Anda di halaman 1dari 6

BAB IX

KERJASAMA DALAM BIDANG PERTANIAN


A. Muzara’ah
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Menurut etimologi muzara’ah memiliki arti al-inbat (‫ )اإلنبات‬yakni
menumbuhkan.1 Sedangkan menurut terminologi muzara’ah adalah
akad kerjasama dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian
menyerahkan lahannya berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja tani
untuk diusahakan sedangkan hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama, seperti setengah, sepertiga atau lebih dari itu. Bila
dalam kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus
kerjasama ini disebut dengan mukhabarah demikian menurut ulama
madzhab Syafi’i yang membedakan muzara’ah dengan mukhabarah.
Hal yang sama juga berlaku pada pemilik hewan ternak dengan
penggembala, dimana pemilik hewan ternak menyerahkan hewannya
kepada penggembala untuk digembalakan sedangkan hasilnya baik
dalam bentuk anak yang lahir maupun pertambahan nilai jual, dibagi
sesuai dengan kesepakatan.
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama
hukumnya adalah boleh. Dasar kebolehannya itu, disamping dapat
dipahami dari umumnya firman Allah yang menyuruh bertolong-
tolongan, juga secara khusus dari hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut
riwayat al-Bukhari yang menyatakan:
“Bahwasanya Rasul Allah saw mempekerjakan penduduk Khaibar (dalam
pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk
tanaman atau buah-buahan”
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh
Nabi dengan petani Khaibar adalah kerja sama, bukan upah-mengupah
dengan pekerja tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah dengan

1
Wahbah zuhaili, Op. Cit, Jilid 6, h. 4683

1
pemilik tanah; karena sewa dalam akad sewa-menyewa atau upah dalam
akad upah-mengupah (ijarah), harus jelas dan pasti nilainya, bukan
dengan hasil yang belum pasti. Ulama yang mengatakan tidak boleh
mu’amalah dalam bentuk muzara’ah adalah Abu Hanifah dan Zufar,
menurutnya hadis yang menjelaskan mu’amalah yang dilakukan nabi
dengan penduduk khaibar sebenarnya bukan merupakan kerjasama
dengan menggunakan akad muzara’ah, tetapi merupakan merupakan
kharraj muqasamah, yaitu kewajiban tertentu (pajak) berupa prosentase
tertentu dari hasil bumi.

2. Rukun dan Syarat Muzara’ah


Rukun yang terdapat dalam kerjasama berbentuk muzara’ah terdiri
dari pemilik lahan (shahib al-ardhi), petani penggarap (al-amil/muzari’),
objek muzara’ah yaitu lahan dan hasil yang diperoleh sebagai keuntungan,
dan ijab qabul. Masing-masing unsur ini mesti memenuhi syarat yang
telah ditentukan.
Bagi Yang melakukan akad (pemilik lahan, petani penggarap),
disyaratkan baligh dan berakal. Pendapat ulama Hanafiyah menambahkan
bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad, karena
tindakan hukum orang yang murtad dianggap mauquf.
Sementara syarat-syarat yang menyangkut tanah pertanian antara
lain; tanah tersebut merupakan tanah yang boleh digarap dan
menghasilkan, bukan tanah tandus, Batas-batas tanah harus jelas, dan
tanah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap
Sedangkan syarat yang berkaitan dengan hasil panen yaitu;
pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu
benar-benar milik bersama orang yang akad tanpa boleh ada
pengkhususan, dan pembagian hasil panen ditententukan sejak dari awal
akad, agar tidak timbul perselisihan

2
3. Berakhirnya akad Muzara’ah
Akad kerjasama muzara’ah dapat berakhir jika; pertama, habisnya
masa usaha pertanian dengan panen atau sebelum panen; kedua, atas
permintaan salah satu pihak sebelum panen atau pihak pekerja jelas-jelas
tidak lagi mampu melanjutkan pekerjaannya, ketiga, akibat kematian
pihak yang mengadakan akad menurut pendapat abu Hanifah, sedangkan
menurut ulama madzhab maliki dan Sayafi’i muzara’ah tidak putus
dengan kematian salah satu pihak yang berakad.
Bila kerjasama berakhir sebelum panen, maka yang diterima oleh
pekerja adalah upah dan yang diterima oleh pemilik lahan adalah sewa
dalam ukuran yang patut yang disebut ujratul mitsil.

B. Musaqah

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Secara sederhana musaqah diartikan dengan kerjasama dalam


perawatan tanaman dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh
dari tanaman tersebut.

Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam akad ini adalah


tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan
buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk
mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan
kayunya.

Perawatan di sini mencakup mengairi (inilah arti sebenarnya


dengan musaqat), menyiangi, merawat, dan usaha lain yang berkenaan
dengan buahnya. Karena kerjasama disini dalam hal yang kerjanya
maupun hasilnya berketerusan, maka ukuran kerjasama ditentukan
oleh waktu.

Kerjasama dalam bentuk musaqat ini berbeda dengan mengupah


tukang kebun untuk merawat tanaman karena hasil yang diterimanya

3
adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasil yang
belum tentu. Menurut kebanyakan ulama, hukum dari musaqat ini
adalah boleh atau mubah.

