Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“IBADAH PUASA DAN ESENSINYA”


Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183-184
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Tafsir Tematik

Dosen Pengampu :
Pahruraji, M.Pd.

Disusun Oleh : Kelompok 6


Halimah NIM. 2022110005
Rahmat NIM. 2022110021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
SYEKH MUHAMMAD NAFIS
TABALONG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah atas segala limpahan rahmat dan karunia Allah
SWT. Berkat ridho-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan
tepat waktu. Tidak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW, beserta kepada keluarga, kerabat, dan sahabat beliau
hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas makalah Tafsir
Tematik dengan judul “Ibadah Puasa Dan Esensinya”. Dan hasil makalah ini
semoga dapat berguna bagi pembaca untuk menambah wawasan pembaca. Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah seharusnya penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Pahruraji, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Tafsir
Tematik dan seluruh pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis memohon maaf apabila di dalam makalah ini banyak
terdapat kekurangan dan kesalahan. Kritik dan saran sangat di perlukan penulis
agar bisa memperbaiki lebih baik makalah ini. Akhir kata penulis mengharapkan
semoga makalah ini dapat menambah wawasan pembaca dan memenuhi harapan
bagi penulis maupun rekan-rekan mahasiswa/mahasiswi lainnya sebagai
perbaikan untuk kedepan nya.

Tabalong, 15 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................... 1

BAB II: PEMBAHASAN .............................................................................. 2

A. Al-Baqarah Ayat 183-184 ........................................................... 2


1. Ayat ........................................................................................ 2
2. Terjemah ................................................................................. 2
3. Kosa Kata Terpisah ................................................................. 2
4. Asbabun Nuzul ....................................................................... 3
5. Analisis Ayat .......................................................................... 4
6. Hukum .................................................................................... 15

BAB III: PENUTUP ...................................................................................... 20

A. Kesimpulan ................................................................................. 20
B. Saran ........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan
dilaksanakan oleh manusia sebelum Islam.1 Puasa (shaum) menurut bahasa
adalah al-imsak (menahan).2 Sedangkan menurut istilah, puasa adalah
menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai
dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa
syarat.3

Puasa adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Dalam
berpuasa kita diatih untuk menjadi pribadi yang bertakwa, seperti apa yang
disampaikan oleh Allah swt., pada akhir ayat mengenal kewajiban
berpuasa,"agar kalian bertakwa." Pada ayat 183 surah Al-Baqarah terdapat
perintah akan wajibnya berpuasa dan pada ayat-ayat selanjutnya terdapat
penjelasan-penjelasan khusus terkait puasa. Melihat hal ini disebutkan secara
khusus di Al-Quran menandakan bahwasanya ibadah puasa adalah ibadah
yang istimewa, karena Allah SWT sendiri lah yang mengatur hukum-hukum
yang berkaitan dengannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asbabun nuzul Al-Baqarah ayat 183-184?
2. Bagaimana Tafsir Al-Baqarah ayat 183-184?
3. Apa hukum yang terkandung di dalam Al-Baqarah ayat 183-184?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui asbabun nuzul Al-Baqarah ayat 183-184.
2. Mengetahui tafsir Al-Baqarah ayat 183-184.
3. Mengetahui hukum yang terkandung di dalam Al-Baqarah ayat 183-184.

1
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 1.
2
Ramli Abdul Wahid, Fikih Ramadan, (Medan: Perdana Publishing, 2010), Cet. 1, h.2.
3
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2014), h. 220.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Surah Al-Baqarah Ayat 183-184


1. Ayat
‫ک ۡم لَعَلَّ ُك ۡم‬
ُ ‫علَى الَّذ ِۡينَ ِم ۡن قَ ۡب ِل‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫الصيَا ُم َک َما ُكت‬ ِ ‫علَ ۡي ُک ُم‬ َ ِ‫يٰٓـاَيُّ َها الَّذ ِۡينَ ا َمنُ ۡوا ُكت‬
َ ‫ب‬
ؕ‫سفَر فَ ِعدَّة ِم ۡن اَيَّام اُخ ََر‬ َ ‫على‬ َ ‫ضا ا َ ۡو‬ً ‫)اَيَّا ًما َّمعۡ د ُۡودت َف َم ۡن َكانَ ِم ۡن ُك ۡم َّم ِر ۡي‬۱۸۳( َ‫تَتَّقُ ۡو َۙن‬
‫ع خ َۡي ًرا فَ ُه َو خ َۡير لَّه ؕ َوا َ ۡن‬ َ ‫علَى الَّذ ِۡينَ ي ُِط ۡيقُ ۡونَه فِ ۡديَة‬
َ َ ‫طعَا ُم ِم ۡس ِك ۡين فَ َم ۡن ت‬
َ ‫ط َّو‬ َ ‫َو‬
)۱۸٤ ( َ‫ص ۡو ُم ۡوا خ َۡير لَّـ ُک ۡم ا ِۡن ُك ۡنت ُ ۡم ت َعۡ لَ ُم ۡون‬
ُ َ‫ت‬
2. Terjemah

Artinya:

”Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit
atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti)
sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.
Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib rnembayar fidyah,
yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itu lebih baik baginya, dan
puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah:
183-184)

3. Kosa Kata

Arti Lafal Arti Lafal


Wahai orang-
beriman ‫ا َمنُ ْوا‬ َ‫ٰٓيـاَيُّ َها الَّذ ِۡين‬
orang yang
Telah
Atas kamu ‫َعلَ ْي ُك ُم‬ َ ِ‫ُكت‬
‫ب‬
diwajibkan
Sebagaiana
diwajibkan َ ِ‫َك َما ُكت‬
‫ب‬ berpuasa ‫الصيَا ُم‬
ِ

