Anda di halaman 1dari 8

PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

Allah Swt. menjadikan kita sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya tidak bisa dilakukan tanpa bantuan orang lain. Ini artinya kita harus melakukan
interaksi atau hubungan dengan sesama. Oleh karena itu, agama memberi peraturan yang sebaik-
baiknya tentang bagaimana kita melakukan interaksi dengan manusia yang lainnya. Tujuannya adalah
agar tatanan kehidupan masyarakat berjalan dengan baik dan saling menguntungkan

A.    Pengertian Mu’āmalah

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan
kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
 Menurut fiqh Islam berarti tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-
meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
 Dalam melakukan transaksi ekonomi, Islam melarang umatnya melakukan :

1. Cara-cara yang batil.


2. Cara-cara ẓālim (aniaya).
3. Permainan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
4. Kegiatan riba.
5. Cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Transaksi jual-beli barang haram.

B.     Macam-Macam Mu’āmalah

1)      Jual-Beli → kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya.

a.      Syarat-Syarat Jual-Beli
1.      Penjual dan pembelinya haruslah:
a)      Ballig,
b)      Berakal sehat,
c)      Atas kehendak sendiri.

2.      Uang dan barangnya haruslah:


a)      Halal dan suci.
b)      Bermanfaat.
c)      Keadaan barang dapat diserahterimakan.
d)      Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e)      Milik sendiri.

3.       Ijab Qobul → pernyataan jual-beli agar jual-beli berlangsung dengan dasar suka sama suka.

b. Khiyār

1.  Pengertian Khiyār → bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Penjual
berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar
kualitas barang yang diyakininya.

2. Macam-macam Khiyar

a)  Khiyār Majelis → selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya
transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli.
b)  Khiyār Syarat → dijadikan syarat dalam jual-beli. Penjual boleh memberi batas waktu kepada pembeli
untuk memutuskan jadi tidaknya  pembelian. Jika pembeli mengiyakan, status barang tersebut
sementara waktu tidak ada pemiliknya dan penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi.
Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali.

c)  Khiyār Aibi (cacat) → pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang
dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.

c.  Ribā
1.  Pengertian Ribā → bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Ribā apa pun bentuknya, dalam
syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Semua orang yang terlibat dalam
riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.

… )275 :‫ (البقرة‬.…‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” (An-Nisa’: 43)

 Guna menghindari riba, jika mengadakan jual-beli barang sejenis harus ditetapkan syarat,
yakni sama timbangan ukurannya, dilakukan serah terima saat itu juga dan secara tunai.
  Jika tidak sama jenisnya, harus tetap secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga.
Kecuali barang yang berlainan jenis, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana
barang-barang yang lain.

2. Macam-Macam Ribā

a) Ribā Faḍli → pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Kelebihannya itulah yang
termasuk riba.
b) Ribā Qorḍi → pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikan. Bunga
pinjaman itulah yang disebut riba.
c) Ribā Yādi → akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli
berpisah sebelum melakukan serah terima.
d) Ribā Nasi’ah → akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian.

2)  Utang-piutang → menyerahkan harta atau benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan
pada waktu nanti dan tidak mengubah keadaannya. Memberi utang berarti menolongnya dan sangat
dianjurkan oleh agama.

a  Rukun Utang-piutang
1. Ada yang berpiutang dan yang berutang
2. Ada harta atau barang
3. Ada lafadz kesepakatan.

 Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar mencatat
dengan baik utang-piutang yang kita lakukan. Jika orang yang berutang tidak dapat
melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya
kelonggaran.
 Jika orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri
tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan
merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang.
 Jika orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi
utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan
pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba.

3)   Sewa-menyewa → dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh
seseorang atas jasa yang diberikannya, berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau
hewan.

a. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa


1. Yang menyewakan dan menyewa harus sudah ballig dan berakal sehat.
2  Dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa
3. Barang menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4. Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5. Manfaat harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak
6. Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7. Harga sewa dan cara pembayarannya harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.

 Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan
disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.

1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.


2) Berapa lama masa kerja.
3) Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya
4) Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.

C. Syirkah

 Secara bahasa, berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi
dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
 Menurut istilah, artinya suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang
bersepakat untuk melakukan usaha untuk memperoleh keuntungan.

a. Rukun dan Syarat Syirkah

1. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani) harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf
(pengelolaan harta).
2. Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal yang harus halal dan
diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3. Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat dan harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas
pengelolaan.

b. Macam-Macam Syirkah

1) Syirkah ‘inān → antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja (amal) dan
modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.

