Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua sesudah Al-Qur’an, secara resmi
ditulis dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul
Azis oleh karena itu ummat islam wajib menjadikan hadits sebagai pedoman dalam segala
aktifitas, baik dalam segala aktifitas maupun dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah
maupun khalifah di muka bumi ini.
Dari tahun wafatnya Rasulullah SAW, sampai tahun ditulisnya hadits, sangat
memungkinkan munculnya pemalsuan-pemalsuan hadits. Hal inilah yang mendorong ulama
untuk mencari dan mengumpulkan hadits-hadits. para ulama dalam melakukan penelitian
menitikberatkan perhatiannya pada sanad dan matan hadits. Oleh karena itu para ulama
menetapkan kaedah kaedah yang berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat
diterimanya suatu hadits.
Suatu hadits dikategorikan shahih apabila memenuhi ketentuan-ketentuan atau kaedah-
kaedah keshahihan sanad dan matan hadits. Oleh sebab itu penulis akan memaparkan tulisan ini
dengan judul “Syarat-syarat  hadits shahih “untuk pengetahuan lebih lanjut.

1.2. Rumusan masalah


1. Apakah pengertian dari hadist shohih ?
2. Bagaimanakah syarat-syarat dari hadist shohih ?

1.3. Tujuan penulisan


1. Mengetahui pengertian dari pada hadist shohih
2. Mengetahui syarat-syarat hadist shohih

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hadits Shahih
Sebelum masuk pada sub pembahasan utama, yakni mengenai syarat-syarat dari hadis
shohih yang akan di paparkan perinciannya setelah ini, maka tentunya akan lebih mudah di
pahaminya, setelah kita mengetahui terlebih dahulu tentang apa itu hadis shohih, dan
bagaimana pengertiannya.    
   I. Definisi Hadits Shahih

kata Shahih ‫ الصحيح‬dalam bahasa (etimology)diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim
‫ السقيم‬orang yang sakit. jadi pada dasarnya, yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat
dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.1[1]

‫هو ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كامال عن مثله وخال من الشذوذ و العلة‬
hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat
daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).

Hadis sahih berarti hadis yang bersih dari cacat, hadis yang benar berasal dari Rasulullah
SAW. Sebagaimana para ulama telah menyepakati kebenarannya, bahwa hadits shahih
merupakan hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit
rawi lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
cacat (illat).2[2]

       Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit, hak lawan
bathil. Menurut ahli hadits, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh
orang-orang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulallah SAW,
bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam
menerimanya.3[3]

Contoh hadist shohih


1

3
2
َ‫م قَ َرأ‬.‫ْت َرسُوْ َل هللاِ ص‬ ْ ‫ب ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ُجبَي ِْر ْب ِن ُم‬
ُ ‫ط ِع ِم ع َْن أَبِ ْي ِه قَا َل َس ِمع‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُدهللاِ بْنُ يُوْ سُفَ قَا َل أَ ْخبَ َرنَا َمال‬
ٍ ‫ك َع ِن اب ِْن ِشهَا‬
)‫الطوْ ِر "(رواه البخاري‬ ُّ ِ‫ب ب‬ ِ ‫فِي ْال َم ْغ ِر‬

" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada
kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata:
aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR.
Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut
para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
    a) Abdullah bin yusuf      = tsiqat muttaqin.
    b) Malik bin Annas         = imam hafidz
    c) Ibnu Syihab Aj-Juhri   = Ahli fiqih dan Hafidz
    d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e) Jubair bin muth'imi         = Shahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
Dan hadist shohih di bagi menjadi 2 macam, yakni
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.       Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi semua syarat-syarat hadis shohih secara
sempurna4[4]. Dalam artian sudah tidak membutuhkan hadist lain untuk dinamakan hadist
shohih. keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis
kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
ِ ‫ ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬، َ‫ ع َْن أَبِي ُزرْ َعة‬، َ‫اع ْب ِن ُش ْب ُر َمة‬
‫ قَا َل‬، ُ‫ضي هَّللا ُ َع ْنه‬ ِ َ‫ارةَ ْب ِن ْالقَ ْعق‬َ ‫ ع َْن ُع َم‬، ‫ َح َّدثَنَا َج ِري ٌر‬، ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد‬
‫ ثُ َّم‬: ‫ال‬َ َ‫ ق‬. َ‫ أُ ُّمك‬: ‫ص َحابَتِي ؟ قَا َل‬ ِ َّ‫ق الن‬
َ ‫اس بِ ُح ْس ِن‬ ُّ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا ِ َم ْن أَ َح‬: ‫ فَقَا َل‬،  ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َرسُو ِل هَّللا‬:
َ َ‫ ق‬. َ‫ ثُ َّم أُ ُّمك‬: ‫ ثُ َّم َم ْن ؟ قَا َل‬: ‫ قَا َل‬. ‫ك‬
‫ ثُ َّم أَبُوك‬: ‫ ثُ َّم َم ْن ؟ قَا َل‬: ‫ال‬ َ ‫ ثُ َّم أُ ُّم‬: ‫؟ قَا َل‬    ‫ َم ْن‬  

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak
terdapat ke-syaz-an maupun illat.

4
3
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi. Merupakan hadits shahih yang tidak
memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang tidak sempurna
dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits tersebut menjadi hadits shohih li
ghairih. Dengan demikian shahih li ghairih adalah hadits yang keshahihannya disebabkan oleh
faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya hadits hasan yang
diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits
shahih.5[5] Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :

‫صلَّى‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ ق‬: ‫ قَا َل‬، َ‫ ع َْن أَبِي هُ َري َْرة‬، َ‫ ع َْن أَبِي َسلَ َمة‬، ‫ ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن َع ْم ٍرو‬، َ‫ َح َّدثَنَا َع ْب َدةُ بْنُ ُسلَ ْي َمان‬، ‫ب‬
ٍ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
ِ ‫ق َعلَى أُ َّمتِي ألَ َمرْ تُهُ ْم بِالس َِّو‬
َ ‫اك ِع ْن َد ُك ِّل‬
‫صالة‬ َّ ‫ لَوْ ال أَ ْن أَ ُش‬: ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬.  ٍ

     Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana


dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang
jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke
tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih
tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu
Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).

Dari pendefinisian di atas, maka dapat di tarik kesimpulan, untuk mengetahui shohih
tidaknya suatu hadist, di perlukan 5 unsur, yang mana apabila salah satu dari unsur tersbut tidak
ada, maka hadist tersebut belum di kategorikan sebagai hadist shohih.
Adapun unsur-unsur keshahihan suatu hadits adalah :
1.      Sanad bersambung
2.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4.      Sanad  hadits itu terhindar dari syudzudz atau kejanggalan
5.      Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat.
Demikian adalah unsur di tetapkannya suatu hadist, apakah masuk dalam kategori
shohih atau tidak. Dan yang lima tersebut bersifat berkaitan, dalam artian, apabila salah satu dari

5
4
kelima tersebut tidak ada, maka suatu hadist belum dinamakan sebagai hadist shohih. Maka yang
kelima unsur diatas bisa juga dinamakan sebagai syarat-syarat dari keshohihan suatu hadist.

2.2. Syarat –syarat hadist shohih


Adapun perincian tentang penjelasan dari syarat-syarat hadist shohih tersebut, akan kami
jelaskan di bawah ini.

