Anda di halaman 1dari 17

MATA KULIAH DOSAN PENGAMPU

Qawa’idul Fiqhiyyah H. Abd. Kadir Syukur, Lc, M.Ag

QAWA’ID FIQHIYYAH dan KAIDAH LUGHOWIYAH

OLEH :

Kelompok 1

Saparullah 170101010010
M. Rajuddin 170101010121
Jajang Sujana 170101010226

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
QAWAID FIQIYAH ini tepat pada waktu yang diberikan. Makalah ini berisikan
tentang definisi, sejarah dan urgensi.

Terlepas dari itu semua kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
mungkin belum bisa dikatakan sempurna karna pasti ada terdapat berbagai macam
kekurangan , baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka dari itu kami
memohon maaf dan kritik agar bapak dosen atau kawan-kawan bisa memberi
kami masukan dan saran agar kedepannya kami dapat memperbaiki kekurangan
dan kesalahan tersebut.

Banjarmasin, 7 Maret 2019

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar... ................................................................................................. i

Daftar Isi.............................................................................................................. ii

BAB I Pendahuluan ............................................................................................

A. Latar Belakang ........................................................................................


B. Rumusan Masalah ...................................................................................
C. Tujuan Penulisan .....................................................................................

Bab II Pembahasan ..............................................................................................

A. Definisi Qawaid fiqiyah .........................................................................


B. Sejarah Asal-usul Qawaid fiqiyah ...........................................................
C. Urgensi Qawaid fiqiyah ..........................................................................
D. Analisis kaidah Lughowiyah ...................................................................

BAB III Penutup .................................................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................................
B. Saran ........................................................................................................

Daftar Pustaka .....................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua.
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang
kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, kaidah- kaidah lughowiyah dan beberapa
urgensi dari kaidah-kaidahnya. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui
benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda
untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di
dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari
solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi para ulama tentang qawaid fiqiyah ?


2. Bagaimana sejarah dan asal-usul qawaid fiqiyah ?
3. Bagaimana urgensi tentang qawaid fiqiyah ?
4. Bagaimana analisis kaidah-kaidah tentang qawaid fiqiyah ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dan definisi para ulama fiqh tentang qawaid fiqiyah.
2. Mengetahui sejarah dan asal-usul qawaid fiqiyah.
3. Mengetahui urgesi tentang qawaid fiqiyah.
4. Mengetahui dan mengutarakan analisis tentang qawaid fiqiyah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Qawa’id Fiqhiyyah


Qawa’id adalah jama’ dari kata qa’idah yang menurut bahasa berarti al-Asas, artinya
dasar, maksudnya dasar/fondasi dari berdirinya sesuatu atau pokok suatu perkara. Sedang
menurut pengertian istilahi, qawa’id fiqhiyyah didefinisikan oleh fuqaha’ dengan
menggunakan redaksi yang berbeda beda, diantaranya ialah,
a. Abu Zahrah mendefinisikannya sebagai berikut :
ُ ِ‫ض ْفطٍ ِف ْق ِهي ٍ يُ ْرب‬
‫طهَا‬ َ ‫اح ٍد ا َ ْو اِ َلى‬ ٍ َ‫ا ْلقَ َوا ِع ُد ا ْل ِف ْق ِهيَّةُ فَ ِه َي َمجْ ُمعَةُ األَحْ ك َِام ا ْل ُمتَشَا بِ َه ِة الَّتِى ت ُ ْر َج ُع اِ َلى قِي‬
ِ ‫اس َو‬

Artinya : Qawa’id fiqhiyyah ialah kumpulan beberapa hukum yang serupa yang kembali
kepada satu qiyas yang kembali kepada satu qiyas yang mengumpulkannya atau
kepada satu ketentuan hukum yang mengikutinya.1
b. Al-Jurjani berpendapat bahwa qawa’id fiqhiyyah adalah :

‫علَى ج َِمي ِْع ُج ِزئِ َّياتِهَا‬ ٌ ِ‫ا ْلقَ َوا ِع ُد ا ْل ِف ْق ِهيَّةُ ِه َي فَ ِضيَّ ِة ك ُِليَّةٌ ُم ْن َطب‬
َ ‫ق‬