2) Syirkah ‘abdān → antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja
(amal), tanpa kontribusi modal (amal). Dapat berupa kerja pikiran maupun fisik. Syirkah ini juga
disebut syirkah ‘amal.
3) Syirkah wujūh → kerja sama berdasarkan kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di
tengah
masyarakat, yakni antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak
ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).

4) Syirkah mufāwaḍah → antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas
dan boleh dipraktikkan. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya.

5) Muḍārabah → akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua
modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, jika mengalami kerugian, ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola karena pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut jika itu disebabkan olehnya.

6) Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah


a) Musāqah → kerja sama antara pemilik kebun dan petani. Pemilik kebun menyerahkan lahannya kepada
petani agar dipelihara dan hasil panennya akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada
waktu akad.
b) Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ah → kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani di mana benih
tanamannya berasal dari petani.
Mukhābarah → kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani di mana benih
tanamannya berasal dari pemilik lahan.

 Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal
ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen.

D. Perbankan

1. Pengertian → sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan
disalurkan kembali dengan menggunakan sistem bunga.

2. Hakikat dan tujuan  → membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun
meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga dengan imbalan bunga yang harus dibayar oleh
pengguna jasa bank.

3. Macam-macam → dilihat dari segi penerapan bunganya


a.  Bank Konvensional → fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan,
baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem
bunga.

b.  Bank Islam atau Bank Syari’ ah → menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga tidak
ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya :

1) Muḍārabah →  kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan
sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Pihak bank sama sekali tidak
mengintervensi manajemen perusahaan.
2) Musyārakah → kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing memiliki saham.
Kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama dan menanggung untung ruginya secara
bersama juga.

3) Wadi’ah → jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah
berupa uang atau barang titipan dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki
hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut
sewaktu-waktu pemiliknya memerlukan.

4) Qarḍul hasān → pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat.
Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan
ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud
penghargaan bank kepada nasabahnya.

5)  Murābahah → istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual
sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk dengan ditambah jumlah keuntungan
tertentu di atas biaya produksi. Penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan
berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang
atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Bank membelikan atau menyediakan barang
yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga
pembeliannya. Namun pihak bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang
sebenarnya.

E. Asuransi Syari’ah

1.  Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ ah


Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa
Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan
atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung
(geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum
asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus
sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang
berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.

Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan
nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun
ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun
takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk
menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga,
mengelolanya bersama-sama.

Berdasarkan ayat al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun
risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu menanggungnya
sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-
sama inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari’ah.

2. Perbedaan Asuransi Syari’ ah dan Asuransi Konvensional


Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional,
yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan
risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-
beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional.
Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk
barang ataupun jasa. 
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam
konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk
sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya
sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana
tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.

Manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi syari’ah adalah
bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi
pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil bagi mereka karena
syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal. Untuk pengaturan asuransi di Indonesia
dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syari’ah.

- Ayat Al-Quran Mengenai Prinsip Ekonomi

Prinsip dasar dari ekonomi islam tentunya tidak hanya bergantung atau memberikan
keuntungan kepada salah satu atau sebagian pihak saja. Ajaran islam menghendaki transaksi ekonomi
dan kebutuhan ekonomi dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran manusia hidup di muka
bumi.

Prinsip dasar ekonomi ini juga tentu berlandasakan kepada Rukun Islam, Dasar Hukum Islam, Fungsi
Iman Kepada Allah SWT, Sumber Syariat Islam, dan Rukun Iman. Berikut adalah Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam dalam islam yang senantiasa ada dalam aturan islam.

1. Tidak Menimbulkan Kesenjangan Sosial

Prinsip dasar islam dalam hal ekonomi senantiasa berpijak dengan masalah keadilan. Islam
tidak menghendaki ekonomi yang dapat berdampak pada timbulnya kesenjangan. Misalnya saja
seperti ekonomi kapitalis yang hanya mengedepankan aspek para pemodal saja tanpa
mempertimbangkan aspek buruh, kemanusiaan, dan masayrakat marginal lainnya.

Untuk itu, islam memberikan aturan kepada umat islam untuk saling membantu dan tolong menolong.
Dalam islam memang terdapat istilah kompetisi atau berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan.
Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti mengesampingkan aspek keadilan dan peduli pada sosial.

Hal ini sebagaimana perintah Allah, “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah
kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS An-Nur : 56)

Zakat, infaq, dan shodaqoh adalah jalan islam dalam menyeimbangkan ekonomi. Yang kaya atau
berlebih harus membantu yang lemah dan yang lemah harus berjuang dan membuktikan dirinya
keluar dari garis ketidakberdayaan agar mampu dan dapat produktif menghasilkan rezeki dari modal
yang diberikan padanya.