2.2.1. Sanad yang bersambung


     Sanadnya bersambung maksudnya adalah, bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan
benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada
pembicara yang pertama.6[6] Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung  bila terputus salah
seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah
seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
Maksudnya adalah, bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang
berbeda di atasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.7[7]
Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, di
antaranya itu adalah dengan dilihat dari usianya masing-masing dan tempat tinggal mereka.
Apakah dari usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka
menerima atau menyampaikannya ialah dengan cara sama’ (mendengar guru memberikan
hadis dari perawi itu) atau munawalah (seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya kepada
muridnya). Atau dengan cara lain.
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung, apabila :
 Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
 Antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul
wa ada al-hadits.8[8]

8
5
Berikut ini ada beberapa kaedah yang berkaitan dengan tata-kerja aplikasi untuk mengetahui
sisi persambungan sanad. Kaedah-kaedah yang akan dituliskan ini merupakan hasil rumusan-
rumusan yang ditemukan dalam berbagai literatur ilmu hadis yang ditulis oleh beberapa orang
ahli hadis. 9[9]
Kaedah pertama:
‫لَّ َم‬Ÿ ‫ى هللا َعلَ ْي ِه َو َس‬ َ ‫ى يَتَنَاهَى ْالخَ ْب ُر اِل َى النَّبِ ِّي‬
َّ ‫صل‬ َّ ‫ى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َحت‬
َّ ‫ى يَرْ ِو ْي ِه ثِقَّةٌ ع َْن ثِقَ ٍة َحت‬ َ ‫ الَ يُ ْكتَبُ ْال َخ ْب ُر َع ِن النَّبِ ِّي‬        -
َّ ‫صل‬
]10[10 .‫الصفَّ ِة‬
ِ ‫بِه ِذ ِه‬

Tidak (boleh) ditulis hadis dari Nabi Saw. sehingga (diketahui) seorang siqqah meriwayatkan
hadis itu dari seorang siqqah (pula), sehingga (jalur) hadis ini sampai kepada Nabi Saw, dengan
kondisi yang seperti ini.

Kaedah kedua,
‫ ٍد َوإِ ْن َل ْم‬Ÿ‫اح‬ ْ ‫ا فِى ع‬Ÿَ‫ا َكان‬Ÿً‫ا َج ِميع‬Ÿ‫هُ لِ َكوْ نِ ِه َم‬Ÿ‫ع ِم ْن‬
ِ ‫ ٍر َو‬Ÿ‫َص‬ ُ ‫ أَ َّن ُك َّل َر ُج ٍل ثِقَ ٍة َر َوى ع َْن ِم ْثلِ ِه َح ِديثًا َو َجائِ ٌز ُم ْم ِك ٌن لَهُ لِقَا ُؤهُ َوال َّس َما‬        -
‫ق‬َ ‫ى لَ ْم يَ ْل‬ ِ ‫ك َدالَلَةٌ بَيِّنَةٌ أَ َّن هَ َذا الر‬
َ ‫َّاو‬ َ ‫ط أَنَّهُ َما اجْ تَ َم َعا َوالَ تَ َشافَهَا بِ َكالَ ٍم فَال ِّر َوايَةُ ثَابِتَةٌ َو ْال ُح َّجةُ بِهَا الَ ِز َمةٌ إِالَّ أَ ْن يَ ُكونَ هُنَا‬ ِ ْ‫يَأ‬
ُّ َ‫ت فِى خَ بَ ٍر ق‬
]11[11 ‫َم ْن َر َوى َع ْنهُ أَوْ لَ ْم يَ ْس َم ْع ِم ْنهُ َش ْيئًا‬
Sesungguhnya setiap periwayat yang siqqah (tentulah) meriwayatkan hadis dari yang siqqah
(pula), boleh jadi ada pertemuan dan sama'i (antara keduanya) karena hidup pada masa yang
sama, walaupun tidak ada informasi bahwa keduanya pernah berkumpul pada satu majelis atau
berbicara secara langsung. Maka riwayatnya kuat dan pasti menjadi hujjah. Kecuali ada
informasi yang jelas bahwa periwayat tersebut tidak bertemu atau tidak mendengar apapun dari
gurunya.
Kaedah ketiga,
َّ ‫ ِه‬Ÿْ‫ ِر ِه َواِ ْن لَ ْم يُبَي ِّْن فِي‬Ÿ‫كَ الِ َى آ ِخ‬Ÿِ‫ى يَ ْنتَ ِهى ذل‬
ُ ‫ َما‬Ÿ‫الس‬
‫ل‬Ÿَ‫ع ب‬ ِ ‫صا ُل ْا ِإل ْسنَا ِد فِ ْي ِه اَ ْن يَ ُكوْ نَ َو‬
َّ ‫ت‬Ÿ‫هُ َح‬Ÿَ‫ َم َعهُ َم ْن فَوْ ق‬Ÿ‫اح ٌد ِم ْن رُ َواتِ ِه َس‬ َ ِّ‫ َواِت‬        -
]12[12 Ÿ.‫تص َر عَلى ال َع ْن َعنَة‬ ِ ‫ا ْق‬
Persambungan sanad terjadi pada (sanad hadis), (jika) salah seorang perawi mendengar hadis
dari orang yang berada pada level di atasnya, (kondisi seperti ini juga) terjadi sampai pada akhir

