Oleh: HI-33
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH..................................................................................................4
1.3 TUJUAN...........................................................................................................................4
1.4 MANFAAT.......................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................5
2.1 Definisi..............................................................................................................................5
2.2 Tingkatan Ahwal...............................................................................................................5
2.2.1 Muraqobah................................................................................................................5
2.2.2 Musyahadah...............................................................................................................6
2.2.3 Khauf..........................................................................................................................6
2.2.4 Raja’..........................................................................................................................7
2.2.5 Syauq..........................................................................................................................7
2.2.6 Qurbah ......................................................................................................................7
2.2.7 Tuma’ninah................................................................................................................8
2.2.8 Yaqin..........................................................................................................................8
2.3 Hubungan Antara Maqamat Dengan Ahwal.....................................................................9
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................10
3.1 KESIMPULAN...............................................................................................................10
3.2 SARAN...........................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................11
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
Asnawiyah. (2014, april 23). MAQAM DAN AHWAL: MAKNA DAN HAKIKATNYA, 16.
3
termasuk dalam kategori anugerah. Al-Sarraj dan kebanyakan kaum sufi beberapa sudah disebut
diatas sepakat bahwa hal merupakan karunia (mawahib), dan seytiap maqam adalah upaya
(makasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya
perjuangan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, maqam berarti menunjuk kepada sebuah kerja
aktif sedang seseorang yang menerima hal adalah pasif dalam keadaannya. Namun ada yang
mengatakan, perbedaan ini hanya pada tatanan teoritis belaka dan tidak mempengaruhi pada
aspek praktinnya.2
1.3 TUJUAN
1.4 MANFAAT
1. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi pribadi dengan memahami ahwal yang
dialami para sufi.
2. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca tentang ahwal itu sendiri
dan perbedaan antara maqamat dengan ahwal dalam tasawuf.
2
Ni'am, S. (2014). TASAWUF STUDIES: Pengantar Belajar Tasawuf (1 ed.). (R. KR, Penyunt.)
Depok, Yogyakarta, Indonesia : Ar-Ruzz MEDIA.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal yang berarti keadaan. Ahwal artinya yakni pada
suatu keadaan hati dimana hal ini dialami oleh para ahli sufi untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Ahwal biasa juga dimaknai sebagai situasi kejiwaan yang didapatkan oleh seorang sufi
sebagai anugrah dari Allah, bukan karena dari hasil usahanya sendiri. Ahwal biasa diistilahkan
dengan “hal”, yang berarti suatu keadaan batin seorang sufi, baik itu keadaan bahagia ataupun
kedaaan takut dan yang lainnya. Sehingga beebrapa ahli terkadang menyederhanakan defenisi
ahwal sebagai suatu keadaan spiritual yang dialami seseorang atas anugrah yang diterimanya dari
Allah swt melalui jalur hati (spiritual). Namun perlu diketahui, anugrah dari Allah yang
diberikan kepada seseorang melalui jalur spiritual sifatnnya sementara. Artinya tidak menetap,
bisa datang dan pergi tanpa sepengetahuan seorang sufi.
Kata Imam Qusyairi menyampaikan: “Maka setiap hal merupakan karunia, dan setiap
maqam adalah upaya. Pada Al-hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam, menempati
maqamnya dan orang-orang yang berada dalam hal, bebas dari kondisinya.” Meskipun ahwal
atau hal merupakan suatu keadaan yang bersifat karunia (mawahib), namun seseorang yang ingin
memperolehnya pun tetap harus mengikuti ketentuan-ketentuannya seprti halnya
memperbanyakan amalan dan ibadah.3
Dalam pandangan Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, hal
merupakan keadaan mental, seperti perasaan sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya.
Oleh karena itu ada istilahistilah lain yang termasuk kategori hal, yaitu al-muraqabat wa al-qurb,
alkhouf wa al-roja (takut dan penuh harap), at-tuma’ninah (perasaan tenang dan tentram), al-
musyahadat (menyaksikan dalam pandangan batin), alyaqin (penuh dengan keyakinan yang
mantap), al-uns (rasa berteman), attawadlu’ (rendah hati dan rendah diri), at-taqwa (patuh), al-
wajd (gembira hati), asy-syukr (berterima kasih), dan ikhlas.4
3
Amin, T. J. (t.thn.). Kamus Ilmu Tasawuf.
