Anda di halaman 1dari 16

A.

Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa, Al-Muzara’ah yang berarti Tharh Al-Zur’ah
(melemparkantanaman),muzara’ah memilki dua arti yang pertama al-
muzara’ah yag berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman) maksuudnya
adalah modal(al-budzar). Makna yang pertama adalah makna majaz, makna
yang kedu adalah al-inbat makna hakikimakna kedua ini berarti
menumbukan.1
Menrut istilah, menurut Hanafiyah,
muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanm dengan sebagian yang keluar dari
bumi.
Menuut Hanabilah,
muzara’h adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk
ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
Dalam kitab al-umm, Imam Syafi’I menjelaskan bahwa sunnah rosul
menunukkan dua hal tentang makna muzara’ah yakni pertama : kebolehan
bermamalah atas pohon kurma atau diperbolehkan bertransaksi atas tanah dan
apa yang dihasilkan. Artinya ialah bahwa pohon kurma tersebut telah ada baru
kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat sampai berbuah.
Namun sebelum kedua belah pihak (pemilik kebun dan pekerja) harus terlebih
dahulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian buah untuk
pemilik kebun sedangkan yang lainya untuk pekerja. Kedua : ketidak bolehan
muzara’ah dengan menyerahkan tanah kosong dan tidak ada tanaman
didalamnya kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh pengarap dengan
tanaman lain.
Muzara’ah adalah akad transaksi kerjasama pengolahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian dan bibit kepada sipenggarap untuk menanami dan memelihara
dengan imbalan pembagian tertenru (persentase) dari hasil panen.2
B. Dasar hukum Muzaraah
1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 4, PT. Alma’Arif, Bandung, 1996, hlm. 81
2
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, Kencana Prenada Media Group, Jln. Tambara Raya, No. 23,
Rawa Manggung, Jakarta, 2012, Hlm. 240

1
Dasar hukum akad muzara’ah terdapat dalam beberapa hadits, diantaranya
yaitu :
a. Hadits yang dririwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abdillah
“ Dari Abdullah r.a berkata : Rasulullah telah memeberikan tanah kepada
orang yahudi kahibar untuk dikelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari
apa yang dihasilkan daripadanya.”
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas r.a
“Sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan : tidak mengharamkan
berMuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya sebagian menyayangi
sebagian yang lain, dengan katanya ; barangsiapa memiliki tanah, maka
hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia
tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”.
c. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Nasa’i dari Rafi’ RA
dari Nabi SAW., beliau bersabda :
“Yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam orang ; laki-laki yang ada
tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-laki yang diserahi
manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya, dan laki-laki yang menyewa
tanah dengan mas atau perak”.
d. Ijma’ ulama’
a) Para sahabat telah sepakat atas jaiznya muzara’ah
b) Muzara’ah atas bagian merata dari hasil tanah, misalnbya 1/3nya,
1/2nya, atau 1/6nya atau bagian apapun yang disebutkan dari jumlah
keseluruhan sampai waktu yang diketahui, jaiz hukumnya - - menurut
ijmak yang meyakinkan dan dipastikan.
C. Rukun dan Syarat Muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muzaraah mengemukakah
rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah:
1. Pemilik kebun
2. Petani penggarap ( pekerja)
3. Objek mujaraah yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja pengelola
4. Ijab dan kabul

