Anda di halaman 1dari 2

A.

Awal Kemunculan Murajjihun dan gejala-gejala tasyri’ pada masa ini

Setelah Rasulullah SAW wafat, aktifitas ijtihad menjadi semacam trend keilmuan di
kalangan para ulama yang berkembang pesat. Keadaan ini bertujuan untuk mencari solusi
atas problematika yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Dimana semakin
berkembangnya zaman, maka masalah dan konflik menjadi semakin kompleks, sehingga
ijtihad menjadi urgent, dan sangat di butuhkan didalamnya.1
Namun setelah abad pertengahan ke-4 hijriyah, ijtihad menjadi bumerang dari
perpecahan umat islam. Masalah ini terjadi karena terbuka lebarnya pintu ijtihad yang
disalahgunakan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Aktifitas ijtihad sudah terkontaminasi
oleh politik dan kekuasaan. Ijtihad diposisikan sebagaai justifikasi atas kebijakan dan sikap
politis para penguasa, sehingga ijtihad berfungsi hanya sebagai kedok legalitas syari’at.
Setelah terjadi masalah ini , akhirnya para ulama menyatakan untuk menutup pintu
ijtihad, agar tidak ada orang yang menyalahgunakan ijtihad bagi kepentingan pribadi atau
golongannya. Menurut pendapat az zarqa, ada tiga faktor yang memicu penutupan pintu
ijtihad, sehingga menjadi gejala awal dari tasyri’ pada masa ini, yaitu:
1. Dorongan para penguasa kepada hakim (qodli) untuk menyelesaikan perkara
dipengadilan dengan merujuk kepada salah satu madzhab fiqih yang disetujui
khalifah saja.
2. Munculnya sikap at taassub al madzhabi yang menimbulkan sikap kebekuan
berfikir dan taqlid dikalangan murid imam madzhab.
3. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang
memudahkan orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan
buku tersebut rujukan bagi masing-masing mazhab, sehingga aktivitas ijtihad
benar-benar berhenti.
Dengan tertutupnya pintu ijtihad ini, maka timbul dampak positip dan negatif pula.
Dampak positifnya adalah meminimalisir konflik politik dan perpecahan umat Islam dengan
berpegang teguh pada hasil ijtiad madzhab sebelumnya. Namun tak sedikit pula dampak
negatif yang ditimbulkan, antara lain: melemahnya semangat keilmuan stagnasi pemikiran,
pudarnya sikap independensi berfikir, dan kecenderungan untuk taqlid. Banyak cendekiawan
muda berfikir bahwa usaha dan pemikiran mereka tidak akan dapat menyamai ulama-ulama
sebelumnya. Dengan adanya situasi tersebut maka setiap orang lebih memilih satu mazhab
tertentu, untuk mendapat kepuasaan atas masalahnya, sandaran hidup atau sekedar penetapan
kebijakan politik.
Dalam praktiknya ternyata tidak semua masalah dapat terselesaikan secara tuntas,
karena banyak ditemui beberapa dalil bertentangan yang menunjukkan hukum atas suatu

1Iluminasi Hati, “Makalah Sejarah Hukum Islam Pada masa Murajjihun”,


http://msfoundation.blogspot.com/2012/06/makalah-sejarah-hukum-islam-pada-masa.html, diakses tanggal 24
september 2019
masalah mukallaf. Sehingga para cendikiawan serta ulama yang menguasai ilmu fiqih mulai
bermunculan, dan kemudian dikenal dengan mujtahid tarjih, yaitu orang yang menguasai
ilmu fiqih dengan baik (memahami pendapat para imam madzhab dan dalil-dalilnya), dan
bisa mengaplikasikannya serta mandiri melakukan ijtihad. Disisi lain, mereka juga bukan
seorang mujtahid yang terikat dengan kaidah imamnya, oleh karena itu mereka banyak
melakukan tarjih (menguatkan) terhadap imam madzhab dan tokoh-tokoh disekitarnya.2
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang melatarbelakangi
munculnya murajihhun adalah:
1. Adanya dua dalil yang saling bertentangan, serta dianggap sama kuatnya atas
suatu masalah, sehingga membutuhkan penguatan salah satu dalil.
2. Munculnya sikap fanatik terhadap suatu madzhab sehingga umat Islam
enggan untuk mengekspor pikiran
3. Tertutupnya pintu ijtihad, memicu timbulnya gerakan taqlid. Sehingga para
kaum muslimin hanya mengikuti pendapat imamnya tanpa mengkaji ulang.
Periode murajihhun tersebut berlangsung sekitar 3 abad sejak kemunculannya, yaitu
pada abad ke 4 H sampai abad ke 7 H. Periode ini sangat terkenal dengan melemahnya sikap
ijtihad dari kalangan para ulama. Akhirnya banyak bermunculan buku-buku komentar
sebagai penjelasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dari masing-masing ulama.
Pada abad ini pula dinasty abbasiyah mulai mengalami kemunduran dalam bidang
politik. Dimana dinasty abbasiyah terpecah menjadi daulat-daulat kecil yang masing-masing
dipimpin oleh sultan.

2 Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 1993, hlm. 112

Anda mungkin juga menyukai