2
Sebelum Atas orang-
‫ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم‬ َ‫َعلَى الَّ ِذيْن‬
kamu orang yang
bertakwa َ‫تَتَّقُ ْون‬ Agar kamu ‫لَ َعلَّ ُك ْم‬
(yaitu) beberapa
Yang tertentu ‫َّم ْعد ُْودت‬ ‫أَيَّا ًما‬
hari
Di antara Maka barang
‫َكانَ ِم ْن ُك ْم‬ ‫فَ َم ْن‬
kamu siapa
Atau dalam
perjalanan
(lalu tidak َ ‫أ َ ْو َعلى‬
‫سفَر‬ sakit ‫َّم ِر ْيضًا‬
berpuasa)
Maka (wajib
Pada hari-hari ‫ِم ْن أَيَّام‬ mengganti) ‫فَ ِعدَّة‬
bilangan hari itu
Dan bagi
َ‫َو َعلَى الَّ ِذيْن‬ Yang lain ‫أُخ ََر‬
orang yang
Wajib
Berat
membayar ‫فِدْيَة‬ ‫ي ُِط ْيقُ ْونَه‬
menjalankannya
fidyah
(yaitu memberi)
Tetapi barang َ
‫فَ َم ْن‬ makan seorang ‫ط َعا ُم ِم ْس ِكيْن‬
siapa
miskin
Dengan
kebajikan ‫َخي ًْرا‬ kerelaan hati ‫ع‬ َ َ‫ت‬
َ ‫ط َّو‬
mengerjakan

kebajikan ‫َخيْر‬ Maka itu ‫فَ ُه َو‬

Dan puasamu
ُ َ‫َوأ َ ْن ت‬
‫ص ْو ُم ْوا‬ baginya ‫ألَه‬
itu

Bagimu ‫لَّ ُك ْم‬ Lebih baik ‫َخيْر‬

mengetahui َ‫تَ ْعلَ ُم ْون‬ Jika kamu ‫إِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬

4. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'id, dalam Thabaqat-nya, dari Mujahid
berkata, “Ayat ini turun pada orang yang memerdekakan Qais bin As-
Saib, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan

3
seorang miskin." Maka ia tidak melaksanakan puasa dan ia memberi
makan seorang setiap satu hari satu orang miskin.4
5. Analisis Ayat
Ayat puasa dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang
memiliki iman walau seberat apapun. Ia dimulai dengan satu pengantar
yang mengundang setiap mukmin untuk sadar akan perlunya
melaksanakan ajakan itu. Ia dimulai dengan panggilan mesra, Wahai
orang-orang beriman.5
Kemudian, dilanjutkan dengan menjelaskan kewajiban puasa
tanpa menunjuk siapa yang mewajibkannya, Diwajibkan atas kamu.
Redaksi ini tidak menunjuk siapa yang mewajibkan. Agaknya untuk
mengisyaratkan bahwa apa yang akan diwajibkan ini sedemikian penting
dan bermanfaat bagi setiap orang, seandainya bukan Allah yang
mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkannya
sendiri. Yang diwajibkan adalah ash-shiyam yakni menahan diri.6
Untuk ayat pertama, terdapat enam masalah:
Pertama: Firman Allah SWT "Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa." Setelah disebutkan apa yang diwajibkan
atas para mukallaf, dari mulai hukuman qishash, wasiat, lalu disebutkan
pula setelahnya bahwa mereka diwajibkan untuk berpuasa. Tidak ada
perbedaan pendapat mengenai keharusan dan kewajiban berpuasa ini,
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,

‫ّللاُ َوأ َ َّن‬


َّ ‫ش َهادَةِ أ َ ْن َل إِلَهَ إِ َّل‬ ِْ ‫ي‬
َ ‫اْلس ََْل ُم َعلَى خ َْمس‬ َ ِ‫سلَّ َم بُن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ّللاِ قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫ّللا‬ َّ ُ ‫قَا َل َع ْبد‬
َ‫ضان‬
َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ ِ ‫الزكَاةِ َو َحجِ ْالبَ ْي‬
َ ‫ت َو‬ َّ ‫سولُهُ َوإِقَ ِام ال‬
َّ ‫ص ََلةِ َوإِيت َِاء‬ ُ ‫ُم َح َّمدًا َع ْبدُهُ َو َر‬

“Abdullah (Ibnu Umar) Radhiyallahu‘anhuma berkata: Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Islam dibangun di atas lima

4
Imam As-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 46.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2017), Cet.1, h.
484.
6
Ibid, h. 485.

4
(tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad
adalah hamba Allah dan RasulNya, menegakkan shalat, membayar zakat,
hajji, dan puasa Ramadhan.”
Makna shaum (berpuasa) menurut etimologi bahasa adalah
menahan. Adapun makna shaum menurut syariat (menurut terminologi
para ulama) adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dengan
menyertakan niat yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari. Kemudian disempurnakan dengan menjauhi hal-hal yang
dilarang, dan tidak melakukan hal-hal yang diharamkan.7
Kedua: Fadhilah berpuasa sangatlah besar, dan pahalanya pun
sangat berlimpah. Shaum telah dikhususkan oleh Allah SWT dengan
melekatkan shaum kepada-Nya. Seperti yang disebutkan dalam hadits
qudsi,
‫ام ه َُو ِلي َوأَنَا أَجْ زي بِ ِه‬ َّ ‫ّللاُ َع َّز َو َج َّل ُك ُّل َع َم ِل اب ِْن آدَ َم لَهُ إِ َّل ال‬
َ َ‫صي‬ َّ ‫يَقُو ُل‬

