Anda di halaman 1dari 31

HUKUM NIKAH DAN PERAN WALI DALAM PERNIKAHAN

A. PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan salah satu yang berlaku pada makhluk-Nya, baik

manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang diciptakan Allah adalah

berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang

paling sempurna, yakni manusia.1

Dalam surat Az Zariyat ayat 49 disebutkan:

       


Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”.(Az-Zariyat[51]: 49).2

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodoh itu dengan melalui

jenjang pernikahan yang ketentuannya dirumuskan dengan wujud aturan-aturan yang

disebut hukum perkawinan (fiqh munakahat) dalam Islam. Selain itu, ada kerelaan

dari wali yang mengakadkan dari pihak perempuan.3

B. HUKUM NIKAH

Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang, ( Bandung:
1

Pustaka Setia, 2008 ), h. 12.

2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), h.
522.

3
Abd, Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana:2003 ), h. 98

1
1. Pengertian Nikah

Nikah Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut

istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-

Anshari dalam kitab Fathul Wahab sebagai berikut:

‫النكاح وهو لغة الضم واالجتماع وشرعا عقد يتضمن اباحة وطء بلفظ انكاح او حنوه‬

Nikah pada makna bahasa yaitu bercampur. Sedangkan nikah pada makna

istilah adalah akad yang menyimpan makna diperbolehkan bersetubuh dengan

menggunakan lafadz nikah dan sejenisnya.4

2. Hukum Nikah

Hukum nikah pada dasarnya boleh. Adapun dalil menurut penulis dasar

hukum nikah adalah boleh, sebagai mana dalam satu kaedah:

‫االصل يف االشياء االباحة‬

“Dasar segala pekara adalah boleh”

Ayat yang menunjukkan nikah jaiz (boleh) adalah firman Allah dalam Surah

an-Nisa [4]: 3 berikut:

           
           

Artinya: Maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian

4
Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab, (Beirut, Darul Fikri, 1994), juz II, h. 38..

2
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(an-Nisa :3)5

Ragam Tafsir

Ayat ini mengandung hukum tentang perintah nikah, batas maksimal istri dan

keadilan. Pertama, apakah perintah menikah dalam ayat ini bersifat wajib atau tidak?

Ada ulama yang cenderung memandang lahiriah redaksi ayat sehingga menyatakan

wajib. Sementara Imam As-Syafi’i menyatakan tidak wajib, mengingat dalam ayat 25

Surat An-Nisa Allah menjelaskan bahwa bersabar untuk tidak menikah dalam kondisi

tidak berkemampuan finansial adalah lebih baik daripada menikah.

Nah, penjelasan Al-Qur’an seperti ini menunjukkan bahwa hukum asal

nikah tidaklah sunnah, apalagi wajib.6

Kedua, berkaitan dengan batas maksimal istri yang boleh dinikah. Ulama

Ahlussunnah menjelaskan bahwa batas maksimal istri yang boleh dinikah adalah

empat orang. Hal ini sesuai dengan beberapa riwayat hadits, ijma, dan pendekatan

kebahasaan.

Dari sisi kebahasaan, penafsiran frasa ‫نى وثالث‬H‫اع مث‬H‫ ورب‬dengan makna “dua

tambah tiga, tambah empat, sehingga batas maksimal istri adalah sembilan, karena

huruf wawu menunjukan makna mutlaqul jam’i (penjumblahan)” adalah penafsiran

yang keliru. Sebab bahasa Al-Qur’an adalah bahasa yang paling pasih, sementara

dalam bahasa Arab penggunaan diksi “dua, tiga dan empat” untuk menunjukkan

5
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga..., h. 4-5

6
Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, [Bairut: Dar al-Fikr, tth.], juz
IX, hal. 177-178).

3
bilangan 18, dibandingkan dengan diksi “Berilah Si Fulan 18”. Adapun huruf wawu

dalam ayat berfungsi sebagai badal (menunjukkan makna pengganti), sehingga

pemaknaannya yang tepat adalah: “Kalian nikahlah dua  istri; nikahilah tiga istri

sebagai ganti dari dua istri; dan empat istri sebagai ganti tiga (3) istri”.

Dari sisi hadits terdapat riwayat yang secara jelas membatasi jumlah istri,

yaitu saat keislaman Ghailan bin Salamah At-Tsaqafi Ra yang punya 10 istri dan Al-

Harits bin Qais RA yang punya delapan istri, yang diperintahkan oleh Rasulullah

SAW agar menyisakan empat istri saja sebagaimana riwayat berikut:

)‫ص) )ل)َّ)ى اهلل)ُ َع)لَْي ) ِ)ه‬ )َ )‫) َف َق‬،)ٍ‫َع) ِن) ابْ ِن) عُ َ))م ) َر) أ)َ َّن) َغ) ْي)اَل َن) بْ َن) َس) )ل)َ َم)ةَ) الثَّ) َق) ِف) َّي) أَ) ْس) )لَ َم) حَتْ)تَ) )ه)ُ َع) ْش) ) ُر) نِ ْ)س) ) َو)ة‬
َ )ُّ ‫)ال لَ ))هُ) النَّ)يِب‬
)‫) و)رج))ال) أ)مح)د‬.)‫ اِ ْخ)َت) ْ))ر ِم ْن ُه) َّن) أ)َْر)بَ ً)ع)ا) …) ()رو)اه) الرت)م )ذ)ي) و)ابن) م)اج )ه) و)أمح)د) وال))بز)ار) و)أب )و) ي)على‬:)‫َو) َس )ل)َّ َ)م‬
)(‫ر)جال) ال)صحي)ح‬
Artinya:“Diriwayatkan dari Ibn Umar Ra, sungguh Ghailan bin Salamah at-
Tsaqafi masuk Islam di saat mempunyai 10 istri. Kemudian Nabi Saw
bersabda kepadanya: ‘Pilihlah empat orang dari mereka’ …” (HR At-
Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan selainnya. Para perawi riwayat Ahmad
adalah para perawi hadits shahih.
Sementara dari sisi ijma’ ulama Islam telah mencapai ijma’ atas ketidak