10

11

12
6
sanad, meskipun tidak diperlihatkan terjadinya sama'i, tetapi hanya dengan periwayatan
'an'anah.

Kaedah keempat:

،‫ة‬ŸŸَ‫هُ بِ ْال َع ْن َعن‬Ÿ‫َّاويْ لِ َم ْن َر َوى َع ْن‬


ِ ‫ر‬Ÿ‫ا ُء ال‬ŸŸَ‫ أَ ْن يَ ْثبُتَ لِق‬:‫ األَوَّل‬:‫صا ِل شَرْ طَ ْي ِن‬
َ ِّ‫ث) لِ َك ْي يَحْ ُكم لِ ْل ُم َع ْن َعن بِاْ ِالت‬
ِ ‫ اِ ْشتَ َرطُوْ ا (أَ ْه ُل ْال َح ِد ْي‬        -
َ ‫والثَّانِي أَ ْن يَ ُكونَ بَ ِر ْيئًا ِمن َو‬
ِ ‫ص َم ِة التَّ ْدلِي‬
]13[13.‫ْس‬
(Para pakar hadis) memberi dua persyaratan agar hadis mu'an'an bisa "dipastikan" bersambung,
(yaitu): Pertama, Adanya kepastian bahwa seorang periwayat bertemu dengan gurunya dalam
meriwayat hadis 'an'anah. Kedua, periwayat tersebut terbebas dari aib tadlis14[14].

Oleh karena itu apabila ada hadis yang sanadnya munqoti’15[15], Mu’dhol 16[16],
Mu’allaq17[17] dan mursal18[18] maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis
shahih walaupun dulunya termasuk hadist shahih 

2.2.2. Rawi Bersifat Dhabit


      Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang
diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian
ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.19[19] Persyaratan ini
menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan
menyampaikannya.

Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :
         Dhabit Shadr(dhabit Fuad)

13

14

15

16

17

18

19
7
Artinya terpelihara hadis yang diterimanya dalam hafalan, sejak ia menerima hadis tersebut
sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.
         Dhabit Kitab
Artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami
dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya dengan baik dan
meriwayatkannya  kepada orang lain dengan benar.20[20]
Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat berikut:
a.    Pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya dan
diterimanya
b.    Kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya)
c.    Ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis yang telah didengarnya dengan
baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat
hadisnya kepada orang lain21[21].
Adapun beberapa penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(d) Ucapan yang menipu

2.2.3. Rawi bersifat adil


Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakukan dengan salah satu teknik berikut:
keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil, 
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.

khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh
sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa
sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.