"Allah SWT berfirman: setiap perbuatan anak cucu Adam adalah untuk
mereka sendiri, berbeda dengan puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan
Aku lah yang akan memberi ganjarannya." Al hadits.
Adapun penyebab puasa ini dikhususkan untuk-Nya, karena ada dua
hal yang membedakan puasa dengan ibadah-ibadah lainnya:
a. Puasa dapat menghindarkan pemuasan jiwa dan pemenuhan nafsu
syahwat, yang tidak dapat dilakukan oleh ibadah lainnya.
b. Puasa adalah rahasia seorang hamba dengan Tuhannya, yang tidak
mampu dilihat kecuali oleh dirinya sendiri. Karena itulah puasa
memiliki makna yang sangat spesial. Adapun ibadah lainnya adalah
ibadah yang dapat dilihat, bisa jadi seseorang melakukannya hanya
untuk dilihat oleh orang lain atau riya.8
Ketiga: Firman Allah SWT. ‫ب َعلَى الَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل ُك ْم‬
َ ‫" َك َما ُك ِت‬Sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu." Huruf kaaf pada ayat ini

7
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2013),
Cet. 2, h. 625.
8
Ibid, h. 626.

5
terletak pada posisi nashab (berharakat fathah) karena kata ini adalah
sambungan dari kata sebelumnya. Perkiraan yang seharusnya adalah kata
‫ كتابا كما‬atau ‫ص ًما كما‬. Atau, kata ini bisa juga sebagai keterangan dari kata
‫ الصيام‬yakni: diwajibkan atas kamu berpuasa mirip seperti diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu berpuasa.
Beberapa ahli ilmu nahwu berpendapat bahwa huruf kaf disini
menempati posisi rafa (berharakat dhammah) sebagai sambungan dari
kata ‫الصيام‬, karena kata ini tidak hanya memiliki definisi secara bahasa
saja dan cakupannya yang hanya dapat dijelaskan dalam syariat. Oleh
karena itu, kata ini dapat disambungkan dengan kata ‫كما‬, dimana kata ini
tidak dapat di sambungkan kecuali dengan kata nakirah. Hanya dengan
seperti itu maka kata ini dapat disejajarkan dengan kalimat sebelumnya.
Namun, pendapat ini dianggap lemah.
Adapun kata ‫م‬ setelah huruf tasybih (‫ )ك‬terletak pada posisi
khafadh (berharakat kasrah), dan sambungannya adalah kalimat: ‫ب َعلَى‬
َ ‫ُك ِت‬
‫ الَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل ُك ْم‬sedangkan dhamir pada kata ‫ ُك ِتب‬kembali pada kata ‫م‬.
Keempat: Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang
menjadi persamaan pada kedua kalimat tersebut. Asy-Sya'bi, Qatadah,
dan ulama lainnya berpendapat bahwa persamaan diantara kedua kalimat
itu adalah waktu saat berpuasa dan lamanya berpuasa. Sebenarnya Allah
SWT telah mewajibkan atas kaum Nabi Musa AS dan kaum Nabi Isa AS
untuk berpuasa Ramadhan, namun mereka mengubahnya. Diantara para
ulama mereka ada yang menambahkan sepuluh hari, lalu suatu ketika ada
beberapa ulama mereka diserang penyakit, lalu mereka bernadzar, jika
mereka diberikan kesembuhan oleh Allah SWT maka mereka akan
menambahkan puasa mereka sepuluh hari lagi. Lalu setelah mereka
sembuh mereka benar-benar melakukannya. Oleh karena itulah puasa
orang-orang Nashrani menjadi lima puluh hari.
Ulama lainnya berpendapat bahwa persamaannya hanya terdapat
pada sifat dari puasa itu sendiri, yaitu menahan lapar dan haus. Hanya
saja larangan untuk berhubungan suami istri tidak hanya dilarang di siang

6
hari saja, namun juga di malam hari. Begitulah puasa yang dilakukan
oleh ajaran kaum Nasrani, yang kemudian diterapkan juga pada awal
turunnya agama Islam. Lalu Allah SWT membolehkannya dan menasakh
pelarangan ini dengan firman-Nya “Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu." (Qs Al Baqarah
(2):187).9
Kelima: Firman Allah SWT. "Agar kamu bertaqwa.” Untuk kata
َ‫ تَتَّقُون‬pada ayat ini maknanya adalah bertambah (yakni bertambah
ketakwaannya). Karena selama seseorang berkurang jatah makannya
maka akan semakin berkurang syahwatnya, dan selama berkurang
syahwatnya maka akan semakin berkurang juga perbuatan maksiatnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa maknanya dari kata َ‫ تَتَّقُون‬pada
ayat ini adalah agar terhindar dari perbuatan maksiat. Dan ada pula yang
berpendapat bahwa maknanya adalah untuk umum, yakni ketakwaan
secara umum. Karena berpuasa itu seperti sabda Rasulullah SAW.
"Puasa itu adalah penjagaan dan pemeliharaan (diri). Dan puasa juga
adalah penyebab dari ketakwaan, karena pasa akan mematikan syahwat
orang yang berpuasa.10
Keenam: Firman Allah SWT. “(yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu." Al Farra' menafsirkan bahwa kata ‫ أَيَّا ًما‬adalah objek kedua dari
َ ِ‫ ُكت‬. Ada pula yang mengatakan bahwa kata ‫ أَيَّا ًما‬ini berharakat
kata ‫ب‬
َ ِ‫ ُكت‬yakni
fathah karena ia sebagai keterangan waktu untuk kata ‫ب‬
diwajibkan atas kamu berpuasa pada beberapa hari. Dan beberapa hari
yang tertentu ini adalah selama satu bulan Ramadhan.11
Untuk potongan pertama dari ayat kedua ini, terdapat enam belas
masalah:
Pertama: Firman Allah SWT “Maka jika diantara kamu ada yang
sakit." Keadaan orang yang sakit terbagi menjadi dua, yang pertama
adalah ia sama sekali tidak mampu untuk melaksanakan ibadah puasa.

