Anda di halaman 1dari 14

SYAR'U MAN QOBLANA SEBAGAI

SUMBER HUKUM ISLAM MUKHTALAF

Guru Pembimbing : Boby Ardiansya, S.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Anisa Maharani
2. Depa Anjani
3. Juniarti Lestari
4. Nina Seprianti
5. Sabilla Sakilla
6. Zabri Agung Pratama

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 PAGAR


ALAM
Tahun Ajaran 2021/2022
1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT. kami panjatkan atas limpahan
Rahmat, Hidayah, serta Inayah-Nya kami bisa menyelesaikan Makalah Ushul Fiqh yang
berjudul “Syar'u Man Qoblana Sebagai Sumber Hukum Islam Mukhtalaf” ini. Sholawat
serta salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi akhir zaman, penolong
ummat, yaitu Baginda Muhammad SAW. yang telah menunjukkan kita kepada jalan yang di
ridhoi oleh Allah dengan ajarannya yaitu agama Islam.
Makalah kami buat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Ushul Fiqh di Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) 1 Pagar Alam yang membahas tentang Syar'u Man Qoblana (Hukum
sebelum Syari’at Islam Datang).
Dalam pembuatan makalah ini kami banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
terutama guru pembimbing mata pelajaran Ushul Fiqh, Bapak Boby Ardiansyah, S.Pd, untuk
itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada beliau atas keikhlasan dan
kesabarannya membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Juga kepada pihak-pihak
yang telah membantu demi terwujudnya makalah ini dan tidak dapat kami sebutkan satu
persatu, kami ucapkan terima kasih.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan terbatasnya
kemampuan yang ada pada kami. oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan agar kedepannya kami dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi.
Akhir kata, kami berharap mudah-mudahan makalah ini mudah difahami bagi
pembacanya sehingga adanya suatu manfaat dari pembuatan makalah ini.

Pagar Alam, Januari 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang........................................................................................................................1
B.Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C.Tujuan Penulisan.....................................................................................................................2
D.Manfaat Penulisan...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian Syar’u Man Qablana.............................................................................................3
B.Macam-macam Syar’u Man Qablana......................................................................................3
C.Hukum Syariat Sebelum Kita (Syar’u Man Qablana)............................................................4
D.Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana.............................................................7
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan...........................................................................................................................10
B.Saran......................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syar’u Man Qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang
berkaitan dengan hukum. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu
Zahran, syariat Samawi pada dasarnya satu. Apabila al-Qur’an atau al-Sunnah yang sahih
itu disyariatkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para
Rasulnya, dan telah di-nash-kan bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada kita
sebagaimana diwajibkan kepada mereka. Maka tidak ada perselisihan bahwa syariat itu
adalah syariat untuk kita dan undang-undang yang wajib diikuti, dengan menetapkan
syariat kita kepada-Nya. Seperti firman Allah.
         
 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” (Q.S. al Baqarah: 183)

Dan apabila al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih telah menceritakan mengenai
hukum diantara hukum-hukum ini, maka wajiblah kita melaksanakannya. Seperti ajaran
yang ada syariat Nabi Musa. Bahwa orang yang durhaka tidak bisa menembus dosanya
kecuali jika dia membunuh dirinya sendiri, atau bahwa berpakaian yang terkena najis tidak
bisa disucikan kecuali dengan memotong bagian terkena najis, dan hukum-hukum banyak
menjadi beban orang-orang sebelum kita, dan Allah telah menghilangkan dari kita.
Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu
yang dalam dan fiqh untuk memiliki fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal
itu karena merekalah yang lama bergaul dengan Rasulullah dan telah memahami al-Qur’an
serta hukum-hukum-Nya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam yang tidak pernah terjadi pada waktu Rasul masih hidup.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
sebagai berikut.
1. Apa pengertian Syar’u Man Qablana ?
2. Apa saja Macam-macam Syar’u Man Qablana ?
3. Apa saja Hukum Syariat Sebelum Kita ?
4. Apa Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana ?

4
C. Tujuan Penulisan
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengertian Syar’u Man Qablana.
2. Mengetahui Macam-macam Syar’u Man Qablana.
3. Mengetahui Hukum Syariat Sebelum Kita.
4. Mengetahui Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana.

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan bisa diambil dari penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai sumbangan khazanah keilmuan dalam hukum Islam.
2. Sebagai referensi bagi penulisan berikutnya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syar’u Man Qablana


Syar’u Man Qablana adalah hukum Syari’at sebelum kita (umat Islam). Para ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat yang diberikan kepada para nabi sebelum Nabi
Muhammad, yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak berlaku lagi bagi
umat Islam. Dan syariat sebelum Islam yang disebutkan dalam Quran dan Sunnah dan
secara tegas ditetapkan bahwa syariat itu berlaku bagi umat umat Islam, maka itu menjadi
bagian dari Syariat Islam. Meski Syar’u Man Qablana secara konsekuensi hukum berlaku,
namun keberlakuannya tersebut bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum
Islam, tetapi karena ditetapkan dalam Quran dan Sunah.
Perbedaan pendapat diantara para ulama Ushul Fiqih terjadi dalam persoalan
Syar’u Man Qablana yang tercantum dalam Quran, tetapi tidak ada ketegasan apakah
bahwa hukum tersebut masih berlaku bagi umat Islam atau tidak, karena tidak adanya
nasakh atau penjelasan yang membatalkanya.