2
Secara sederhana ijab dan kabul cukup dengan lisan saja, namun
sebaliknya dapat dituangkan dalam surat perjanjian yang dibuat dan disetujui
bersama, termasuk bagi hasil persentase kerjasama itu).
Menurut jumhur ulama, syarat syarat muzaraah ada yang berkaitan dengan
orang yang berakad, benih yang akan ditanam, kebun yang akan dikerjakan,
hasil yang akan dipanen,dan jangka waktu berlaku akad:
a. Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus balig dan
berkal, agar meraka mereka dapat bertindak atas nama hukum. Oleh sebagian
ilama mazhab Hanafi, selain syarat tersebut ditambah lagi dengan syarat
bukan bukan orang murtrad, karena tindakan orang murtad dianggap tidak
mempunyai efek hukum sampai ia masuk kembali.
b. Syarat yang berkaitan dengan benih yang akan ditanam harus jelas dan
menghasilkan.
c. Syarat syarat yang berkaitan degan perkebunan
a) Menurut adat kebiasaan dikalangkan petani, kebun itu bisa diolah dan
menghasilkan. Sebab ada tanaman yang tidak cocok, ditanami pada
daerah tertentu.
b) Batas batas kebun itu jelas
c) Kebun itu diserahkan sepenuhnya kepada pekerja untuk diolah dan
pemilik kebun tidak boleh campur tangan untuk mengelolanya.
d. Syarat yang berkaitan dengan hasil adalah sebagai berikut:
a) Pembagian hasil panen harus jelas (persentase)
b) Hasil panen itu benar benar milik bersama oarang yang berakad, tampa
ada pengkhususan seperti disisihkan lebih dahulu sekian persen.24
c) Pembagian hasil panen itu ditentukan: sepertiga atau seperempat, sejak
dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudikan hari, dan
penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak,
seperti satu kwital untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan
hasil panen jauh dibawah itu atau juga jauh melampaui jumlah itu.25
d) Syarat yang berkaitan dengan waktupun harus jelas didalam akad.
Sehingga pengelola tidak dirugikan, seperti membatalkan akad sewaktu

3
waktu. Untuk menentukan batas waktu ini biasanya disesuaikan dengan
adat kebiasaan setempat.
e. Syarat yang berhubungan dengan objek akad juga harus jelas pemanfaatan
benihnya, pupuknya dan obatnya. Seperti yang berlaku pada daerah setempat.
Imam Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan Asy-Syaibani menyatakan,
bahwa dilihat dari segi sah akad muzaraah, maka ada empat bentuk muzaraah
a) Apabila kebun dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari pekerja
sehingga yang menjadi objek muzaraah adalah jasa petani, maka
hukumnya.
b) Apabila pemilik kebun hanya menyediakan kebunnya saja,sehingga
pekerja menyediakan bibit, alat dan pekerja, sehingga yang menjadi
objek muzaraah jiga dipandang sah.
c) Apabila kebun, alat dan bibit dari pemilik kebun dan dan alat kerja dari
pekerja maka akad muzaraah juga sah
d) Apabila kebun dan alat disediakan pemilik kebun, sedangkan bibit
disediakan pekerja, maka akad itu tidak sah. Mereka beralasan apabila
alat pertanian dari pemilik kebun, maka akad menjadi rusak, karena alat
pertanian tidak bisa mengikat pada kebun. Menurut mereka, manfaat alat
pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat lahan. Karena lahan adalah
untuk menghasilkan tumbuh tumbuhan dan buah. Sedangkan manfaat
alat hanya untuk mengelola saja.26
D. Pengertian Musaqoh
Istilah Musaqah secara etimologi (lughawi) mengandung makna:
memberikan. Menurut pendapat lainmusaqah berasal dari kata dasar as-saqy
(penyiraman). Ini adalah pemberian nama dari suatu kerja yang diambil dari
salah satu proses kerja tersebut.3
Para ulama ahli fiqh, para sahabat, para tabi’in, dan para imam mazhab
sepakat atas bolehnya musaqah, yaitu mengupah buruh untuk menyiram
tanaman, menjaganya dan memeliharanya dari hasil yang diperoleh dari

3
Abdullah bin Abdurrahman al basan, Syarah Bulughul Maram, Terj: Thahirin Suparta,
dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 40