9
Ibid, h. 628.
10
Ibid, h. 630.
11
Ibid, h. 631.

7
Jika demikian adanya, maka ia diwajibkan untuk berbuka Dan yang
kedua adalah ia mampu untuk melaksanakan ibadah puasa dengan sedikit
kesulitan atau berpengaruh pada sakit yang dideritanya. Jika demikian
adanya, maka orang ini disunahkan untuk berbuka.
Adapun pendapat dari jumhur ulama adalah Jika seseorang
memiliki suatu penyakit yang membuatnya menderita, atau membuatnya
sakit, atau khawatir penyakitnya akan menjalar atau bertambah parah,
maka in dibenarkan untuk berbuka, kecuali yang telah dikhususkan oleh
dalil, yaitu semacam penyakit pusing, demam, atau penyakit remeh
lainnya yang sama sekali tidak berpengaruh dengan puasa.
Satu kalangan berpendapat bahwa seseorang tidak diperbolehkan
untuk berbuka puasa karena sakitnya kecuali jika penyakit itu sendiri
yang memaksa dirinya untuk berbuka. Oleh karena itu, jika orang
tersebut masih dapat menahan rasa sakitnya, maka ia tidak diperbolehkan
untuk berbuka puasa Ini adalah pendapat dari Asy-Syafi'i.12
Kedua: Firman Allah SWT, “Atau dalam perjalanan.” Para ulama
berbeda pendapat mengenai perjalanan yang diperbolehkan untuk
berbuka puasa ataupun untuk mengqashar shalat, setelah mereka sepakat
bahwa perjalanan yang diperbolehkan untuk berbuka puasa adalah
perjalanan untuk ketaatan kepada Allah SWT, seperti perjalanan haji
ataupun untuk berjihad. Dan yang juga berhubungan dengan kedua
perjalanan ini adalah perjalanan bersilaturahim dan mencari rezeki yang
utama (bukan untuk bermewah mewahan).
Adapun mengenai jarak tempuh yang diperbolehkan untuk berbuka
puasa, imam Malik mengatakan bahwa sama seperti jarak diperbolehkan
untuk mengqahar shalat. Kemudian setelah itu para ulama berbeda
pendapat mengenai batasannya. Imam Malik berpendapat bahwa jarak
yang ditempuh sejauh empat puluh delapan mil.

12
Ibid, h. 632.

8
Ada pula riwayat darinya yang mengatakan jaraknya adalah dua
hari perjalanan. Dan pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syafi'.
Namun terkadang imam Asy-Syafi'i memisahkan antara jarak yang
digunakan di darat dan di laut. Untuk jarak yang digunakan di darat
mengatakan bahwa jarak perjalanan sehari semalam. Sedangkan untuk
jarak yang digunakan di lautan ia mengatakan bahwa jaraknya adalah
empat puluh delapan mil.13
Ketiga: Para ulama sepakat bahwa seorang yang mengadakan
perjalanan bulan Ramadhan tidak boleh berniat untuk tidak berpuasa
terlebih dahulu, kama seorang musafir tidak disebut demikian karena
niatnya. Seorang musafir akan disebut deng musafir tatkala ia telah
memulai perjalanannya atau berangkat dari tempatnya.
Lalu, para ulama juga sepakat bahwa orang yang berencana ingin
mengadakan perjalanan tidak diperbolehkan untuk berbuka sebelum ia
keluar dari rumahnya. Namun jika ia melakukannya (atau berbuka hanya
dengan berencana untuk mengadakan perjalanan), Ibnu Hubaib
berpendapat jika ia berencana, dan telah mempersiapkan barang
bawaannya, dan gerakan yang dilakukannya pun menunjukkan bahwa ia
akan bepergian jauh, maka yang demikian itu tidak mengapa. Pendapat
ini juga disetujui oleh Ashbagh bin Al Majisyun, la menambahkan: Jika
ada suatu halangan yang membuatnya tidak meneruskan niatnya itu maka
ia harus membayar kaffarat.
Sedangkan pendapat dari Isa yang diriwayatkannya dari Ibnu
Qasim berkata: Jika demikian, maka ia hanya diwajibkan untuk
membayar puasanya satu hari, karena ia telah berbuka hanya dengan
niatnya saja.
Begitulah yang disampaikan oleh Az-Zahri, Makhul, Yahya, Al
Anshari, Malik, Al Auza'I, Asy-Syafi'i, Abu Tsaur, dan pengikut
madzhab Hanaf Namun setelah itu mereka berbeda pendapat jika orang
tersebut tetap tidak berpuasa. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa

13
Ibid, h. 634.

9
ia harus mengganti puasanya itu di hari yang lain, namun ia tidak terkena
hukuman kaffarat. Imam Malik beralasan karena perjalanan yang
dilakukannya adalah alasan untuk berbuka yang datang secara tiba-tiba,
seperti halnya orang yang sakit.14
Keempat: Para ulama juga berbeda pendapat mengenai mana
yang lebih baik bagi seseorang yang sedang dalam perjalanan, apakah
berpuasa atau lebih baik tidak?
Sebuah riwayat dari Imam Malik dan Asy-Syafi'i menyebutkan
berpuasa tetap yang lebih baik bagi orang yang kuat untuk melakukannya
Sedangkan madzhab mereka mengatakan bahwa orang tersebut diberi
penghormatan untuk memilih antara keduanya. Riwayat lain dari Any-
Sydn yang diikuti oleh para pengikutnya juga mengatakan bahwa orang
tersebut boleh memilih antara berpuasa atau tidak.
Diriwayatkan dari dua sahabat Rasulullah SAW, Utsman bin Abi
Al Ash At-Taqafi dan Anas bin Malik, mereka berkata: berpuasa bagi
orang yang melakukan perjalanan adalah lebih baik bila ia mampu
mengerjakannya.15
Kelima: Firman Allah SWT, "Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." Didalam
kalimat ini ada penghapusan kalimat, yakni kalimat: "Kemudian ia
berbuka puasa." Dan perkiraan yang seharusnya pada ayat ini adalah
"Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, lalu ia
berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari lain.”
Jumbur ulama sepakat bahwa jika ada seseorang yang sakit dari
suatu negri selama sebulan penuh, dan negeri tersebut berpuasa selama
dua puluh sembilan hari, maka orang tersebut juga hanya diwajibkan
untuk berpuasa dua puluh sembilan hari saja.16

14
Ibid, h. 635.
15
Ibid, h. 641.
16
Ibid, h. 642.

10
Keenam: Firman Allah SWT, marfu’nya (harakat dhammah) ‫فَ ِعدَّة‬
pada kata ini disebabkan karena ia berposisi sebagai khabar (predikat)
dari kalimat tersebut, dan prediksi mubtada (subjek) yang seharusnya
adalah diwajibkan, atau ditetapkan, atau atasnya (atasnya jumlah yang
ditinggalkan).
Al Kisa'i berpendapat: Kata ini juga dapat dibaca manshub
(berharakat fathah) َ ‫فَ ِعدَّة‬, sebagai objek dari kata kerja, yakni: maka
berpuasalah kamu sesuai dengan hari yang ditinggalkan. Ulama lain
berpendapat kata ‫فَ ِعدَّة‬, sebenamya mulhaf dan mudhaf ilaih dengan kata
puasa, namun kata puasa ini dihapuskan, dan kata ‫فَ ِعدَّة‬, menempati
posisinya.17
Ketujuh: Para ulama berbeda pendapat mengenai pengganti hari
yang ditinggalkan, apakah harus dilakukan secara kontinyu (tidak
terputus) atau boleh memakai jeda waktu. Pendapat ini terbagi menjadi
dua, yang keduanya disebutkan oleh Ad-Daraquthni dalam kitab
sunannya. Ia meriwayatkan dari Aisyah RA, ia pernah berkata:
sebelumnya, ayat ini diturunkan dengan tambahan kata ‫( ُمتَّتَ ِب َعا ت‬kontinyu)
setelah kata ‫ اُخ ََر‬lalu kata ini dihilangkan.
Pendapat ini disampaikan oleh Malik dan Asy-Syafi'i. Dalil
pendapat ini adalah firman Allah SWT. “Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang di tinggalkan itu pada hari-hari yang
lain.”Ayat ini tidak menyebutkan adanya berturut-turut ataupun tidak.
Jika orang tersebut melakukannya secara terpisah maka ia telah
mambayar puasanya di hari selain Ramadhan seperti yang disebutkan
didalam ayat tadi, maka dari itu ia diperbolehkan.18
Kedelapan: Firman Allah SWT. “Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain.” Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban qadha puasa tidak

17
Ibid, h. 643.
18
Ibid, h. 644.

11
ditentukan waktunya secara pasti, karena tidak ada dalam ayat ini sebuah
kata yang mengkhususkan suatu hari untuk mengqadha puasa.
Beberapa ahli ilmu Ushul figh berkata, jika ia wafat setelah ia
melewati hari kedua bulan Syawwal tanpa berpuasa, maka ia tidak
dianggap telah bermaksiat, karna ia telah berniat untuk mengganti
puasanya. Bahkan sama sekali tidak lalai dan tidak pula berdosa. Ini
adalah pendapat dari jumhur ulama. Hanya saja, para ulama sepakat
bahwa orang tersebut disarankan untuk menyegerakan qadha puasanya,
agar ia tidak diburu oleh kewajibanya sendiri.19
Kesembilan: Barangsiapa yang memiliki utang puasa Ramadhan,
lalu hari-hari pun berlalu tanpa disadarinya dari mulai hari kedua bulan
Syawwal padahal ia mampu untuk membayamya, namun ia terus
mengundur-undur kewajibannya itu hingga ia terbentur dengan
penghalang yang menghalanginya untuk membayar utang puasanya itu,
hingga sampai bulan Ramadhan selanjutnya, maka menurut orang-orang
Baghdad yang bermadzhab Maliki, ia tidak wajib dikenakan kaffarat.
Mereka berpendapat orang tersebut tidak dianggap sebagai orang yang
lalai, karena ia telah melakukan hal yang diperbolehkan baginya. Ibnu
Al Qasim pun menyetujui pendapat ini.20
Kesepuluh: Jika orang tersebut melewati bulan Sya'ban untuk
mengqadha puasanya, sedangkan bulan Sya'ban adalah bulan terakhir
untuk mengqadha puasa Ramadhan, maka apakah ia diwajibkan
membayar kaffarat atau tidak?
Imam Malik, Asy-Syafi'i, imam Ahmad, dan Ishak berkata: ya, ia
harus membayar kaffarat. Sedangkan imam Abu Hanifah, Hasan, An-
Nakha’i dan Dand berpendapat tidak harus membayar kaffarat.21
Kesebelas: Jika penyakit seseorang berlangsung lama dan tidak
kunjung sembuh hingga datang Ramadhan selanjutnya, maka riwayat
Ad-Daraquthni dari Ibnu Umar menyebutkan, bahwa ia hanya harus

