Disusun oleh :
Kelompok 9
Jihad Benastey
Lidya Yuliawati
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
3.1. Simpulan..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
3. Mengetahui contoh hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat.
4. Mengetahui contoh hadits shahih lidzatihi dan shahih lighairihi beserta syarat-
syaratnya.
5. Mengetahui contoh hadits shahih lidzatihi dan shahih lighairihi dan skema
sanadnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
sakqim ()السقيم orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits
yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Selain itu hadits shahih
disebut juga sebagai hadits yang sejahtera lafadznya dari keburukan susunannya,
sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan
segala perawinya orang yang adil.1 Menurut Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan
bahwa hadits shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil,
sempurna keras ingatannya, bersambung – sambung sanadnya kepada Nabi SAW,
tidak ada sesuatu yang cacat dan tidak bersalahan riwayat itu dengan riwayat
orang yang lebih rajin dari padanya.2
Ibn Al – Shalah (wafat 643H = 1277 M ), salah seorang ulama hadits al –
muta’akhirin yang memiliki banyak pengaruh dikalangan ulama hadits
sezamannya dan sesudahnya, telah memberikan definisi atau pengertian hadits
shahih sebagai berikut: Hadits shahih ialah hadits yang nyambung sanadnya
(sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith
sampai akhir sanad, (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz)
atau cacat (ilat).
1
Hasbi Ash – Shiddieqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h.
109.
2
Ibid h. 110.
3
2.2. Syarat-syarat hadits shahih
Dari definisi mengenai hadits shahih yang disepakati oleh mayoritas ulama,
maka dapat kita nyatakan syarat – syarat hadits shahih adalah sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung
Sanadnya bersambung, semenjak dari nabi, sahabat, hingga
periwayat terakhir.
Maksudnya ialah tiap – tiap periwayat dalam sanad hadits
menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan
itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Dalam hal
persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan persambungan sanad adalah antara periwayat satu dengan
periwayat berikutnya harus betul – betul “serah terima” hadits.
Peristiwa ini dapat dilihat dengan cara “serah terima” tersebut,
misalnya dengan redaksi حدثنىatau سمعتatau اخبرنا, tidak cukup hanya
dengan عن, sebab kata عنtidak menjamin bahwa proses perpindahan
hadits itu secara langsung. Artinya, belum tentu masing – masing
periwayat yang disebut didalam sanad hadits benar – benar bertemu.
Sementara ada juga ulama’ yang berpendapat bahwa perpindahan
hadits dengan عنdapat dinilai bahwa sanadnya bersambung apabila
antara periwayat pemberi dengan penerima hadits hidup semasa.
Indikatornya, apabila selisih waktu kematian pemberi hadits dengan
penerimanya menggambarkan bahwa diantara mereka ada
kemungkinan “serah terima” hadits. Misalnya, ketika pemberi hadits
itu meninggal, si penerima berumur sepuluh tahun. Itu sebabnya,
didalam ilmu hadits ada persyaratan usia orang ketika menerima
hadits, yaitu paling sedikit usia mumayiz. Usia mumayiz adalah sudah
dapat membedakan sesuatu yg baik dan sesuatu yg buruk (kira-kira
umur 7 tahun). Dengan demikian sebuah hadits yang dinyatakan
bersambung sanadnya oleh seorang ulama, belum tentu dinilai
bersambung oleh ulama yang lain.
4
b. Periwayat bersifat adil
Adil berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah,
jujur, lurus, dan tulus. Secara terminologis adil bermakna suatu sikap
yang bebas dari diskriminasi, ketidakjujuran. Dengan demikian orang
yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar hukum baik hukum
agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum sosial (hukum
adat) yang berlaku. Dalam Al Quran, kata ‘adl disebut juga dengan
qisth (QS Al Hujurat 49:9). Pengertian keadilan
menurut Aristoteles yang mengatakan bahwa keadilan adalah tindakan
yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang
dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan
apa yang menjadi haknya.