4
tanaman tersebut. Diperbolehkan terhadap segala pepohonan yang berbuah,
seperti kurma, anggur, tin, dan kelapa4.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa pengertian
musaqah adalah menggunakan tenaga orang lain untuk mengurus kebun
dengan memperoleh bagian berbentuk dari hasil kebun tersebut.
Musaqah adalah penyerahan pohon-pohon kepada orang yang diberi
kewenangan untuk mengairi dan merawatnya hingga benar-benar matang
buahnya dengan imbalan tertentu dari buahnya. Ini adalah kerja sama
pertanian terkait perawatan pohon hingga berbuah dengan status pohon
merupakan satu hal, pekerjaan merawat pohon merupakan hal lain. Sedangkan
buah yang di hasilkan dibagi di antara keduanya dengan persentase yang telah
di sepakati kedua belah pihak, seperti seperdua, sepertiga, dan semacamnya.
Tanaman yang dimaksud dalam kerja sama muamalah ini adalah tanaman
yang keras atau tua yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti
tanaman kelapa, kelapa sawit, atau bergetah untuk mengharapkan getahnya.
Bukan untuk mengharapkan kayunya.
Kerja sama dalam bentuk al-musaqoh ini berbeda dengan mengupah
tukang kebun untuk merawat tanaman karena hasil yang diterimanya adalah
upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum pasti.
Berdasarkan pengertian musaqoh tersebut dapat diarik kesimpulan bahwa
yang dinamakan musaqoh adalah bentuk perjanjian bagi hasil antara pemilik
kebun dengan penggarap. Berarti musaqah merupakan bermu’amalah terhadap
kebun untuk diurus dengan ketentuan bagi hasil yang sebelumnya telah
disepakati.
E. Dasar hukum Musaqoh
Bagi hasil al-musaqoh ini disyariatkan berdasarkan sunah Nabi SAW. Para
ahli fikih kebanyakan berpendapat membolehkan al-musaqoh karena melihat
hal ini sangat dibutuhkan, kecuali imam Abu Hanifah. Jumhur fukaha
membolehkan bagi hasil ini, mereka berpegangan dengan hadits sebagai
berikut:
4
Syaikh al-allamah Muhammad bin ‘abdurrahman ad-dimasyiqi, fiqh empat mazhab,terj:
Abdullah jaki Alkaf, ( Bandung: Hasyimi,2013) hal.278

5
1. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari tentang al-musaqah antara
Muhajirin dan Anshar, berbunyi:
‫ اقسم بیننا و بین‬: ‫ قالت اآلنصا ر للنبي صلى هلل علیھ وسلم‬: ‫وعنھ ابي ھر یره رضي هلل عنھ قال‬
‫ سمعنا وأطعنا‬: ‫ قالوا‬, ‫ ونشر ككم في الثمرة‬, ‫ تكفو نا المؤونة‬: ‫ فقالوا‬. )‫ (ال‬: ‫ قال‬. ‫ اخوائنا النخیل‬.
Artinya: Diriwayatkan darinya (Abu Hurairah) r.a: Kaum Anshar berkata
kepada Nabi Saw., “Bagikanlah pohon-pohon kurma milik kami kepada
saudara-saudara kami (kaum Muhajirin).” Nabi Saw menjawab, “Tidak”.
Kaum Anshar berkata (kepada kaum Muhajirin), “Uruslah pohon-pohon kami
dan bagilah hasilnya dengan kami.” Kaum Muhajirin berkata, “Sami’na wa
atha’na (kami dengar dan taat).” (HR. Bukhari).
Ibn Rusd juga mengemukakan dasar hukum al-musaqoh berdasarkan
kepada jumhur para fukaha yang berpegang kepada hadits shahih Ibn Umar
yang berbunyi:
‫ على أن‬, ‫أن النّب ّي صلى هلل علیھ و سلم د فع الى یھود خیبر نخل خیبر وارضھا‬
ّ , ‫عن ابن عمر‬
ّ , ‫ یعتملوھا من أموالھم‬.
‫وأن لر سول هلل صلى هلل علیھ وسلم شطر ثمر تھا‬
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwasannya Nabi Saw menyerahkan pohon kurma
dan tanahnya kepada orang-orang Yahudi di Khaibar agar mereka memelihara
pohon-pohon kurma itu dengan harta mereka, dan bagi Rasulullah SAW
(mendapatkan hak) separoh buahnya. (Shahih Muttafaq ‘Alaih)
2. Hadits dari Ibnu Umar yang berbunyi:
‫أن النّبي صلى هلل علیھ و سلم عامل خیبر بشطر ما‬
ّ : ‫عن عبد هلل بن عمر رضي هلل عنھما‬
‫ ثمانین وسق تمر وعشرین‬, ‫ فكان یعطي أزواجھ مائة وسق‬, ‫یخرج منھا من ثمر أو زرع‬
‫وسق شعیر‬
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a : Nabi Saw.
menandatangani perjanjian dengan penduduk Khaibar untuk memanfaatkan
tanah dengan persyaratan separuh dari hasil tanah itu, yang berupa sayuran
dan buah-buahan, akan menjadi bagian mereka. Nabi Saw. memberi istri-
istrinya masing-masing 100 wasq, yaitu 80 wasq kurma dan 20 wasq gandum.
(HR. Bukhari).
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka Jumhur ulama sepakat menjadikan
hadits Nabi SAW mengenai bagi hasil yang berlangsung di Khaibar tersebut