bolehan menikah lebih dari empat istri. Sebab tidak ada satu riwayatpun yang

menunjukkan bahwa ada sahabat atau tabi’in yang mempunyai istri lebih dari

empat orang dalam satu waktu. 7

7
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
[Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M], juz V, hal. 17-18).

4
Ketiga: berkaitan dengan keadilan. Merujuk pakar tafsir generasi tabi’in,

Ad-Dhahak (wafat 102 H) dan ulama lainnya, maksud keadilan yang

dikhawatirkan tidak terpenuhi dalam ayat adalah kecenderungan hati, kecintaan,

jima’ mu’asyarah dan pembagian waktu yang harus dilakukan oleh suami di antara

para istrinya secara adil, ketika memilih berpoligami . Karena itu, bila khawatir

tidak mampu berbuat adil maka seorang lelaki hendaknya menikah dengan jumlah

istri yang mampu dipenuhi keadilannya. Jika tidak mampu berbuat adil dalam

poligami, hendaknya mencukupkan diri dengan satu istri. Sebab keadilan ini

hukumnya adalah wajib. 8

Dalam bahasa lebih lugas, Ibnu Katsir menyatakan, bila khawatir poligami

membuat seorang laki-laki tidak mampu berlaku adil di antara para istrinya, maka

hendaknya ia mencukupkan diri menikahi satu istri saja. 9 

Adapun menurut Jalaluddin Al-Mahalli, maka kawinilah siapa yang baik

diantara wanita-wanita itu bagi kamu boleh dua, tiga atau empat tetapih tidak boleh

lebih dari itu. Kemudian jika kamu tidak dapat berlaku adil diantara mereka dalam

giliran dan pembagian nafkah maka hendaklah seorang saja yang kamu kawini atau

hendaklah kamu batasi pada hamba sahaya yang jadi milikmu karena mereka tidak

mempunyai hak-hak sebagaiman istri-istri yang lain. Yang demikian itu maksutnya

mengawini empat orang istri atau seorang istri saja atau mengambil hamba sahaya

8
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz V, hal. 17-18.

9
Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, [ttp:
Dar Thaibah, 1420 H/1999 M], cetakan kedua, juz II, hal 212).

5
lebih dekat kepada tidak membuat aniaya atau berbuat zalim10.

Selanjutnya disebutkan dalam surat an-Nur {24}: 32 berikut:

        


          

Artinya :“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan


orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui”. (an-Nur [24]: 32).11

Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan

karunia-Nya. Ini berarti, janganlah kemiskinan menjadi halangan untuk kawin.

Mudah-mudahan kalau kamu sudah berniat hendak menikah, maka Allah akan

menambahkan karunia-Nya kepadamu, menambah rezekimu. Nabi Muhammad

SAW. Bersabda, “Kawinilah perempuan karena ia membawa harta”. Demikianlah

Allah mendorong mereka yang mempunyai keinginan melakukan perkawinan supaya

melangsungkan perkawinannya itu, supaya mereka jangan sampai melakukan zina,

yaitu suatu perbuatan yang terkutuk. Ayat Allah ini ditutup dengan, “Dan Allah

Mahaluas (pemberian-Nya)”, berarti, Dia yang maha luas dengan karunia dan

nikmatNya akan memberikan kelonggaran dan kelapangan dada pada hambanya yang

patuh kepada-Nya12.

3. Rukun dan Syarat Pernikahan

10
Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Jld, I (Harmen: Singapura,1999), h. 269.

11
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 5.

12
Ibid, hal. 545.

6
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua

kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya merupakan

sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan, sebagai perbuatan

hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan menjadi

tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu

pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti

membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau adanya calon

pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.13

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu

pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak masuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti menutup aurat untuk shalat. Atau, menurut Islam, calon pengantin laki-laki/

perempuan itu harus beragama islam.14

Menurut ulama Syafi’iyah bahwa rukun perkawinan bukan hanya berkaitan

dengan akad nikah, melainkan keseluruhan dari segala unsur-unsurnya. Dengan

begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu

perkawinan. Adapun syarat dan rukun nikah sebagaimana di ketahui menurut UU No.

1/1974 tentang pernikahan bab 1 pasal 2 dinyatakan: pernikahan adalah sah apabila

13
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: kencana, 2003), h. 45-46.

14
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 46.

7
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Secara rinci rukun nikah itu ada lima, yaitu:

1. Calon mempelai pria

2. Calon mempelai wanita

3. Wali nikah

4. Saksi nikah

5. Ijab dan qabul.15

Kelima rukun nikah ini, masing-masing harus memenuhi syarat:

1. Syarat calon mempelai pria

a. Beragama Islam

b. Laki-Laki

c. Baligh

d. Berakal

e. Jelas Orangnya

f. Dapat Memberikan persetujuan

g. Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keaadan ihram dan

umrah.