20

21
8
Term adalah  (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran.22
[22] Banyak perbedaan pendapat antara ulama, memperhatikan pendapat ulama yang telah
dipaparkan agaknya dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan adil atau bersifat ‘adalah jika
pada dirinya terkumpul criteria muslim, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak berbuat
bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat dipercaya beritanya.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan adil adalam transformasi
hadis adalah bahwa periwayat tersebut harus beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan
agama dan memelihara citra dirinya (muru’ah). Dengan kata lain, keadilan periwayat ini terkait
erat dengan kualitas pribadinya. Sekalipun ulama mempunyai maksud yang sama dalam
mendefinisikan tentang sifat adil ini, tetapi mereka berbeda dalam redaksi dan kriterianya. Ada
beberapa cara menetapkan keadilan periwayat hadis yang disebutkan oleh ulama, yakni
berdasarkan:
a.    Pertama, popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
b.    Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat hadis
c.    Ketiga, penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh bila para kritikus
periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.23[23]
adapun yang pertama beberapa penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta oleh ahli hadist
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan

2.2.4. Tidak Ber-illat


      Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan.
Adapun dalam terminology ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang
didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis

22

23
9
Ibnu shalah, al nawawi, dan Nur al-din ‘itr menyatakan bahwa illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadist, yang menyebabkan hadist yang pada lahirnya tampak
berkualitas shahih menjadi tidak shahih.24[32]
Sebagian ulama menyatakan orang yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang
cerdas, memiliki hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalanya, mendalam
pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabit-an periwayat dan ahli di
bidang sanad dan matn hadits
Memang secara lahir tampak shahih. ‘Illat disini adalah cacat yang menyelinap pada
sanad hadis, sehingga kecacatan tersebut pada umumnya berbentuk:
a.    Pertama, sanad yang tampak bersambung (muttashil) dan sampai kepada Nabi (marfu’)
ternyata muttashil tetapi hanya sampai kepada sahabat (mawquf)
b.    Kedua, sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tetapi hanya riwayat
sahabat dari sahabat lain (mursal)
c.    Ketiga, terjadi percampuran dengan hadis lain
d.    Keempat, kemungkinan terjadi kesalahan penyebutan perawi yang memiliki kesamaan
nama, padahal kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya (tsiqah) tidak sama
adapun illat pada suatu hadist itu ada 2.
1.      Illat dalam sanad
. ‫ البيعان بالخيارما لم‬:‫ عن الثوري عن عمرو بن دينار عن إبن عمر عن الرسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬,‫حديث يعلى بن عبيد‬
‫يتفرقا‬ .
Artinya: hadits Ya’la Bin ‘Ubaid dari Tsaury dari ‘Amru bin Dinar dari Ibn ‘Umar dari
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Kedua orang penjual dan pembeli itu
mempunyai hak khiyar selama mereka belum berpisah”.
Dalam hadits ini telah salah Ya’la terhadap Sufyan dalam perkataannya ‘Amru bin Dinar,
karena imam-imam hafidz dari shahabat-shahabat Sufyan meriwayatkan dari Abdullah bin
Dinar, bukan kepada ‘Amru bin Dinar. ‘Illatnya terletak pada adanya kekeliruan Ya’la bin
‘Ubaid dalam menyandarkan periwayatannya kepada Sufyan dari ‘Amru bin Dinar.
Diketahui adanya kekeliruan itu setelah diadakan perbandingan dengan sanad yang lain.
Yaitu sanad-sanad Abu Nu’aim, sanad Muhammad bin yusufdan sanad Makhlad bin Yazid.
Mereka ini meriwayatkan hadits itu melalui Sufyan Ats-Tsaury, Abdullah bin Dinar dan Ibn