6
sebagai landasan hukum dibolehkan al-musaqah. Di samping itu akad
musaqah ini dibutuhkan oleh manusia karena terkadang disatu pihak pemilik
pepohonan atau perkebunan tidak sempat atau tidak dapat mengurus dan
merawatnya, sedangkan pihak lain ada orang yang mampu dan sempat
mengurus dan merawat pepohonan atau perkebunan tersebut.
Dengan demikian pihak pertama memerlukan penggarap, sedangkan pihak
kedua memerlukan pekerjaan.5
F. Rukun dan Syarat-syarat Musaqoh
Sebagai kerja sama yang timbul dari kehendak bersama, maka kerja sama ini
memerlukan suatu perjanjian atau akad. Dalam hal ini al-musaqah merupakan
pelaksanaan suatu akad, dalam bermuamalah dengan kerja sama dalam
perawatan tanaman.6
Sayyid Sabiq dalam bukunya mengatakan, ada dua rukun terkait
kerja sama musaqah, yaitu:
1. Ijab
2. Kabul
Musaqah tercapai dengan kata-kata apapun yang maksudnya adalah
musaqah, bisa pula dengan tulisan dan isyarat, selama itu berasal dari orang-
orang yang di perkenankan untuk melakukan transaksi.7
Menurut Jumhur ulama rukun musaqah ada tiga, yaitu:
1. Aqidain (pemilik kebun dan penggarap)
2. Objek akad, yaitu pekerjaan buah
3. Sighat, yaitu ijab dan qabul.
Para Fuqaha berbeda pendapat dalam masalah objek diperbolehkan dalam
musaqah. Menurut Hanafiah adalah semua jenis pohon yang berbuah, seperti
anggur dan kurma. Akan tetapi ulama-ulama dari mutaakhirin dari Hanafiah
membolehkan musaqah dalam pohon-pohon yang tidak berbuah, karena
pohon-pohon tersebut sama-sama membutuhkan pengurusan dan perawatan.

5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), Cet. 1,
hal. 406
6
Amir Syarifuddin, Loc. Cit
7
Sayiyid Sabiq, Op. Cit., hal. 396