2. Syarat Calon Mempelai Wanita

a. Beragama Islam

b. Perempuan

15
Syakh Abi Bakri, Iannatuth thalibin, Jld. III, (Semarang), h. 274.

8
c. Jelas Orangnya

d. Dapat diminta persetujuannya

e. Tidak terdapat halangan perkawinan (wanita-wanita yang haram dinikahi).

3. Syarat Wali Nikah

a. Laki-Laki

b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.

4. Syarat Saksi Nikah

a. Minimal dua orang laki-laki

b. Hadir dalam ijab dan qabul

c. Dapat memahami maksud akad

d. Beragama islam

e. Dewasa

5. Syarat Ijab dan Qabul

a. Ada ijab (peryataan) mengawinkan dari pihak wali

b. Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami

c. Memakai kata-kata “nikah”, “tazwif” atau terjemahannya seperti “kawin”.

d. Antara ijab dan qabul, bersambung, tidak terputus.

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang dalam keadaan haji

9
dan umrah

g. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orng yaitu calon

mempelai pria atau wakiinya, wali dari calon mempelai wanita ataau akilnya,

dan dua orng saksi.16

Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila

tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam

Kitab al-Fiqh ’ala al-Madzahib al-Arba’ah: “Nikah fasid yaitu nikah yang tidak

memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi

rukunnya. Dan hukum, nikah fasid dan nikah bathil adalah sama, yaitu tidak sah. 17

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan rukun nikah dalam pasal 14, yaitu:

(a) calon suami

(b) calon istri

(c) wali nikah

(d) dua orang saksi

(e) ijab dan qabul.18

4. Tujuan Pernikahan atau perkawinan

1) Mendapatkan Ketenangan Batin

16
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, h. 55-58.

17
Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Jld VI, (Maktabah
al-Tijariyah al-Kubra), h. 118.

18
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama Press, 1991/1992), h.
18.

10
        
          
 

Atinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-


pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir. (Surat Ar-Rum : 21)

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al

Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 21. (‫) َو ِم ْن ءَايٰتِۦِه أَ ْن َخلَ) َ)ق لَ ُكم ِّم ْن أَن ُف ِس ) ُك ْم أ َْز ٰو ًجا‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-

isteri dari jenismu sendiri” Yakni diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya untuk

membangkitkan makhluk-Nya adalah Dia menciptakan bagi kalian wanita-wanita

dari jenis manusia yang kalian nikahi.( ‫“ ) لِّتَ ْس) ) ) ُكنُٓو ۟ا إِلَْي َ)ه ) ) ا‬supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya” Yakni agar kalian condong kepada mereka. Dan

menetapkan bahwa dari diri mereka terdapat ketentraman dan ketenangan bagi jiwa

kalian. (ً‫“ ) َو َج َع ) َ)ل َبْينَ ُكم) َّم َو َّد ًة َو َرحْ َمة‬dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”

Yakni rasa kasih sayang dan cinta antara suami dan istrinya di dalam ikatan

pernikahan. Mereka saling berlemah lembut padahal sebelumnya mereka berdua tidak

saling mengenal dan tidak saling mencintai. Imam Mujahid berpendapat yang

َ HHِ‫)إِ َّن فِى ٰذل‬


dimaksud dengan (‫ )املودة‬adalah berjima’ dan (‫ )الرمحة‬adalah keturunan.( ‫ك‬

ٍ ‫اَل ٰ ٰي‬
“Sesungguhnya pada yang demikian itu” Yakni hal yang telah disebutkan itu. ‫ت‬

11
(benar-benar terdapat tanda-tanda) Yakni tanda-tanda yang sangat menakjubkan dan

sangat jelas dalam menunjukkan kekuasaan dan hikmah Allah19.

          
  ...... 

Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan
daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang
kepadanya. (Surat Al- A’raf : 189).

ٍ ‫“ ) ُه َو الَّذِيْ َخلَ َق ُك ْم مِّنْ َّن ْف‬Dialah yang menciptakan


Firman Allah SWT (ٍ‫س َّوا ِح َدة‬

kamu dari jiwa yang satu (Adam)”, maksudnya adalah Allah yang menciptakan

manusia yang dimulai dari satu jiwa saja, yakitu nabi Adam. (‫“ )وَّ َج َع َل ِم ْن َها َز ْو َج َها‬dan

daripadanya Dia menciptakan pasangannya”, maksudnya adalah istrinya Hawa. (

ۚ‫“ )لِ َيسْ ُك َن ِالَ ْي َها‬agar dia merasa senang kepadanya”, maksudnya adalah agar nabi Adam

merasa tenang dan senang dengan keberadaanya. Semua hal tersebut diatas terjadi

ketika mereka berdua masih berada di dalam surga, kemudian kalimat ini dilanjutkan

dengan kondisi yang berbeda, yaitu ketika mereka telah diturunkan ke muka bumi20.

         


     .... 

Artinya: “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan


istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi
mereka”. (Surat Al-Baqarah : 187).

19
https://tafsirweb.com/7385-quran-surat-ar-rum-ayat-21.html
20
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi Jilid 7..., hal. 853-854.