24
10
‘Umar.
Nyatalah sekarang bahwa sanad Ya’la bin ‘Ubaid itu ber’illat. Karena ia menyandarkan
periwayatannya dari ‘Amru bin dinar padahal sebenarnya dari Abdullah bin Dinar. Walaupun
sanad dari Ya’la ber’illat, namun matannya tetap shahih. Karena sama dengan matan hadits yang
diriwayatkan oleh sanad-sanad lain yang tidak ada ‘illatnya (shahih).
‘Illat pada sanad yang membawa pengaruh kepada kecacatan matannya itu terjadi kalau ‘illat itu
disebabkan karena memauqufkan (beritanya hanya sampai kepada shahabat), mengirsalkan
( meninggalkan shahabat yang seharusnya dijadikan sumber pemberitaan) atau memunqathi’kan
(menggugurkan salah satu rawi yang menjadi sanadnya).
2.      ‘Illat dalam Matan
‫ من‬Ÿ‫ فإنه اليدري أين باتت يده ثم ليغترف بيمينه‬,‫إذاستيقظ أحدكم من منامه فليغسل كفيه ثالث مرات قبل أن يحعلهما في اإلناء‬
‫أنا ءه ثم ليصب على شماله فليغسل مقعدته‬
Artinya: “Apabila salah seorang dari kamu bangun tidur, maka hendaklah ia mencuci kedua
telapak tangannya kedalam bejana (tempat air), sebab ia tidak mengetahui kemana tangannya
semalam”.
Hadits Ibrahim bin Thuhman, yang berasal dari Hisyam bin Hisan, dari Muhammad bin Sirrin
dari Abu Hurairah dan yang bersanad Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Abu Hatim ar-Razy berkata: kalimat tsumma liyaghtarifa sampai dengan maq’adatahu,
adalah perkataan Ibrahim bin Thuhman. Karena ia menyambung perkatan itu pada akhir matan
hadits, sehingga orang yang (mendengar) menerima tidak dapa mengetahui ‘illatnya. Perkataan
seorang rawi yang disisipkan dalam suatu matan hadits itu disebut idraj. Sebagian ketentuan idraj
adalah apabila seorang rawi yang menyisipkan itu menjelaskan bahwa sisipan atau tambahan itu
untuk menjelaskan matan, maka yang demikian itu bukan merupakan ‘illat yang dapat
mencacatkan suatu hadits. Akan tetapi apabila rawi tersebut mengatakan bahwa kata-kata yang
diriwayatkan itu adalah matan hadits, maka idraj tersebut menyebabkan cacatnya matan hadits.

2.2.5. Tidak Syadz (Janggal)


      Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih
kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang
lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah
mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut

11
syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap
periwayatan hadits yang bersangkutan.25[33]
    Menurut al-Syafi’iy Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits itu
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat lainnya
tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah hadits dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, namun   bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga juga bersifat siqat 26[34]
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat
sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi
kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat
kekurang pastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabit-annya
sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurang pastian tersebut hanya mengurangi
keshahihan hadits yang dicurigai saja
ke-syadz-an sanad hadits baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai
berikut:
a.       Semua sanad  yang mengandung matn hadits yang pokok masalahnya memiliki kesamaan,
dihimpun dan diperbandingkan
b.      Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya
c.       Apabila seluruh periwayat bersifat siqat  dan ternyata ada seorang periwayat yang sanad-nya
menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad  yang menyalahi itu disebut sanad
syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad mahfuzh.
Adapun yang menjadi penyebab utama terjadinya syadz sanad hadits adalah karena
perbedaan tingkat ke-dhabith-an periwayat.Jadi sekiranya unsur sanad bersambung atau unsur
periwayat bersifat dhabith benar-benar telah terpenuhi, niscaya ke-syadz-an sanad tidak akan
terjadi
    Berdasarkan dari beberapa defenisi maka hadits syadz dibagi kepada dua bagian, yaitu
syadz  pada sanad, dan syadz pada matan.
1.Contoh Syadz Pada Sanad