7
Menurut Syafi’iyah, yang boleh di musaqahkan hanyalah kurma dan
anggur saja. Sedangkan menurut Hanafiah semua pohon yang mempunyai
akar ke bumi dapat di musaqahkan, seperti tebu.8
Menurut Malikiyah, objek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan seperti
kacang dan pohon yang berbuah, yang memiliki akar yang tetap di dalam
tanah, misalnya anggur dan kurma, yang berbuah dan lain-lain dengan syarat:
1. Akad musaqah dilakukan sebelum buah kelihatan tua dan boleh diperjual
belikan.
2. Akad musaqah ditentukan waktunya.
Syarat dalam melakukan musaqah dalam Fiqh sunnah yang dikemukakan
Sayyid Sabiq sebagai berikut:
a. Pohon-pohon yang ditetapkan dalam musaqah harus diketahui dengan
penglihatan nyata atau dengan deskripsi yang disepakati, karena transaksi
terkait sesuatu yang tidak diketahui hukumnya tidak sah.
b. Batas waktu harus diketahui, karena musaqah adalah transaksi yang
mengikat sebagaimana transaksi penyewaan, ini juga dimaksudkan agar
tidak ada faktor kecurangan.
c. Kerja sama musaqah dilakukan sebelum tampak buahnya yang layak,
karena sebelum tampak buahnya yang layak tanaman membutuhkan
perawatan. Adapun setelah buah tampak layaknya, maka di antara ulama
fikih ada yang berpendapat bahwa musaqah tidak diperkenankan dalam
kondisi ini, karena tidak ada keperluan terhadapnya. Seandainya terjadi,
maka itu merupakan pengerjaan dengan upah bukan kerja sama musaqah.
Di antara mereka ada yang membolehkannya dalam kondisi ini, karena
jika musaqah dibolehkan sebelum Allah menciptakan buah, maka setelah
tampak buahnya musaqah lebih layak untuk dibolehkan.
d. Pihak yang merawat berhak mendapatkan bagian dari keseluruhan buah
yang tercakup dalam kerjasama musaqah. Maksudnya bagiannya
ditetapkan besarnya, seperti seperdua dan sepertiga. Seandainya dia atau

8
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 149

8
pemilik pohon mensyaratkan pohon-pohon tertentu atau kadar tertentu,
maka kerja sama musaqah batal.9
G. Pengertian Mukhobaroh
Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan
penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah
dan penggarap menurut kesepakatan bersama seperti seperdua, sepertiga atau
lebih, atau kurang dari itu, sedangkan biaya, dan benihnya dari petani
penggarap.10
Mukhabarah menurut definisi para ulama, seperti yang dikemukakan oleh
Abd al- Rahman al-Jaziri, dalam buku fiqh muamalah karangan Hendi
Suhendi, sebagai berikut.
1. Menurut Hanafiyah,Mukhabarah ialah:
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari
bumi.”
2. Menurut Hanabilah, dalam buku fiqh muamalah karangan Rachmat
Syafe’iMukhabarah ialah:
“Menyerah tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau
mengelolahnya, sedangkan hasilnya tersebut dibagi di antara keduanya.”
3. Menurut Malikiyah, dalam buku fiqh muamalah karangan Rachmat
Syafe’iMukhabarah ialah:
“Perkongsian adalah bercocok tanam.”
4. Menurut Syafi’iyah, , dalam buku fiqh muamalah karangan Saleh Al-
Fauzan,Mukhabarah ialah:
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.”
5. Menurut Syaikh Ibrohim al-Bajuri, dalam buku fiqh muamalah karangan
Saleh Al-Fauzan, Mukhabarah ialah:
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal
dari pengelola.”
Definisi-definisi di atas, dapat di ketahui bahwa akad mukhabarah
merupakan kebutuhan orang-orang yang memiliki tanah perkebunan, namun
9
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal. 396-397
10
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 117

9
tidak bisa bercocok tanam. Ada juga yang mampu bercocok tanam, namun
tidak memiliki tanah perkebunan, kebijaksanaan syariat Islam menuntut
dibolehkannya mukhabarah, agar kedua belah pihak tersebut sama-sama
mendapatkan manfaat, yaitu satu pihak mendapatkan manfaat dari tanah yang
ia miliki dan satu pihak mendapat manfaat dari kerja yang ia lakukan.
Sehingga dengan Mukhabarah ini tercipta kerja sama untuk mendapatkan
kebaikan dan menolak kerugian.11
H. Dasar hukum Mukhobaroh
Mukhabarah adalah salah satu bentuk ta'awun antar petani dan pemilik
sawah dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Seringkali kali
ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan
sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya.
Maka Islam mensyari'atkan mukhabarah sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para
sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu 'abbas menceritakan bahwa
Rasululah Saw bekerjasama (mukhabarah) dengan penduduk Khaibar untuk
berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-buahan. Bahkan Muhammad
Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin
yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil
pertanian sepertiga atau seperempat. Para sahabat yang tercatat melakukan
mukhabarah antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin Malik, Abdullah
bin Mas'ud dan yang lainnya.
Mukhabarah adalah masyru’ (disyariatkan) berdasarkan ijma dan nash, di
antaranya Imam as-Sadiq, mukhabarah dapat dilakukan dengan sepertiga,
seperempat, seperlima…” juga ucapan beliau, “ketika menaklukkan khaibar,
Rasulullah saw menyerahkannya (yakni pengelolaan tanah perkebunan
khaibar) kepada mereka dengan (pembagian hasil) separuh.” Seperti dalam
hadis berikut:
Artinya : Dari Amr bahwa dia berkata kepada Thawus, “Coba engkau tidak
meninggalkan mukhabarah. Karena, orang-orang berkata bahwa Nabi saw,