19
Ibid, h. 646.
20
Ibid, h. 647.
21
Ibid, h. 648.

12
memberi makan satu orang miskin untuk mengganti setiap hari puasa
yang ditinggalkannya, sebanyak sata mud (jenis takaran, kira-kira 6 ons)
dari biji gandum, dan ia tidak perlu mengqadha puasanya.22
Kedua belas: Para ulama yang mewajibkan pembayaran puasa
dengan cara kafarat (memberi makan orang miskin) berbeda pendapat
mengenai ukuran yang harus diberikan. Pendapat dari Abu Hurairah, Al
Qasim bis Muhammad, Malik, dan Asy-Syafi'i, berkata, "Yang harus
diberikan setiap harinya adalah satu mud." Sedangkan Ats-Tsauri
berkata, "Yang harus diberikan setiap harinya adalah satu sha’ (satu
gantang)."23
Ketiga belas: Para ulama juga berbeda pendapat mengenai orang
yang membatalkan puasa qadha Ramadhannya dengan cara bersetubuh
ataupun yang lainnya, bagaimana hukumnya?
Imam Malik berpendapat: Barangsiapa yang berbuka puasa pada
hari ia mengqadha puasa Ramadhannya karena lupa, maka ia tidak
dikenakan hukuman apapun kecuali ia harus mengganti puasanya di hari
yang lain. Adapun jika berbukanya itu karena sengaja, maka ia telah
berdosa, namun ia juga tidak dikenakan hukuman apapun kecuali ia harus
mengganti puasanya di hari yang lain. Sedangkan hukuman kaffarat,
Malik dan para pengikutnya tidak ada yang berbeda pendapat, bahwa ia
tidak wajib dikenakan hukum kaffarat Pendapat ini sama seperti pendapat
jumhur ulama.24
Keempat belas: Jumhur ulama sepakat bahwa seseorang yang
batal puasanya di bulan Ramadhan karena sakit yang dideritanya,
kemudian karena penyakit itu ia meninggal dunia sebelum membayar
puasanya, atau seseorang yang batal puasanya di bulan Ramadhan
karena bepergian, kemudian dalam perjalanannya itu ia meninggal dunia
sebelum membayar puasanya, maka mereka tidak dikenakan hukuman
apapun.

22
Ibid, h. 649.
23
Ibid, h. 650.
24
Ibid, h. 650.

13
Setelah itu, Thawus dan Qatadah berpendapat mengenai seseorang
yang membatalkan puasanya karena sakit, lalu ia meninggal dunia
sebelum kembali sehat, maka (ahli warisnya) diwajibkan untuk
mambayarkan kaffaratnya.
Kelima belas: Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang
meninggal dunia yang memiliki utang puasa Ramadhan yang belum
dikerjakannya. Imam Malik, Asy-Syafi'i, dan Ats-Tauri berpendapat
Tidak seorangpun yang dapat menggantikan puasa orang lain. Sedangkan
imam Ahmad, Ishak, Abu Tsaur, Al-Laits, Abu Ubaid, dan pengikut
madzhab Zhahiri berpendapat Puasanya itu boleh digantikan oleh orang
lain. Hanya saja para ulama yang membolehkan ini hanya
mengkhususkan puasa nadzar saja. Dan sebuah riwayat dari Asy-Syafi'i
pun setuju dengan pendapat ini. Sedangkan untuk puasa Ramadhan,
imam Ahmad dan Ishak berkata, puasanya dapat digantikan dengan
memberikan makan kepada orang miskin.25
Keenam belas: Beberapa ulama menggunakan ayat ini sebagai
dalil untuk pendapat mereka yang berkata: sesungguhnya ibadah puasa
tidak sah jika dilakukan oleh musafir yang sedang melakukan
perjalanannya, dan ia harus mengqadha puasa selamanya. Karena jelas
sekali Allah SWT berfirman, “Maka jika diantara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain"
Yakni ia harus mengganti puasa yang ditinggalkannya.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW "Berpuasa dalam
perjalanan bukanlah sebuah kebajikan." Mereka berkata: jika tidak
termasuk kebajikan maka hal itu adalah perbuatan dosa. Dengan
demikian, maka berpuasa di bulan Ramadhan bagi orang yang
melakukan perjalanan tidak diperbolehkan.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat: Dalam ayat tersebut
terdapat penghapusan kalimat "lalu ia berbuka" sebagaimana yang telah