25

26
12
ّ ‫ح ّد ثناابن ابي عمر ح ّد ثنا سفيان عن عمروبن دينارعن عوسجةعن ابن عباّس‬
‫ان رجال مات على عهدرسول هللا صل ّى هللا عليه‬
‫وسلّم ولم يدع وارثااالّعبداهو اعتقه فاعطاه النّب ّي صل ّى هللا عليه وسلّم ميراثه‬.
“Turmudzi berkata: Telah menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Umar, telah menceritakan
kepada kami, Sofyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-
laki meninggal dunia dimasa Rosulullah saw. Serta tidak meninggalkan ahli warits, kecuali
seorag hamba sahaya yang ia merdekakan(maula), makanabi saw. Memberikan warisanya
kepada hamba itu.
            Dalam sanad yang pertama, yang menjadi pokok adalah Sufyan bin ‘Uyainah. Sufyan
meriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dan dari Ibnu Abbas. Sedangkan disanad yang
kedua, yang menjadi pokok adalah Hammad bin Zaid.
Hammad ini meriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah dan tanpa Ibnu
Abbas.Sufyan dan Hammad adalah orang-orang kepercayaan dan ahli dibidang hafalan, tetapi
riwayat Sufyan yang memakai sebutan Ibnu Abbas itu dibantu oleh Ibnu juraij.Muhammad bin
Muslim ath-Tha-ifi dan lainya sedangkan riwayat Hammad tidak ada yang membantunya. Maka
berdasarkan keterangan tersebut dapat dikethui bahwa riwayat Sufyan lebih patut(kuat) daripa
riwayat Hammad. Karena itu Imam Abu Hatim menguatkan riwayat sufyan.  Riwayat Hammad
yang menyalahi riwayat Sufyan yang lebih kuat itu disebut Syadz, sedangkan riwayat Sufyan
disebut Mahfuzh(yang terpelihara). Syadz tersebut terjadi pada sanad karena itu disebut Syadz
pada sanad
2        .Syad pada matan contohnya ialah:
‫ح ّد ثناابن السّرح ح ّد ثناابن وهب اخبرني يونس عن ابن شهاب عن عمرة بنت عبدالرّحمن عن‬
ّ .‫عاأشة زوج النّب ّي ص‬.
‫ نحر عن ال مح ّمد في ح ّجة الوداع بقرة واحدة‬.‫رسول هللا ص‬ ‫ان‬

Kata Abu Daud : Telah menceritakan kepada kami, Ibnu sarah, telah menceritakan kepada
kami, Ibnu Wahb telah mengkhabarkan kepada kami,Yunus, dari Ibnu Syihab dari ‘Amrah binti
Abdurahman, dari ‘Aisyah istri Nabi saw., bahwa Rosulullah saw. Berkurban untuk keluraga
Muhammad(istri-istrinya) pada Haji Wada’ seekor sapi betina.

Dengan Hadits
‫ يوم حججنا بقرة بقرة‬.‫رواه ع ّما رال ّدهن ّي عن عبد ال ّرحمن بن القا سم عن ابيه عن عاءشة قالت ذبح عنّا رسول هللا ص‬.

13
Diriwayatkan Hadits ini oleh ‘Ammar ad-Duhani, dari ‘Abdurrahman, bin al-Qasim, dari
ayahnya(al-Qasim), dari ‘Aisyah, ia berkata Rosulullah saw. Telah menyembelih unta untuk
kami   pada hari kami naik haji, seekor sapi, seekor sapi.
            Yang menjadi pokok pembahasan pada hadits pertama ialah Yunus, dan dalam hadits
kedua ‘Ammar ad-Dhuni. Istri nabi berjumlah Sembilan orang. Didalam hadits yang pertama
disebutkan “seekor sapi” untuk Sembilan orang istri. Sedangkan pada hadits kedua disebutkn
“seekor sapi, seekor sapi” yang berarti untuk Sembilan orang istri Nabi berkurban Sembilan ekor
sapi. Dua Hadits ini berlawanan perlu diperiksa mana yang lebih kuat. Yunus dan ’Ammar
adalah orang-orang kepercayaan, tetapai Hadits yang diriwayatkan oleh Yunus lebih kuat
daripada ‘Ammar. Riwayat Yunus dibantu oleh Ma’mar yang lafazh Haditsnya lebih tegas dari
riwayat Yunus, dan dibantu lagi dari jalan Abu Hurairoh. Pembantu-pembantu ini meriwayatkan
bahwa Nabi saw. Berkurban seekor sapi untuk Sembilan orang istrinya.  
Adapun riwayat ‘Ammar tidak mendapat bantuan. Sehingga riwayat Yunus lebih kuat
dari pada riwayat ‘Ammar. Karena keganjilan terdapat pada matan maka disebut Syadz pada
matan.
Dilihat dari segi periwayat, hadist mual’al(yang terdapat illat) dengan hadist syadz itu
sama, yaitu keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat yang stiqoh. Bedanya, dalam
hadist mual’al, illatnya dapat di temukan sedang dalam hadist syadz tidak terdapat illat.