11
Saleh Al-Fauzan,Fiqh sehari-hari,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 480

10
melarangnya.”Maka Thawus menjawab, wahai Amr, aku member mereka dan
mencukupi mereka. Sesungguhnya orang yang paling tahu-yang dia maksud
adalah Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. (Pergi ke sebidang tanah yang penuh
dengan tanaman. Lalu beliau berkata,”milik siapa ini ?’orang-orang
menjawab, ‘ini disewakan oleh si fulan), lalu beliau tidak melarangnya, akan
tetapi beliau bersabda, “seseorang memberikan tanahnya kepada saudaranya
untuk dirawat adalah lebih baik.”(Dalam riwayat lain,”Apabila dia
memberikannya kepada orang tersebut, maka iti lebih baikbaginya daripada
mengambil bayaran darinya),”Dalam riwayat lain,” mengambil sesuatu
darinya.” Dan dalam riwayat lain,” mengambil upah dalam jumlah tertentu,”
(HR. Bukhari)12
I. Syarat dan Rukun Mukhobaroh
1. Syarat mukhabarah
Syarat-syarat Mukhabarah meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan
pelaku (aqid), tanaman yang ditanam, hasil tanaman, tanah yang ditanam,
dan masa penanaman.
a) Syarat aqid (pelaku)
Secara umum ada dua syarat yang diberlakukan untuk aqid yaitu:
1. Aqid harus berakal (mumayyiz). Dengan demikian, tidak sah akad
yang dilakukan oleh orang yang gila, atau anak yang belum
mumayyiz, karena akal merupakan syarat kecakapan (ahliyah) untuk
melakukan tasarruf. Adapun baligh tidak menjadi syarat
dibolehkannya Mukhabarah.
2. Aqid tidak murtad, menurut pendapat Imam Abu Hanifah, dalam
buku berbagai macam transaksi dalam Islam karanganAli Hasan, hal
tersebut dikarenakan menurut Imam Abu Hanifah, tasarruf orang
yang murtad hukumnya ditangguhkan (mauqud) sedangkan menurut
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, akad Mukhabarah dari orang
yang murtad hukumnya dibolehkan.
b) Syarat tanaman

12
Nashiruddin Al-Albani,Op.Cit, h.124

11
Syarat yang berlaku untuk tanaman adalah harus jelas dan
menghasilkan. Dalam hal ini harus dijelaskan apa yang akan ditanam.
Namun dilihat dari segi istihsan, menjelaskan sesuatu yang akan
ditanam tidak menjadi syarat Mukhabarah karena apa yang akan
ditanam diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
c) Syarat hasil tanaman
1. Hasil tanaman harus dijelaskan (persentasenya) dalam perjanjian.
2. Hasil tanaman harus dimiliki bersama oleh para yang melakukan
akad. Apabila disyaratkan hasilnya untuk salah satu pihak maka
menjadi batal.
3. Pembagian hasil tanaman harus ditentukan kadarnya (nisbah-nya),
seperti
4. separuh, sepertiga, seperempat, dan sebagainya.
5. Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi di antara
orang-orang yang melakukan akad.
d) Syarat tanah yang akan ditanami
1. Tanah harus layak untuk ditanami, menurut adat kebiasaan
dikalangan petani, dalam artian bisa diolah dan menghasilkan.
Sebab, ada tanaman yang tidak cocok ditanami pada daerah
tertentu.
2. Tanah yang akan digarap harus diketahui dengan jelas, supaya
tidak menimbulkan perselisihan antara para pihak yang melakukan
akad.
3. Tanah tersebut harus diserahkan sepenuhnya kepada penggarap,
sehingga ia mempunyai kebebasan untuk menggarapnya dan
pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk
mengelolahnya.13
e) Syarat objek akad
Objek akad dalam Mukhabarah harus sesuai dengan tujuan
dilaksanakannya akad, baik menurut syara’ maupun urf (adat)
13
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),
h. 276-277

