika petani yang wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum
dipanen. Adapun jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika
kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara
meneruskan atau menghentikannya[7].

            Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah ialah akad yang boleh
diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada uzur dari
pihak petani. Ulama Syafi’iyah, juga menyatakan bahwa akad musaqah tidak boleh dibatalkan karena
adanya uzur. Jika petani penggarap mempunyai uzur, maka harus ditunjuk salah seorang yang
bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad musaqah
sama dengan akad muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab
itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu. Jika pembatalan akad itu dilakukan
setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik kebun dan petani penggarap,
sesuai dengan kesepakatan yang telah ada[8].

C.    Hikmah Musaqah

            Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan pohon-pohon yang lain,
tetapi dia tidak mampu untuk menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan yang
menghalanginya. Maka Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan orang itu untuk mengadakan
suatu perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing mendapatkan bagian
dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada dua hikmah:

1.      Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi


kebutuhannya.

2.      Salling tukar manfaat di antara manusia.

            Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemeliharaan telah berjasa
merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau sendainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa
disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari adanya ikatan cinta, kasih
sayang, antara sesama manusia, maka jadilah umat itu umat yang bersatu dan bekerja untuk
kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung faedah yang besar[9].

D.    Pengertian dan Hukum Muzara’ah

            Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak pemilik


tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa defenisi muzara’ah  yang
dikemukakan ulama fiqh.
            Ulama Malikiyah[10] mendefeniskan:

            “Perserikatan dalam pertanian”

            Ulama Hanabilah[11] mendefenisikan:

“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi
berdua”

            Kedua defenisi dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “ paruhan sawah”. Penduduk Irak
menyebutnya “ al- mukhabarah”. Tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang ditanam berasal dari
pemilik tanah.

Imam Syafi’i[12] mendefenisikan:

“ pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah”.

            Dalam muhkarabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan
dalam muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

            Jadi, muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan
perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit)
tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka
secara khusus kerja sama ini disebut al-mukhabarah.

            Antara muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah
kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam
musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Didalam
muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dahulu oleh
penggarapnya[13].

            Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah
(boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman Allah yang
menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-
Bukhari yang mengatakan:

     “Bahwasanya Rasulullah saw.mempekerjakan  penduduk khaibar (dalam    pertanian) dengan


imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam         bentuk tanaman atau buah-buahan”.
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud       dan Nasa’i).

E.     Rukun dan Syarat Muzara’ah

            Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan syarat yang


harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.
            Rukun Muzara’ah menurut mereka sebagai berukut:

1.      Pemilik tanah.

2.      Petani penggarap.

3.      Objek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.

4.      Ijab dan kabul. Contoh ijab dan kabul: “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada
engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani penggarap menjawab: “
Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi dua”. Jika hal
ini telah terlaksana, maka akad ini sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan
bahwa penerimaan (kabul) akad muzara’ah tidak perlu denngan ungkapan, tetapi boleh juga
dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu[14].

Adapun syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:

1.      Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah baliq dan berakal.

2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan
ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

3.      Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berukut:

a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah ini boleh digarap dan menghasilkan.
Jika tanah ini tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk
dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.

b.      Batas-batas tanah itu jelas.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila


disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad
muzara’ah tidak sah.

4.      Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:

a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada
pengkhususan.

c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak
dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Dan
penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti saru
kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen
jauh dibawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

5.      Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula,
karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah
mengupah) dengan imbalan  sebagian hasil panen. Oleh sebeb itu, jangka waktunya harus
jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.

            Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah, mensyaratkan juga harus
jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah,
maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani[15]. 

F.     Pengertian dan Hukum Mukhabarah

            Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan
bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.

            Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman.


Dalam muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah, benih
tanaman berasal dari pihak penggarap.[16]

            Pada umumnya kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif
murah, seperti padi, jangung dan kacang. Namun, tidak menutup kemungkinan pada tanaman yang
benihnya relatif murah pun dilakukan kerja sama muzara’ah.

            Hukum mukhabarah sama dengan muzara’ah, yaitu mubah (boleh). Landasan hukum


mukhabarah adalah sabda Nabi SAW yang sekira kira artinya:

“Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku katakana kepadanya: Ya
Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi
SAW telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku
orang yang sungguh-sungguhmengetahui akan hal itu, yaitu Ibn Abbas bahwa Nabi SAW tidak
melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya
lebih baik dari pada ia mengambil manfaat itu dengan upah tertentu”. (Hr. Muslim) .

G.    Zakat Muzara’ah dan Mukhabarah

            Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah
mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati( jika telah sampai batas nisab). Maka dalam
kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah/lading dan penggarap) membayar
zakat bila telah nisab.

            Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah
pemilik tanah, karena dialah yang menanam. Sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang
menanam. Sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari
keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi
dua.