4
Dr. H. Badrudin, M. (2015). Pengantar Ilmu Tasawuf. (A. A. Dzawafi, Penyunt.) Banjarsari
C1/1 Serang: Penerbit A-Empa.
5
ۗ )۵۲(ان هّٰللا ُ َع ٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء َّرقِ ْيبًا
َ َو َك
Artinya: “... dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.”
Seorang hamba yang muraqobah akan selalu terikan dengan tiga keadaan, yaitu:
dalam ketaatan, dalam kemaksiatan dan dalam hal yang mubah. Sesungguhnya, tanda
seseorang memiliki hati yang masih hidup adalah mampu merasakan kedekatan Allah
dengan dirinya dan mampu merasakan bahwa Allah selalu mengawasi setiap tingkah
lakunya bahkan yang ada dalam hatinya, inilah artinya maqam muraqobah secara
sederhananya.
2.2.2 Musyahadah
Musyahadah adalah suatu kondisi dimana seseorang mampu merasakan kedekatan
Allah dengan dirinya, seakan-akan dia sedang menyaksikan Allah swt. keadaan ini seperti
melihat Tuhannya yang sebenarnya baik dalam bentuk zarrah dari segala zarrah yang ada,
yang disertai dengan mensucikan diri dari segala macam perkara yang tidak layak atau tidak
baik dengan kebesaran Allah swt, dalam Firman Allah dalam surah Qaf ayat 37:
)۳۷(ان لَهٗ قَ ْلبٌ اَ ْو اَ ْلقَى ال َّس ْم َع َوهُ َو َش ِهيْد َ ِاِ َّن فِ ْي ٰذل
َ ك لَ ِذ ْك ٰرى لِ َم ْن َك
Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia
menyaksikannya.”
Derajat-derajat (tingkatan-tingkatan) musyahadah: Pertama, Musyahadah kepada
segala perbuatan Allah SWT. Kedua, musyahadah kepada segala sifat-sifat Allah SWT.
Ketiga, Musyahadah kepada zat Allah SWT. Tanda ketajaman hati atau musyahadah adalah
bahwa mata hatinya (bashirah) dapat menembus apa yang ada dalam dunia ini dan seakan-
akan menyaksikan Allah. Ini merupakan maqam musyahadah.
2.2.3 Khauf
Khauf adalah keadaan dimana seseorang merasa takut terhadap hukum-hukum Allah
baik di dun ia maupun di akhirat kelak. Bahkan Imam al-Ghazali berkata, “ketahuilah bahwa
hakikat dari takut yakni khauf adalah kepedihan dan terbakarnya hati karena diperkirakan
akan tertimpa musibah sesuatu yang tidak menyenangkan di masa yang akan datang, khauf
kepada Allah kadang timbul karena dosa dan kadang pula timbul karena seseorang
mengetahui sifat-sifat-Nya yang mengharuskannya untuk takut kepada-Nya. Inilah tingkatan
khauf yang paling sempurna.” Dari ungkapan ini terlihat jelas bahwa rasa takut terhadap
suatu tindakan disebabkan karena bukti cintanya kepada Allah, karena orang yang bersifat
khauf akan selalu berfikir panjang ke depan. Firman-Nya dalam surah As-Sajadah ayat 16:
6
)۱۶(اج ِع‹ يَ ْد ُع ْو َن َربَّهُ ْم َخ ْوفًا َّوطَ َمع ًۖا َّو ِم َّما َر َز ْق ٰنهُ ْم يُ ْنفِقُ ْو َن
ِ ضَ تَتَ َج ٰافى ُجنُ ْوبُهُ ْم َع ِن ْال َم
Artinya: “lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada
Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang
Kami berikan.”
Bahkan dalam Qawa’id at-Tashawwuf, Ahmad Zaruq menyatakan bahwa, “Diantara
yang memotivasi amal itu adalah rasa takut, yaitu pengagungan yang disertai keseganan, dan
Kauf adalah bergetarnya hati karena Allah.”