B. Macam-macam Syar’u Man Qablana1


Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari
umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat
bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat
dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua
ini diklasifikasi menjadi tiga :
a. Di-nasakh syariat kita (syariat Islam). Tidak termasuk syariat kita menurut
kesepakatan semua ulama.
b. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama.
c. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah di-naskh atau dianggap sebagai syariat
kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini
(Syar’u Man Qablana).2
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap
bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :3
a. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan klausa-nya telah
di-nasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan
firman Allah dalam surat al-An’am ayat 90, al-Nahl ayat 123 dan surat al-Syura ayat

1
Abul Wahhab, Ilmu Ushulu al-Fiqh, Cet tahun 2003, Hal, 105
2
Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 843
3
Ibid. hal, 844
6
13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika
membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat Shod (‫ )ص‬ayat 24.
b. Kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi “Barang siapa yang
tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat
“Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” 4 yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan
dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya
Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat
di atas tidak dapat memberikan faidah.
c. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini
dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
d. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum
ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat
sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
b. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa
yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat
Muadz menjawab “Aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam
keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
c. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam
masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.5
d. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau
wajib mempelajari syariat tersebut.
e. Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat Islam adalah
syariat umum yang menasakh syariat-syariat terdahulu.

C. Hukum Syariat Sebelum Kita (Syar’u Man Qablana)


Jika al Qur’an atau Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah
disyariatkan pada umat yang dahulu melaui para Rasul, kemudian nash tersebut
diwajibkan kepada kita diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa
syariat ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti fiman
Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah: 183
         
 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” (Q.S. al Baqarah: 183)

4
Surat Thaha, Ayat ,14
5
Al-Ma’idah, ayat, 48
7
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan, kepada orang-
orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat
bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa
seorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya kecuali dengan membunuh
dirinya. Dan jika najis yang menempel tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota
yang terkena najis itu.
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau Syar’u Man Qablana
ialah hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh nabi dan
rasul terdahulu dan menjadi beban. Hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat
nabi Muhammad. Dimana kita dapat menemukakan syariat terdahulu itu, apakah dari kitab
suci nabi dan rasul terdahulu yang ada sekarang seperti perjanjian agama Yahudi dan Injil
untuk agama Kristen. Hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama?
Pengelompokan Syar’u Man Qablana. Syariat sebelum kita dari uraian di atas,
dapat dibagi ke dalam 3 kelompok:
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al Qur’an atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al Qur’an atau
Nabi Muhammad.
Contohnya firman Allah surah al An ‘am: 146
          
       
         
 
Artinya : “Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang
berkuku dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari
kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau
yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.
Demikianlah kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan
Sesungguhnya kami adalah Maha benar.” (Q.S.al An’am: 146)

2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadist Nabi di syari’atkan untuk


umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan
dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Seperti firman Allah dalam surat al Baqarah:
183. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa di syariatkan untuk umat terdahulu dan
diwajikan atas umat Nabi Muhammad.

8
Adapun contoh dalam hadist Nabi adalah tentang berkurban yang dijelaskan.
Disyariatkan untuk nabi Ibrahim, juga disyriatkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal
ini ditegaskan dalam sabda Nabi:
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, Ibrahim.

3. Hukum-hukum yang disebut dalam al Qur’an atau hadist Nabi, dijelaskan berlaku
untuk umat sebelum Nabi Muhammad. Namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku
kepada kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinashkan. Seperti
firman Allah dalam surah al Maidah: 45
       
      
            
    
Artinya : “Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.” (Q.S al Maidah: 45)
Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa lalu.
Demikian juga apabila Al-qur’an atau Al-hadis shahih menerangkan suatu
hukum yang disyariatkan kepada ummat yang terdahulu, kemudian datang dalil syara’
yang membatalkannya, maka telah disepakati oleh seluruh ulama bahwa hukum itu
bukanlah merupakan hukum syara’ bagi kita, karena sudah ada dalil yang
membatalkannya. Misalnya syariat yang berlaku pada zaman nabi Musa as, bahwa
seorang yang berbuat maksiat tidak akan diampuni dosanya kecuali bila ia membunuh
dirinya, dan pakaian yang terkena najis tidak akan dapat disucikan kembali sebelum
dipotong bagian yang terkena najis itu. Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang
dilakukan oleh umat Nabi Musa as. Antara lain ialah firman Allah:
       
           
     
Artinya : “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan
memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada

9
waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu
berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari
kiamat.” (Q.S. Al-Hud: 3)
Taubat menurut syariat Islam harus memenuhi 3 syarat, yaitu:
1. Berhenti dari berbuat maksiat
2. Menyesali perbuatan maksiat yang dikerjakan
3. Berazam tidak akan mengulangi berbuat kembali
Dalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang kena najis dengan
memotong bagian yang kena najis sebagaimana yang dilakukan oleh ummat Nabi
Musa antara lain firman Tuhan:
 
Artinya : “Dan pakaianmu hendaklah kamu bersihkan” (al-Mudatstsir: 4)
Maka jumhur ulama Hanafiah dan sebagian ulama Malikiyah, serta sebagian
Syafi’iyah berkata: “bahwasanya hukum itu adalah syariat untuk kita, dan wajib
mengikuti serta menerapkannya selama hukum itu telah diceritakan kepada kita dan di
dalam syariat kita tidak terdapat hukum yang merusaknya, karena hukum itu adalah
diantara hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan oleh Allah melalui para Rasul
Nya, dan Allah telah menceritakannya kepada kita.

D. Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana


Syariat terdahulu baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para
ulama, ulama yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat
dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain, apakah
dalil tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk kita? Seperti firman Allah dalam surat
al Maidah. Ayat 32
          
          
    
Artinya : “Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi,
Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. (Q.S. al
Maidah:32)
Jumhur para ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah, dan sebgaian
Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita

10
berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan
kepada kita serta tidak terdapat hukum yang me-nasakh-nya. Alasannya mereka
menganggap bahwa hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang tidak
disyariatkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang mukallaf
wajib mengikutiya. Atas dasar itu, menurut pendapat jumhur Hanafiah, orang Islam yang
membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh orang perempuan harus
dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah swt kepada kaum
Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh seorang manusia harus dibunuh pula, dengan
tidak membedakan antara dzimmi atau bukan dan antara laki-laki atau perempuan. Syariat
yang berlaku pada orang-orang Bani Israil tersebut masih tetap berlaku bagi umat Islam,
karena Al-qur’an menyebutkannya secara mutlak “annan-nafsa bin-nafsi” (jiwa dengan
jiwa”) dan tidak ada dalil yang membatalkannya atau mengkhususkannya.
Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syariat bagi ummat Islam. Sebab
syariat kita adalah me-nasakh (membatalkan) syariat yang telah ditetapkan kepada ummat
sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syariat kita.6
Jumhuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan
bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita,
tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan
bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak
termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-
Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi (t.t.: 232) mengatakan bahwa syari’at
terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak
berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang
populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa
ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia
telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm (1404, V: 149)
yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata
yang tidak perlu diamalkan.
Sedangkan Syairazi (1985: 34) mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak
semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat
yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya dalil
yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa
(kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at
Islam.

6
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Hal. 116
11
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi (1400: 441) menjelaskan bahwa dalam
persoalan tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli usul al-fiqh, termasuk di dalam
dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama
Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian
untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga
terdapat dalam Khallaf (1978: 94) yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh
syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku juga bagi
umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili (2001, II: 868)
dengan menambahkan bahwa sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas
ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.
Selain itu, Khallaf (1978: 94) juga menceritakan bahwa mayoritas ahli usul al-fiqh
mazhab Hanafi, sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa
syari’at yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syari’at Islam serta kewajiban umat
Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syari’at tersebut selama tidak adanya
dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf,
syari’at yang diperdebatkan tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan
melalui para rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam perintah tersebut. Selain itu,
salah satu alasan Alqur’an itu diwahyukan adalah untuk membenarkan adanya kitab-kitab
yang diturunkan pada umat sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu apabila
tidak ada ketentuan Alqur’an yang me-nasakh syari’at terdahulu, berarti ia diakui di dalam
syari’at Islam.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syar’u Man Qablana dalam pandangan para ulama salaf adalah syari’at-syari’at
para nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Ada
beberapa pandangan dalam memahami syar’u man qablana. Ada yang memahaminya
sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan
dengan keberlakuan syari’at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah
dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal
tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar’u man qablana yang ditulis kembali dalam
Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya.
Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal
tersebut sebagai syari’at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
Adanya perbedaan pendapat mengenai legalitas syar’u man qoblana untuk
dijadikan dalil dan sumber hukum Islam tidaklah membuat para ulama saling merasa diri
mereka benar dan melecehkan argumen ulama lainnya yang tidak sependapat, semakin
banyak perbedaan menunjukkan bahwa manusia benar-benar dikaruniai akal yang luar
biasa. Tiap ulama memiliki hujahnya masing-masing yang sama-sama kuat. Semoga kita
dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif
tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling mengetahui akan
kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syar’u man Qoblana mendatangkan manfaat dan
kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan mengamalknannya.

B. Saran
Penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini dan
senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih
bermanfaat dan lebih baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abul Wahhab, Ilmu Ushulu al-Fiqh, Cet tahun 2003, Hal, 105

Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 843

Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Hal. 116

14

Anda mungkin juga menyukai