Artinya : Qawa’id fiqhiyyah ialah ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-
bagiannya.
c. Al-Suyuthi mendefinisikannya sebagai berikut :
‫ش ْي َر ٍة ت ُ ْف َه ُم اَحْ كَا ُمهَا ِم ْنهَا‬ ٍ ‫ع َلى ُج ْزئِيَّا‬
ِ ‫ت َك‬ ُ ِ‫ا ْلقَ َوا ِع ُد ا ْل ِف ْق ِهيَّةُ ِه َي ْاأل َ ْم ُر ا ْلك ُِل ُّي الَّذِى يَ ْن َطب‬
َ ‫ق‬

Artinya : Qawa’id fiqhiyyah ialah ketentuan universal yang keberadaannya dapat bersesuaian
dengan bagian-bagian yang (jumlahnya) sangat banyak dan hukumnya dapat
difahami dari sisi perkataannya.

Dari definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa setiap qaidah-fiqhiyah telah
mengatur dan menghimpun berbagai macam masalah fiqh dari berbagai topik, sehingga
fuqaha’ telah dapat mengembalikan semua permasalahan fiqh tersebut kepada kaidah-
kaidahnya.

1
Dahlan tamrin, kaidah-kaidah hukum islam (Malang: UIN-Maliki Press, 2010) hlm. 4

5
Oleh sebab itu, maka qawa’id fiqhiyah merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-
hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah) dan terpisah-pisah sebagai hasil akhir dari ijtihad
mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah-pisah tersebut diikat menjadi satu ikatan atau
kaidah, sehingga hubungan antara qawa’id fiqhiyah dengan fiqh dalam hukum islam, dapat
disejajarkan antara sharaf dengan aplikatif dari suatu percakapan dalam susunan bahasa arab.
Sebagaimana persoalan, mengapa ini diperbolehkan ? Kemudian seorang faqih menjawab :

‫سي ِْر‬ ُ ‫شقَّةُ تَجْ ِلي‬


ِ ‫ْب ا ْلت َّ ْي‬ َ ‫ا ْل َم‬

Artinya : Kesukaran itu mengharuskan adanya kemudahan.

Kemudian persoalan lainnya muncul, mengapa dari kesukaran itu bisa diambil hukum
kebolehan melakukan suatu kemudahan ? Kemudian para fuqaha’ menjawabnya dengan ayat
78 surat al-hajj :

ِ ‫علَ ْي ُك ْم فِى‬
‫الدي ِْن ِم ْن ح ََر َج‬ َ ‫َو َما َجعَ َل‬

Artinya : Dan sekali kali Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

Begitu juga masalah-masalah aplikatif lainnya, seperti mengapa niat dalam peribadahan
itu menjadi syarat sahnya dan sebagainya.

Di samping itu ada permasalahan lain seperti dalil yang bersifat kulli berikut,

Contohnya : Dalil Al-Qur’an yang bersifat kulli (universal)

ِ ‫ه َُولَّذِى َخلَقَ لَ ُك ْم َما ِفى األ َ ْر‬


‫ض َج ِم ْيعًا‬

Artinya: dia Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu.2

Menurut sebagian fuqaha’, Qawa’id fiqhiyah itu, dapat diklasifikasi menjadi tiga
kategori, yaitu :

Pertama, kaidah-kaidah yang menurut sebagian ulama menjadi tempat pengembalian


seluruh kasus fiqh. Kaidah ini ada 5 (lima) macam, dan biasanya dikenal dengan istilah
kaidahn komprehensip mayor, yaitu :

‫ْاأل ُ ُم ْو ُر ِب َمقَا ِص ِد َها‬

Artinya : Setiap perkara itu sesuai dengan maksud-maksudnya.


2
Ibid, hlm. 5-6

6
‫اليَ ِق ْينُ الَيُ َزا ُل ِباش َِّك‬

Artinya : kayakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan-keraguan.

‫سي ُْر‬ ُ ‫شقَّةُ تَجْ ِلي‬


ِ ‫ْب الت َّ ْي‬ َ ‫ال َم‬

Artinya: Kesukaran itu mengharuskan adanya kemudahan

‫الض ََّر ُر يُ َزا ُل‬

Artinya : Kemadlaratam itu dihilangkan.

ٌ‫ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

Artinya : Adat kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum.

Dari kelima kaidah mayor tersebut, memiliki banyak kaidah minor dan disamping itu
masih banyak lagi kaidah hukum islam yang diluar kelima kaidah mayor tersebut, bahkan
lebih dari itu, masih sangat banyak kaidah hukum islam yang belum digali oleh para
mujtahid.

Kedua, kaidah-kaidah yang bermuatan berbagai macam kasis fiqh dapat dikeluarkan
darinya. Kaidah ini jumlahnya ada 40 (empat puluh) buah, dan biasa dikenal dengan kaidah
representatif (aghlabiyah), dan akan dijabarkan di dalam buku lanjutan.

Ketiga, kaidah-kaidah yang kontroversif dan salah satunya tidak dapat dijadikan
sebagai penguat dari yang lainnya, yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kaidah
kontroversif ini ada 20 buah. Dan kaidah ini juga akan dijabarkan didalam buku lanjutan.3

B. Sejarah dan Asal-Usul Qawa’id Fiqiyyah

Sulit diketahuai siapa pembantuk pertama kaidah fikih yang meneliti katab-kitab
kaidah fikih dan masa hidup penyusun ternyata kiadah fikih tidak terbantuk sekaligus,tetapi
terbantuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum islam

Walaupun demikian,dikalngan ulam di bidang kaidah tersebut menyabutkan bahwa


Abu Thahir al-Dibasi ,ulama dari mazhab hanapi yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal
abad ke-4 Hijriyah.mengumpulkan kaidah fikih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah Abu

3
Ibid, hlm. 8-9

7
Thahir selalu mengulang-ulang kaidah tersebut di masjid,setelah pera jamaah pulang ke
rumahnya masing-masing

Kemudian Abu Sa”id al-Harawi,seorang ulama mazhab syafi”i mengunjungi Abu


Thahir dan mencatat kaidah fikih yang dibacakan oleh Abu Thahir di antara kaidah tersebut
adalah lima kaidah terbasar di atas setelah kurang lebih seratus tahun kemudian,datang ulama
besar Imam Abu Hasan al-Karkhi,yang kemudian menambah kaidah dari Abu Thahir
menjadi 37 kaidah.

Dari paparan di atas,jelaskan bahwa kaidah-kaidah fikih terbantuk pada akhir ke-3
Hijriyah.seperti kita ketahui dari perkambangan ilmu islam,bahwa kitab-kitab
tefsir,hadis,usul fikih dan kitab-kitab fikih pada masa itu di telah dibukukan.Dengan
demikaian materi tentang tafsir,hadis,dan fikih telah cukup banyak,kedua,tantang dari
masalah-masalah yang harus dicarikan solusinya juga bertahid terutama karena telah
meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim masa itu,maka ulam membutuhkan metode yang
mudah untuk menyelesaikan masalah,baru kemudian mucul kaidah-kaidah fikih.

Oleh karena seperti sebutkan di dalam buku ilmu fikih, bahwa proses pembantukan kaidah
fikih adalah sebagai berikut.
Al-Qur’an Usul
Fikih Kaidah fkih
Al-Hadis Fikih
(3) (4)
(1) (2)

Kaidah fikih Fikih Qanun

(6) (7) (8)

Pengujian kaidah (5)

Sumber hukum islam Al-Qur’an dan hadis;(2)kemudian muncul usul fikih sebagai
metedologi di dalam penariakn hukum islam (istnbath al-ahkam),Dengan metodologi di
dalam usul fikih yang menggunakan pola fikir deduktif menghasilkan fikih.(3)fikih ini
banyak materinya,Dari materi fikih yang bnyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang di
dalam ilmunya di bidang fikih,diteliti prtsamaan dengan menggunakan pola pikir

8
indukatif,kemudian dikelopokkan,dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa,akhirnya disimpulkan manjadi kaidah-kaidah
fikih.(4)selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kambali dengan menggunkan banyak ayat
dan banyak hadis,terutama untuk dinilai kesesuaian nya dengan subtansi ayat-ayat Al-Qur’an
dan hadis nabi.(5)Apabila sudah dianggap sesuai dengan Al-Qur’an dan banyak hadis
nabi,Baru kaidah fikih tadi menjadi kaidah fikih yang semporna;(6)Apabila sudah manjdi
kaidah yang akurat,maka ulam-ulam fikih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab tantang
perkambangan masyarakat,baik di bidang sosial,ekonomi,politik,dan budaya akhir nya
muncullah fikih-fikih baru.(7)oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ualam memberi
fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang peraktis selalu menggunakan kaidah-kaidah fikih,
bahkan kekhlipah Turki Usamani di dalam majalah al-ahkam al-Adliyah menggunakan 99
kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 1851 pasal.4

C. Urgensi Qawa’id Fiqiyyah


Urgensi Kaidah Fiqhiyyah Adapun urgensitas kaidah fiqhiyyah terlihat dari paparan
Abû Zahrah tentang batasan ijtihad:Pengerahan kesungguhan dan pencurahan daya upaya,
baik dalam mengeluarkan hukum syara’ maupun penerapannya. Abû Zahrah membagi ranah
ijtihad pada dua bidang. Pertama,ijtihad yang terkait dengan penggalian hukum dan
penjelasannya dan kedua, ijtihad yang berkaitan dengan penerapan hukum. Ijtihad model
pertama versi Abû Zahrah adalah ijtihad yang sempurna dan khusus bagi kelompok ulama
yang berusaha mengetahui hukum-hukum cabang yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang
rinci.
Menurut jumhur ulama, ijtihad seperti ini dapat terputus pada suatu zaman meskipun
kalangan Hanâbilah berpendapat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari ijtihad ini.
Ijtihad model kedua, ulama sepakat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari model
ijtihad kedua. Mereka adalah mujtahid yang men-takhrij dan menerapkan ‘illat-‘illathukum
yang digali dari persoalan-persoalan cabang yang telah digali oleh ulama terdahulu. Dengan
metode tathbîq (aplikasi) ini, akan tampak hukum pelbagai masalah yang belum diketahui
oleh mujtahid model pertama di atas. Pola ijtihad mujtahid model kedua ini lazim disebut
dengan tahqîq almanâth (penetapan dan penerapan illat).
Al-Qarâfi secara garis besar berpendapat tentang urgensi kaidah fiqhiyyah ada tiga:
Pertama, kaidah fiqhiyyah mempunyai ke-dudukan istimewa dalam khazanah keilmuan Islam
karena kepakaran seorang faqîh sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah.

4
A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqh. (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017), hal 13-14.

9
Kedua,dapat menjadi landasan berfatwa. Ketiga,menjadikan ilmu fikih lebih teratur sehingga
mempermudah seseorang untuk mengidentifikasi fikih yang jumlahnya sangat banyak.
Al-Zarkasyî berpendapat bahwa mengikat perkara yang bertebaran lagi banyak (fikih),
dalam kaidah-kaidah yang menyatukan (kaidah fiqhiyyah) adalah lebih memudahkan untuk
dihapal dan di-pelihara. Adapun Mustafâ al-Zarqâ’ ber-pendapat bahwa urgensi kaidah
fiqhiyyah menggambarkan secara jelas mengenai prinsip-prinsip fikih yang bersifat umum,
membuka cakrawala serta jalan-jalan pemikiran tentang fikih. Kaidah fiqhiyyah mengikat
berbagai hukum cabang yang bersifat praktis dengan berbagai dhawâbit, yang menjelaskan
bahwa setiap hukum cabang tersebut mempunyai satu manât (illat/alasan hukum) dan segi
keterkaitan, meskipun obyek dan temanya berbeda-beda.
Dari beberapa pendapat fuqahâ di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Kaidah fiqhiyyah adalah ranah ijtihad dalam menerapkan ‘illat hukum yang digali dari
permasalahan-permasalahan hukum cabang berdasarkan hasil ijtihad mujtahid mutlak;
2. Kaidah fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam rangka mempermudah pe mahaman
tentang hukum Islam, di mana pelbagai hukum cabang yang banyak tersusun menjadi
satu kaidah;
3. Pengkajian kaidah fiqhiyyah dapat mem bantu memelihara dan mengikat pelbagai
masalah yang banyak dan saling bertentangan, menjadi jalan untuk menghadirkan
pelbagai hukum;
4. Kaidah fiqhiyyah dapat mengembangkan malakah zhihiyah (daya rasa) fikih seseorang,
sehingga mampu mentakhrij pelbagai hukum fikih yang tak terbatas sesuai dengan kaidah
mazhab imamnya;
5. Mengikat pelbagai hukum dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum-hukum ini
mempunyai kemaslahatan yang saling berdekatan atau mempunyai kemaslahatan yang
besar.

D. Kaidah Lughowiyah

Para ushuliyun, sebagaimana diungkapkan oleh Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman,
menetapkan bahwa perhubungan lafadz dengan makna mempunyai beberapa segi yang harus
dibahas. Mereka membagi lafadz dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian
sebagai berikut.

1. Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya lafadz itu dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu sebagai berikut.

10
1) Sebuah satuan (orang, barang, hal) yang tertentu. Lafadz yang demikian itu
dinamakan Khash.
2) Beberapa satuan (orang, barang, hal) dengan sekali cipta. Apabila lafadz ini dapat
mencakup seluruh satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya, disebut ‘amm dan
apabila tidak dapat mencakup seluruh satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya
disebut jamak munakkar.
3) Beberapa satuan (orang, barang, hal) dengan beberapa kali cipta. Lafadz semacam ini
disebut musytarak.

a. KHASH
Khash adalah lafadz yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan yang
tertentu. Baik menunjuk pribadi seseorang, seperti lafadz Muhammad, Abdullah (nama
orang). Menunjuk macam sesuatu seperti lafadz insaanun (manusia) dan rojulun (orang laki-
laki). Menunjuk jenis sesuatu seperti lafadz hayawwanun (hewan). Menunjuk benda konkret
seperti contoh-contoh di atas atau menunjuk benda yang abstrak seperti lafadz ‘ilmun (ilmu)
dan jahilun (kebodohan) atau penunjukkan arti kepada satu satuan itu secara hakiki, seperti
dalam contoh-contoh di atas. Atau, secara i’tibari (anggapan) seperti lafadz-lafadz yang
diciptakan untuk memberi pengertian banyak yang terbatas, seperti lafadz tsalatsatun (tiga),
mi’atun (seratus), jam’un (seluruhnya), dan fariqun (sekelompok).
Lafadz khash dalam nash syara’ menunjuk kepada dhalalah qath’iyyah terhadap
makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkan adalah qath’i, bukan zhanni
selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada ma’na yang lain. Misalnya, lafadz
tsalatsah dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 196:

     


 

“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji....”

Adalah lafadz khash, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang
dikehendaki oleh lafadz itu sendiri, yaitu tiga hari. Oleh karena itu, dalalah ma’nanya adalah
qath’iyyah (pasti) dan dhalalah hukumnya juga qath’i.

b. ‘AMM

11
Lafadz ‘amm adalah suatu lafadz yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk
menunjukkan suatu makna yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas
dalam jumlah tertentu. Suatu lafadz apabila menunjuk kepada arti satuan yang tunggal seperti
lafadz rajulun (seorang laki-laki) atau menunjukkan kuantitas satuan terbatas, seperti
sekelompok dan seratus bukan termasuk lafadz ‘amm, tetapi masuk dalam lafadz Khash yang
mutlak. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan antara lafadz ‘amm dan
lafadz khash yang mutlak sebagai berikut:
a) Lafadz ‘amm itu menunjuk kepada seluruh satuan dari satuan-satuan yang ada, sedang
lafadz khash yang mutlak menunjukkan kepada satu satuan yang tergolong dalam satuan
itu saja, tidak seluruh satuan.
b) Lafadz ‘amm dapat mencakup sekaligus seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke
dalamnya. Sedangkan, lafadz khash mutlaq tidak dapat mencakup seluruh satuan yang
dapat dimasukkan kedalamnya.

Sebagai contoh lafadz al-insan (seluruh manusia), yakni lafadz ‘amm, meliputi seluruh
satuan yang dikatakan manusia sekaligus. Sedangkan, lafadz insana (suatu bangsa), yaitu
lafadz khash mutlaq hanya meliputi satuan-satuan orang yang dapat digolongkan ke dalam
bangsa itu saja, tidak dapat mencakup seluruh manusia.

Sebagai contoh, firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 228:

 
  

“...Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) sampai tiga kali
quru' (suci)...”

Ketentuan bagi wanita yang ditalak itu hendaknya beriddah tiga kali suci dalam ayat
tersebut adalah umum, baik mereka hamil atau tidak. Kemudian, ketentuan tersebut di-
takhshsis bagi wanita-wanita yang hamil iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan,
sebagaimana ditunjuk oleh firman Allah dalam surah Al-Thalaq ayat 4:

   


 

“...dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya...”

12
c. Musytarak
Lafadz musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih yang berbeda-
beda. Misalnya, lafadz quru mempunyai arti suci dan haid. Lafadz maula dapat diartikan
sebagai tuan yang memiliki budak atau budak itu sendiri. Contoh lain, dan perkataan tanggal
dalam bahasa indonesia dapat diartikan sebagai hari bulan dan dapat pula diartikan lepas.
Lafadz musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang penunjukkannya kepada
makna itu dengan jalan bergantian, tidak sekaligus. Misalnya, lafadz ‘ain. Lafadz ini
diciptakan untuk beberapa makna. Yakni, mata untuk melihat, mata air, matahari, dan mata-
mata. Penggunaannya kepada arti-arti tersebut adalah tidak sekaligus.

2. Lafadz ditinjau dari segi makna yang dipakai untuknya


Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, lafadz itu bila dutinjau dari segi pemakaiannya
untuk suatu arti dibagi menjadi haqiqat, majaz, sharih (jelas) dan kinayah (sindiran).
a. Haqiqat dan Majaz
Suatu lafadz yang sengaja diciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai dengan
peristilahan bidang ilmu disebut lafasz hakikat (sejati). Maksudnya, lafadz itu digunakan oleh
perumus bahasa memang untuk itu. Contohnya seperti kata “kursi”, menurut asalnya memang
digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata
“kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata
“kursi” bukan untuk itu tetapi “tempat duduk”.
Adapun suatu lafadz yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafadz itu bukanlah
diciptakan untuknya disebut lafadz majaz. Contohnya lafadz asad (singa) yang dipakai untuk
memberikan sebutan bagi seorang yang pemberani.
b. Sharih dan Kinayah
Lafadz sharih adalah lafadz yang maksudnya jelas sekali, lantaran sudah masyhur
dalam pemakaiannya, baik secara haqiqat maupun majazi. Sebagai contoh, lafadz sharih
haqiqi seperti seorang penjual berkata kepada pembeli bahwa barang dagangannya telah
dijual kepada pembeli dan pembeli menjawab bahwa ia telah membelinya. Perkataan menjual
dan membeli adalah lafadz-lafadz sharih lantaran maksudnya jelas sekali, lagi hakiki, sesuai
dengan haqiqat yang sebenarnya, yaitu untuk melepaskan barang dari penjual dan
memilihkan barang kepada pembeli.
Sebagai contoh lafadz sharih majazi adalah seorang mengatakan bahwa ia makan dari
pohon tertentu maka maksud dari ucapan tersebut ialah bahwa ia makan dari buah-buahan
yang dihasilkan pohon yang dikatakan itu.

13
Adapun yang dikatakan kinayah ialah lafadz yang tersembunyi maksudnya,
sebagaimana lafadz sharih, lafadz kinayah pun dibagi menjadi haqiqi dan majazi.
Kinayah haqiqi, seperti bila seseorang berkata kepada seseorang, “kawanmu telah
menemui saya, lalu saya membicarakan masalah yang telah kamu ketahui”. Siapa yang
dimaksud dengan kawan tersebut tidaklah jelas orangnya, tetapi arti perkataan kawan itu
yang dimaksud adalah maknanya yang haqiqi bukan makna yang lain.
Kinayah majazi, misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya, “ beriddahlah
kamu”. Maka, perkataan “beriddahlah” adalah kinayah (sindiran) untuk perceraian. Dalam
pada itu, perkataan beriddahlah juga majaz. Karena perintah menghitung bukanlah dengan
arti haqiqi, yaitu menghitung yang sebenarnya, melainkan dengan arti menunggu sampai
hari-hari tertentu yang disebabkan adanya perceraian.

3. Lafadz ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna


Dari segi terang dan samarnya makna suatu lafadz, para ahli ushul membagi lafadz
kepada zhahirud dalalah dan khafiyud dalalah.
a. Zhahirud Dalalah
Zhahirud Dalalah adalah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki
oleh sighat (bentuk) lafadz itu sendiri. Artinya untuk memahami makna dari lafadz itu tidak
tergantung kepada suatu hal dari luar. Zhahirud dalalah itu dibagi jadi empat tingkatan yaitu
zhahir, nash, mufassar, dan muhkam.
b. Khafiyud Dalalah
Khafiyud Dalalah adalah lafadz yang penunjukkannya kepada makna yang dikehendaki
bukan oleh sighat itu sendiri, melainkan karena tergantung kepada sesuatu dari luar.
Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada
lafadznya.
Kekaburan lafadz itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitiaan dan
ijtihad. Lafadz yang dapat dihilangkan kekaburannya dengan jalan ini disebut khafi dan
musykil. Sedangkan, lafadz yang tidak dapat dihilangkan kekaburannya, tetapi dengan jalan
mencari penafsirannya dari syari’ sendiri disebut lafadz mujmal. Kemudiaan, apabila tidak
ada jalan lain untuk menghilangkan kekaburannya, disebut lafadz mutasyabih.

4. Lafadz ditinjau dari segi cara-cara penunjukan lafadz kepada makna menurut kehendak
pembicara
a. Dilalah Al Iqtidla’
Adalah penunjukkan suatu makna lafadz yang bergantung kepada makna yang tidak
disebutkan. Misalnya dalam surah An-nisa ayat 23
‫أمهاتكم عليكم حرمت‬
Ayat ini memerlukan kata yang tidak disebutkan, yaitu al wath’u (bersenggama). Sehingga
maksudnya adalah diharamkan atas kamu bersenggama dengan ibu-ibumu.

14
b. Dilalah Al Isyarat
adalah penunjukkan suatu makna lafadz yang sebenarnya tidak dimaksudkan pada mulanya.
Misalnya dalam surah Al-baqarah ayat 187
    
     
     
   
     
   
    
   
   
    
    
   
     
    
   

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang yang paginya masih dalam keadaan junub,
sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada
kesempatan mandi.

c. Mantuq

Sebagaimana yang dikutip oleh Sa’id al-Khin, definisinya sebagai berikut:

“penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan”5

Definisi ini mengandung arti bahwa kita memahami suatu hukum dari apa yang langsung
tersurat dalam lafadz itu, baik penyebutannya langsung atau tidak.

Misalnya, firman Allah:

5
Mustafa Sa’id al-Khin, Atsaru al-Khilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyah fi al-ikhtilafi al-Fuqoha, hlm. 138

15
“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka...(QS Al-Isra ayat 23).

Hukum yang tersurat dari ayat ini adalah larangan mengucapkan kata “uff”

Contoh lain, dalam surah AN-Nisa ayat 23

“diharamkan atas kamu mengawini anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri”

Ayat ini menunjukkan larangan menikahi anak tiri yang berada dalam asuhan suami dan istri
yang digauli. Dua masalah di atas ini menunjukan lafadz berdasar apa yang diucapkan
(mantuq).

d. Mafhum
Definisi sebagai berikut:
“penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan
berdasar yang disebutkan”

Misalnya, firman Allah:


“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’(QS Al-Isra
ayat 23)”

Ayat ini menunjukan dan dapat dilihat dari sisi mafhumnya pelarangan memukul orang tua.

Contoh lainnya, dalam surah Al-Nisa ayat 25:


“dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawani wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki.”

Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak
beriman. Dua hal di atas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan
(Mafhum).6

6
Suyatno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal. 190-216.

16
Daftar Pustaka

Djazuli, A. 2017. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama.

Suyatno. 2014. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Tamrin, Dahlan. 2010. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Malang: UIN-Maliki Press.

17

Anda mungkin juga menyukai