25
Ibid, h. 651.

14
dijelaskan sebelumnya. Dan pendapat inilah yang paling benar. Dalilnya
adalah riwayat dari Anas, ia berkata: Kami pemah bepergian bersama
Rasulullah SAW. pada bulan Ramadhan, saat itu orang yang berpuasa
tidak mencela orang yang tidak berpuasa, dan orang yang tidak berpuasa
juga tidak mencela orang yang berpuasa Diriwayatkan oleh imam Malik
dan Humaid Ath-Thawil, dari Anas.26
6. Hukum
a. Puasa punya keutamaan dan pahala yang besar. Cukup menjadi
keutamaannya bahwa Allah memilihnya secara khusus sebagai (satu-
satunya) amal yang diidhafahkan kepada-Nya.
b. Puasa mempersiapkan jiwa untuk ketakwaan. Puasa adalah sebab
munculnya ketakwaan kepada Allah, karena ia mematikan syahwat,
dan juga karena sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, "puasa
adalah pelindung dari maksiat dan pelemah nafsu birahi."
c. Orang sakit dan musafir boleh tak berpuasa di bulan Ramadhan, dan
keduanya wajib mengqadha pada waktu yang lain. Penyakit yang
membolehkan untuk tak berpuasa, menurut mayoritas fukaha adalah
yang mengakibatkan mudarat pada jiwa atau menambah parahnya
penyakit. Yang diperhitungkan dalam hal itu adalah dugaan yang kuat.
Standar inilah yang sesuai dengan hikmah rukhshah dalam ayat ini,
yaitu menghendaki kemudahan dan menolak kesukaran. Lahiriah ayat
ini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan adalah penyakit apa pun,
yang bisa disebut "penyakit", dan ini adalah pendapat Ibnu Sirin,
Atha', dan Imam Bukhari.
Adapun perjalanan yang membolehkan untuk tak berpuasa
adalah yang membolehkan untuk mengqashar shalat empat rakaat.
Ukurannya menurut jumhur adalah enam belas farsakh atau 48 mil
Hasyimi, atau sejauh perjalanan dua hari dengan kecepatan normal
atau dua marhalah dengan jalan kaki, baik laut sama dengan darat.
Dalil mereka adalah riwayat Imam Syafi'i dari Ibnu Abbas r.a, ia
berkata: "Wahai penduduk Mekah, janganlah kalian mengqashar

26
Ibid, h. 654.

15
shalat dalam jarak kurang dari empat bariid dari Mekah ke Usfan."
Para ulama memperkirakan jarak tersebut 89 km.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tak berpuasa adalah


rukhshah. jadi, terserah musafir apakah mau berpuasa atau tidak. Abu
Dawud, dalam Sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah bahwa Hamzah
al-Aslami bertanya kepada Nabi saw., "Wahai Rasulullah, apakah
saya boleh berpuasa dalam perjalanan?" Beliau bersabda, "Berpuasa
atau tidak, terserah padamu." Sejumlah sahabat (lbnu Abbas, Abu
Sa'id al-Khudri, Anas bin Malih fabir bin Abdullah, Abu Darda', dan
Salamah) meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau pernah berpuasa
dalam perjalanan, dan para sahabat pun berpuasa bersama Nabi saw.
di bulan Ramadhan pada tahun penaklukan Mekah, kemudian beliau
bersabda kepada mereka. "Kalian sudah dekat dengan musuh, dan
berbuka akan lebih membuat kalian kuat, maka berbukalah."

Mayoritas imam madzhab menetapkan bahwa puasa, bagi


musafir yang kuat menjalaninya, lebih afdhal. Dalilnya adalah firman
Allah Ta'ala "Dan berpuasa lebih baik bagimu." Artinya, puasa
kalian, wahai orang-orang yang sakit dan para musafir serta orang-
orang yang bisa menjalaninya dengan susah payah, lebih baik bagi
kalian ketimbang membayar fidyah, sebab dengan puasa itu kalian
memerangi nafsu, membuktikan kekuatan iman, dan menyadari
pengawasan Allah. Sedangkan Ahmad, al-Auza'i, dan sejumlah ulama
lain berpendapat bahwa tak berpuasa lebih afdhal, dengan dalil
firman-Nya, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu."27

d. Firman Allah Ta'ala menunjukkan bahwa kewajiban asli bagi orang


sakit atau musafir adalah puasa, hanya saja ia mendapat keringanan
untuk tidak berpuasa. Jadi, kalau ia tak berpuasa, hendaknya ia
mengqadha pada hari-hari lain sebagai ganti hari-hari yang puasanya
27
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, (Depok: GEMA Insani, 2013), Cet. 2, h. 383.

16
ia tinggalkan. Ini adalah pendapat jumhur. Alasannya, karena makna
ayat ini begini barang siapa di antara kamu sakit atau bepergian, lalu
ia tak berpuasa, maka ia harus berpuasa pada hari-hari yang lain,
setelah ia tak berpuasa. Menurut jumhur, dianjurkan (tidak wajib)
menjalani puasa qadha itu secara berurutan harinya, karena ayat
bersifat mutlak tidak menetapkan hari-harinya harus terpisah atau
berurutan, dan kalau seseorang melaksanakan puasa hari-hari itu
secara terpisah-pisah berarti ia telah berpuasa pada beberapa hari yang
lain.
Jika datang bulan Ramadhan berikutnya dan ia belum mengqadha,
jumhur berpendapat bahwa ia harus membayar kafarat, yaitu memberi
makan satu orang miskin untuk setiap harinya. Sedangkan menurut
Abu Hanifah, ia tidak wajib membayar kafarat apa pun, sesuai dengan
Iahiriah ayat. Dalil jumhur adalah riwayat Dalaquthni dengan sanad
yang shahih dari Abu Hurairah tentang orang yang melalaikan qadha
Ramadhan hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, ia berkata:
"Hendaknya ia berpuasa bulan Ramadhan ini bersama orang-orang
kemudian ia harus menjalani puasa qadha yang ia abaikan, dan ia
mesti memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya."28
e. Barangsiapa sengaja tak berpuasa atau melakukan jimak pada siang
hari di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar kafarat menurut
madzhab Hanafi dan Maliki, yaitu memerdekakan seorang budak
(yang beriman menurut jumhur, meski tak beriman menurut madzhab
Hanafi). Kalau ia tak mampu, hendaknya ia berpuasa selama dua
bulan berturut-turut. Jika tidak sanggup, hendaknya ia memberi makan
enam puluh orang miskin. Sedangkan dalam qadha Ramadhan, tidak
ada kafarat gara-gara membatalkan puasa atau berjimak.
Menurut jumhur, barangsiapa tak berpuasa di bulan Ramadhan
karena suatu penyakit lalu ia mati akibat penyakit itu, atau ia tak