12
Bukhari, Abu Dawud, Nasa’i meriwayatkan dari Barra’ bin Azib, dia berkata,

“ Sahabat-sahabat Rasulullah, jika ada salah seorang diantaranya yang puasa, maka ia

tertidur sebelum datangnya waktu berbuka dan kemudian terus tertidur sampai siang

hari esoknya, maka tidaklah ia makan melainkan terus mengerjakan puasa itu. Qais

bin Sar’ah al Ahsam kebetulan mengerjakan puasa, dan sehari suntuk dia bekerja di

kebunnya. Ketika telah datang waktu berbuka, pergi ia kepada istrinya dan bertanya,

“ apakah ada makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak, tetapi aku akan pergi

mencarinya untukmu”. Dalam menunggu itu ia tertidur, kemudian datang istrinya lalu

berkata, “Telah rugi engkau, mengapa engkau tertidur”. Besok siangnya, ketika

tengah hari dia jatuh pingsan. Diceritakanlah peristiwa ini kepada Rasullullah SAW,

maka turunlah ayat ini21.

“Dihalalkan bagimu”, menunjukkan bahwa hal itu pada mulanya

diharamkan, kemudian baru dihalalkan sebagai keterangan sebab turun ayat ini. “Ar-

ُ ‫ )الرَّ َف‬yang bermakna campur, menurut Zajjaj dan Azhari ialah, segala yang
rafasu” (‫ث‬

dikehendaki oleh laki-laki terhadap perempuan, seperti menciumnya, memeluknya,

dan sebagainya, tetapi yang dimaksud dalam ayat ini ialah dengan makna jimak,

artinya campur. “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi

mereka”, menurut keterangan Al-Kassyaf, jika antaramu dan mereka itu “pergaulan

rapat”, ibarat pakaian yang tak dapat ditanggalkan lagi -dan menjauhi mereka itu

21
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Kencana, hal. 40.

13
adalah kesukaran bagimu- maka diberikan kelapangan bagimu mencampuri mereka

pada malam Ramadhan22.

Dalam penjelasan ayat diatas, memberi makna bahwa tujuan pernikahan juga

menjadikan pasangan suami istri bagaikan satu jiwa dua raga, dimana suami menjadi

pakaian bagi istri dan istri menjadi pakaian bagi suami.

2) Meneladani Kehidupan Para Rasul

         


..... 
Artinya: Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau
(Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.
(Surat Ar Ra’du: 38).

Ayat ini diturunkan ketika orang-orang kafir mencela Nabi saw karena

istrinya banyak, yaitu (Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum

engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan)

yakni anak-anak, sedangkan engkau adalah salah satu diantara para rasul itu 23. Allah

SWT menjelaskan pada ayat ini, bahwa rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad SAW

berasal dari jenis manusia, dimana mereka menikah dan melahirkan anak, mereka

bukan dari jenis malaikat, karena orang-orang kafir memandang kenabian dari jenis

manusia. Maka Allah memberitahu kalau Dia mengutus manusia yang beristri dan

juga memakan makanan24.


22
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam..., hal. 41.

23
https://www.scribd.com/document/403002590/Terjemah-Tafsir-Jalalain-30-Juz-pdf, hal.
53.

24
Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul bayan, Penerjemah Bari, Rivai, Muhammad,
fauzun, Rahim Mustafa; Editor, DR. Yusuf Baihaqi.--- Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. hal. 156-157.

14
3) Berketurunan

        


        
         
  

Artinya: Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah
kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasimu. (Surat An-Nisa:1)

Dalam Li Yaddabbaru Ayatih/Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh

Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas

Qashim-Saudi Arabia menjelaskan bahwa Surat An-nisa’ mengandung isyarat yang

begitu indah; ayat pertamanya menunjukkan kekuasaan Allah SWT yang sempurna :

ٍ ‫وا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬HHُ‫ا النَّاسُ اتَّق‬HHَ‫ا أَيُّه‬HHَ‫“ } ي‬Wahai manusia! Bertakwalah kepada
{ ‫ َد ٍة‬H‫س َوا ِح‬

tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam)”. Sedangkan ayat

terakhir mengabarkan kesempurnaan ilmu-Nya. Rububiyyah, uluhiyyah, keagungan,

serta kemuliaan Allah ditetapkan dengan adanya dua sifat tersebut, yakni ilmu dan

kekuasaan yang sempurna. Oleh karena itu wajib bagi semua manusia tuk mematuhi

semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, juga menjalankan semua

yang telah dibebankan oleh-Nya.

Asas hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam adalah

untuk saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing

15
pasangan, bukan untuk berkompetisi mencari yang paling unggul di antara keduanya.

Maka, Hawa tidaklah diciptakan dari tanah seperti halnya Adam. Olehnya perempuan

diciptakan dari salah satu bagian lelaki, yakni tulang rusuknya, dan itu bertujuan agar

seorang suami harus selalu mencintai pasangannya dengan perasaan cinta yang tulus

serta menjaganya dari segala yang membahayakan, seperti halnya tulang rusuk yang

menjaga organ dalam manusia. Dan tulang rusuk pun harus selalu di tempatnya, tetap

dan tidak berpindah, karena jikalau rusuk patah atau berpindah tempat, itu akan

mengakibatkan rasa sakit yang amat sangat. Jikalau seorang lelaki dzalim kepada

istrinya, maka seakan-akan dia sedang menyakiti dirinya sendiri. Juga sebaliknya

jikalau perempuan menentang dan menyelingkuhi suaminya, maka dia telah

menyimpang dari jalan fitrahnya. Kandungan ayat ini juga menjelaskan Allah telah

menyandingkan antara takwa terhadap-Nya dengan berbuat baik kepada sanak

keluarga. Allah berfirman: { ‫ ا َم‬H‫ ِه َواأْل َرْ َح‬Hِ‫ا َءلُونَ ب‬H‫وا هَّللا َ الَّ ِذي ت ََس‬HHُ‫“ } َواتَّق‬Bertakwalah kepada

Allah yang dengan nama-Nya kamu meminta, dan peliharalah hubungan

kekeluargaan.” Itu semua bertujuan untuk menekankan bahwa merawat dan menjaga

hubungan antar keluarga dan tidak memutusnya adalah hal yang sangat penting.

Maka memelihara dan memberi hak-hak makhluk-Nya dengan cara yang baik,

terkhusus sanak keluarga, adalah wajib, seperti halnya wajib bagi hamba untuk

melaksanakan dan menjalankan semua hak-hak Allah SWT. Bahkan memelihara

hubungan sanak keluarga termasuk dalam menjalankan hak-Nya25.

25
https://tafsirweb.com/1533-quran-surat-an-nisa-ayat-1.html

16
Firman Allah diatas dikuatkan oleh Firman Allah dalam surat asyura ayat: 11.

         


          
  
Artinya: (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar
dan melihat.

Tafsir jalalain:
(Pencipta langit dan bumi) Dialah Yang mengadakan langit dan bumi (Dia

menjadikan bagi kalian dari jenis kalian sendiri pasangan-pasangan) sewaktu Dia

menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam (dan dari jenis binatang ternak

pasangan-pasangan) ada jenis jantan dan ada jenis betina (dijadikan-Nya kalian

berkembang biak) maksudnya, mengembangbiakkan kalian (dengan jalan itu) yaitu

melalui proses perjodohan. Dengan kata lain, Dia memperbanyak kalian melalui

anak beranak. Dhamir yang ada kembali kepada manusia dan binatang ternak

dengan ungkapan yang lebih memprioritaskan manusia. (Tidak ada sesuatu pun

yang serupa dengan Dia) huruf Kaf adalah Zaidah, karena sesungguhnya Allah swt.

tiada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya (dan Dialah Yang Maha Mendengar)

semua apa yang dikatakan (lagi Maha Melihat) semua apa yang dikerjakan. 26

26
Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Jld, (Harmen: Singapura,1999), h. .

17
C. Wali Nikah

Keberadaan wali merupakan satu dari lima rukun nikah. Wali sendiri ialah

sebutan untuk pihak lelaki dalam keluarga atau lainnya yang bertugas mengawasi

keadaan atau kondisi seorang perempuan, khususnya dalam bab nikah. Sebagaimana

firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 32.

       


           
Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara
kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (Surat An- Nur : 32).

Kata (‫ )ااْل َيَا ٰمى‬adalah jamak dari aima yaitu perempuan atau laki-laki yang masih

bujang atau lajang (single), belum lagi berumah tangga dan mereka itulah yang

dianjurkan supaya kawin. Menurut sebagian ulama, perintah pada ayat ini

ditunjukkan kepada wali atau suami. Tapi keterangan pertamalah yang menyatakan

perintah tersebut ditujukan kepada wali yang lebih kuat. Dengan berdasarkan ayat ini,

Imam Syafi’i mengambil dalil, bahwa perempuan tidak bole mewalikan dirinya

sendri, melainkan hendaklah ada wali yang bukan dirinya. Sedangkan Abu Hanifah

berpendapat bahwa perempuan itu berhak atas dirinya daripada walinya. Sebenarnya,

dalam perkawinan itu bagi orang yang mampu kalau dikhawatirkan ia akan jatuh ke

dalam perbuatan maksiat, maka ia wajib menikah untuk memelihara diri. Dalam ayat

ini, terdapat perbedaan antara seorang bujang merdeka dengan budak. Budak yang

disebutkan sifatnya ialah “budak yang baik-baik,” sedang orang merdeka tidak

18
demikian. Sebabnya karena kebanyakan budak-budak itu tidak terjaga akhlaknya

dengan baik, budi pekerti mereka itu kurang baik. Sedangkan akhlak orang merdeka

biasanya lebih baik dari akhlak budak.27

Firman Allah di atas menurut penulis, bahwa perempuan tidak bole

mewalikan dirinya sendri, melainkan hendaklah ada wali yang bukan dirinya.

Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 232, sebagai berikut:

       


       
          
        
Artinya: apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Asbabun nuzul ayat ini adalah berdasarkan suatu riwayat dari Abu Dawud,

At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits tersebut dishahihkan oleh Tirmidzi bahwa

Ma‟qil bin Yasar menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki

muslim pada masa Rasulullah SAW. Maka hiduplah ia dengan suaminya itu, lalu ia

menceraikannya dengan talak satu, dan ia tidak merujuknya kembali hingga wanita

itu menyelesaikan iddahnya. Tetapi laki-laki itu ternyata masih mencintainya dan si

wanita pun masih mencintai bekas suaminya. Kemudian laki-laki itu melamarnya

kembali. Ma‟qil pun berkata kepadanya: Hai orang celaka, aku menghormatimu dan

menikahkan mu dengan saudara perempuanku, tapi engkau malah menceraikan dia.


27
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam..., hal. 543.

19
Demi Allah dia tidak akan kukembalikan kepadamu untuk selamanya hingga akhir

hayatmu, maka turunlah ayat tersebut ( QS. Al-Baqarah: 232). Setelah Ma‟qil bin

Yasar mendengar ayat itu, maka dia pun berkata: “Aku mendengar dan mentaati

Rabbku”. Setelah itu Ma‟qil memanggil laki-laki tersebut seraya berkata: “Aku

nikahkan engkau kembali dan aku hormati engkau”.28

Mempelajari sebab-sebab turunnya ayat ini dapat disimpulkan bahwa wanita

tidak bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata wanita itu dapat

menikahkan dirinya sendiri tentunya dia akan melakukan itu. Ma‟qil bin Yasar

tentunya tidak akan dapat menghalangi pernikahan saudara perempuannya itu jika

saudara perempuannya tersebut memiliki kekuasaan untuk menikahkan dirinya

sendiri. Ayat ini merupakan dalil yang tepat untuk menetapkan wali sebagai rukun

atau syarat sah nikah, dan wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.

Pengertian wali menurut Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha:


،‫ هي تنفي) ))ذ الق) ))ول على الغ) ))ري‬:‫ …والوالي) ))ة يف الش) ))رع‬.‫ ت) ))أيت مبع) ))ىن احملب) ))ة والنص) ))رة‬:‫الوالي) ))ة يف اللغ) ))ة‬
.‫واإلشراف على شؤونه‬

“Perwalian secara bahasa bermakna cinta atau pertolongan…perwalian secara

syariat ialah menyerahkan perkataan pada orang lain dan pengawasan atas

keadaannya.”29
28
Dr. Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟I, 2004), hal. 465.
29
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-
Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 60.

20
D. PADANGAN FIQIH TENTANG HUKUM NIKAH DAN WALI NIKAH

a) Hukum Nikah.

Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha,

Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:

ِ ‫حكم النِ َك‬


‫ وذلك تبعاً للحالة اليت يكون عليها‬،ً‫ وليس حكماً واحدا‬،‫اح َش ْرعُا للنكاح أحكام متعددة‬

‫الشخص‬

Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-

beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara

kasuistik),”30

Dengan demikian hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi

pelakukunya karena pertimbangan kemaslahatan. yaitu:

1. Wajib,yaitu bagi yang mampu dan nafsunya telah mendesak,serta takut

terjerumus dalam perzinahan.

2. Sunnah,yaitu bagi yang mau menikah dan nafsunya kuat,tapi masih mampu

mengendalikan diri dari perbuatan zina.

3. Haram, yaitu bagi yang tidak menginginkanya karena tidak mampu memberi

30
Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil
Imamis Syâfi’i, Juz IV (Surabaya, Al-Fithrah, 2000), hal. 17.

21
nafkah lahir maupun batin serta nafsunya tidak mendesak atau dia mempunyai

tujuan atau niat yang tidak baik dari pernikahannya.

4. Makruh,ada 2 pendapat berbeda

a. Menurut imam malikiiyah yaitu bagi yang tidak memiliki keinginan dan takut

kalau tidak mampu memenuhi kewajibanya terhadap istrinya.

b. menurut imam syafi'i yaitu bagi yangmempunyai kekhawatiran tidak mampu

memberikan kewajibanya pada istrinya

b) Wali nikah.

Sebagaimana yang kami ketahui bahwa menurut madzhab syafi’i rukun nikah

itu adalah lima, yaitu shighat, mempelai perempuan, dua orang saksi, mempelai laki-

laki, dan wali.  

‫فصل يف أركان النّكاح وغريها وأركانه مخسة صيغة وزوجة وشاهدان وزوج وويِل‬

“Fasal tentang rukun nikah dan selainnya. Rukun nikah itu ada lima yaitu,

shigat, mempelai perempuan, dua orang saksi, mempelai laki-laki, dan wali.31

Jadi wali merupakan salah satu rukun nikah, maka konsekwensinya adalah

pernikahan tidak dianggap sah kecuali adanya wali atau tanpak izin dari yang berhak.

Urutannya pun sudah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil. Ketika wali

yang satu tidak ada atau tidak memenuhi syarat, maka wali yang lain, baik wali nasab

yang lebih jauh atau wali hakim dapat menggantikannya. Namun, peralihan hak
31
Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, ,
juz, 3( Bairut-Dar al-Fikr, tt,), h. 139.

22
kewalian ini juga sudah ditentukan sehingga tidak dapat dialihkan sembarangan sesuai

keinginan.

Al-Imam Abdurrahman As-Suyuthi telah merinci 20 keadaan di pernikahan

harus dilangsungkan dengan wali hakim.32 Di antara 20 keadaan tersebut,

sebagiannya yang relevan dan konteksual dengan kondisi sekarang akan diuraikan di

sin:

1) ketiadaan wali, baik ketiadaan murni maupun ketiadaan secara syariat.

Ketiadaan murni misalnya seorang perempuan tidak memiliki satu pun

anggota keluarga yang berhak menjadi wali. Sedangkan ketiadaan wali secara

syariat misalnya wali yang ada masih kecil atau mengalami gangguan jiwa.