2. Tidak Bergantung Kepada Nasib yang Tidak Jelas

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.”…” (QS Al-Baqarah : 219)
Islam melarang umatnya untuk menggantung nasib kepada hal yang sangat tidak jelas, tidak jelas
ikhtiarnya, dan hanya mengandalkan peruntungan dan peluang semata. Untuk itu islam melarang
perjudian dan mengundi nasib dengan anak panah sebagai salah satu bentuk aktivitas ekonomi.

Pengundian nasib adalah proses rezeki yang dilarang oleh Allah karena di dalamnya manusia tidak
benar-benar mencari nafkah dan memakmurkan kehidupan di bumi. Uang yang ada hanya diputar itu-
itu saja, membuat kemalasan, tidak produktifnya hasil manusia, dan dapat menggeret manusia pada
jurang kesesatan atau lingkaran setan.

Untuk itu, prinsip ekonomi islam berpegang kepada kejelasan transaksi dan tidak bergantung kepada
nasib yang tidak jelas, apalagi melalaikan ikhtiar dan kerja keras .

3. Mencari dan Mengelola Apa yang Ada di Muka Bumi

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 10)

Allah memberikan perintah kepada manusia untuk dapat mengoptimalkan dan mencari karunia Allah
di muka bumi. Hal ini seperti mengoptimalkan hasil bumi, mengoptimalkan hubungan dan transaksi
dengan sesama manusia. Untuk itu, jika manusia hanya mengandalkan hasil ekonominya dari sesuatu
yang tidak jelas atau seperti halnya judi, maka apa yang ada di bumi ini tidak akan teroptimalkan.
Padahal, ada sangat banyak sekali karunia dan rezeki Allah yang ada di muka bumi ini. Tentu akan
menghasilkan keberkahan dan juga keberlimpahan nikmat jika benar-benar dioptimalkan.

Untuk itu, dalam hal ekonomi prinsip islam adalah jangan sampai manusia tidak mengoptimalkan atau
membiarkan apa yang telah Allah berikan di muka bumi dibiarkan begitu saja. Nikmat dan rezeki
Allah dalam hal ekonomi akan melimpah jika manusia dapat mencari dan mengelolanya dengan baik.

4. Larangan Ekonomi Riba

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah :278)

Prinsip Islam terhadap ekonomi yang lainnya adalah larangan riba. Riba adalah tambahan yang
diberikan atas hutang atau transaksi ekonomi lainnya. Orientasinya dapat mencekik para peminam
dana, khususnya orang yang tidak mampu atau tidak berkecukupan. Dalam Al-Quran Allah melaknat
dan menyampaikan bahwa akan dimasukkan ke dalam neraka bagi mereka yang menggunakan riba
dalam ekonominya.

5. Transaksi Keuangan yang Jelas dan Tercatat

Transaksi keuangan yang diperintahkan islam adalah transaksi keuangan yang tercatat dengan baik.
Transaksi apapun di dalam islam diperintahkan untuk dicatat dan ditulis diatas hitam dan putih
bahkan ada saksi. Dalam zaman moderen ini maka ilmu akuntansi tentu harus digunakan dalam aspek
ekonomi. Hal ini tentu saja menghindari pula adanya konflik dan permasalahan di kemudian hari.
Manusia bisa saja lupa dan lalai, untuk itu masalah ekonomi pun harus benar-benar tercatat dengan
baik.

Hal ini sebagaimana Allah sampaikan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar” (QS Al Baqarah : 282)

6. Keadilan dan Keseimbangan dalam Berniaga


“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.
Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS Al Isra : 35)

Allah memerintahkan manusia ketika melaksanakan perniagaan maka harus dengan keadilan dan
keseimbangan. Hal ini juga menjadi dasar untuk ekonomi dalam islam. Perniagaan haruslah sesuai
dengan neraca yang digunakan, transaksi keuangan yang digunakan, dan juga standar ekonomi yang
diberlakukan. Jangan sampai ketika bertransaksi kita membohongi, melakukan penipuan, atau
menutupi kekurangan atau kelemahan dari apa yang kita transaksikan. Tentu saja, segalanya akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Dari prinsip-prinsip tersebut dapat dipahami bahwa manusia diberikan aturan dasar mengenai
ekonomi islam agar manusia dapat menjalankan kehidupannya sesuai dengan Tujuan Penciptaan
Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam
Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama , Dunia Menurut
Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut
Islam. Tentu saja dari prinsip tersebut dapat terlihat bahwa islam hendak memberikan rahmat bagi
semesta alam, terlebih bagi mereka yang beriman dan taat dalam melaksanakan perintah Allah
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai