Anda di halaman 1dari 22

PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS

Mata Kuliah : Studi Hadis

Dosen Pengampu :

Dr. H. Abu Bakar HM, M.Ag

Oleh :

Nurul Khotimah

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua telah dibukukan pada masa

pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khilafah kelima Bani Umayyah. Sedangkan

sebelumnya hadits– hadits Nabi SAW masih terdengar dalam ingatan para sahabat

untuk kepentingan dan pegangan mereka sendiri.

Umat Islam di dunia harus menyadari bahwa hadits Rasulullah SAW sebagai

pedoman hidup yang kedua setelah Al Quran. Tingkah laku manusia yaang tidak

ditegaskan ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat Al

Quran secara mutlak dan secara jelas, hal ini membuat para muhaditsin sadar akan

perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan al-hadits.

Kemudian berawal dari sebuah pertanyaan, “apakah hadis ini atau hadist itu dapat

dijadikan hujjah atau tidak?” salah satu kelompok dengan kuat mempertahankan

pendapatnya sementara kelompok lain dengan gigih bersikap serupa. Mayoritas

ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering dijumpai tidak

serta merta dapat diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu adanya

pencarian jati diri hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup.

Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk memuat pembagian

hadist yang selama ini beredar terutama hadist dari segi kualitas, mudah-mudahan

dapat mengurangi tingkat kekeliruan dalam memahami hadist, baik dari segi kuantitas

dan kualitas sanadnya. Penulis menyadari didalam makalah sangat jauh dari

kesempurnaan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian sangat

diharapkan sebagai kontribusi merevisi makalah ini.


B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu “Bagaimana pembagian hadist dari

segi kualitas ?”

C. Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui pembagian hadist dari segi

kualitasnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadis dari segi Kualitas

Pembicaraan tentang pembagian hadis dilihat dari segi kualitasnya ini tidak lepas dari

pembahasan tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuatintasnya, yang dibagi

menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad sebagian telah dibicarakan pada bab

sebelumnya. Hadis mutawatir memberikan pengertian yakin bi al-qath’i bahwa Nabi

Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan iqrar

(persetujuan)nya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumbe-sumber yang banyak

dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk berbuat dusta kepada Rasulullah

SAW. Karena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka hadis

mutawatir ini harus diterima dan diamalkan tanpa perlu lagi mengadakan penelitian

atau penyelidikan, baik terhadap sanat maupun matan-nya. Berbeda dengan hadis

ahad, yang hanya memberikan pengertian (prasangka yang kuat akan kebenarannya)

mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanat

maupun matan-nya, sehingga status hadis ahad tersebut menjadi jelas, apakah dapat

diterima sebagai hujjah atau ditolak.1

Dari persoalan inilah, para ulama ahli hadis membagi hadits, ditinjau dari segi

kualitasnya, menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. 2 Yang dimaksud

dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk diterima sebagai

dalil dalam perumusan hukum atau untuk beramal dengannya. Hadits Maqbul ini

terdiri dari Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan

Hadits Mardud adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits

Mardud dinamai juga dengan Hadits Dha’if.

1
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 141
2
Ibid, 141.
HADIS MAQBUL

Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan mushaddaq (yang

dibenarkan atau yang diterima), sedangkan menurut istilah adalah:

‫ت فِ ْي ِه َج ِم ْي ُع ُشرُوْ ِط ْالقَبُوْ ِل‬


ْ ‫َما تَ َوافَ َر‬

Artinya;

“Hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya.”3

Hadis maqbul atau hadis yang dapat diterima digolongkan menjadi dua, yaitu

hadis shahih dan hadis hasan.

1. Hadis Shahih

Kata shahih berasal dari bahasa Arab as-shahih bentuk pluralnya ashiha’ dan

berakar kata pada shahha. Dari segi bahasa, kata ini memiliki beberapa arti,

diantaranya: (1) selamat dari penyakit, (2) bebas dari aib/cacat. 4 Kata shahih juga

telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti sah, benar, sempurna (tiada

celanya); pasti.5

Para ulama telah memberikan definisi hadis shahih sebagai hadis yang telah

diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis.

َ َّ‫ْث الَّ ِذى اِت‬


ُ‫ص َل َسنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ال َع ْد ِل الضَّابِ ِط َع ِن ال َع ْد ِل الضَّابِ ِط اِلَى ُم ْنتَهَاهُ َوالَ يَ ُكوْ ن‬ ُ ‫ص ِح ْي ُح ه َُو ال َح ِدي‬ ُ ‫الح ِدي‬
َّ ‫ْث ال‬ َ
ًّ ‫َش‬
ً‫اذا َوالَ ُم َعلَّال‬

“Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh

rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir

sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).”6

3
Ibid, 141-142.
4
Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penebit Teras, 2010), 244.
5
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 143.
6
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 240.
Dari definisi diatas dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis shahih adalah:

1. Sanad-nya bersambung

2. Para perawinya bersifat adil

3. Para perawinya bersifat dhabit

4. Matan-nya tidak syadz

5. Matan-nya tidak ber-illat.7

Para ulama ahli hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li

dzatihi dan shahih li ghairihi. Perbedaan antara kedua bagian ini terletak pada segi

hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadis shahih li ghairihi, ingatan perawinya

kurang sempurna. 8

Hadis shahih li dzatihi

Yang dimaksud dengan hadis shahih li dzatihi adalah hadis shahih yang

mencapai tingkat keshahihannya dengan sendirinya tanpa dukungan hadis lain yang

menguatkannya.9 Contoh hadis shahih li dzatihi, antara lain:

ِ َ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِع ْي ٍد َح َّدثَنَا َج ِر ْي ُر ع َْن ُع َما َرةَ ب ِْن القَ ْعق‬
‫ َجا َء َر ُج ٌل اِلَى‬,‫اع ع َْن اَبِى ُزرْ َعةَ ع َْن اَبِى ه َُر ْي َرةَ قَا َل‬

َ َ‫ق‬.َ‫ال اُ ُّمك‬
:‫ال‬ َ َ‫ ثُ َّم َم ْن؟ ق‬:‫ قَا َل‬.‫ك‬
َ ‫اُ ُّم‬:‫ال‬
َ َ‫ص َحابَتِى؟ ق‬ ُّ ‫ يَا َرسُوْ ُل هّللا ِ َم ْن اَ َح‬:‫ال‬
َ ‫ق بِ ُح ْس ِن‬ َ َ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬
َ ِ ‫َرسُوْ ِل هّللا‬

َ‫ ثُ َّم َم ْن؟ قَا َل ثُ َّم اَبُوْ ك‬:‫ قَا َل‬.َ‫ثُ َّم َم ْن؟ قَا َل اُ ُّمك‬.

Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said, ia berkata: “Meriwayatkan kepada

kami Jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia

berkata: ‘Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW., lalu berkata: ‘Ya

Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang

baik?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya: ‘Kemudian siapa?’

7
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 145.
8
Ibid, 148.
9
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 270.
Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’

Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘Kemudian siapa?’

Rasulullah menjawab: ‘Kemudian bapakmu.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)10

Hadis Shahih li ghairihi

Sedangkan yang dimaksud dengan hadis shahih li ghairihi adalah hadis hasan li

dzatihi yang diriwayatkan melalui jalur lain yang semisal atau yang lebih kuat, baik

dengan redaksi yang sama maupun hanya maknanya saja yang sama, maka kedudukan

hadis tersebut menjadi kuat dan meningkat kualitasnya dari tingkatan hasan kepada

tingkatan shahih.11 Dengan kata lain, hadis ini keshahihannya tidak berasal dari

sanadnya sendiri melainkan dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya. 12

Contoh hadis shahih li ghairihi, antara lain hadis riwayat Turmudzi melalui jalur

Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW.

bersabda:

‫صالَ ٍة‬ ِ ‫ق َعلَى اُ َّمتِ ْى َأَل َمرْ تُهُ ْم بِال ِّس َوا‬
َ ِّ‫ك ِع ْن َد ُكل‬ َّ ‫لَوْ الَ اَ ْن اَ ُش‬.

Artinya: “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan bersiwak

setiap kali hendak melaksanakan salat.”

Ibnu Umar Ash-Shalah menyatakan bahwa Muhammad bin Amr terkenal

sebagai orang yang jujur, tetapi ke-dhabit-annya kurang sempurna sehingga hadis

riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari

melalui jalur Al-A’raj Abu Hurairah yang hadisnya dinilai shahih. Oleh karena itu

hadis riwayat Turmudzi tersebut naik menjadi shahih li ghairihi.13

10
Ibid, 243-244.
11
Ibid, 270.
12
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 148.
13
Ibid, 149-150.
Para ulama hadis membagi tingkatan hadis shahih menjadi tujuh, yang secara

berurutan adalah sebagai berikut:

1. Hadis yang disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang lazim

disebut dengan istilah “Muttafaqun ‘alaihi.”

2. Hadis yang dishahihkan oleh Al-Bukhari saja.

3. Hadis yang dishahihkan oleh Muslim saja.

4. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi

mengikuti syarat-syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim.

5. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi

mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari.

6. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi

mengikuti syarat-syarat keshahihan Muslim.

7. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh ahli hadis yang terkenal selain Al-Bukhari

dan Muslim, tetapi tidak mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari dan

Muslim dan tidak pula mengikuti syarat-syarat keshahihan salah satu dari Al-

Bukhari dan Muslim.14

Para ulama telah menyusun sejumlah kitab yang khusus menghimpun hadis-

hadis shahih. Yang paling masyhur diantaranya adalah shahih Al-Bukhari dan shahih

Muslim. Berikut ini adalah nama-nama kitab yang memuat hadis shahih.

1. Al-Muwaththa’, disusun oleh Imam Malik (93-173 H/712-798 M).

2. Al-Jami’ as-Shahih al-Bukhari, disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad ibn

Ismail ibn Ibrahim al-Mughirah ibn Birdizbah al-Ja’fari al-Bukhari.

3. Shahih Muslim, disusun oleh Imam Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairy an-

Naisabury.
14
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 57.
4. Shahih ibn Huzaimah, disusun oleh Abu Abdullah ibn Abu Bakar al-Huzaimah.

5. Shahih ibn Hibban, disusun oleh Abu Hatim Muhammad ibn Hibban.15

2. Hadis Hasan

Hasan menurut bahasa ialah “sesuatu yang baik dan cantik.” Sedangkan

menurut terminologi, hadis hasan ialah hadis yang muttasil sanadnya, diriwayatkan

oleh rawi yang adil dan dhabit, tetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabitan hadis

shahih, dan hadis itu tidak syadz dan tidak pula terdapat illat (cacat).16

Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut : “Tiap-tiap hadist

yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak

ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”17

Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa hadis hasan sama dengan hadis

shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadis shahih,

ingatan atau daya hafalannya harus sempurna, sedangkan pada hadis hasan, ingatan

atau daya hafalannya kurang sempurna. Dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadis

hasan dapat dirinci sebagai berikut:

1. Sanadnya bersambung

2. Perawinya adil

3. Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah kedhabitan hadis shahih

4. Tidak terdapat syadz

5. Tidak ada illat.

15
Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010), 248.
16
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 59.
17
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, Bairut, 1980, hal.76
Para ulama membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu hasan li dzatihi dan

hasan li ghairihi.

Hadis Hasan Li Dzatihi

Yang dimaksud dengan hadis hasan li dzatihi ialah hadis yang telah memenuhi

persyaratan hadis hasan diatas. Dengan demikian, maka pengertian hadis hasan li

dzatihi sama dengan pengertian hadis hasan sebagaimana telah diuraikan diatas. 18

Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal

kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai

kepada derajat hafalan para perawi yang shahih. 19


Contoh Hadist Hasan Li-Dzatih

adalah sebagai berikut : Artinya :”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah SAW

bersabda :Barang siapa menuntut ilmu pengetahuan karena selain Allah atau bertujuan

selain Allah maka, tempatnya di dalam Neraka”

Hadis Hasan Li Ghairi

Sedangkan yang dimaksud dengan hadis hasan li ghairi adalah suatu hadis yang

meningkat kualitasnya menjadi hadis hasan karena diperkuat oleh hadis lain. 20 Contoh

dari hadis hasan li ghairihi antara lain hadis At-Turmudzi.

ٌ‫ب اَ ْهلِ ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ِج ْد فَ ْال َما ُء لَهُ طَيِّب‬


ِ ِّ‫ق َعلَى ال ُم ْسلِ ِم ْينَ اَ ْن يَ ْغتَ ِسلُوْ ا يَوْ َم ال ُج ُم َع ِة َوليَ ِمسَّ اَ َح ُدهُ ْم ِم ْن طَي‬
ٌّ ‫ح‬.
َ

Artinya: “Hak bagi orang-orang muslim ialah mandi di hari jum’at, hendaklah salat

seorang mereka mengusap dari wangi-wangian keluarganya. Jika ia tidak

memperolehnya, air pun cukup menjadi wangi-wangian.”

18
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 154.
19
Muhammad Jamal, ad-Din Al-Qasimi, Qowaid al-Tahdist Min Funun Musthalahah al-Hadist, Dar al-Kutub,
Bairut, 1979, hal.102
20
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 271.
Hadis tersebut bersanadkan Abu Yahya Ismail bin Ibrahim At-Taimi, Yazid bin

Abi Ziad, Abdurrahman bin Abi Laila, dan Al-Barra’ bin Aziz. Karena itu, hadis

tersebut adalah dhaif.

Di samping itu, ada pula hadis yang semakna dengan hadis At-Turmudzi tadi,

yakni hadis Bukhari yang bersanadkan Harami bin Umrah Syu’bah, Abu Bakar bin

Al-Munkadir, Amru bin Sulaim Al-Anshari, dan Abu Sa’id r.a. Kata Abu Sa’id, aku

menyaksikan Rasulullah SAW., bersabda:

‫– اَ ْل ُغ ْس ُل يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة َوا ِجبٌ َعلَى ُك ِّل ُمحْ تَلِ ٍم َو اَ ْن يَ َمسَّ ِط ْيبًا ِإ ْن َو َج َد – الحديث‬

Artinya: “Mandi pada hari jum’at wajib bagi setiap orang yang bermimpi sampai

mengeluarkan mani, dan hendaklah membersihkan gigi dan memakai wangi-

wangian, jika ada.”

Dengan demikian, hadis At-Turmudzi yang bersanad Abu Yahya Ismail bin

Ibrahim At-Tamimi yang dhaif itu, naik menjadi hasan li ghairihi, karena dibantu

oleh muttabi’ dari riwayat lain yang semakna.21

Para ulama belum pernah ada yang membukukan hadis hasan secara terpisah.

Mereka menggabungkan hadis-hadis hasan dengan hadis shahih dan mencampurnya

dengan hadis dhaif, meskipun mereka tidak memasukkan hadis dhaif ke dalam kitab

susunan mereka kecuali sangat sedikit dan amat jarang.22 Sumber-sumber hadis hasan

dapat ditemukan di beberapa kitab, diantaranya:

1. Al-Jami’, karya At-Turmudzi.

2. As-Sunan, karya Imam Abu Dawud (202-273 M).

3. Al-Mujtaba, karya Imam An-Nasa’i.

21
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Mustalahul Hadis (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), 31-32.
22
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 279.
4. Sunan Al-Mushthafa, karya Ibn Majah.23

HADIS MARDUD

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima,

sedangkan menurut istilah ialah:

ِ ‫ك ال ُّشرُوْ ِط َأوْ بَ ْع‬


‫ضهَا‬ َ ‫فَ ْق ُد تِ ْل‬

Artinya:

“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.”

Hadis mardud atau hadis yang tidak diterima digolongkan pada hadis Dhaif.

Hadis Dhaif

Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhu’fun yang berarti lemah.24

Menurut An-Nawawi, hadis dhaif secara istilah adalah hadis yang di dalamnya tidak

terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan. 25 Secara

Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi pada

dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi : “Hadist yang

didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist

Hasan.”26

Secara umum hadis dhaif tidak boleh diamalkan, baik dalam hal

menggunakannya sebagai landasan menetapkan suatu hokum maupun sebagai

landasan suatu aqidah, melainkan hanya dibolehkan dalam hal keutamaan-keutamaan

amal dengan memberikan iklim yang kondusif yang menggairahkan atau merasa takut
23
Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010), 266-267.
24
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 63.
25
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 156.
26
An-Nawaawi, At-Taqrib Li An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadist, Abd Rahman Muhammad Kairo,tt,19.
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu amal perbuatan, dan dalam hal

menerangkan biografi. Menurut para ahli hadis, pendapat ini dapat dijadikan

pegangan, tetapi hal itu masih diperselisihkan di kalangan para ulama tentang

diperbolehkannya mengamalkan hadis dhaif.27 Para ulama mensyaratkan kebolehan

mengambil hadis dhaif dengan tiga syarat:

1. Kelemahan hadis itu tiada seberapa.

2. Apa yang ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat

dipegangi, dengan arti bahwa memegangnya tidak berlawanan dengan sesuatu

dasar hokum yang sudah dibenarkan.

3. Jangan diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari Nabi. Ia hanya

digunakan sebagai ganti memegangi pendapat berdasarkan nash sama sekali.28

Contohnya adalah hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-

nya. Meriwayatkan kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah, katanya:

meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Mushaffa, katanya: meriwayatkan kepada

kami Baqiyyah bin Al-Walid dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu

Umamah dari Nabi SAW., bahwa beliau berkata:

ُ ْ‫ت قَ ْلبُهُ يَوْ َم تَ ُمو‬


ُ‫ت القُلُوْ ب‬ ْ ‫َم ْن قَا َم لَ ْيلَتَى ال ِع ْي َدي ِْن يَحْ تَ ِسبُ هَّلِل ِ لَ ْم يَ ُم‬

“Barang siapa berdiri mengerjakan salat pada malam dua hari raya semata-mata

karena Allah, maka tidak akan mati hatinya pada hari semua hati mati.”

Para rawi diatas adalah stiqat. Hanya saja Tsaur bin Yazid dituduh sebagai

berpaham Qadariyah. Namun dalam kesempatan ini ia meriwayatkan hadis yang tidak

berkaitan dengan perilaku bidahnya itu sehingga tidak menghalangi kehujahannya.


27
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 64-65.
28
Syaikh Mama’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2010), 131.
Muhammad bin Mushaffa adalah shaduq dan banyak hadisnya sehingga Ibnu

Hajar menjulukinya sebagai seorang hafiz. Al-Dzahabi berkata, “Ia adalah tsiqat dan

masyhur. Akan tetapi, dalam beberapa riwayatnya terdapat banyak kemungkaran.”

Dalam sanad hadis diatas terdapat Baqiyah bin al-Walid. Ia adalah salah seorang

imam yang hafiz. Ia adalah shaduq, tetapi banyak melakukan tadlis dari para rawi

yang dhaif dan Muslim meriwayatkan hadis darinya hanya sebagai mutaba’ah. Dalam

kesempatan ini ia tidak menegaskan bahwa ia mendengarkan hadis tersebut secara

langsung dari Tsaur bin Yazid dan karenanya hadis ini menjadi dhaif.29

a. Dhaif dari sudut sandaran matannya.

Dhaif dari sudut sandaran matannya, maka hal ini terbagi dua macam, yaitu:

1. Hadits Mauquf, ialah Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa

perkataan, perbuatan dan taqrirnya44. Sebagai contoh Ibnu Umar berkata:

Bila kau berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi

hari, dan bila kau berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu

sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan

dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.” (Riwayat Bukhari)

2. Hadits Maqhtu, ialah Hadits yang diriwayatkan dari Tabi‟in, berupa

perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-

Tsaury, seorang Tabi‟in: “Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan

sembahyang 12 rakaat setelah sembahyang.”

b. Dhaif dari sudut matannya.

Hadits Syadz, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah

atau terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan

(kandungan Hadits) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat

29
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 301-302.
ketsiqahannya. Contohnya, “Rasulullah SAW, bila telah selesai sembahyang

sunnat dua rakaat fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang kanannya.”

Hadits Bukhari diatas yang bersanad Abdullah bin Yazid, Said bin Abi

Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a dan riwayat dari

rawi-rawi yang lain yang lebih tsiqah yang meriwayatkan atas dasar fiil

(perbuatan Nabi).

c. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian.

Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-Dhaifan tersebut kadang-kadang

terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk hadits

yaitu:

1. Hadits Maqlub,

ialah Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahkan hadits lain),

disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan. Tukar menukar yang

dikarenakan mendahulukan sesuatu pada satu dan mengakhirkan pada

tempat lain, adakalanya terjadi pada matan hadits dan adakalanya terjadi

pada sanad hadits. Contoh: Tukar menukar yang terjadi pada matan ,

Hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a Artinya: “... dan seseorang yang

bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan, hingga

tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh

tangan kirinya”. Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan Hadits riwayat

Bukhari atau riwayat Muslim Sendiri, pada tempat lain, yang berbunyi.

“(hingga tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan

tangan kanannya.)”. Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya


rawi Ka‟ab bin Murrah bertukar dengan Murrah bin Ka‟ab dan Muslim

bin Wahid, bertukar dengan Wahid dan Muslim.

2. Hadits Mudraf

Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.Secara terminologi

hadits mudraf ialah hadits yang didalamnya terdapat sisipan atau

tambahan.

3. Hadits Mushahhaf

Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan dengan hadits

yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya terdapat beberapa

huruf yang diubah. Pengubahan ini juga bias terjadi pada lafadz atau

pada makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna,

dan maksud semula.

d. Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama

Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-

sama yaitu: 1) Hadits Maudhu Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW

secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan

menetapkan.30 2) Hadits Munkar Ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh

seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang

diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur”31

e. Dhaif dari segi persambungan sanadnya

Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori Dhaif atau lemah dari sudut

persambungan sanadnya ialah: Hadits Mursal, Hadits Mungqathi‟, hadits

Mu‟dhal, dan Hadits Mudallas.

30
Ibnu Hajar Al-Kanani Al-Agalni, Subul Al-Salam, juz, I Dahlan Bandung, tt,hal.3
31
Ibnu Ash-Shaleh, Op.Cit.,hal. 212
1) Hadits Mursal Hadits

Mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi‟in. Yang dimaksud

gugur disini ialah nama sanad terakhir, yakni nama sahabat tang tidak

disebutkan, padahal sahabat adalah oang pertama menerima Hadits dari

Rasulullah SAW.

2) Hadits Mungqathi‟

Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang perawi atau pada sanad

tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya.32

3) Hadits Mu‟dhal

Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara berturut-turut, baik

(gugurnya itu) antara sahabat dengan tabi‟in, atau antara tabi‟in dengan

tabi‟in.33

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif bukan maudhu.

Adapun hadits dhaif bukan hadits maudhu‟ maka diperselisihkan tentang

boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini ada beberapa

pendapat:

1. Melarang secara mutlak

2. Membolehkan Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadits yang

memeperbolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk keutamaan amal,

memberikan 3 syarat:

a) Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan.

b) Dasar Amal yang ditunjukan oleh hadits Dhaif tersebut, masih dibawah

suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (Shahih atau

Hasan)

32
Utang Ranuwijaya,Op.Cit.,hal.185
33
Hasbi Ash-Shiddiqie, Dirayah Hadits, Bulan Bintang Jakarta, 1986, hal.257.
c) Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-

benar bersumber dari Nabi. Tetapi tujuan ikhtiyath (hati-hati) belaka.

Dari beberapa uraian diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa apabila

menggunakan hadits Dhaif untuk dijadikan suatu sugesti amalan maka

dapatlah kita pergunakan hal ini memotifasi bagi masyarakat.Untuk

memperbanyak amalan-amalannya,

Hadis-hadis dhaif dapat ditemukan pada beberapa karya/kitab seperti berikut:

1. Ketiga Mu’jam At-Thabarani: Al-Kabir, Al-Awsath, As-Shagir.

2. Kitab Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni. Di dalam hadis-hadis Al-Afrad terdapat

hadis-hadis Al-Fardu Al-Mutlaq, dan Al-Fardu An-Nisbi.