2.2.4 Raja’
Menurut Ahmad Zaruq, definisi raja’ adalah kepercayaan atas karunia Allah yang
dibuktikan dengan amal. Raja’ juga dimaknai sebagai suatu keterikatan hati dengan sesuatu
yang diharapkan akan terjadi dimasa yang akan datang. Seperti dalam firman Allah swt
dalam surah Al-Ankabut ayat 5:
2.2.5 Syauq
Syauq (kerinduan) adalah ungkapan perasaan seseorang terhadap rasa rindunya kepada
yang dicintainya. Orang yang syauq biasa meluapkan rasa rindungan kepada Allah dengan
melakukan segala tindakan yang hanya tertuju pada-Nya, sehingga dia terbebas dari hawa
nafsu.
Rasulullah saw pernah mengungkapkan dalam doanya:
“saya memohon kepada-Mu (ya Allah) nikmat menatap Wajah-Mu yang Mulia dan
rindu untuk bertemu dengan-Mu” (Hadis riwayat an-Nasai dan al-Hakim, dari ‘Ammarah)
Perlu diketahui bahwa kerinduan itu tidak bisa digambarkan kecuali dengan bertatap
muka atau tanpa bertatap muka. Ada pula orang mengatakan, “Wajd (kegahirahan/kecintaan
yang luar biasa) adalah ketidakmampuan roh menahan dominasi kerinduan (syauq) ketika
dirasakan manisnya berzikir, sehingga kalau salah satu anggota tubuhnya terputus, ia tidak
7
akan merasakan dan menyadarinya.”5 Itulah syauq, seseorang yang mengalami kerinduan
akan selalu berusaha melakukan segala sesuatu dengan penuh kesenangan dan kegembiraan
tanpa ada keraguan ataupun kecemasan dalam dirinya, karena orang yang syauq akan selalu
berusaha melakukan yang terbaik kepada yang di rindukannya.
2.2.6 Qurbah
Qurbah adalah Suatu keadaan spiritual terkait kedekatan seorang hamba yang telah
menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah swt dendengan dirinya, baik secara
lahiriah maupun rahasia hati. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah
ayat 186:
2.2.7 Tuma’ninah
Tuma’ninah (ketenangan) adalah suatu kondisi spiritual yang tinggi. Sebab ini
merupakan kondisi spiritual seorang hamba dalam ketentraman hatinya dari berbagai hal
yang dapat mempengaruhinya. Firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 27:
5
YN, H. (2016). Tasawuf dan Pluralisme.
8
kokoh dan tidak dapat diguncang oleh keadaan apapun. Bahkan lanjutan dari ayat diatas
dijelaskan, bahwa jiwa yang tenang dalam mengingat Allah dan mendapat keridhoan dari-
Nya akan menjadi bagian dalam jannah Alla swt.
2.2.8 Yaqin
Yaqin (keyakinan), artinya mutlak percaya kepada kearifan Tuhan sebagai keadaan
tertinggi yang dijadikan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Keyakinan
memenuhi hati seperti cahaya yang membebaskan hati dari kabut kegelisahan dan keraguan
pada diri seseorang hingga memunculkan kebahagiaan dalam hatinya. Mencapai tingkatakan
Musyahadah dan Al-Yaqin, menurut pengakuan Sufi amat sulit dan payah serta jarang orang
yang memperoleh karunia yang semulia itu.
Rasulullah saw bersabda:
“Memohonlah kepada Allah swt, ampunan, afiat (kesehatan), dan yaqin (keyakinan
sejati), baik di dunia maupun di akhirat” (H.r Ahmad dari Abu Bakar, Tirmidzi dari riwayat
Abdullah bin Muhammad bin Ubaid, dan Nasa’I dari beberapa riwayat).
6
Tengah, M. K. (2020, januari 02). Maqamat dan Ahwal Menurut Pandangan. 86 halaman, 46-54
halaman. Banda Aceh.
9
dengan maqam diperoleh dari latihan spiritual, atau secara sederhananya ahwal berasal dari
kemurahan hati dan maqam berasal fari pelaksanaan iktiar.
