Anda di halaman 1dari 6

MUZARAAH

Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian
hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
pemilik tanah

1. Syarat yang berkaitan dengan aqidain, yaitu harus berakal

2. Berkaitan dengan tanaman, yaitu adanya penentuan macam tanaman yang akan ditanam.

3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman

a. Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya.

b. Hasil adalah milik bersama

c. Bagian amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama.

d. Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui

e. Tidak diisyaratkan bagi salah satu penambahan yang ma’lum

4. Hal yang berkaitan dengan tanah yang akan ditanami

a. Tanah tersebut dapat ditanami

b. Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya

5. Hal yang berkaitan dengan waktu

a. Waktunya telah ditentukan

b. Waktu tersebut memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud.

6. Hal yang berkaitan dengan peralatan yang akan digunakan untuk menanam, alat-alat tersebut
disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan pada pemilik tanah.

Rukun

1) Ulama Hanabilah berpendapat rukun muzaraah yaitu ijab dan kabul. Boleh dilakukan dengan lafal
apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan kabul. Bahkan muzaraah sah dilafalkan dengan ijarah.

2) Ulama Hanafiah berpendapat rukun muzara’ah ada empat, yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal,
dan alat-alat ntuk menanam
Jenis

Ada empat 4 macam bentuk Muzara’ah.

1. Tanah dan bibit berasal dari satu pihak sedangkan pihak lainnya menyediakan alat juga melakukan
pekerjaan. Pada jenis yang pertama ini hukumnya diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai penyewa
terhadap penggarap dan benih berasal dari pemilik tanah, sedangkan alatnya berasal dari penggarap .

2. Tanah disediakan satu pihak, sedangkan alat, bibit, dan pekerjaannya disediakan oleh pihak lain.
Hukum pada jenis yang kedua ini juga diperbolehkan. Disini penggarap sebagai penyewa akan
mendapatkan sebagian hasilnya sebagai imbalan.

3. Tanah, alat, dan bibit disediakan pemilik, sedang tenaga dari pihak penggarap. Bentuk ketiga ini
hukumnya juga diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dengan
sebagian hasilnya sebagai imbalan.

4. Tanah dan alat disediakan oleh pemilik, sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak penggarap. Pada
bentuk yang keempat ini menurut, Zhahir riwayat, muzara’ah menjadi fasid. Ini dikarenakan misal akad
yang dilakukan sebagai menyewa tanah maka alat dari pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa
menjadi fasid, ini disebabkan alat tidak mungkin mengikuti kepada tanah karena ada bedanya manfaat.
Sebaliknya, jika akad yang terjadi menyewa tenaga penggarap maka bibit harus berasal dari penggarap
yang mana akan menyebabkan ijarah menjadi fasid, ini disebabkan bibit tidak mengikuti penggarap
melainkan kepada pemilik.

MUSAQAH

Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap
untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya
menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.

Rukun Musaqah

Rukun musaqah meliputi beberapa hal:

1) Antara pemilik kebun dan tukang kebun (penggarap) hendaknya orang yang sama-sama berhak
bertasaruf (membelanjakan harta keduanya).

2) Kebun dan semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan
(satu kali dalam satu tahun) maupun yang berbuah hanya satu kali kemudian mati, seperti jagung dan
padi.
Syarat Musaqah

Syarat musaqah adalah sebagai berikut:

1) Ahli dalam akad.

2) Menjelaskan bagian penggarap.

3) Membebaskan pemilik dari pohon.

4) Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad sampai batas akhir, yakni
menyeluruh sampai akhir.

Tidak disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta
ketetapan waktu.

Jenis

Macam-macam

Musaqah ada 2 macam, yaitu :

1. Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman)
sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil
yang baik.

2. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya (Cuma mengairi), yaitu mengairi saja, tanpa ada tanggung
jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban mencarikan jalan air, baik dengan
menggali sumur, membuat parit, bendungan, ataupun usaha-usaha yang lain.

MURABAHAH

Pengertian Murabahah

Apa itu Murabahah? Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad
jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual
beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya
serta jumlah keuntungan yang diperoleh.

Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus dipisahkan antara
keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad , kalau terjadi
kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan
denda. Denda tersebut akan dianggap sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi
harus dianggap sebagai pengurang piutang.[1]

2. JENIS MURABAHAH

2.1.Murabahah Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)

Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila telah
memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi
pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut .

2.2.Murabahah Tanpa Pesanan

Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini
dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh
penjual.[2]

3. RUKUN DAN SYARAT MURABAHAH

3.1.Pengertian Rukun Murabahah

Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga,
sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan terdebut dinyatakan tidak sah atau
lembaga tersebut tidak eksis.[3]

Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual(Ba'I'),orang
yang membeli(Musytari),Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.[4]

3.2.Syarat Murabahah

Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling
meridhai (rela)
Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan
ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.

Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan
didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.[5]

4 DASAR HUKUM MURABAHAH

Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai moral,sehingga semua
transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat islami.[6]

· Al-Qur'an[7]

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela
diantaramu. . . . ." (QS.4:29)

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"

(QS.2:275)

· Al-Hadist

Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan
suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)

5 KETENTUAN UMUM MURABAHAH

1. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan
telah berada ditangan penjual.

2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain
yang lazim dikeluarkan dalam jual beli..

3. ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga
diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah
4. dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk
menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak
ditetapkan.

5. transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka
tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan
pembeli murabahah.[8]

Anda mungkin juga menyukai