3. Kumpulan karya Al-Khatib Al-Baghdadi.

4. Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’ karya Abu Nu’aim Al-

Ashba’hani.34

BAB III
PENUTUP

Dari beberapa uraian diatas, maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1) Hadis ditinjau dari kualitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis

mardud. Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima. Hadis maqbul digolongkan

menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hadis hasan. Perbedaan antara hadis shahih dan

hadis hasan terdapat pada hafalan perawinya. Sedangkan hadis mardud ialah hadis yang

ditolak (tidak dapat diterima). Hadis mardud digolongkan menjadi hadis dhaif, yakni

hadis yang tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan.
34
Syaikh Mama’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2010), 132.
2) Hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yanga adil dan dhabit hingga

sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak berikat. Hadits shahih ini juga

terbagi menjadi dua macam yaitu shahih lizathihi dan shahih lighairi.

3) Hadits hasan merupakan hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, tapi kurang kuat

ingatannya yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil. Hadits hasan ini juga

terbagi menjadi dua yaitu: Hadits Shahih lizathihi dan Hadits Shahih li-ghairihi.

4) Hadits Dhaif adlah, Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih

dan hadits hasan. Atau dapat juga diartikan hadits yang kehilangan, satu syarat atau

lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penebit Teras, 2010)

At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, Bairut, 1980, hal.76

Hasbi Ash-Shiddiqie, Dirayah Hadits, Bulan Bintang Jakarta, 1986, hal.257.

Ibnu Hajar Al-Kanani Al-Agalni, Subul Al-Salam, juz, I Dahlan Bandung, tt

Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 141

Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 57.

Muhammad Jamal, ad-Din Al-Qasimi, Qowaid al-Tahdist Min Funun


Musthalahah al-Hadist, Dar al-Kutub, Bairut, 1979, hal.102
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Mustalahul Hadis (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1995), 31-32.

Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 240.

Syaikh Mama’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, terj. Mifdhol


Abdurrahman (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 132.

LAMPIRAN

1) Pertanyaan Bu Ana Bintari

“ Bagaimana cara kita menanggapi adanya hasil penelitian yang diterbitkan dalam

jurnal terkenal yang berisikan bahwa Hadis yang beredar adalah palsu, hanya sebuah

hasil besarnya ego Umat Muslim untuk menjaga eksistensinya. Upaya ini juga diiringi

adanya praktek kristenisasi, sehingga membahayakan keimanan anak-anak kita”

Jawab :

Tidak dipungkiri saat ini marak adanya isu-isu yang beredar untuk melemahkan

Agama Islam. Banyak orang-orang berusaha mencari celah untuk membuat wajah

Islam terlihat buruk di mata dunia. Bahkan salah satunya adalah hadis diteliti bukan
berasal dari Nabi Muhammad melainkan hasil rekayasa umat Islam sendiri. Hal ini

membuat umat Muslim sedikit terusik. Dan mengkhawatirkan keimanan umat Muslim

yang belum kuat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membentengi diri,

dan keluarga di dalam ruang lingkup kecil. Penguatan agama dilakukan rutin

dilakukan di dalam rumah. Selanjutnya dalam ruang lingkup masyarakat, perlu

adanya kajian-kajian tentang isu-isu terkini. Sehingga masyarakat juga melek tentang

informasi baik di dalam dan luar negeri, begitu pula bagaimana cara menanggapinya.

Kemudian kita sebagai kaum intelektual dituntut memberikan sumbangsih berupa

pemikiran maupun penelitian, tulisan yang menanggapi atas pemberitaan negative

atas Agama Islam. Jika kita tidak tinggal diam diri. Mungkin berita-berita negative itu

tidak mudah menyebar dan agama Islam tetap kuat dan eksis.

2) Pertanyaan Bu Rina

“Bagaimana penggunaan Hadis Dhaif, kapan bisa digunakan?

Jawab:

Hadis Dhaif hanya bisa digunakan sebagai penyemangat dalam ibadah atau sebagai

amalan-amalan. Namun tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam beribadah

kepada Allah. Kita sebagai umat Muslim jika ingin menjadikan hadis sebagai

landasan maka menggunakan hadis Shahih atau Hadis Hasan. Namun yang utama

adalah Hadis Shahih.

Anda mungkin juga menyukai