Dimaksud dengan orang yang adil ialah orang yang lurus keadaan
agamanya, baik pekertinya, tidak berbuat maksiat, dan memelihara
hafalannya.3
Butir – butir syarat sebagai unsur kaedah periwayatan yang adil
ialah beragama:
1. islam;
2. mukalaf;
3. melaksanakan ketentuan agama;
4. memelihara muru’ah; maksudnya memelihara rasa malu
5. seluruh sahabat nabi dinilai bersifat adil
Secara Umum, Ulama telah mengemukakan cara penetapakan
keadilan periwayat hadits, yakni, berdasarkan:
1. Dengan Karena telah terkenal dalam masyarakat bahwa perawi
tersebut adalah seorang yang adil, yaitu seperti Al Imam Malik,
Syu’bah, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsauri dan Sufyan Ibn
Uyainah Al Hilali Al Laits, Ahmad Ibn Hambal, Yahya Ibn
3
Hasbi Ash – Shiddieqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),
hlm. 111.
5
Ma’ien, Ali Al Madini dan ulama – ulama yang setingkat
dengan mereka.
2. Dengan dinashkan oleh seorang Ahli yang diterima
perkataannya, bahwa perawi tersebut seseorang yang ahli .
Ibnush Shalah menetapkan, bahwa diperlukan dua orang ulama
untuk mentazkiyahkan ( menetapkan keadilan) seorang perawi,
yakni untuk menerangkan bahwa perawi itu orang yang adil.4
Jadi penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari
ulama, dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat. Khusus para sahabat
nabi, hampir semua ulama berpendapat mereka bersifat adil.
Karenanya dalam proses penilaian periwayat hadits, pribadi sahabat
nabi tidak dikritik oleh ulama hadis dari segi keadilan sahabat.
c. Periwayat bersifat dabith
Pengertian dhabith menurut bahasa ialah yang kokoh, yang kuat,
yang tepat, yang hafal, dengan sempurna. Menurut istilah orang yang
dhabith adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah
didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia
menghendakinya. Ada pula ulama yang menyatakan, orang dhabith
ialah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya;
dia memahami arti pembicaraan itu secara benar, kemudian dia
menghafalnya dengan sungguh – sungguh, kemudian dia berhasil hafal
dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan kepada orang
lain dengan baik.
Adapun cara menentukan ke – dhabith – an seorang periwayat,
menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Kedhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian para
ulama
2. Kedhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian
riwayatnya yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah
dikenal kedhabithannya.
4
Hasbi Ash – Shiddieqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 2, cet 4, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967), hlm. 19.
6
3. Apabila seorang periwayat sekali – sekali mengalami kekeliruan,
maka dia masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi
apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang
bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabith.
Karena bentuk kedhabithan para periwayat yang dinyatakan
bersifat dhabith tidak sama, maka seharusnya istilah yang digunakan
untuk menyifati mereka dibedakan juga. Perbedaan istilah itu dapat
berupa sebagai berikut:
1. Istilah dhabith diperuntukkan bagi periwayat yang:
a) Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
b) Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu
kepada orang lain
2. Istilah Tamm al dhabth yang bila di Indonesia dapat di pakai istilah
dhabith plus, diperuntukkan bagi periwayat yang:
a) Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
b) Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu
kepada orang lain, dan
c) Paham dengan baik hadits yang dihafalkannya itu
d. Terhindar dari Syudzudz ( Ke – Syadz – an)
Menurut bahasa kata syadz artinya yang jarang, yang menyendiri,
yang asing, yang menyalahi aturan, yang menyalahi orang banyak.
Maksudnya, informasi yang terkandung didalamnya tidak bertentangan
dengan informasi lain yang dibaawa oleh orang – orang yang lebih
berkualitas , atau dalil lain yang lebih kuat. Sebab, sungguh pun
sebuah hadis diriwayatkan oleh orang – orang “berkualitas” dan
bersambung sanadnya sehingga hadis itu dapat dikatakan shahih
sanadnya, kalau kandungan hadisnya (matan) ternyata syadz maka
hadis itu menjadi tidak shahih.
Menurut As – Syafi’i suatu hadits dinyatakan mengandung syadz
bila hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat itu
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat
7
yang juga bersifat siqat. Hadits yang mengandung syudzudz disebut
hadits syadz dan lawan dari hadis syadz adalah hadis mahfuzh.
Kesyadz-an sanad hadis baru dapat diketahui seletah diadakan
penelitian sebagai berikut:
a) Semua sanad yang mnegandung matan hadis yang pokok
masalahnya memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan;
b) Para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya;
c) Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada seorang
periwayat yang sanadnya menyalahi sanad – sanad lainnya, maka
sanadnya menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad – sanad
lainnya disebut sanad mahfudz.