            Menurut Yusuf Qardawi, jika pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang
lain dengan imbalan seperempat, sepertiga  atau setengah  hasil sesuai dengan perjanjian, maka
zakat dikenakan atas kedua bagian masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang
cukup senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib bagi atas yang memiliki bagian
yang cukukp senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi’i,
berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu wajib secara bersama-
sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasaq: masing-masing mengeluarkan 10%
dari bagiannya.[17]

H.    Hikmah Muzara’ah dan Mukharabah[18]

            Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah
dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah
yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk
menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan
bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binantangnya dengan tetap
mendapatkan bagian masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin
luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.

I.       Ringkasan Bab 6

1.      Secara etimologi, Musaqah berarti transaksi dalam pengairan. Secara


terminologi fiqh, musaqqah yaitu akad untuk pemeliharaan pohom kurma, tanaman
(pertanian) , dan lainnya dengan syarat-syarat tertentu. Atau penyerahan sebidang kebun pada
petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari
hasil kebun itu. Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqqah yaitu boleh atau mubah.

2.      Jumhur ulama fiqh berpendirian bahwa rukun musaqqah ada lima, yaitu:

a.       Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.

b.      Tanah yang dijadikan objek musaqqah.

c.       Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.

d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqqah.

e.       Sighat (ungkapan) ijab dan Kabul.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:
a.       Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqqah harus orang yang cakap
nbertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.

b.      Objek musaqqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.

c.       Lamanya perjanjian harus jelas.

Akad musaqqah  berakhir apabila:

a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.

b.      Salah satu pihak meninggal dunia.

c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjudkan akad.

3.      Hikmah Musaqqah, antara lain:

a.       Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat


mencukupi kebutuhannya.

b.      Saling tukar manfaat diantara manusia.

4.      Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik


tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, muzara’ah ialah pengolahan tanah oleh
petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam mukharabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan
dalam al-muza’raah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

Antara muzara’ah dan musaqqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah


kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam
musaqqah tanaman telah ada tetapi memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Didalam
muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh
penggarapnya. Kerja sama dalam bentuk muzaraah menurut kebanyakan ulama fiqh
hukumnya mubah (boleh) .

Rukun muzara’ah sebagai berikut:

a.       Pemilik tanah.

b.      Petani penggarap.

c.       Objek al-muza’raah, yaitu anytara manfaat tanah dan hasil kerja petani.

d.      Ijab dan Kabul.

Adapun syarat-syarat muzaraah sebagai berikut:


a.       Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus
telah balig dan berakal.

b.      Syarat yang menyangkut benih yang harus ditanam harus jelas, sehingga benih
yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

c.       Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:

1)      Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan.

2)      Batas-batas tanah itu jelas.

3)      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.

d.      Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:

1)      Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

2)      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad. Tanpa boleh ada
pengkhususan.

5.      Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut
kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah. Perbedaan
antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman.
Dalam muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah,
benih tanaman berasal dari pihak penggarap.

Hukum mukharabah sama dengan muzara’ah. Yaitu mubah (boleh) .

6.      Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah
mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati( jika telah sampai batas nisab). Maka
dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah/lading dan penggarap)
membayar zakat bila telah nisab.

Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat
adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam. Sedangkan penggarap hanya
mengambil upah kerja. Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani),
karena dialah hakikatnya yang menanam. Sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil
sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya
jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.

7.      Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah
dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki
tanah yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk
menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah
dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binantangnya dengan
tetap mendapatkan bagian masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan
semakin luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.

[1]  Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al- Mazahib al- Arba’ah, (Beirut: Dar al- Taqwa, 2003),
juz III, hlm. 20.

[2]  Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-2, hlm. 275.

[3]  Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana. 2003), cet. Ke-1, hlm. 243.

[4]  Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 284.

[5]   Ibid.

[6]  Ibid., hlm. 284 dan seterusnya.

[7]  Ibid., hlm. 287.

[8]  Ibid., hlm. 288.

[9]  Syeikh Ali Ahmad al- Jurjawi, Falsafah, dan Hikmah Hukum Islam, penerjemah: Hadi Muljo
dan Shobahussurur, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), cet. Ke-1, hlm. 398.

[10]  Lihat Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 275.

[11]   Ibid.

[12]  Ibid.

[13]  Lihat Abdul Mujieb, Op. Cit., hlm. 237.

[14]  Lihat Nasru Haroen, Op. Cit., hlm. 278.


[15]  Ibid., hlm. 278-279.

[16]  Abdul Mujieb, Op. cit., hlm. 221.

[17] Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat (Hukum Zakat) , penerjemah: Salman Harun (et al) , (Bogor: PT.
Pustaka Litera Antar Nusa,, 1993) , cet. Ke- 3, hlm. 375.

[18] Lihat Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Op. cit., hlm. 397

Anda mungkin juga menyukai