28
Ibid, h. 385.

17
berpuasa karena sedang bepergian lalu ia mati dalam perjalanannya,
maka tidak ada tanggungan apa pun atasnya.
Barangsiapa meninggal sementara ia punya tanggungan puasa
Ramadhan, maka tak seorang pun yang boleh mengqadhakan puasa itu
untuknya. Kata Malik dan Syafi'i, dan Abu Hanifah: Seseorang tak
boleh berpuasa atas nama orang lain, dengan dalil firman Allah Ta'ala,

Sedangkan Ahmad berpendapat bahwa Wali dianjurkan


berpuasa atas nama orang mati apabila ia meninggal setelah mampu
mengqadha, karena tindakan demikian lebih menjamin terbebasnya
tanggungan orang yang mati itu. Wali juga dianiurkan berpuasa atas
namanya apabila puasa itu adalah puasa nazar. Dalilnya adalah hadits
riwayat Muslim dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Barang
siapa meninggal dunia sementara ia punya tanggungan puasa, maka
hendaknya walinya berpuasa atas namanya.”29

f. Ada beberapa riwayat dengan sanad yang shahih dari lbnu Abbas
bahwa ayat, melainkan tetap berlaku hukumnya bagi orang yang tidak
mampu berpuasa dan puasa itu membawa mudarat baginya, misalnya,
orang tua renta, mereka harus membayar fidyah dengan memberi
makan orang miskin. Jadi, manusia terbagi meniadi tiga kelompok
orang yang sehat dan mukim (mereka harus menjalani sendiri puasa di
bulan Ramadhan), orang sakit dan musafir (mereka boleh tak berpuasa
kalau mau dan mereka kalau tak berpuasa harus berpuasa pada hari-
hari yang lain), dan orang yang tidak mampu berpuasa dan puasa
membawa mudarat baginya (mereka ini membayar fidyah).
Pendapat yang rajih adalah ayat ini mencakup wanita hamil dan
wanita yang menyusui. Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang wanita
hamil dan yang menyusui apabila mereka khawatir atas diri mereka
atau khawatir atas anak mereka, dan ia menjawab, "Adakah penyakit

29
Ibid, h. 386.

18
yang lebih berat daripada kehamilan? Mereka boleh tak berpuasa, dan
hendaknya mereka mengqadha."
Para ulama berijmak bahwa yang wajib atas orang tua renta
adalah membayar fidyah, orang sakit yang tiada harapan untuk
sembuh juga sama hukumnya. Adapun wanita hamil dan yang
menyusui, harus mengqadha tanpa membayar fidyah (menurut
mazdhab Hanafi), harus membayar fidyah dan mengqadha (menurut
madzhab Syafi’i dan Hambali) jika keduanya khawatir atas anak
mereka saja, adapun menurut madzhab Maliki hanya wanita yang
menyusui yang harus membayar fidyah dan mengqadha sedangkan
wanita hamil tidak.
Ukuran fidyah menurut jumhur adalah satu mudd bahan
makanan pokok negeri setempat untuk setiap harinya. Satu mudd
sama dengan 6,75 gram, dan satu sha’, sama dengan 2,751 gram.30
g. Firman Allah Ta'ala menunjukkan bahwa puasa dalam perjalanan,
dalam kondisi sakit yang tidak berat, dan dalam kondisi lainnya
adalah lebih baik. Sebagaimana dikatakan al-Fakhrur Razi, dan ini
berarti anjuran untuk berpuasa secara mutlak sebagaimana kata al-
Qurthubi.31

30
Ibid, h. 387.
31
Ibid, h. 388.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Surah Al-baqarah ayat 183 mengandung kewajiban puasa bagi orang
Islam tanpa terkecuali. Dalam ayat 184 menjelaskan bagi orang yang
menderita sakit atau sedang melakukan perjalanan ia boleh berbuka atau
membayar fidyah karena mendapata kesukaran. Bagi mereka yang dimaksud
dengan fidyah yaitu memberi makan orang miskin setiap hari-hari yang
ditinggalkan, setiap hari diberi satu mud atau enam ons.

B. Saran
Diharapkan pembaca dapat menjalankan ibadah puasa sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Ramli, Wahid. Fikih Ramadan. Medan: Perdana Publishing. 2010. Cet.1.
As-Suyuthi, Imam. Asbabun Nuzul. Jakarta:Pustaka Al-Kautsar. 2014.
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al Munir. Depok: GEMA Insani. 2013). Cet. 2.
Hasbi, Muhammad, Ash-Shiddieqy. Pedoman Puasa. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. 2009.
Imam, Syaikh, Al-Qurthubi. Tafsir Al Qurthubi. Jakarta Selatan: Pustaka Azzam.
2013. Cet. 2.
Quraish, M., Shihab. Tafsir Al-Misbah. Ciputat: Penerbit Lentera Hati. 2017.
Cet.1.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido. 2014.

21

Anda mungkin juga menyukai