Demikianlah uraian-uraian tentang hadist shohih dan syarat-syaratnya yang lima, maka
apabila dari kelima syarat tersebut tidak terpenuhi atau mungkin tidak begitu sempurna, maka
dari demikian muncul dua kemungkinan.
1. Apabila syarat-syarat kelima sudah terpenuhi, tapi kekurangannya cuman dari segi
kedhobithan dari salah seorang perowinya kurang sempurna meskipun sedikit, tapi tidak
begitu pelupa. Maka itu dinamakan hadist hasan. Karna memang pada dasarnya hadist hasan
dan shohih itu sama, cuman diukur dari kedhobitan dari perowinya.
2. Apabila ada salah satu atau bahkan lebih, dari kelima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
hadist tersebut termasuk hadis dhoif.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hadist adalah ahwal nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
pengakuan. namun sayangnya seluruh hadist yang beredar, tidak mesti semuanya berasal
langsung dari baginda nabi Muhammad SAW. namun, ulama sepakat membagi hadist menjadi
tiga bagian yakni, shohih, hasan dan dhoif.
Adapun hadist shohih ialah : hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rowi
yang adil dan dhobith, tidak ada illat dan selamat dari syad / kejanggalan.
Dari pengertian tersebut, maka bisa di tarik kesimpulan bahwa syarat-syarat hadist shohih
itu ada lima. Seperti dibawah ini.
a.     Sanad bersambung
b.     Seluruh periwayat dalam sanad  bersifat adil
c.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d.    Sanad  hadits itu terhindar dari syudzudz atau kejanggalan
e.     Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat.
15
Maka apabila syarat-syarat diatas sudah terpenuhi, tidak dapat di ragukan lagi, hadist
yang tersebut itu termasuk hadist shohih yang benar-benar berasal dari nabi.
Adapun hadist hasan ialah tidak jauh berbeda dengan hadist shohih, demikian juga
syarat-syaratnya. namun perbedaannya hanyalah ada pada tingkat kedhobitan rowinya yang
dirasa masih kurang dan dibawah hadist shohih.
Mengenai kehujjahan dari pada hadist shohih dan hasan, ulama sepakat bahwa hadist
shohih bisa dipakai sebagai hujjah. demikian juga hadist hasan, meskipun tingkatannya masih
dibawa hadist shohih, namun hadist hasan juga sepakati oleh para ulama untuk di buat sebagai
hujjah. Tapi ketika ada pertentangan antara hadist shohih dan hadis hasan, maka harus
mendahulukan hadist shohih, karna tingkatannya memang lebih tinggi hadist shohih.

DAFTAR PUSTAKA

http://studyhsa.blogspot.com/

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/52158010/Pengertian_Hadits_Shahih.docx?
AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1556232605&Signature=qIsFrX
G31CEDB%2BmpHZQWOQTEL9k%3D&response-content-disposition=attachment%3B
%20filename%3DSyarat_-_Syarat_Hadits_Shahih.docx

16

Anda mungkin juga menyukai