Berlawanan dengan sifat ini, hal berdekatan dengan maqam berarti bahwa ia dapat dilampui
hanya apabila sepenuhnya terkuasai dan segala kondisinya terpenuhi. Lebih jauh lagi, untuk
mencapai maqam yang lebih tinggi harus terus besertakan maqam dibawahnya, bukan menjadi
penghalangnya. Hal itu ialah suatu perkara yang datang ke dalam hati orang yang salik, baik itu
suka dan duka atau haibah (gerun). Jika pergi dan datang dalam keadaan tiada tetap tanpa
perbuatan dan usahanya, maka dinamakan “hal”. Sebaliknya, jika ia kekal sehingga menjadi
tabiatnya, dinamakan “maqam”. Ini karena, hal itu adalah dengan pemberian anugerah-Nya,
sedang maqam itu adalah dengan diusahakan. 7 Namun berbeda pula pandangan dari Abdullah
Ibn Alawi al-Haddad. Menurut Al Haddad, ahwal adalah suatu kondisi (keadaan) batin yang
dialami seorang Sufi dalam keadaan belum mantap, Kemudian ketika kondisi batin itu telah
mantap maka disebutlah ia maqam. Ahwal dalam pandangan al-Haddad dapat diperoleh
seseorang karena pengaruh dari ilmu di sebabkan ilmu dapat membuahkan hal dan hal dapat
menghasilkan maqam.8
Dengan demikian, dari sekian banyak pandangan pada dasarnnya semua perspektif dari
beberapa tokoh memiliki maksud yang sama bahwa antara maqamat dan ahwal merupakan dua
prinsip dalam kajian tasawuf yang tidak bisa dipisahkan. Maqamat dengan usaha dan kerja keras
yang maksimal; kemudian hasilnya merupakan anugerah dari Allah SWT berupa perasaan dan
keadaan-keadaan (ahwal) yang dialami oleh seorang salik menuju Tuhannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal yang berarti keadaan. Ahwal artinya yakni pada
suatu keadaan hati dimana hal ini dialami oleh para ahli sufi untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Ahwal biasa juga dimaknai sebagai situasi kejiwaan yang didapatkan oleh seorang sufi
sebagai anugrah dari Allah, bukan karena dari hasil usahanya sendiri. Ahwal biasa diistilahkan
dengan “hal”, yang berarti suatu keadaan batin seorang sufi, baik itu keadaan bahagia ataupun
7
Tengah, M. K. (2020, januari 02). Maqamat dan Ahwal Menurut Pandangan. 86 halaman, 54-57
halaman. Banda Aceh.
8
Bagir, H. (2005). Buku Saku Tasawuf (1nd ed.). Bandung, jl. Yodkali, N0:16: Mizan Media Utama
(MMU).
10
kedaaan takut dan yang lainnya. Sehingga beebrapa ahli terkadang menyederhanakan defenisi
ahwal sebagai suatu keadaan spiritual yang dialami seseorang atas anugrah yang diterimanya dari
Allah swt melalui jalur hati (spiritual). Namun perlu diketahui, anugrah dari Allah yang
diberikan kepada seseorang melalui jalur spiritual sifatnnya sementara. Artinya tidak menetap,
bisa datang dan pergi tanpa sepengetahuan seorang sufi.
Dalam pandangan Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, hal merupakan
keadaan mental, seperti perasaan sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya. Oleh karena itu
ada istilahistilah lain yang termasuk kategori hal, yaitu al-muraqabat wa al-qurb, alkhouf wa al-
roja (takut dan penuh harap), at-tuma’ninah (perasaan tenang dan tentram), al-musyahadat
(menyaksikan dalam pandangan batin), alyaqin (penuh dengan keyakinan yang mantap), al-uns
(rasa berteman), attawadlu’ (rendah hati dan rendah diri), at-taqwa (patuh), al-wajd (gembira
hati), asy-syukr (berterima kasih), dan ikhlas.
3.2 SARAN
Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan kami dengan adanya
tulisan ini lebih mengenali dan memahami khususnya pada mata kuliah pengantar ilmu tasawuf,
terkait ahwal yang dialami para sufi. Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kesalahan
dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
11
Tengah, M. K. (2020, januari 02). Maqamat dan Ahwal Menurut Pandangan Sufi. 86 halaman, 46-54
halaman. Banda Aceh.
YN, H. (2016). Tasawuf dan Pluralisme.
12