12
f) Syarat masa Mukhabarah
Masa berlakunya akad Mukhabarah harus jelas dan ditentukan atau
diketahui, misalnya satu tahun atau dua tahun.Apabila masanya tidak
ditentukan (tidak jelas) maka akad Mukhabarah tidak sah.14
2. Rukun Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, yaitu
berupa pernyataan pemilik tanah, “Saya serahkan tanah ini kepada anda
untuk digarap dengan imbalan separuh dari hasilnya” dan pernyataan
pengarap “Saya terima atau saya setuju”. Sedangkan menurut jumhur ulama,
sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun Mukhabarah ada empat,
yaitu:
1) Pemilik tanah, yaitu orang yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki
kemampuan atau kesempatan dalam mengelola lahannya.
2) Petani penggarap, yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk
mengelola lahan dan kesempatan tetapi tidak memiliki lahan.
3) Objek Mukhabarah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja pengelola.
4) Ijab dan Kabul.15

J. Kesimpulan
Muzara’ah adalah akad transaksi kerjasama pengolahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian dan bibit kepada sipenggarap untuk menanami dan memelihara
dengan imbalan pembagian tertenru (persentase) dari hasil panen.
Rukun rukun Muzaraah antara lain:
1. Pemilik kebun
2. Petani penggarap ( pekerja)
3. Objek mujaraah yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja pengelola
14
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,(Jakarta: Amzah, 2010),h. 396-398
15
Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit, h. 121

13
4. Ijab dan kabul
Musaqoh adalah bentuk perjanjian bagi hasil antara pemilik kebun dengan
penggarap. Berarti musaqah merupakan bermu’amalah terhadap kebun untuk
diurus dengan ketentuan bagi hasil yang sebelumnya telah disepakati.
Rukun rukun Musaqoh antara lain:
1. Aqidain (pemilik kebun dan penggarap)
2. Objek akad, yaitu pekerjaan buah
3. Sighat, yaitu ijab dan qabul.
Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan
penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah
dan penggarap menurut kesepakatan bersama seperti seperdua, sepertiga atau
lebih, atau kurang dari itu, sedangkan biaya, dan benihnya dari petani
penggarap.
Rukun rukun Mukhobaroh antara lain:
1. Pemilik tanah, yaitu orang yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki
kemampuan atau kesempatan dalam mengelola lahannya.
2. Petani penggarap, yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk
mengelola lahan dan kesempatan tetapi tidak memiliki lahan.
3. Objek Mukhabarah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja pengelola.
4. Ijab dan Kabul

K. Kritik dan Saran


Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulisan masih jauh
dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam
menjelaskan makalah dengan lebih banyak sumber dan lebih bertanggung
jawab.

14
L. Daftar Rujukan

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 4, PT. Alma’Arif, Bandung, 1996.


Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, Kencana Prenada Media Group, Jln.
Tambara Raya, No. 23, Rawa Manggung, Jakarta, 2012, .
Abdullah bin Abdurrahman al basan, Syarah Bulughul Maram, Terj:
Thahirin Suparta, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006).

15
Syaikh al-allamah Muhammad bin ‘abdurrahman ad-dimasyiqi, fiqh empat
mazhab,terj:Abdullah jaki Alkaf, ( Bandung: Hasyimi,2013).
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2010), Cet. 1.
Amir Syarifuddin, Loc. Cit
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010).
Saleh Al-Fauzan,Fiqh sehari-hari,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
Nashiruddin Al-Albani,Op.Cit, h.124
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004).
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,(Jakarta: Amzah, 2010).
Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit.

16

Anda mungkin juga menyukai