Sekalipun ada orang terdekat, tetapi tidak berhak menjadi wali karena hanya

sebagai ayah tiri, ayah angkat,atau bukan ayah kandung yang sah.

2) .ketidakjelasan wali, baik tidak jelas tempatnya dan tidak jelas hidup atau

meninggalnya. Siapa pun yang memiliki wali tidak jelas seperti ini,

hendaknya memastikannya terlebih dahulu. Jika tidak ditemukan informasi,

maka pernikahan dilaungsungkan oleh wali hakim. Artinya, ketidak jelasan

semisal ini tidak kemudian mengalihkan kewalian kepada wali yang lebih

lain. Sebab, kewalian masih melekat padanya sehingga dialihkannya kepada

wali hakim.

32
Al-Habib Muhammad bin Salim al-‘Alawi, Al-Miftah li Babin Nikah, hal 9

23
3) wali sedang ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah berdasarkan hadits

Rasulullah SAW yang diriwayatkan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan

menyatakan:

‫ال ينكح المحرم ؤال ينكح‬


Artinya: Orang yang sedang ihrah tidak boleh menikah dan menikahkan(HR.
Muslm).

4) wali menolak menikahkan atau ‘adhal. Lebih jelas, para ulama mendefinisikan

wali adhal sebagai wali yang menolak menikahkan anak perempuannya

dengan laki-laki yang sekufu sesuai permintaannya. Padahal, anak perempuan

tersebut berakal sehat, sudah balig, serta memiliki calon suami yang sekufu

dan sangat dicintainya. Syariat menetapkan, hukum penolakan wali tanpa

alasan yang benar secara syari’i untuk menikahkan adalah haram berdasarkan

ayat, “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin

lagidengan bakal suaminya,” (Surat Al-Baqarah ayat 232).

Jika wali ternyata adhal, artinya alasan penolakannya tidak dibenarkan

secara hukum, maka penikahan dilangsungkan dengan wali hakim.

Dikecualikan jika alasan penolakannya kuat, seperti calon sumi anaknya tidak

sekufu, maka hakim tak bisa mengambil alih. Maka dari itu, benar dan

tidaknya alasan wali yang enggan menikahkan akan dibuktikan oleh

penghulu, petugas pencatat nikah dari KUA, atau hakim di pengadilan negeri

agama.

24
5) wali sedang bepergian jauh, sejauh jarak yang diperbolehkan meng-qashar

shalat atau lebih. Jika jaraknya kurang dari jarak yang diperbolehkan shalat,

maka diharuskan meminta izinnya terlebih dahulu karena statusnya seperti

orang yang hadir di tempat.

Sementara wali yang tak bisa hadir karena pingsan, epilepsi,  atau

mabuk yang tidak disengaja, tidak bisa diambil alih oleh hakim. Jika

kewaliannya ingin dialihkan, maka harus ditunggu sampai tiga hari. Jika

setelah tiga hari tak kunjung sadar, maka kewaliannya dialihkan kepada wali

nasab di bawahnya, bukan kepada hakim. Sebab, kondisi tidak sadar karena

pingsan, epilepsi, atau mabuk disejajarkan dengan kondisi tidak sadar karena

tunagrahita.33

6) wali sedang dipenjara dan dihalang-halangi hadir oleh mayarakat tempat

tinggalnya, sehingga ia merasa takut dan terancam. Dalam kondisi ini,

pernikahan tetap bisa dilangsungkan dengan wali hakim, mewakilkan kepada

yang lain, atau menikahkan di tempat dirinya berada, seperti melalui alat

komunikasi.

Walhasil, wali yang ada di tempat yang jauh, tidak dengan serta merta

kewaliannya beralih kepada wali di bawahnya, sebab kewalian masih melekat

padanya. Demikian dijelaskan oleh Syekh As-Syairazi dalam Al-Muhadzab:

33
Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, hal. 289

25
‫ومل يكن ملن بعده من األولياء أن يزوج ألن والية الغائب باقية وهلذا لو زوجه))ا يف مكان))ه ص))ح‬
‫العق‬

Artinya, “Dan wali yang ada di bawahnya tidak boleh menikahkan,


sebab kewalian orang yang tidak ada masih melekat. Sehingga
seandainya, wali yang jauh tadi menikahkan di tempat dirinya berada,
maka akadnya sah,34

7) wali yang lain tidak ada, sedangkan satu-satunya wali dalam keadaan kufur.

Sementara perempuan yang akan dinikahkan adalah seorang muslimah.

Pernikahan perempuan tersebut dilakukan dengan wali hakim.35

Meski begitu, pernikahan dengan wali hakim juga tidak serta merta dilakukan.

Setidaknya ada tiga persyaratan utama sebagaimana berikut:

‫تكون يف حمل واليته‬  ‫ وأن‬،‫ وأن تكون املرأة بالغة‬،‫ أن يكون الزوج كفؤا‬:‫وذكر ثالثة شروط‬ 

Artinya, “Penulis kemudian menyebutkan tiga syarat (nikah dengan wali


hakim): Calon suami harus sekufu; (2) calon istri harus sudah balig; (3) dan
calon istri juga berada di wilayah tugas kewalian sang hakim.” 36 Biasanya,
wali hakim yang menikahkan adalah petugas resmi yang ditunjuk pemerintah,
seperti kepala KUA dan datang atas nama lembaga, bukan atas nama pribadi.

Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW

ُّ ‫فَِإ َّن‬
‫الس ْلطَا َن َويِل ُّ َم ْن اَل َويِل َّ لَه‬

34
Imam Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzab, Surabaya, Maktabah Al-Hidayah: tanpa
tahun], jilid II, halaman 37

35
Al-Habib Muhammad bin Salim Al-‘Alawi, Al-Miftah li Babin Nikah: 11

36
Syakh Abi Bakri. I‘anatut Thalibin, jilid III, hal. 260.

26
Artinya, “Sungguh penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki
wali,” (HR. Ahmad).
Ketentuan tersebut juga sesuai dengan Pasal 1 huruf b Kompilasi Hukum

Islam, yang menyebutkan: “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk

bertindak sebagai wali nikah.”

“Wali adalah salah satu rukun nikah, maka nikah tidak sah tanpa wali” 37

Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, Imam Abu Suja’ dalam

Matan al-Ghâyah wa Taqrîb, menjelaskannya sebagai berikut:

‫وأوىل الوالة األب مث اجلد أبو األب مث األخ لألب واألم مث األخ لألب مث ابن األخ لألب واألم مث ابن‬
‫ف…احلاكم‬ ‫األخ لألب مث العم مث ابنه على هذا الرتتيب فإذا عدمت العصبات‬

“Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah
seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu
(kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak
lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris
‘ashabah, maka…hakim.”
Dari penjelasan  di atas, bisa kita pahami bahwa yang berhak menjadi wali

adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam

keterangan Abu Sujak itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali

nikah. Urutannya adalah:

1. Ayah.

2. Kakek yang dimaksud dalam hal ini ialah kakek dari pihak ayah.

37
Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, juz, II,
(Surabaya-Dar al-‘Ilm), hlm. 40.

27
3. Saudara lelaki kandung. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal

ayah dan ibu. Ia bisa merupakan kakak maupun adik.

4. Saudara lelaki seayah. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal

ayah namun beda ibu.

5. Paman. Paman yang dimaksud di sini ialah saudara lelaki ayah. Baik yang

lebih tua dari ayah (jawa: pak de), ataupun lebih muda (jawa: pak lik),

dengan memprioritaskan yang paling tertua diantara mereka.

6. Anak lelaki paman dari pihak ayah.

Jida dari ke enam keluarga di atas tidak ada, maka arternatif terakhir yang

menjadi wali adalah wali hakim.

28
E. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Pernikahan adalah satu jalan untuk terpeliharanya manusia dalam

menjalankan syariat Allah SWT, maka Allah ciptakan makhluknya perpasang-

pasanganngan dari jenisnya, agar manusia tersebut tidak kelewatan batas ataupun

melanggar aturan-aturan yang telah di tetapkan dalam agama. Oleh karena demikian

untuk sahnya pernikahan, harus mencukupi syarat dan rukun, salah satunya adalah

wali nikah.

Dari uraian di atas dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Dasar hukum menikah adalah jaiz (boleh) dan terjadinya pernikahan jika

rukun dan syaratnya terpenuhi. Salah satunya harus ada wali nikah. Kemudian

kekhususan pernikahan antara laki-laki dan perempuan ini menunjukkan

kepada kekuasaan Allah terhadap penciptaan manusia secara berpasang-

pasangan.

2. Hukum nikah, dapat berubah sesuai dengan kondisi pelakukunya karena

pertimbangan kemaslahatan. yaitu: sunnah, wajib, makruh dan haram.

3. Al-Qur’an menjelaskan bahwa penciptaan makhluk Allah secara berpasang-

pasangan yang merujuk kepada jantan dan betina. Maka penciptaan manusia

sebagai pasangan yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan.

4. Tujuan pernikahan juga menjadikan pasangan suami istri bagaikan satu jiwa

dua raga, dimana suami menjadi pakaian bagi istri dan istri menjadi pakaian

bagi suami.

29
DAFTAR PUSAKA

Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Jld VI,
Maktabah al-Tijariyah al-Kubra:2004

Abd, Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana:2003

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,


Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz V

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga...,

Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang,


Bandung: Pustaka Setia, 2008 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan
Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989

Dr. Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2004

Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, juz IX, Bairut: Dar al-
Fikr, tth.

https://tafsirweb.com/7385-quran-surat-ar-rum-ayat-21.html

Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,


juz II, ttp: Dar Thaibah, 1420 H/1999 M

Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Jld, I Harmen: Singapura,1999

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Humaniora Utama Press, 1991/1992

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga,

Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-


Minhaj, , juz, 3 Bairut-Dar al-Fikr, tt,.

Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam
al-Syâfi’i, Juz,V, Surabaya: Al-Fithrah, 2000

Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil
Imamis Syâfi’i, Juz IV Surabaya, Al-Fithrah, 2000

30
Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul bayan, Penerjemah Bari, Rivai, Muhammad,
fauzun, Rahim Mustafa; Editor, DR. Yusuf Baihaqi.--- Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007

Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi Jilid 7...

Syakh Abi Bakri, Iannatuth thalibin, Jld. III, Semarang, tt.

Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Kencana, tt.

Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, juz, II, Surabaya-
Dar al-‘Ilm

Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab, Juz, II Beirut, Darul Fikri, 1994

31

Anda mungkin juga menyukai