Dasar hukum bolehnya adalah hadits nabi yang mempekerjakan


penduduk Khaibar yang disebutkan di atas, yang kerjasama pertanian
tersebut juga mencakup merawat tanaman. Sedangkan sebagian ulama
yang memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat
tidak boleh karena upah itu tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam
bentuk nilai uang yang sudah pasti sesuai dengan perjanjian.

Hikmah dari kebolehan kerjasama dalam bentuk ini adalah


tolong menolong dan kemudahan dalam pergaulan hidup, saling
menguntungkan dan tidak ada pihak yang dirugikan.

2. Rukun dan Syarat Musaqah

Sebagai kerjasama yang timbul dari kehendak bersama, maka


kerjasama ini memerlukan suatu perjanjian atau akad dengan cara dan
bentuk yang sama-sama diketahui agar dapat menunjukkan telah
terjadi kerjasama secara suka sama suka. Pelaku kerjasama adalah
orang-orang yang telah dewasa, berakal sehat dan berbuat dengan
kehendak sendiri tanpa paksaan.

Persyaratan objek kerja sama dalam hal ini yaitu pohon-pohon


atau tanaman keras mestilah jelas wujudnya dan diketahui kedua belah
pihak, dapat dikerjakan, menghasilkan namun belum dapat dipanen
sehingga memerlukan perawatan.

Keuntungan yang diperoleh adalah bagian dari hasil pepohonan


yang dirawat tersebut secara ukuran persentase, bukan dengan kadar
yang pasti ditentukan.

4
3. Perbedaan Muzara’ah dengan Musaqat

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan mendasar


antara al-musaqah dan al-muzara’ah perbedaan yang dimaksud antara
lain :
a. jika salah satu pihak dalam akad al-musaqah tidak mau melaksanakan
hal-hal yang telah disepakati dalam akad, maka yang bersangkutan
boleh dipaksa untuk melaksanakan akad tersebut. Berbeda dengan
akad al-muzara’ah bahwa jika pemilik benih tidak mau bekerja sama
maka ia tidak boleh dipaksa. Kebolehan memaksa salah satu pihak
yang enggan untuk melaksanakan persetujuan yang telah disepakati
dalam akad al-musaqah karena menurut jumhur ulama selain ulama
Hanabiah akad al-musaqah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan
tetapi dalam akad al-muzara’ah sifatnya baru mengikat jika benih
sudah disemaikan. Jika benih belum disemaikanmaka pemilik benih
boleh saja untuk membatalkan perjanjian itu. Namun Ulama
Hanabilah menyatakan bahwa akad al-musaqah dan al-muzara’ah
termasuk dalam akad yang tidak mengikat kedua belah pihak karena
boleh saja salah satu pihak yang melakukan akad membatalkannya.
b. Penentuan tenggang waktu pada akad al-musaqah menurut jumhur
ulama Hanfiyah bukanlah sebagai salah satu syarat dalam akad al-
musaqah. Pendapat ini mereka dasarkan atas kaidah istihsan
(berpaling dari kehendak qiyas khafi,karena ada dalil yang
mengkendaki pemalingan ini). Atas dasar itu penentuan lamanya akad
al-musaqah itu berlangsung disesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat. Sedangkan dalam akad al-muzara’ah dalam penentuan
tenggang waktu, terdapat dua pendapat dalam mazhab Hanafi;
pertama mengatakan diisyaratkan tenggang waktu, dan kedua tidak
disyaratkan tenggang waktu, tetapi diserahkan kepada adat
kebiasaaan setempat. Pendapat kedua inilah yang merupakan fatwa
yang terkuat dalam mazhab Hanafi.

5
c. Jika tenggang waktu yang disetujui dalam akad al-musaqah berakhir,
akad tetap dapat dilanjutkan tanpa imbalan terhadap petani
penggarap. Petani penggarap berkewajiban melanjutkan pekerjaanya
sampai pohon yang ditanam itu berbuah, tetapi untuk pekerjaan ini
petani tidak berhak menerima upah karena pekerjaan sampai tanaman
berbuah dan dipanen adalah kewajiban pihak petani penggarap.
Sedangkan dalam akad al-muzara’ah bila tenggang waktu telah habis
dan tanaman belum juga berbuah, maka petani penggarap
melanjutkan pekerjaanya dengan syarat dia berhak menerima upah
dari hasil bumi yang akan dipetik dalam akad al-muzara’ah itu.

4. Berakhirnya Akad Musaqat


Menurut Ulama madzhab Hanafi, Akad dalam musaqat dapat
berakhir karena tiga hal; pertama, berakhirnya batas waktu yang
disepakati, kedua, salah satu pihak meninggal dunia, ketiga, akad
diakhiri dengan iqalah yakni atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.

Bila pekerja tidak mampu melanjutkan pekerjaannya seandainya


ditentukan dalam akad bahwa pekerjaan dilakukan sendiri. Dalam hal
ini yang diterima oleh pekerja adalah upah kerja. Bila tidak demikian
dinyatakan dalam akad, maka pekerjaan dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya sampai batas waktu.

Anda mungkin juga menyukai