Maka dari itu, sebelum kita menggunakan sebuah hadis sebagai
dalil syara’ karena alasan keshahihannya, kita juga harus
memperhatikan mengenai ada atau tidaknya ke – syadz – an dari hadis
tersebut.
e. Terhindar dari ‘Illat
Illat menurut bahasa artinya cacat, kesalahan baca, penyakit dan
keburukan. Menurut Istilah ‘illat artinya sebab yang tersembunyi yang
merusak kualitas hadis. Hadis yang diriwayatkan itu tidak cacat,
seperti tidak ada pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis
yang sebenarnya memang tidak bersambung, atau mengatas namakan
dari Nabi, padahal sebenarnya bukan dari Nabi.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair
8
bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw
membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
َ َول اللَّ ِه ص ق
َال إِذَا َك انُوا ثَالَثَ ةٌ فَال ِ ِ َّ ِ
َّ ض ي اللَّهُ َع ْن هُ أ
َ َن َر ُس ِ
َ َع ْن نَ اف ٍع َع ْن َع ْب د الله َر
ِ ِان ُدو َن الثَّال
.ث ِ َيَتنَاجى ا ْثن
َ َ
5
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2002), hlm. 29.
9
Artinya: (Kata Bukhari): Telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin
Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik dari Nafi’, dari
Abdullah bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang,
janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama
yang ketiganya.”
Sanad Riwayat ini bersambung dari pertama sampai terakhir, dan rawi-
rawinya orang-orang kepercayaan dan dhabith dengan sempurna. Hadits ini
tidak terdapat syu-dzudz-nya, yakni tidak menyalahi hadits yang derajatnya lebih
kuat dan tidak ada ‘illatnya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang
menyebabkan hadits itu tercela. Maka hadits tersebut mempunyai syarat-syarat
sebagaimana yang tertera di atas.
2. Shahih lighairihi
Shahih lighairihi dalam bahasa Arab artinya “yang shahih karena yang
lainnya”, yaitu yang jadi sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad) atau
keterangan lain. 6
Contohnya:
Artinya: (Bukhari berkata): Telah menceritakan kepada kami, ‘Amr bin ‘Ali,
ia berkata: telah menceritakan kepada kami, Abu Qutaibah, ia berkata: telah
menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar dari
bapaknya, ia berkata: “Aku pernah mendengar Ibnu Umar meniru syi’ir Abi
Thalib . . . . .”
Sanad riwayat ini bersambung dari yang pertama sampai terakhir dan rawi-
rawinya adalah orang kepercayaan, hanya ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar
saja yang derajatnya agak kurang dari yang lain tetapi tidak lemah. Namun
demikian, hadis di atas dikuatkan oleh jalur lain, yaitu oleh Imam Ibnu Majah 7
maka bisa dikategorikan shahih lighairihi.
6
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2002), h. 31.
7
Ibid h. 32
10
2.5. Contoh hadits shahih lidzatihi dan shahih lighairihi dan skema
sanadnya.
1. Shahih lidzatihi
َ َول اللَّ ِه ص ق
َال إِذَا َك انُوا ثَالَثَ ةٌ فَال َ َن َر ُس ِ َعن نَ افِ ٍع َعن َع ْب ِد اللَّ ِه ر
َّ ض ي اللَّهُ َع ْن هُ أ
َ َ ْ ْ
ِ ِان ُدو َن الثَّال
.ث ِ َيَتنَاجى ا ْثن
َ َ
11
Artinya: (Bukhari berkata): Telah menceritakan kepada kami, ‘Amr bin ‘Ali,
ia berkata: telah menceritakan kepada kami, Abu Qutaibah, ia berkata: telah
menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar dari
bapaknya, ia berkata: “Aku pernah mendengar Ibnu Umar meniru syi’ir Abi
Thalib . . . . .”
a. Bukhari
b. ‘Amr bin ‘Ali
c. Abu Qutaibah
d. ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar
e. Bapaknya (yaitu ‘Abdillah bin Dinar)
f. Ibnu Umar
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Hadits shahih ialah hadits yang sanadnya terhubung (sampai kepada nabi),
diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (didalam
hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan tidak terdapat cacat (‘illat).
Hadis shahih dibagi menjadi dua yakni Sahih Lidzatihi dan Sahih Lighairihi.
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat
menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1981. Pokok - pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan
Bintang
13